Suasana kota hari ini tampak sepi dari biasanya, mungkin karena jam pulang kerja sudah lewat beberapa jam yang lalu. Belum lagi hanya sedikit orang yang menggunakan kendaraan pribadi, sisanya berbondong-bondong menggunakan kendaraan umum seperti bus dan kereta.
Lampu merah yang sempat menghentikan sebuah mobil mewah merek lexus LS pun kembali berubah warna menjadi hijau, membiarkan mobil hitam itu melaju dengan kecepatan penuh bersamaan dengan rintik hujan yang mulai berjatuhan membasahi jalanan beraspal dan seisi kota.
Terlihat beberapa orang yang berlarian mencari tempat teduh untuk menyelamatkan diri dari guyuran hujan yang semakin deras, namun mobil mewah itu tak menurunkan kecepatannya sedikitpun sampai si pengemudi melihat seorang gadis kecil yang berlari menyebrangi jalan tanpa memperhatikan sekitarnya.
Dengan cepat pria itu menginjak rem mobilnya saat melihat gadis itu terjatuh karena merasa terkejut dengan suara klakson mobil yang dibunyikan olehnya.
“Apa aku menabraknya?” Gumam pria itu terlihat panik sambil bergegas turun dari dalam mobilnya untuk memastikan kondisi gadis kecil yang hampir ditabrak olehnya.
Tapi dia sangat jauh dari mobilku ... apa dia pingsan? Batinnya bertanya-tanya sambil berjongkok disamping gadis itu dan memperhatikan raut wajahnya yang terlihat berantakan dengan mata sembab dan beberapa luka lecet di tangan dan kakinya.
“Arrgh... kenapa dia harus pingsan di depan mobilku seperti ini? merepotkan saja,” tuturnya merasa geram sendiri sambil menggendong gadis itu dan memasukannya kedalam mobil dengan membaringkannya dibangku belakang.
Lalu pria itupun bergegas masuk ke dalam mobilnya dan mengemudikannya menuju kediamannya. Pakaiannya sudah basah kuyup akibat guyuran hujan yang membasahinya saat dia memastikan kondisi gadis yang ditolongnya.
“Sekarang aku benar-benar berada dalam masalah, aku tak bisa pulang ke rumah ibu dengan membawanya. Membawanya ke rumah sakit juga harus berputar arah, terpaksa aku bawa dia ke rumahku ....” Gumamnya sambil memperhatikan gadis kecil yang belum sadarkan diri di bangku belakang melalui pantulan kaca spion mobilnya.
Sesampainya di sebuah rumah mewah berlantai dua, diapun langsung memanggil seorang pelayan pria untuk membawa turun gadis yang hampir ditabraknya itu dari dalam mobilnya.
“Tuan muda? Ada apa dengan pakaian anda? Kenapa pakaian anda basah seperti ini?” Tanya seorang pelayan wanita yang sudah menyambut kedatangannya di dalam rumahnya.
“Hana, tolong panggilkan dokter dan siapkan air hangat untuk ku.” Jawab pria itu tak ingin banyak bicara sambil melepaskan jas abu yang dikenakannya dan memberikannya pada pelayan wanita dihadapannya.
“Maaf tuan ....” Suara pelayan pria yang membawa seorang gadis kecil dipangkuannya membuat pria berambut merah itu melirik kearahnya sambil menghela napas lelah.
“Bawa anak itu ke kamar tamu, sekalian ganti pakaiannya dengan pakaian kering.” Jelasnya sambil melanjutkan perjalanannya menuju kamar pribadinya, sedangkan pelayan itu berjalan kearah yang berlawanan dengan pria berambut merah itu.
Tak lama kemudian seorang wanita berjas putih memasuki kediaman pria itu dengan dibimbing oleh Hana yang sudah selesai menyiapkan air hangat untuk tuan rumah. Pelayan itu membawa sang dokter ke kamar tamu dimana gadis kecil itu berada.
***
“Kau sudah datang?” Suara seorang pria berambut merah memasuki kamar tamu setelah selesai membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian santai yang dikenakannya.
Pria itu tampak mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan, mencari keberadaan kedua pelayannya.
"Aku mengusir mereka." Ucap wanita berjas putih itu mengetahui pikirannya.
