"Saya terima nikah dan kawinnya Livia Gunawan Baskoro binti Gunawan Baskoro dengan mas kawin cincin emas sepuluh gram dibayar tunai!"
"Saaaah.. saaaah.."
Ucapan janji suci antara wanita dengan laki laki yang telah menjadi suami istri selama hampir lima bulan lamanya itu masih terdengar mendayu dayu ditelinga seorang Livia yang kali ini tengah berdiri di depan foto pernikahannya.
Bibirnya mengulas senyum penuh ironi. Matanya menerawang mengingat perjalanan hidup dan cintanya yang telah berada di titik ini. Perjalanan dalam mendapatkan cinta laki laki yang kini telah menjadi suaminya. Ya, sosok Anggara Wisnu Hutama yang sejak lama memenuhi hatinya, kini dirinya telah berhasil mendapatkan diri laki laki itu, namun tidak dengan hatinya. Livi masih tak bisa mendapatkan hati dan cinta suaminya.
"Kamu sudah siap?" tanya Angga yang sudah duduk diatas motor sport merah miliknya.
Livi tersenyum riang sambil mengangguk. "Siap donk!" Ia segera memakai helm lalu naik ke atas motor milik Angga.
"Pegangan!" Angga menarik kedua tangan Livi agar melingkari diperutnya.
"I-iya." Rona merah bersemu di tulang pipi Livi.
Motor yang membawa dua muda mudi berseragam putih abu abu itu pun segera melaju dikepadatan jalan raya.
"Kak! setelah kamu kuliah aku berangkat sama siapa?" tanya Livi saat motor berhenti di tengah jalan menunggu lampu merah berganti hijau.
"Sudah saatnya kamu nurut sama om Gunawan, berangkat pulang sekolah pakai mobil. Kamu setahun lho Liv bareng aku naik motor. Kepanasan kena debu kayak gini." Kata Angga lalu bersiap menarik gagang gas ditangannya saat melihat lampu sudah berganti kuning.
"Tapi aku suka naik motor bareng kamu kayak gini."
"Kamu suka naik motornya apa suka sama yang punya motor?"
Deg!!
Livi merenggangkan tangannya yang melingkar diperut Angga. Hatinya ragu ragu hendak manjawab pertanyaan Angga.
"A-aku suka sama kamu!!"
Bersamaan dengan itu sebuah motor rakitan dengan knalpot tidak standart yang mengeluarkan bunyi berisik lewat disamping motor Angga.
"Apa Liv? Kamu bilang apa?" tanya Angga.
"Kak Angga tidak mendengar ucapanku?"
Livi menghembuskan nafas lega saat kalimatnya tak didengar Angga. Keberanian yang datang tuba tiba itu seketika menciut saat selesai mengucapkan pernyataan sukanya. Sudah sejak lama ia memendam perasaan pada pemuda yang ia kenal sejak taman kanak kanak dulu, namun ia tak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Terlalu malu bagi dirinya untuk mengungkapkan isi hatinya.
"Aku tungguin nanti pulangnya." Ucap Angga setelah gadis berwajah bule itu turun dari motornya.
"Oke. Tunggu aku di tempat biasa." Jawab Livi sembari memberikan helm pada Angga.
Keduanya pun kembali meneruskan langkah masing masing. Angga yang tahun ini telah menyelesaikan masa SMA nya, kini mengunjungi sekolahnya hanya untuk melengkapi perihal acara wisuda yang akan digelar beberapa hari lagi. Sedang Livi hadir disekolah untuk melihat pembagian kelas dimana ia berada di tahun kedua di SMA itu.
"Astaga! Kenapa penuh sekali." Gumam Livi saat melihat para siswa lain berjubel di depan papan pengumuman.
Buughh!!!
"Maaf maaf tidak sengaja!" Ucap seorang siswi yang tanpa sengaja menyenggol lengannya, entah siapa Livia merasa tidak pernah melihah gadis itu meski telah setahun bersekolah di sana.
"Ck! Hati hati doonk!" Sentaknya dengan wajah sebal melirik sinis kearah siswi itu.
"Maafkan aku, aku tidak sengaja." Ucap siswi itu dengan wajah bersalah.
"Udah sana sana!" Seru Livi sambil mengibaskan tangannya.
Ya, itulah salah satu sifat dari seorang Livia. Gadis berparas cantik blasteran dengan garis keturunan milik sang ibu seorang warga negara asing dengan sang ayah seorang asli pribumi. Terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga yang memiliki kerajaan bisnis dimana mana, membuat ia tak segan untuk bersikap arogan pada semua yang menyinggung perasaannya atau berbuat tidak baik padanya.
Setahun bersekolah di SMA itu, tak membuat dirinya memiliki banyak teman. Pertemanan yang sering ia jalin dengan siswa siswi lain selalu tak bertahan lama. Ia akan memilih untuk bersikap acuh dan hanya bertegur sapa saat benar benar terpaksa. Karena banyak dari mereka berteman dengan Livi hanya untuk memanfaatkan, kepopuleran, kepintaran, kecantikan juga harta yang dimiliki gadis yang hampir mendekati kata sempurna dari berbagai sisi itu.
