Ketika orang yang dulu pernah dekat dan menjadi salah satu sosok penting di hidupmu, namun kini menjadi orang yang membuatmu tersakiti karena selalu menghindar darimu. Itulah yang dialami Kanaya, gadis cantik 22 tahun yang memiliki tipikal gadis ceria, supel, dan ramah.
Ia adalah anak tunggal, memiliki orang tua yang selalu memperhatikannya namun tidak memanjakannya. Ia telah dididik menjadi anak yang mandiri dan penuh kasih sayang.
Ia punya banyak teman. Namun, dua orang yang sangat dekat dengannya sejak dulu adalah Faizan dan Refina.
Faizan adalah teman Naya semenjak balita. Mereka berteman karena orang tua mereka juga adalah teman baik. Lalu, saat menginjak kelas 2 Smp Naya menjadi sangat dekat dengan salah satu teman perempuan di kelasnya yaitu Refina. Semenjak saat itu mereka selalu bersama.
Suatu hari, terjadi konflik antara Naya dan Faizan yang menyebabkan hubungan persahabatan mereka berakhir. Faizan yang sudah menaruh hati pada sahabatnya itu, harus menelan kekecewaan tatkala melihat Naya yang sedang berduaan dengan Hasbi, kakak kelas Naya.
Saat itu, Hasbi tengah memegang bunga yang ia sodorkan pada Naya. Dan Faizan mendengar dengan jelas bagaimana Hasbi mengungkapkan perasaannya pada Naya. Kemarahan Faizan semakin menjadi saat Naya mengambil bunga di tangan Hasbi.
Setelahnya, Faizan berlalu pergi dari tempat itu. Semenjak saat itu hubungan mereka menjadi renggang dan Faizan selalu memperlihatkan tatapan kebenciannya pada Naya.
Setelah beberapa tahun, mereka tiba-tiba dinikahkan oleh orang tua mereka. Dengan berat hati mereka menerimanya karena tak ingin membuat orang tuanya kecewa. Namun, bagaimana kehidupan rumah tangga mereka selanjutnya? Itulah yang dicemaskan Naya.
Pagi-pagi sekali suara riuh di dapur sudah terdengar. Bu Fara tengah mengaduk acar yang sedang dimasak, Bi Muti mencuci piring di wastafel dapur. Naya sendiri tengah membuat jus jambu.
"Bi, susu coklatnya masih ada kan?" tanya Naya pada Bi Muti.
Wanita paruh baya itu mengernyit berpikir. ia mengingat apakah benda yang ditanya Naya masih ada atau tidak.
"kayanya masih ada, mbak. Coba mbak Nay lihat di lemari itu." kata Bi Muti sambil tangannya menunjuk ke lemari gantung di depan Naya.
"oke Bi." Naya pun menjinjit sedikit menjangkau lemari yang ditunjuk Bi Muti tadi.
Setelah memastikan ada, Naya langsung mencampurkan susu coklat cair itu ke dalam jus jambu yang sudah jadi. Ia lalu membawanya ke depan, ke ruang makan.
Setelah semua makanan selesai dimasak, mereka lalu sarapan bersama di meja makan, termasuk dengan Bi Muti.
___
Setelah sarapan tadi pagi, Naya langsung berangkat ke Cafetarianya. Hari ini adalah hari Rabu, jadi seperti biasa Cafetarianya akan menggratiskan makanan sampai jam 4 sore.
Seperti biasa Cafetarianya akan sangat ramai pengunjung. Terlebih saat hari Rabu ini. Naya tersenyum memandai ke seluruh penjuru Cafe yang sangat padat pengunjung.
"alhamdulillah. Semoga semua selalu berjaalan lancar, Ya Allah..." ucapnya membatin.
Saat tengah memantau keadaan Cafenya, tiba-tiba mata Naya mendapati sosok lelaki jangkung dengan setelan jas berwarna silver memasuki Cafetarianya.
Lelaki itu terlihat acuh saja, berbeda dengan tiga orang yang juga bersamanya. Mereka terlihat bercanda ria sembari tertawa.
Naya hanya bisa menghela napas pasrah melihat wajah dingin lelaki itu.
"La, kamu ke meja nomor 13, ya. Itu baru datang." titahnya pada salah satu pelayan di Cafenya.
"iya, mbak." jawab Laila menuruti perintah atasannya.