"Kenapa harus mengusirnya?" Gumamnya sambil menggaruk tengkuknya dan berjalan kearah sofa di dekat jendela kamar itu.
“Aku hanya meminta mereka untuk menyiapkan makan malam, selain itu siapa anak ini Arsel?” Jelasnya sambil memperhatikan gadis kecil yang sudah selesai diperiksa olehnya.
“Aku menemukannya di jalan.” Jawab pria itu sambil menghempaskan tubuhnya keatas sofa dan menghela napas lelah.
“Kau tidak menabraknya kan?” Tanya wanita itu melirik tajam kearahnya.
“Ti–tidak ... yah–hampir.” Jawabnya tergugup sambil memalingkan wajahnya keluar jendela untuk menghindari kontak mata dengan dokter itu.
“Tapi aku tidak menabraknya, apa lukanya serius?” Lanjutnya terdengar panik dan segera bangkit dari posisi duduknya.
“Tidak, tapi ... ada yang salah dengan paru-parunya.” Jelas wanita itu terlihat khawatir dengan kondisi kesehatan gadis kecil dihadapannya.
“Paru-paru?” Tanya Arsel berjalan mendekati tempat tidur dan memperhatikan sosok anak kecil yang terbaring diatas tempat tidurnya.
“Sepertinya itu penyakit bawaan,” jawabnya sambil mengemasi barang-barangnya, “Ini resepnya, kau bisa membelinya di apotik.” Lanjutnya sambil berjalan kearah pintu setelah memberikan resep itu ke tangan Arsel.
“Aaa!” Teriak Arsel menghentikan langkah wanita berjas putih itu.
“Kau bisa membangunkannya bodoh!” Ucap wanita itu spontan memukul punggung Arsel dengan tas yang dibawanya, membuat pria itu memekik kesakitan.
“Maaf-maaf ....” Sesalnya sambil melipat kedua telapak tangannya dibawah dagunya dan mengulas senyum tipis pada wanita itu.
“Cepat tebus obatnya.” Ucapnya kembali melangkahkan kakinya berniat meninggalkan rumah Arsel. Namun dengan cepat pria itu menarik tangan sang dokter membuat langkah wanita itu kembali terhenti.
“Perhatikan anak itu baik-baik Wanda, tidak kah dia mengingatkanmu dengan seseorang?” Tuturnya segera angkat bicara untuk meredam kekesalan wanita dihadapannya yang sudah terlihat jelas diwajahnya.
Lagipula dia sudah menghentikan langkahnya sebanyak dua kali. Sudah pasti dia merasa kesal pada pria itu.
“Aku tidak perduli, cepat lepaskan tanganmu itu. Aku banyak pekerjaan hari ini.” Ucapnya langsung pergi setelah pria itu melepaskan tangannya, memperhatikan kepergian sang dokter dari hadapannya.
Dasar Wanda, tidak bisakah dia bersikap ramah padaku? Batinnya kembali memperhatikan gadis kecil dihadapannya.
“Hem ... dia benar-benar mengingatkanku dengan seseorang. Apa mungkin dia–“ Gumamnya terhenti saat mendengar erangan halus dari sang anak, dengan cepat pria itu pun duduk disamping tempat tidurnya.
Tak lama kemudian gadis kecil itupun membuka matanya, mengejapkannya beberapa kali dan langsung terbangun dari posisi terbaringnya saat dia melihat seorang pria berambut merah memperhatikannya dengan tatapan serius disampingnya.
Lalu suasana ruangan yang tak dikenalnya membuat gadis itu merasa sedikit ketakutan dan bergegas menarik selimut dihadapannya, menutupi sebagian wajahnya dari pria itu.
Arsel yang terpesona dengan kecantikan gadis itu pun hanya bisa melongo memperhatikan rambut hitam panjangnya, dan beralih pada bola mata ungu yang dimiliki oleh gadis kecil itu.
“Tidak salah lagi, anak ini versi kecilnya Helen. Tapi warna rambutnya ....” Gumamnya sambil mendekatkan wajahnya dengan wajah gadis kecil itu.
Tunggu! Apa kakak pernah bilang memiliki seorang anak dengan wanita itu? Batinnya bertanya-tanya.