Dan selama setahun bersekolah Livi hanya berteman baik dengan Angga yang notabene adalah teman masa kecilnya. Mulai dari berangkat sekolah, jam istirahat hingga pulang sekolah pun ia selalu menempel pada Angga.
Hampir setiap hari dan selama setahun ini ia selalu sedekat ini dengan Angga. Sosok laki laki yang ia kenal sejak taman kanak kanak hingga di masa remajanya. Dan entah sejak kapan sosok Anga telah memenuhi hatinya hingga di detik ini, tak pernah berkurang dan malah terus bertambah.
Setelah membiarkan siswi yang tak sengaja menabraknya tadi, Livi melanjutkan langkahnya menuju papan pengumuman sambil mengotak atik ponsel ditangannya.
Bugghh!!
Karena tak melihat jalan didepannya, Livi menubruk tubuh seseorang didepannya yang sepertinya sedang melihat papan pengumuman juga.
"Astaga, kamu tidak apa apa?" Livi mencoba menegur gadis yang ia tabrak.
Saat gadis itu berbalik, Livi terkejut saat melihat seragam putih dan rok abu abu yang dikenakan gadis itu basah, kemeja seragam putihnya basah berwarna merah terkena tumpahan minuman yang berada di tangan gadis itu.
"Bajumu basah!" Ujar Livi penuh rasa bersalah.
"Aku tidak apa apa. Kamu baik baik saja?" Gadis itu tersenyum, tak ada wajah kesal atau marah yang ia tunjukkan. Padahal jelas jelas Livi yang menabraknya.
Livi terpaku ditempatnya. Mengamati wajah gadis yang tak pernah ia lihat sebelumnya disekolah ini. "A-aku tidak apa apa?" Jawab Livi.
"Kamu Livia kan?"
"Kamu kenal dengan ku?"
"Tidak!" Gadis itu tersenyum. "Tapi siapa yang tidak tahu seorang Livia Gunawan. Satu satunya siswa bule disekolah kita." Suara kekehan terdengar.
Livi hanya tersenyum kecut menanggapi ucapan gadis itu.
"Kamu mau lihat pembagian kelas juga? Kita satu kelas lho?"
"Benarkah?"
"Iya. Kenalin nama ku Alya!" Gadis bernama Alya itu mengulurkan tangannya.
"Livi." Balas Livi. "Tapi ini bagaimana? Aku yang salah, kamu tidak marah?" Livi mengamati baju Alya yang basah.
Alya terkekeh sambil mengusap ujung roknya. "Akan sangat lucu marah hanya untuk hal seperti ini. Toh, kamu juga tidak sengaja kan?"
Livi mengangguk.
"Baiklah, aku ke toilet dulu ya. Semoga harimu menyenangkan." Ujar Alya lalu berlalu meninggalkan Livia yang masih mematung ditempatnya.
Kejadian yang dialaminya barusan seolah menampar dirinya sendiri. Sikap arogan yang ia berikan pada seseorang yang tak sengaja menabrak dirinya sesaat lalu berbanding terbalik dengan apa yang ia terima saat juga tak sengaja menabrak orang lain. Ia berfikir, dirinya yang keterlaluan atau memang gadis bernama Alya itu memang gadis yang baik hati.
*******
Tepat pukul sebelas siang, sebagian siswa memilih untuk pulang karena memang masih belum ada jadwal mata pelajaran, mengingat masih dalam masa masa Class Meeting.
Begitu pun dengan Livia, gadis itu berjalan menuju parkiran sekolah. Livi melambaikan tangannya saat melihat Angga duduk di teras mushollah sekolah yang berdekatan dengan area parkir.
"Udah lama nunggunya?" tanya Livi. Gadis itu duduk bersebelahan dengan Angga.
"Aku baru selesai. Mau langsung pulang?" tanya Angga.
"Kita jalan jalan dulu yuuk kak, mumpung masih siang gini."
"Kemana?"
"Jalan dulu aja pokoknya."
Angga pun mengangguk, lalu berdiri diikuti Livi. Keduanya menuju motor Angga terparkir. Baru beberapa langkah, Livi menghentikan langkah lalu melambaikan tangannya pada seseorang yang sedang berdiri di bawah pohon beringin tak jauh dari area parkir.
"Alya!"
Panggilan dari Livi membuat Alya menoleh. Gadis berparas manis itu tersenyum sambil melambaikan tangan.
"Mau pulang?" Livi berucap tanpa suara hanya gerakan tangan untuk memperjelas ucapannya.
Alya seolah mengerti, gadis itu mengangguk lalu kembali melambaikan tangan. "Aku duluan." Ucapnya lalu berlari menghampiri sebuah motor yang sudah berhenti di depan gerbang sekolah.
"Kamu punya temen sekarang?"