Naya menatap punggung Laila yang menjauh. Namun, tiba-tiba matanya bertemu pandang dengan mata lelaki yang sedari beberapa menit yang lalu menjadi pusat perhatiannya.
Dengan cepat Naya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Setelahnya ia beranjak menuju ke ruangannya.
__________
Faizan pov.
Hari ini tak banyak pekerjaan yang harus kukerjakan. Karena, seminggu kemaren aku sudah mengerjakan dokumen untuk 2 minggu kedepan.
Aku mengutak-atik ponselku sembari menunggu jam makan siang masuk. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang membuatku menatap ke arah pintu ruanganku.
Ceklek... dan benar saja. 3 curut yang selalu menggangguku sudah muncul bersamaan. Lian, Rio dan Gilang, mereka sahabatku. Walaupun mereka terkadang menyebalkan, namun mereka lah teman-teman yang selalu ada untukku.
"yeeheey.. cie elah. Lo anteng bae di ruangan ini, Zan. Gak mau keluar nih?" ujar Rio yang melihatku itu tengah bersantai di kursi kerjaku.
"ini gue lagi nunggu jam istirahat" jawabku sekenanya.
"bos kan bisa keluar kantor kapanpun." kata Lian.
"iya. Yuk keluar. Cari makan." ajak Toni.
"ya, udah. Ayo.." kataku.
Aku pun memakai jasku yang tadi kusampirkan di kursi.Sesampai di Cafetaria, aku dan mereka langsung masuk dan mencari kursi yang masih kosong. Benar saja perkiraan kami, bahwa hari ini Cafetaria langganan kami ini ramai. Karena makanan disini enak-enak. Dan setiap hari rabu, pengunjung diberikan makan gratis oleh pemilik.
Ya, siapa lagi kalau bukan Naya, gadis itu. Pemilik hatiku sekaligus orang yang kubenci hingga saat ini. Aku mencintainya sekaligus membencinya.
"nah, besok lo bawa aja ke dokter hewan. Siapa tau gak parah sakitnya." ujar Rio yang sedari tadi tak hentinya mengoceh.
Aku melihat ke arah meja kasir, dimana ia akan berada disana setiap hari Rabu siang. Dan benar saja, saat ini ia bahkan sedang menatap ke arahku.
Namun, hanya beberapa detik. Setelahnya kulihat ia memalingkan pandangannya ke arah lain. Dan aku hanya menghembuskan napas.
***
"stt,, Zan. Naya, tuh.." bisik Lian padaku sambil menunjuk ke arah Naya dengan dagunya.
Aku mengernyit menatapnya.
"ckk,, lo nggak capek apa, masih diam-diaman begini?" kali ini Gilang yang bertanya.
Jujur saja aku memang sudah bosan seperti ini. Bertahun-tahun aku mengabaikannya, tak memberinya ruang untuk berbicara denganku. Membuatku merasakan iba sekaligus sakit melihatnya yang selalu berakhir dengan wajah sendu.
Aku ingin memperbaiki hubunganku dengannya, kembali menjadi sahabat baik. Namun, setiap kali aku menatapnya bayangan ketika ia menerima bunga dari Hasbi selalu muncul. Itu membuatku semakin membencinya.
"Zan.. Zan.." sahutan Gilang membuyarkan lamunanku.
"hmm?" jawabku dengan deheman.
"Zan, lo jangan begini, deh. Lama-lama gue jadi ngeri liat lo. Ngelamun aja kaya ayam..iiiiiihh" ujar Gilang yang mencoba menggodaku.
Lalu, Rio dan Liam tertawa. Mereka membuatku jengkel, bukan menghibur.
"ckk... udah deh. Pesen buruan. Keburu lapar gue hilang, nih." kataku menatap mereka acuh.
"hahahahha..." Mereka kembali tertawa.
Gilang memanggil waitres, dan memesan makanan untuk kami berempat. Setelahnya aku hanya mendengar obrolan-obrolan mereka sampai makanan datang.
***
Saat tengah menikmati makanan mereka, tiba-tiba perhatian keempat pemuda itu teralihkan oleh seseorang yang berjalan cepat dan tergesa-gesa.
Mereka pun menjeda acara makannya dan terdiam dengan gaya masing-masing. Lian yang tengah mengaduk minumannya dengan sedotan, Gilang yang tengah mengunyah mi, dengan mi yang masih menggantung di bibirnya. Lalu, Rio yang untungnya tidak terlalu terpengaruh keadaan, ia biasa saja dan bersikap santai.