“Di–dimana aku?” Suara gadis kecil itu terdengar gemetar, “Pa–paman ini siapa?” Lanjutnya semakin menaikan selimutnya kedekat matanya untuk menutupi rasa takutnya.
“He? Aku?” Tanya pria itu menjauhkan dirinya dari wajah gadis itu, sepertinya dia menyadari rasa takut gadis bermata ungu dihadapannya.
“Aku orang yang menyelamatkanmu di jalan saat kamu pingsan didepan mobilku.” Lanjutnya menjelaskan sambil melipat kedua tangannya diatas dada bidangnya.
Hampir menabrakmu–sebenarnya, tapi aku tak bisa bilang seperti itu. Batinnya membenarkan ucapannya yang tak sejalan dengan hatinya.
“Menyelamatkanku?” Gumamnya sambil menurunkan selimut diwajahnya, “Ah ya, tadi aku dalam perjalanan pulang.” Lanjutnya sambil mengingat dirinya yang berlari di jalan karena tiba-tiba turun hujan.
Wah lihatlah betapa cantiknya gadis ini. Batin Arsel tak mendengarkan ucapan gadis itu dan malah terpaku pada wajah cantiknya, bibir tipis dengan mata bulat dan hidung mancungnya yang mampu menghipnotis seorang pria dewasa sepertinya.
“A–anu ....” Suara gadis itu meruntuhkan lamunannya.
.
.
.
Thanks for reading...
–Aster–
Ku buka mataku perlahan saat mendengar gumaman seseorang, merasakan kehangatan selimut tebal ditubuhku dan keempukan kasur yang ku tiduri.
Rasanya benar-benar nyaman dan berbeda dari biasanya, tunggu! Seingatku kami tak memiliki selimut tebal dan kasur empuk seperti ini.
Dengan cepat ku kerjapkan mataku saat menyadari ruangan asing disekitarku. Lalu Aku paksakan tubuhku untuk bangun dari posisi terbaringku saat melihat seorang pria dewasa berambut merah yang duduk disampingku, matanya benar-benar serius memperhatikanku. Dan itu membuatku merasa takut.
Ku tarik selimut yang menutupi setengah tubuhku sampai keatas hidung, menutupi setengah wajahku dari pandangannya.
Ke—kenapa paman ini terus menatapku seperti itu? Batinku merasa takut saat melihat tatapan selidiknya.
“Tidak salah lagi, anak ini versi kecilnya Helen. Tapi warna rambutnya ....” Gumamnya membuatku terkejut saat melihat wajahnya begitu dekat dengan wajahku, matanya juga menatap dalam pada mataku dan membuat rasa takutku semakin bertambah.
Ada apa dengan paman ini? kenapa dia ... barusan paman ini bilang apa? Aku—versi kecilnya Helen? Kenapa dia bisa tau nama ibuku? Batinku bertanya-tanya bersamaan dengan degupan jantungku yang terus berpacu.
Bagaimana bisa aku sampai di ruangan ini? Lanjutku masih dalam hati merasakan keringat dingin ditelapak tanganku, aku benar-benar tak bisa memalingkan pandanganku dari tatapan paman itu.
“Di—dimana aku?” Tanyaku setelah susah payah mengumpulkan keberanian untuk bertanya padanya, meski suaraku terdengar sedikit gemetar karena tak kuasa mengendalikan rasa takutku.
“Pa—paman ini siapa?” Lanjutku masih dengan suara gemetar sambil menaikan selimut yang ku cengkram kedekat mataku, nyaris menutupi semua wajahku. Sejujurnya aku ingin mengerubuni tubuhku dengan selimut itu, tapi tidak bisa ku lakukan. Bagaimana jika paman ini berniat macam-macam padaku?
“He? Aku?” Tanyanya sambil menjauhkan wajahnya dariku.
Akhirnya paman ini menjauhkan wajahnya dari hadapanku, entah kenapa itu membuatku merasa sedikit tenang.
“Aku orang yang menyelamatkanmu di jalan saat kamu pingsan didepan mobilku.” Lanjutnya sambil melipat kedua tangannya diatas dada bidangnya.
“Menyelamatkanku?” Gumamku sambil menurunkan selimut yang ku cengkram dari wajahku, “Ah ya, tadi aku dalam perjalanan pulang.” Lanjutku saat mengingat perjalanan pulang ke rumah, aku memang berlarian di sepanjang jalan karena tiba-tiba turun hujan.