Angga memecah lamunan Livi saat melihat kepergian Alya. "Ihh.. pertanyaan apa itu? Kakak kira gak ada yang mau temenan sama aku?"
Angga tertawa lalu mengacak puncak kepala Livi. "Banyak lah. Tapi kamu yang gak mau membaur dengan mereka."
"Mereka gak tulus, aku gak suka!"
"Terus tadi?"
"Alya?"
"Namanya Alya, sesuai dengan wajahnya." Angga manggut manggut sambil mengingat wajah Alya sekilas lalu.
"Kenapa?"
"Namanya manis seperti wajahnya."
DEG!!
Livi merasa hatinya mencelos keluar mendengar pujian Angga untuk Alya. Sudut hatinya tiba tiba terasa sakit.
"Kamu tahu Alya sebelumnya?" tanya Livi berusaha menenangkan gejolak hatinya.
"Baru tau ini, ternyata ada ya makhluk semanis itu disekolah kita. Aku selama ini kemana saja sampai tidak tahu. Apa mungkin dia anak baru?" tanya Angga, pemuda itu lalu memundurkan motornya dari barisan motor motor lain.
Livi tertegun ditempatnya mendengar ucapan Angga. Masih tak percaya dengan apa yang Angga katakan. Setelah sekian tahun bersama dengan Angga, Livi tahu betul pemuda yang menjadi tambatan hatinya itu sekalipun tak pernah setertarik ini dengan gadis diawal jumpa.
"Jadi jalan jalan gak?" Angga membuyarkan lamunan Livi.
"Eeh?"
"Ayo!" Angga memberikan helm.
"I-ya ayo." Livi pun segera memakai helm dan duduk di atas jok motor Angga.
"Pegangan!" Angga melingkarkan tangan Livi di perutnya. "Kenapa sih harus di ingetin dulu!" Omelnya.
Debaran jantung Livi saat berada sedekat ini dengan Angga membuat iramanya tak beraturan. Ia mengerjabkan matanya berulang, menarik nafas lalu menghembuskannya kasar. "A-ku lupa kak." Jawabnya.
Angga tak membalas ucapan Livi, dirinya hanya mengulas senyum di balik helm teropong yang ia pakai. Segera ia pun menarik gagang gas motornya dan bersiap memecah kepadatan jalanan.
****
Haaaiii semunya..
Ini karya ku yang kedua ya, semoga kalian suka. Meneruskan dari ceritaku yang pertama tapi kali ini bukan Alya dan Akbar yang dibahas melainkan Livia dan Angga.
Dukung Author dengan komen dan like di tiap part-nya ya.
Happy Reading🥰
Livi dan Angga sampai di depan rumah Livi saat langit sudah mulai menggelap. Senyum yang terus terurai dari bibir Livi seketika menghilang saat melihat mobil mewah yang terparkir di halaman rumahnya. Ia turun dari motor Angga dengan raut wajah berubah muram, tangannya sibuk melepas kait tali helm agar terlepas dengan matanya menatap ke arah dalam halaman rumahnya.
Angga memperhatikan Livi, matanya juga menatap kemana mata Livi melihat. "Orang tuamu sudah pulang?" tanya Angga yang mengenali siapa pemilik mobil mewah itu.
Livi menghela nafas lalu mengangguk, ia menundukkan pandangannya sambil mengerucutkan bibirnya. Wajahnya muram yang terbesit kesedihan.
"Sudah masuk sana! Kamu tidak rindu pada mereka?" tanya Angga lalu mengacak pelan pucuk kepala Livi.
"Aku lebih suka mereka pergi bekerja dan meninggalkan ku sendiri di rumah!" Balas Livi dengan ketus.
"Kamu anak satu satunya mereka. Jadi menurutlah!" Angga yang tahu bagaimana hubungan Livia dengan orang tuanya mencoba memberi nasihat.
"Jangan menasehati ku lagi. Aku bosan dan tidak suka!" Kata Livi sambil melirik malas ke arah Angga.
Laki laki itu mengurai senyum. "Sudah masuk sana! Telfon aku jika membutuhkan bantuan ku."
"Bantu aku kabur sekarang?" Cetus Livia yang seketika membuat Angga terkesiap ditempatnya sejenak, kemudian disusul tawa darinya.
"Kamu mau aku di penggal sama om Gunawan? Bawa lari anak gadis orang? Salah salah nanti aku dinikahin sama kamu bawa lari anaknya?" tutur Angga lalu kembali tertawa.
Livi sedikit mengurai senyum mendengar ucapan Angga yang hanya candaan belaka, namun dalam hatinya ia mengamini ucapan itu. Karena ia percaya jika ucapan adalah doa. Berharap kata kata itu akan terwujud suatu saat nanti.
"Apaan si kak? Udah sana kamu pulang! aku masuk dulu!" Usir Livi sambil menyerahkan helm ke tangan Angga.
"Yang nurut sama orang tua." Ucap Angga menasihati sambil memasang helmnya kembali. "Aku pulang ya?" pamitnya lalu segera menarik gas saat Livi telah mengganguk.