Faizan.. Ya, Lelaki itu seperti biasa selalu cuek dan biasa saja. Kini, ia hanya melihat kepergian Naya dengan wajah datar. Meskipun jauh di lubuk hatinya, ada rasa penasaran bercampur cemas melihat gelagat gadis itu.
"kenapa, tuh?" ujar Gilang penuh tanya.
"iya, Naya kayak cemas banget gitu." sahut Lian.
"udah.. lanjut makan aja. Nggak penting." kali ini, Faizan yang berujar, membuat ketiga temannya itu menatapnya bersamaan.
"nggak penting, tapi ntar kepikiran sampe bikin lo nggak bisa tidur." Rio mengejeknya.
"nggak akan. ckk. Jam istirahat mau habis. Kalian bertiga mau ngapain abis ini? Kalo gue mau balik ke kantor. Jadi, gue duluan." jelas Faizan sambil tersenyum simpul.
Yaaa, meskipun ia cuek dan acuh, tapi Faizan bukan orang yang sombong. Ia selalu tersenyum pada siapapun, Kecuali Naya. Yap, begitulah dirinya.
Rio, Gilang dan Lian kembali menatap Faizan bersamaan dengan wajah cengo mereka. Ketiganya dibuat kesal sekaligus geregetan dengan sikap sahabat mereka itu.
"eh, iya. Jangan lupa, ya Lang. Hari ini lo yang traktir." ucapnya sebelum berlalu pergi dengan alis yang dinaik turunkan.
"iya. Gue Tau." jawab Gilang kesal sedikit berteriak.
******
Naya menatap sendu ke arah brankar di depannya. Ia sangat iba melihat bocah kecil yang terbaring lemah di hadapannya kini.
Gadis kecil lucu nan lugu itu, tak ada tawa diwajahnya saat ini. Melainkan bibir pucat dan mata cekung yang memenuhi wajahnya. Naya kembali meneteskan bulir bening itu dari matanya.
Ceklek.. terdengar bunyi pintu dibuka. Seorang wanita paruh baya berhijab lebar memasuki ruang rawat tersebut dan berdiri di sebelah Naya.
"Bu..." sapa Naya sembari memaksakan tersenyum.
Bu Siti mengelus lengan Naya, menguatkan gadis itu. Naya sontak menghambur ke pelukan wanita paruh baya tersebut dan tak bisa lagi menahan tangisnya.
"sssttt,," bisik Bu Siti sembari mengusap lembut punggung Naya.
Bu Siti paham bagaimana perasaan Naya. Gadis itu sangat kasihan terhadap Alma, gadis kecil itu. Dia yatim piatu yang diasuh oleh Bu Siti dan partnernya di panti.
Sungguh malang nasibnya, masih kecil ia harus dirawat dengan berbagai alat medis karena mengalami kecelakaan.
Ya, beberapa jam yang lalu, Alma menjadi korban tabrak lari di persimpangan dekat panti. Saat dihampiri warga, ia sudah dalam keadaan penuh luka di tubuhnya. Kepalanya mengeluarkan banyak darah.
Setelah dibawa ke rumah sakit, dokter menyatakan ia masih belum bisa sadar untuk kurang lebih 2 minggu kedepan. Bisa dikatakan Alma menalami koma.
Hal itu yang membuat Naya sangat terpukul. Ia sangat menyayangi Alma seperti adiknya sendiri. Bahkan, Naya memperlakukan Alma seperti anaknya sendiri.
Alma baru berusia 5 tahun setengah, dan masih sangat kecil dan disayangkan mengalami hal seperti ini.
"Bu.. Naya khawatir sama Alma. Gimana kalo Alma gak bangun lagi?" Tanya Naya dengan sangat cemas.
"jangn ngomong gitu Nay. Sebaiknya kita doakan Alma agar cepat sembuh. Minta sama Allah yang terbaik. Kamu sayang kan sama Alma?" Bu Siti meyakinkan Naya.
"iya Bu. Naya sayang banget sama Alma." jawab Naya masih dengan tangisannya.
"ya udah. Jangan meratap. Allah gak suka." Nasehat Bu Siti yang diangguki Naya.
Naya tiba-tiba teringat sesuatu. Ia belum menghubungi keluarganya. Terutama Bunda.
"Naya telpon Bunda dulu, Bu." ucap Naya yang dijawab anggukan oleh Bu Siti.
******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!