Lalu saat akan menyebrang pandanganku menghitam, napasku juga sangat sesak seperti tenggelam dalam air. Tak ada oksigen yang bisa ku hirup. Lalu tiba-tiba aku bangun di tempat asing seperti ini, bertemu dengan paman aneh sepertinya.
Kenapa aku memanggilnya aneh? Karena saat ini aku melihatnya sedang mematung menatapku dengan tatapan—yang sulit untuk dijelaskan, tapi ada semburat merah diwajahnya. Sebenarnya apa yang dilihat olehnya?
“A—anu ....” Ucapku cukup keras berniat untuk menanyakan soal nama ibuku yang disebutkan olehnya.
“Ya?” Jawabnya membuatku refleks meremas selimut ditanganku mencoba untuk mengumpulkan keberanianku lagi.
“Sebenarnya–” Ucapku bersamaan dengan suara ketukan pintu membuatku melirik kearah sumber suara begitupun dengan paman itu.
“Ah Hana.” Ucapnya sambil bangkit dari posisi duduknya.
“Makan malamnya sudah siap tuan muda.” Tuturnya terlihat begitu sopan.
“Baiklah aku akan segera kesana,” jawabnya sambil menoleh kearahku, “kalau begitu kita makan malam dulu ya.” Lanjutnya tersenyum lebar.
“Makan—malam?” Gumamku sedikit memiringkan kepalaku memperhatikan ekspresinya yang ... entah kenapa aku menyukainya.
“Kenapa menatapku seperti itu? Ayo pergi.” Tanyanya sambil meraih tanganku, membuatku turun dari tempat tidur empuk nan hangat itu.
“Wah kamu kecil sekali ya, berapa usiamu?” Lanjutnya bertanya sambil melangkah meninggalkan ruangan itu dengan tangan besarnya yang menggandeng tanganku. Aku sendiri tidak tau kenapa aku mengikutinya dan tidak melepaskan genggamannya malah mau-mau saja digandeng olehnya.
“Tu—tujuh tahun.” Jawabku sedikit tergugup.
“Ku kira masih lima tahun,” gumamnya membuatku sedikit kesal dan mengerucutkan bibirku tanpa sadar, “hahaha... bercanda, tidak perlu merasa kesal seperti itu.” Lanjutnya membuatku menengadah kearahnya.
Lalu langkah kami terhenti di depan meja makan yang sudah tersaji berbagai jenis makanan diatasnya, membuat selera makanku meningkat saat melihat semua makanan itu.
***
–Arsel–
“Ah ya, aku lupa menanyakan namamu. Siapa namamu?” Tanyaku saat melihat sorot mata gadis kecil disampingku, dia terlihat senang saat melihat semua makanan yang tersaji di atas meja makan malam ini.
“Aster,” jawabnya penuh semangat tak mengalihkan pandangannya dari semua makanan itu membuatku tersenyum geli memperhatikannya. Kemudian aku membimbingnya kearah kursi yang akan dia duduki, lalu ku tarik kursi itu dari dalam meja makan supaya memudahkannya untuk duduk.
Setelah melihatnya duduk dengan nyaman, sekarang giliranku untuk duduk. Ku raih kursi yang berhadapan dengan gadis itu dan mendudukinya.
“Ada apa?” Tanyaku saat melihat sorot matanya yang meredup, bukankah tadi dia merasa gembira? Kenapa ekspresinya berubah secepat ini?
“Pasti senang ya jika setiap hari bisa makan makanan mewah seperti ini.” Jawabnya sambil mengulas senyum tipis dengan sorot mata sendu.
“Tapi lebih senang lagi jika memakannya bersama ibu dan nenek.” Lanjutnya bergumam sebelum meraih garpu dihadapannya.
“Kalau kamu mau, aku bisa meminta pelayan untuk memasak makanan baru untuk dibawa pulang olehmu besok.” Tuturku merasa tak tega melihat ekspresi sedih diwajahnya.
“Ti—tidak perlu repot-repot, aku hanya bergumam saja hehe ....” Ucapnya berusaha untuk tersenyum meski sorot matanya terlihat berkabut.