Dengan langkah berat Livi mulai memasuki rumahnya. Selalu ditinggal sendiri oleh kedua orang tuanya dengan alasan bisnis yang sudah dialami Livi sejak kecil, membuat gadis remaja itu terbiasa hanya hidup berteman dengan beberapa asisten rumah tangga yang menemaninya sejak kecil.
Beranjak remaja, dirinya tak lagi menuntut kasih sayang dari kedua orang tuanya. Malah semakin terbiasa dan nyaman tanpa kehadiran orang tuanya. Kasih sayang berlimpah yang diberikan para asisten rumah tangganya sudah cukup memenuhi kasih sayang yang hampir tidak pernah ia dapat dari kedua orang tuanya.
Memasuki ruang tamu rumahnya, seorang wanita paruh baya dengan uban yang mulai menghiasi rambut yang digelung itu segera menghampiri dengan wajah cemas.
"Kok baru pulang non?" tanya Bi Yani lalu segera melepas tas ransel di punggung Livi. Mengamati keseluruhan dari ujung kepala hingga ujung kaki Livi. Takut sesuatu terjadi pada majikan yang sudah seperti anaknya sendiri. "Nyonya dan Tuan sudah pulang non. Beliau nyariin non." Ujar Bi Yani.
"Tumben nyariin." Jawab Livi enteng lalu meneruskan langkahnya menuju kamarnya dan diikuti Bi Yani dibelakangnya.
Ia merebahkan diri di atas ranjang berwarna putih itu setelah sampai di kamarnya.
"Mau mandi dulu apa makan dulu non?" tanya Bi Yani sambil memijit kaki Livi.
Livi tak lantas menjawab, gadis itu mendudukkan diri, memeluk boneka Teddy bear besar dalam dekapannya. "Mereka kemana Bi? Kok gak kelihatan?" tanya Livi.
Belum sempat Bi Yani menjawab, pintu kamar pun terbuka dan terlihat Maya, ibu dari Livi memasuki kamar. Bi Yani segera undur diri saat majikannya itu mendekat ke arah Livi.
"Kenapa pulang semalam ini, Livi?" tanya Maya sambil berdiri bersedekap memperhatikan putrinya.
"Habis jalan jalan Mi." Jawab Livi singkat.
"Bagaimana sekolah kamu? Kamu hanya berhasil mendapat juara dua seangkatan kan? Seharusnya juara satu yang kamu dapat, lalu untuk apa selama ini Mami dan Papi bekerja keras supaya kamu mendapat pendidikan yang bagus dan balasan kamu hanya mendapatkan juara dua?" Maya begitu menggebu melontarkan kekecewaannya atas apa yang telah di capai oleh putrinya.
Sedang Livi, sudut hatinya terasa begitu sakit. Hampir satu bulan wanita yang ia sebut Mami itu, telah meninggalkan dirinya hanya demi urusan bisnis, dan sekalinya datang, bukan kabar dirinya yang wanita itu tanyakan, lagi lagi tuntutan prestasi yang harus Livi capai.
Livi menengadah menatap wajah ibunya penuh rasa iba. "Mi, untuk mendapatkan juara dua itu aku sudah berusaha keras untuk belajar . Kenapa Mami selalu merasa tidak puas atas apa yang sudah aku dapat?" tanyanya lirih penuh keseriusan dan kekecewaan.
Maya melirik sekilas ke arah Livi. "Karena masih ada orang lain yang lebih di atas kamu Livi! Kamu harus berada paling tinggi diantara sekitar kamu. Kamu lupa? Siapa yang akan mewarisi kerajaan bisnis Papi dan Mami kalau kamu tidak bersungguh sungguh dari sekarang?" Bentak Maya yang semakin tak bisa mengontrol emosinya. Wanita itu menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Mami tak bisa tinggal diam jika kamu terus seperti ini."
Livi semula menundukkan pandangannya kini dengan cepat menoleh kearah ibunya. Tatapannya penuh tanya.
"Papi memenangkan tender besar di luar negeri, dan akan memakan waktu cukup lama disana. Untuk itu juga demi masa depan kamu, Mami mau kamu ikut dengan Mami. Kamu pindah sekolah kesana." Ujar Maya.
"Aku gak mau Mi, aku tinggal disini saja!" Livia menghiba penuh permohonan.
"Livi! Mami tidak sedang bernegosiasi. Ini suatu keputusan!" Ucap Maya lalu segera beranjak keluar kamar meninggalkan anak gadisnya yang kini menangis.
Sepeninggal Maya, Gunawan yang adalah sang Ayah terlihat memasuki kamar.
"Papiii...!!" Livi segera merangsek kepelukan ayahnya. Menangis dalam dekapan ayahnya. Belaian lembut dari sang Ayah membuat hati Livi menjadi lebih tenang. Tak lama tangis gadis itu mereda.
"Papi sangat merindukan mu, sayang." Ucap Gunawan.
Livi segera menarik diri dari dekapan sang Ayah.