“Kalau begitu habiskan makan malammu, setelah itu pergi tidur. Aku akan mengantarmu pulang besok pagi.” Jelasku membuatnya mengangguk paham sebelum menyantap makan malam yang disiapkan oleh pelayan untuknya. Ku lihat Aster begitu menikmati makanannya dengan sorot matanya yang kembali bersinar.
“Paman?” Suaranya menarik perhatianku yang sedang mengunyah potongan daging ikan goreng di dalam mulutku.
“Apa paman mengenal ibuku?” Lanjutnya dengan suaranya yang semakin mengecil.
“Ibumu?” Tanyaku setelah menelan ikan goreng didalam mulutku.
“He—helen ....” Jawabnya bersamaan dengan dering ponselku, dengan cepat ku raih ponselku dari dalam celana jeansku.
Ku lihat nama ibu tertera disana membuatku meringis mengingat pembicaraan kami sebelumnya. Apalagi kalau bukan soal perjodohan yang direncanakannya. Hanya hal itu yang bisa membuatku enggan untuk kembali ke rumah.
Beruntung hari ini aku bertemu dengan Aster, berkatnya aku jadi bisa melarikan diri dari pertemuan malam ini.
“Kenapa tidak dijawab?” Suara Aster mengejutkanku.
“I—ini juga mau dijawab kok.” Ucapku sambil tersenyum tipis padanya sebelum menghela napas lelah.
Dengan berat hati ku angkat telpon dari ibuku dan kini aku mendengar omelannya yang tak terima dengan kepulanganku yang—batal.
“Ya? Hallo ....” Ucapku mendekatkan ponselku ke telinga.
“Arsel! Kenapa belum juga pulang? Kamu dimana sekarang? Cepat pulang ke rumah, kita harus membicarakan soal perjodohanmu dengan–” Tutur ibu segera ku potong.
“Maaf, hari ini aku tidak bisa pulang ke rumah ibu. Sekarang aku sedang makan malam di rumahku, soal itu kita bicarakan lain kali saja.” Jelasku.
“Haah ....” Ucapnya terdengar menghela napas berat, “ibu tidak mau tau, pokoknya kamu harus pulang besok!” Lanjutnya penuh penekanan sebelum mematikan sambungan telponnya.
Aku bahkan tak bisa bilang soal rencanaku besok, biar bagaimanapun aku harus mengantar anak ini pulang ke rumahnya besok. Batinku sambil memperhatikan Aster yang kembali menyantap makan malamnya dengan lahap.
.
.
.
Thanks for reading...
–Aster–
Pagi ini paman mengantarku pulang setelah selesai sarapan pagi bersamanya, bahkan dia benar-benar meminta kak Hana untuk memasak makanan untuk ku. Sepertinya paman aneh ini mengkhawatirkanku, terlihat jelas dari sorot matanya.
Saat ini aku berada di dalam mobil mewah miliknya dan duduk disampingnya yang sedang memainkan ponselnya, sementara aku hanya bisa menikmati pemandangan gedung-gedung tinggi dibalik kaca jendela mobil disampingku.
“Ada apa?” Suara paman mengejutkanku yang sedang asik melamun.
“Eng—enggak ada ... aku cuma kepikiran sama PR-ku yang belum ku kerjakan.” Jawabku melantur, aku tidak bisa bilang padanya kalau aku merindukan nenek dan ibu kan? Rasanya setiap hari aku selalu merindukan ibu dan nenek.
Apalagi sejak mereka pergi meninggalkanku, aku sering memimpikan hari-hariku bersama dengan ibu dan nenek. Rasanya benar-benar menyenangkan, tapi saat aku terbangun dari tidurku aku merasa—sedih.
“Ku kira kenapa.” Ucapnya kembali meruntuhkan lamunanku.
“Kita sudah sampai tuan muda.” Tutur pak supir sambil menepikan mobilnya dipinggir jalan.
“Benar disini rumahmu?” Tanya paman terlihat memperhatikan sebuah rumah bercat hijau disebelah kiri jalan.
“Iya,” Jawabku sambil mengangguk, “Terima kasih karena sudah mengantarku pulang, dan terima kasih untuk makanannya juga.” Lanjutku berusaha memberikan senyuman terbaikku sambil menunjukan tas berisi kotak makanan sebelum kami berpisah.
Lalu pintu mobil disebelahku terbuka, ku lihat ada pak supir yang membukakan pintunya dari luar. Kemudian tanpa banyak bicara lagi aku langsung keluar turun dari mobil mewah itu.
“Tunggu Aster,” Suara paman menghentikan langkahku, “Apa aku boleh mampir?” Lanjutnya membuatku mengangguk cepat tanpa banyak berpikir, karena aku sudah tak sabar ingin menemui bi Siti dan suaminya. Mereka pasti senang saat melihatku membawa banyak makanan enak untuk kami semua.
Ku lihat paman turun dari dalam mobilnya dan berjalan mendekatiku sambil membenarkan jas abu yang dikenakannya. Entah kenapa aku malah mengizinkannya mampir ke rumah. Bahkan hatiku merasa senang tanpa alasan, padahal kami baru bertemu. Mungkin karena selama ini tak ada yang pernah mengunjungiku semenjak nenek dan ibu pergi. Jika pun ada, mereka hanya para tetangga yang baik padaku.
“Aster!” Teriak bi Siti membuatku segera berlari mendekatinya.
“Bibi.” Ucapku segera memeluk tubuhnya.
“Kamu darimana saja nak? Bibi sangat mengkhawatirkanmu, kenapa semalam tidak ada di rumah? Apa kamu baik-baik saja?” Tanyanya bertubi-tubi dengan sorot mata khawatirnya dan sesekali menciumi puncak kepalaku.
“Aster baik-baik saja kok bi, maaf sudah membuat bibi khawatir ... ah iya, Aster bawa makanan enak buat bibi dan paman.” Jawabku sambil mengulas senyum dan menunjukan tas berisi makanan di tanganku.
“Lain kali kalau mau pergi keluar bilang-bilang dulu sama bibi ya ....” Tuturnya terdengar khawatir membuatku merasa bersalah karena tidak meminta diantar pulang oleh paman semalam.
Seandainya aku langsung meminta diatarkan pulang setelah selesai makan malam, mungkin bibi tak akan memasang ekspresi sedih seperti itu. Tapi kalau semalam aku minta diantar pulang, aku benar-benar akan merepotkan paman.
“Untunglah Hana memasak banyak makanan untukmu ya, jadi kamu bisa memakannya bersama ibumu dan membagikannya pada–” Suara paman mengalihkan perhatian bibi.
“Tuan ini? wah dia kerabatmu ya nak? Syukurlah dia datang, kamu pasti senang kan bisa bertemu dengannya. Akhirnya kamu tidak sendirian lagi.” Tutur bibi memotong ucapan paman, membuat paman itu terkejut.
Ah sepertinya bibi salah paham. Batinku sambil tersenyum tipis padanya.
“Ma—maaf saya bukan–” Jelas paman terhenti saat merasakan tangan bibi menepuk bahunya dengan ekspresi berseri-serinya. Entah kenapa wajahnya benar-benar terlihat lucu.
“Kita bicara di dalam saja ya.” Ucap bibi sambil menarik tangan paman menuju rumahnya.
“A—anu bibi, paman ini hanya mengantarku pulang. Aku tidak mengenalnya ....” Tuturku berusaha menjelaskan semuanya pada bibi sambil mengikuti langkahnya, ku lihat paman menoleh padaku dan tersenyum tipis sambil menganggukan kepalanya. Apa itu semacam ucapan tidak apa-apa?
“Duduklah nak.” Ucap bibi mempersilahkan paman duduk saat kami sampai di dalam rumah, “Aku siapkan dulu teh hangat untukmu ya, tunggu sebentar. Aster juga bantu bibi yuk.” Lanjutnya membuatku sedikit ragu untuk meninggalkan paman di ruang tamu sendirian, tapi keraguanku menghilang saat melihat anggukannya lagi dengan senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya. Ku sunggingkan senyuman lebar padanya sebelum pergi menyusul bibi ke dapur.
Sesampainya di dapur, aku menyimpan tas berisi makanan ditanganku ke atas meja dan mendekati bibi yang sedang bersenandung. Terlihat begitu senang, “Syukurlah ....” Gumamnya sambil meraih puncak kepalaku dan mengusapnya dengan lembut.