"Pi, aku mohon. Papi bujuk Mami biar aku gak pindah sekolah. Aku mau disini saja. Aku suka tinggal sama Bi Yani Pi. Please aku mohon." Livi mengatupkan kedua telapak tangannya di dadanya.
Gunawan tersenyum sambil membelai lembut rambut pirang putrinya. "Segala yang diputuskan Mami bukan tanpa alasan dan pertimbangan sayang. Semua demi kebaikan kamu." Gunawan yang memang lebih sabar dalam menghadapi putrinya berusaha selembut mungkin memberi nasihat.
Livi menepis kasar tangan sang Ayah yang hendak kembali menyentuh kepalanya. Kecewa bercampur amarah menggelayuti hatinya saat orang yang ia harapkan bisa menyelamatkan dirinya dari keegoisan ibunya kali ini tak berpihak padanya.
"Papi tidak mendukung ku?" tanya Livi lirih. Air mata yang sempat mereda kini mulai meyeruak kembali di pelupuk matanya.
"Livi, sayang bukan seperti itu naak..."
"Aku benci Papi, aku benci Mami! Aku benci kalian semua!" Livi berteriak sebelum gadis itu berlari keluar dari kamarnya.
"Livi, sayang dengarkan Papi dulu!" Gunawan turut berlari mencoba menghentikan Livia, namun ia segera menghentikan langkah saat melihat putrinya berlari menuju rumah Angga yang berjarak dua rumah dari tempat tinggalnya.
"Papi! Kejar donk Livi nya!" Seru Maya dari dalam rumah.
Gunawan berjalan pelan kembali menuju dalam rumah. Ia merangkul pundak sang istri, lalu menuntunnya masuk kedalam rumah. "Sudah biarkan saja. Kita memang yang keterlaluan." Ucap Gunawan.
"Setiap ada masalah kenapa larinya selalu ke rumah Angga! Huh!" Maya mendengus kesal. Sejak dulu memang dirinya tidak begitu menyukai Angga beserta keluarganya yang memang jauh dibawahnya jika dilihat dari segi materi. Keluarga Angga bukan keluarga tak punya, Kedua orang tuanya yang seorang pengacara dan memiliki bisnis transportasi cukup dikatakan sebagai orang kaya, tapi memang jika dibandingkan dengan keluarga Livia, keluarga Angga masih jauh dibawahnya.
"Sudah biarkan saja. Nanti pasti Angga akan mengantarkan nya pulang." Balas Gunawan lalu kembali merangkul istrinya memasuki rumah.
💮💮💮
Di dalam kamar bernuansa putih yang begitu rapi dan bersih itu, terlihat Livi dan Angga sedang duduk di sofa. Tak ada tempatnya berlari mengadu segala keluh kesahnya selain pada Angga.
"Sudah jangan menangis!" Angga menghapus buliran air mata yang jatuh di pipi Livi.
"Aku benci mereka! Kenapa mereka harus pulang. Aku lebih senang mereka tidak pulang!" Livi masih menggebu menumpahkan amarah disela sela tangisnya.
"Jangan berbicara seperti itu! Sudah waktunya kamu nurut sama orang tua mu Liv." Ucap Angga, tangannya memegang dan menegakkan kedua bahu Livi hingga gadis itu menatap tepat di bola mata Angga. "Jangan mengeluarkan kata benci atau kasar untuk orang tuamu. Mereka segalanya untuk kamu Liv, yaaa hanya saja cara mereka sedikit lebih keras dalam mendidik kamu." Tutur Angga lalu mengurai senyum di bibirnya.
Selalu saja seperti ini, disaat orang lain akan mencoba menasehatinya, bukan emosinya yang semakin mereda, tapi dirinya akan malah semakin marah. Namun berbeda jika Angga yang berbicara, kata kata dari Angga selalu mampu meredakan kesedihannya, kemarahannya. Disaat hatinya terluka dan bersedih, apa yang diucapkan Angga seolah menjadi obat penyembuh untuk hatinya. Perlahan Livi mengangguk, ia mengusap air matanya sendiri.
"Sudah jangan menangis! Aku nyanyikan satu lagu biar kamu gak sedih." Angga berdiri dari duduknya lalu mengambil gitar kesayangannya. Lalu duduk kembali di tempat semula. "Aku nyanyikan sebuah lagu yang menggambarkan kondisi kamu saat ini." Ucapnya mengulas senyum lalu jemarinya mulai memetik senar gitar hingga alunan musik tercipta.
Livi hanya mengamati dengan menopang dagu dengan kedua tangannya bertumpu bantal yang ia peluk.
"Harta yang paling berharga adalah keluarga."
Livi mengernyit kening menunjukkan ketidaksukaan atas apa yang ia dengar. "Stop!! Kok lagu itu siiih?" Protesnya.
"Kenapa? Bener kan lagunya menasehati kamu kalau keluarga itu paling berharga Liv." Ucap Angga sambil mencubit pipi Livi.
"Enggak mau! Jangan lagu itu. Lagu kesukaan aku aja!" Cetus Livi.
"Suka banget kaya gak ada lagu lain aja. Dari dulu sukanya lagu itu mulu." Gerutu Angga namun jemarinya mulai memetik senar gitar.
..."*I Will always love you, kekasihku....
Dalam hidupku hanya dirimu satu*."
Livi mengembangkan senyum saat terdengar suara Angga begitu mendayu dayu di telinganya kala menyanyikan lagu favoritnya itu. Mungkin bagi Angga, setiap kata yang dinyanyikan tak memiliki makna apa apa. Hanya sebuah lagu.
Namun bagi seorang Livia, semua kata yang ada dalam lagu itu bermakna dan penuh pengharapan. Harapan suatu saat Angga akan menyanyikan syair lagu itu untuknya sebagai bentuk perwakilan atas perasaanya pada Livi.
"*Ku mau menjadi yang terakhir untuk ku,
Ku mau menjadi mimpi indah mu,
Cintai aku dengan hatimu, sayangi aku dengan kasihmu,
I Will be the last for you, You Will be the last for me..."
💮💮💮💮💮
Happy Reading 😘🥰
Jangan lupa tekan Like nya yaaa*...
Pagi yang cerah dengan gerumbulan awan putih kali ini, mengantarkan Livi berangkat ke sekolah. Mobil mewah yang ia tumpangi berhasil memecah padatnya jalanan kota dan telah berhenti tepat di pintu gerbang sekolah. Ia menghela nafas sejenak sebelum turun dari dalam mobil.
Disaat orang tuanya ada di rumah, disaat itulah ia tak bisa berangkat dengan Angga mengendarai motor. Dan hal itu membuat nya tak bersemangat.
Livi pun segera turun dari dalam mobil. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Dan dari sekian banyaknya siswa yang berlalu lalang, ia menemukan sosok Alya. Gadis manis itu turun dari sepeda motor lalu memberikan helm pada pengemudinya. Jika dilihat sepertinya itu adalah orang tua Alya, Alya mencium punggung tangan laki laki berkemeja batik itu lalu melambaikan tangan.
"Alya!"
Alya menoleh ke arah sumber suara, senyumnya mengembang saat melihat Livi melambaikan tangan padanya.
"Hai..Liv?" Sapa Alya. Senyum manis terurai dari bibirnya.
Entah kenapa baru pertama kali ini, Livi begitu tertarik dan nyaman dengan seorang teman saat mengenal Alya. Ada sesuatu yang dimiliki Alya yang membuat nya tertarik hingga ingin mengenalnya lebih jauh.
"Kamu diantar siapa tadi?" tanya Livi.
"Tadi, bapak ku. Tiap hari aku berangkat bareng." Balas Alya sambil menoleh sekilas pada Livi.
"Berangkat bareng?" tanya Livi memastikan.
Alya segera mengangguk. "Iya, bapakku kepala sekolah dasar. Kebetulan sekolahnya searah dengan ku." Jelas Alya.
Livi hanya ber Oh tanpa suara sambil manggut manggut. Tak ada lagi obrolan, dua remaja itu melanjutkan langkah menuju kelas baru mereka.
"Kita satu kelas kan? Mau duduk bareng denganku?" tanya Livi lalu menghentikan langkah menunggu jawaban Alya.
"Boleh." Sahut Alya dengan riang.
Keduanya mengembangkan senyum kemudian melangkahkan kaki menuju kelas bersama.
******
Matahari mulai merangkak naik bersamaan dengan bel pulang sekolah berbunyi. Terlihat beberapa siswa berlarian keluar kelas sambil bercanda tawa dengan suka cita mengakhiri jam belajarnya. Beberapa siswa juga tampak menuju ke gedung olahraga, ke lapangan sepak bola, ke gedung kesenian untuk mengikuti ekskul.
Termasuk Livi dan Alya. Dua gadis remaja itu melangkahkan kaki menuju gedung olahraga sambil bersenda gurau. Sesekali terdengar suara tawa dari keduanya.Tak disangka, Livi yang selama ini tak nyaman dengan teman yang ada disekitarnya, nyatanya kini begitu akrab dengan Alya.
"Kamu kenapa memilih karate Al?" tanya Livi. Kedua gadis itu kini duduk bergabung dengan para siswa yang lain yang juga bersiap mengikut ekskul yang sama.
"Aku pingin bisa bela diri biar bisa jaga diri saja Liv." Jawab Alya. "Kalau kamu sendiri kenapa?" Alya berbalik bertanya.
Sekejab Livi menerawang kala teringat wajah Angga. Senyum terulas dibibir nya "Karena aku menyukai seseorang yang juga menyukai karate." Ucapnya dengan pipi bersemu merah.
"Benarkah?" Alya tampak antusias. "Orang yang kamu suka ada disini? Siapa? Yang mana orangnya?" Alya mengguncang guncang lengan Livi dan membuat gadis bule itu menundukkan kepalanya saat beberapa siswa menatap ke arahnya. Terusik dengan suara berisik dari Alya.