Sebenarnya apa yang bibi pikirkan? Batinku bertanya-tanya dengan suasana hatinya hari ini.
Setelah airnya mendidih bibi langsung menyeduh teh hangat untuk paman, memasukan sedikit gula lalu mengaduknya dengan hati-hati.
“Aster bawa ini ke ruang tamu ya, bibi mau membawa sesuatu di kamar bibi.” Ucapnya membatku mengangguk paham dan segera membawa cangkir teh dihadapanku menuju ruang tamu, lalu kembali ke dapur untuk membawa dua cangkir teh lainnya secara bergantian.
Aku tidak bisa membawanya sekaligus diatas nampan kan? Lagipula bibi tak akan mengizinkannya, bibi terlalu khawatir padaku. Dan aku tak bisa membuatnya terus mengkhawatirkanku, jadi aku menurut saja.
Ku lihat paman kembali menunjukan senyumannya dan meletakan cangkir teh ditangannya keatas meja dihadapannya. Sepertinya dia baru meminumnya.
“Bibimu baik ya,” ucapnya membuatku mengulas senyum tipis dan berlari mendekatinya, “Jadi dimana ibu dan nenekmu?” Lanjutnya bersamaan dengan kedatangan bibi.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.” Ucap bibi membuatku berjalan mendekatinya yang sudah duduk dihadapan paman itu, terhalang oleh sebuah meja.
Ku lihat paman juga memasuki ruang tamu sambil tersenyum padaku dan beralih menatap paman berambut merah itu, aku lupa menanyakan namanya.
***
–Arsel–
Suasana menegangkan apa yang ada dihadapanku ini? batinku merasa begitu tegang memperhatikan wajah pasangan paruh baya dihadapanku dan berganti menatap wajah Aster yang tersenyum tipis padaku saat mata kami bertemu pandang.
“Jadi orang ini kerabatnya Aster ya.” Suara pria paruh baya itu mengejutkanku.
“I—itu ....” Gumamku merasa bingung, sebenarnya ada apa dengan keluarga ini? kenapa mereka mengira aku kerabatnya anak ini? dan lagi aku harus menjawab apa?
“Aster sayang, bibi harus memberitaumu soal ini padamu. Tadinya bibi tidak ingin menjual rumah yang kau tempati kepada orang lain, tapi saat ini bibi membutuhkan uang dan mereka siap membeli rumah itu kapanpun. Syukurlah pamanmu datang disaat yang tepat–” Jelasnya membuatku semakin bingung.
“Rumah itu? Bukankah itu rumah ibuku?” Tanya gadis kecil itu terlihat terkejut untuk beberapa saat.
“Bukan sayang, ibu dan nenekmu hanya menyewa rumah itu dari bibi.” Jawab wanita itu dengan suara lembutnya sambil mengelus puncak kepala anak disampingnya.
“Jadi Aster tidak punya rumah?” Tanyanya, kali ini dengan sorot mata yang sudah berkaca-kaca dan suaranya yang sedikit bergetar. Sepertinya dia mencoba menahan tangisnya.
“A—anu ....” Ucapku mengalihkan perhatian wanita itu.
“Ah maaf, aku melupakanmu.” Ucapnya sambil tersenyum ramah dan meletakan sebuah amplop putih di atas meja, tepat dihadapanku.
“Nak Helen menitipkan ini pada ibunya sebelum kepergiannya, lalu ibunya menitipkan surat itu pada kami sebelum menyusul putrinya. Dan saat ini Aster hidup sendirian di rumahnya, aku sempat mengkhawatirkannya dan ingin mengadopsinya. Tapi syukurlah kamu datang diwaktu yang tepat, Aster juga pasti senang kan? Akhirnya ada kerabatmu yang mau menjadi walimu.” Lanjut seorang pria disampingnya membuatku terkejut dan semakin tak mengerti dengan ucapannya.
Apa dia bilang? Anak ini hidup sendirian di rumahnya? Dan kenapa tak ada kerabatnya yang mau merawatnya saat ibu dan neneknya telah tiada? Semua pertanyaan itu memenuhi kepalaku, bahkan saat ini aku merasa begitu yakin kalau dia benar-benar ... anaknya Helen, Helen yang ku kenali.
.
.
.
Thanks for reading...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!