"Sstttt!" Livi menempelkan jari telunjuknya dibibir. "Jangan kenceng kenceng Al, malu aku?" Bisik Livi.
"Uppsss sorry sorry Liv." Alya menutup mulutnya sendiri.
Livi tersenyum melihat Alya. "Bukan siswa sini kok Al." Akunya pada Alya.
"Eeh aku kirain siswa sini juga. Seru tau kalau lihat temen pacaran satu sekolah." Ucap Alya.
"Kamu sendiri udah punya pacar apa belum?" tanya Livi, dan gadis berparas manis itu segera menggeleng. "Enggak berani pacaran." Ucap Alya dengan polos dan seketika membuat Livi tertawa.
"Belum pernah sama sekali?" tanya Livi memastikan.
Alya menggeleng cepat.
"Astaga polos banget siih. Kita udah kelas dua SMA lhoo Al. Jadi gak apa apa pacaran buat semangat belajar." Ujar Livi sambil menepuk nepuk bahu Alya, seolah dirinya telah berpengalaman dalam hal cinta. Padahal kenyataannya sejak dulu dirinya terlalu pengecut untuk mengungkapkan rasa cintanya yang hanya pada satu pemuda. Siapa lagi jika bukan Angga.
"Eeh ada kabar baru nih!" Seru salah satu siswa yang tiba tiba datang. Pria berambut kribo itu menetralkan napasnya sebelum melanjutkan ucapannya kembali.
"Pembina karate kita ditambah satu orang guys! Orangnya genteng kayak guee!" Ucap pemuda yang memiliki nama Seno itu.
"Huuuuuuu...!!!!!"
Suara teriakan dari para siswa menggema menyorakkan protes atas apa yang disampaikan Seno yang menyebut dirinya ganteng.
"Eeh Lo nyebut diri Lo ganteng. Fitnah tuh!" Seru salah satu siswa yang ikut mengejek Seno yang membuat pemuda yang memang rada gesrek itu hanya nyengir bagai kuda.
Kedatangan tiga orang berseragam putih dengan sabuk warna hitam melingkar di perut itu segera menghentikan suara canda tawa dari para siswa. Tak lain adalah kakak pembina karate. Semua mata tertuju pada salah satu pembina karate itu.
"Kak Angga?" Seru Nadin, salah satu siswa putri. Senyum mengembang di wajahnya yang terlihat begitu terkejut kala melihat kakak kelas yang begitu ia idolakan selama tahun pertamanya di SMA itu.
Deheman dari Haris, pembina senior disana segera menundukkan kepala Nadin.
"Baiklah kita akan mulai untuk materi hari ini, namun sebelumnya saya membawa pembina baru untuk lebih baik dalam mengajarkan Ilmu bela diri pada kalian semua." Haris melirik pemuda disebelahnya. "Kalian juga mungkin sudah tau siapa disebelah saya. Tapi lebih baik kamu memperkenalkan diri lagi."
Pemuda itu maju satu langkah di depan Haris. Ia mengangguk kan kepala sambil mengulas senyum. " Perkenalkan nama ku Anggara Wisnu Hutama. Panggil saja dengan nama Angga, kalian juga pasti sudah mengenal ku sebelumnya." Ucapnya sambil mengawasi satu persatu siswa yang akan menjadi anak didiknya.
Senyum kembali terulas dibibir Angga saat pandangannya menemukan sosok gadis berwajah manis dengan mata yang begitu indah.
Alya,
Matanya terpaku pada Alya, hingga tak menyadari sepasang mata lain di samping Alya sejak tadi tak berpaling dari dirinya.
"Liv, bukannya itu kakak kelas kita yang sering bareng kamu?" tanya Alya dengan polosnya pada Livi.
Livi mengangguk mengiyakan pertanyaan Alya.
"Eeh dia lihatin kamu terus tuh!" Bisik Alya. Gadis itu sama sekali tak menyadari arti tatapan Angga padanya. Malah ia artikan jika laki laki itu tengah memandang teman disebelahnya, Livi.
Livi tersenyum, tersipu sipu sambil menoleh pada Alya. Memutus pandangannya pada Angga. Hatinya bergemuruh, bersorak riang saat melihat pertama kalinya Angga menatap nya dengan penuh arti seperti itu. Jantungnya tak lagi berirama dengan teratur, luapan rasa bahagia itu benar benar membuat dirinya bahagia.
Suara tepukan tangan dari Haris segera menyudahi sesi perkenalan Angga. Dilanjutkan dengan materi karate yang segera diajarkan. Angga yang memang tertarik pada Alya, tiba tiba memanggil Alya beserta peserta lain yang memang masih ditingkat paling dasar. Angga mengajarkan gerakan gerakan yang paling dasar pada Alya dan lainnya. Sesekali pemuda itu mencuri pandang menatap Alya.
Berbeda dengan Livi, gadis itu juga tengah berlatih dengan Haris, memiliki tingkat yang lebih tinggi membuatnya harus mendapat pembinaan dari Haris. Padahal ia berharap Angga lah yang akan mengajarinya. Sesekali Livi juga nampak mencuri pandang pada Angga yang terlihat begitu telaten dalam mengajari Alya.
💮💮💮
"Kenapa tidak memberitahu ku kalau kamu jadi pembina karate di sekolah kita?" Tanya Livi pada Angga.
Keduanya sedang berjalan di koridor sekolah menuju arah parkir ketika selesai menjalani ekskul. "Sengaja. Biar kamu kaget." Ucap Angga sambil mengurai senyum.
"Berhasil sih." Tambah Livi. Hatinya masih berbunga bunga mendapat kejutan datangnya Angga.
"Gerakan kamu boleh juga tadi. Makin gesit." Puji Angga sambil mengacak pucuk kepala Livi.
"Jago kan aku? Makanya jangan macem macem!" Livi tersenyum menyombongkan diri.
"Ampun..ampun." Kata Angga disusul dengan gelak tawa dari keduanya.
Keduanya terus melangkah hingga berhenti ketika melihat mobil mewah dengan supir yang sudah berdiri di samping mobil dengan senyum ramah ketika melihat Angga dan Livi.
"Kamu hati hati pulangnya." Ucap Angga setelah melepaskan senyum sapa pada supir yang ia kenali sebagai supir yang paling setia dengan seorang Livia yang sering berbuat semaunya pada seluruh pegawai dirumahnya.
"Aku mau bonceng kamu kak." Ucap Livi dengan memanyunkan bibirnya.
"Sudah sana masuk! Jangan melawan Om Gunawan. Kasihan Pak Cipto kamu kerjain terus." Omel Angga.
Gadis itu masih memanyunkan bibirnya seraya menatap tak suka pada supir yang memiliki nama Cipto itu.
"Al..!!" Seru Livi saat disela pandangannya menemukan Alya.
Alya berlari kecil mendekat kearah Livi dan Angga. "Kamu udah mau balik Liv?" tanya Alya.
"Ayo bareng aku!" Pinta Livi seraya menggandeng lengan Alya menariknya untuk segera masuk kedalam mobilnya.
"Makasih Liv, tapi rumah kita gak searah. Aku naik angkot saja." Tolak Alya.
"Enggak apa apa aku anterin." Sifat Livi yang suka memaksa mulai muncul.
"Enggak usah Liv, kamu hati hati ya pulangnya. Aku bareng temen temen yang lain dulu. Daaagh." Ucap Alya sambil melambaikan tangan.
"Alya, kamu bisa bareng aku." Angga yang sejak tadi tak berkedip melihat Alya mulai berucap saat gadis berparas manis itu hendak melangkah pergi.
Alya melempar pandang pada Angga juga Livi. "Makasih kak, aku naik angkot saja." Tolak Alya dengan tersenyum.
"Rumah kamu kan gak searah sama Alya kak!" Sanggah Livi. Entah kenapa hatinya selalu terasa nyeri saat Angga berusaha mencari perhatian Alya.
"Kebetulan aku mau ke toko komik searah rumah Alya. Bareng aku saja Al." Ucap Angga memberi alasan yang sebenarnya ia memang sengaja ingin mengantar Alya pulang. Sejak pertemuan pertamanya yang tak sengaja diparkiran beberapa hari lalu. Angga begitu tertarik pada sosok Alya. Dan dari situ, mulailah ia mencari tahu tentang Alya. Dan menjadi pembina karate di sekolahnya kali ini juga Alya lah yang menjadi alasannya.
"Liv, kamu hati hati ya pulangnya." Kata Angga menyudahi lamunan Livi. Gadis itu sesaat tertegun mendengar ajakan Angga pada Alya.
Livi mengerjabkan mata, kemudian memandang kearah Alya. "Kamu bareng kak Angga saja Al. Lebih aman." Ucapnya pelan seakan tak rela.
Alya terlihat kikuk dan tak enak hati. Merasa sungkan dengan kakak kelas yang baru saja ia kenal. Bukan tidak tahu mengenai Angga. Sejak tahun pertama nya di SMA ini, Alya sudah tau sosok Angga yang menjadi super star sekolah. Wajah tampan, kepintaran yang tidak diragukan, ramah pada semua orang, juga kaya. Tapi sekali pun ia tak pernah mengenal Angga. Beberapa jam lalu itu lah yang menjadi perkenalan pertamanya dan Alya terlihat begitu nyaman dengan sikap perhatian Angga padanya.
"B-baiklah." Ucap Alya.
Mobil yang ditumpangi Livi pun segera melaju saat motor yang ditumpangi Angga dan Alya melaju mendahului mobilnya. Livi mengamati Alya dan Angga yang sepertinya sedang mengobrol. Sesekali Alya terlihat tertawa. Entah apa yang mereka obrolkan, dan hal itu membuat Livi terdiam. Menelaah hatinya sendiri.
"*Kenapa hatiku sesakit ini?"
💮💮💮
Happy Reading🤩
Jangan Lupa kasih Like dan komen ya*....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!