"Dasar pria tak berguna, bangun kau!" Seorang wanita paruh baya masuk ke kamar Samuel dan menyiramnya dengan segelas air, membuat Samuel terkejut hingga terbangun mendadak.
"Ma, ada apa?" tanya Samuel masih setengah mengantuk.
"Kau tanya ada apa? Sudah jam berapa sekarang? Dan kau masih malas-malasan di kasur. Mimpi apa aku semalam mendapat menantu sampah sepertimu?" Sang mertua melotot tajam pada Samuel, begitu geram karena anaknya malah menikah dengan pria miskin yang tak sesuai dengan harapannya.
"Kau lihat Yuna, dia bangun sepagi mungkin untuk berangkat bekerja demi bisa menghidupi keluarga, yang seharusnya mengemban tanggung jawab ini adalah kau, lalu apa yang kau lakukan sekarang, hm? Tidak ada, kau pria malas yang tak bisa diandalkan, aku penasaran apa yang kau gunakan untuk memelet anakku, kenapa bisa dia mau menikah denganmu?" lanjutnya sambil berkacak pinggang.
"Ma, aku sedang tidak enak badan, izinkan aku istirahat sebentar, boleh? Aku akan kembali bekerja setelah merasa sehat," ucap Samuel dengan nada rendah dan lemah.
"Istirahat? Kau bilang mau istirahat? Aku tidak salah dengar? Aku tidak peduli kau mau sakit atau apalah itu, kau harus melakukan pekerjaan rumah, di dunia ini tidak ada yang gratis, jika kau ingin menumpang makan, ya kau juga harus kerja, jika kau tidak bekerja, maka jatah makan hari ini jangan harap bisa kau dapatkan."
Sebut saja Bu Rosi, beliau adalah mertua yang galak dalam pandangan Samuel, yang membuatnya bertahan tinggal di rumah itu hanya karena Yuna, istrinya. Mereka saling mencintai sejak kuliah, cintanya pada Yuna, membuatnya meninggalkan segala-galanya, termasuk sebuah klan mafia yang ia dirikan beberapa tahun terakhir.
"Ada apa, sih, ribut-ribut? Masih pagi, lho. Tidak baik jika didengar oleh tetangga." Pak Fandi yang tanpa sengaja melintasi kamar Samuel, langsung menegur mereka.
"Maaf, Pa. Ini salah Sam. Ma, Mama jangan-marah lagi, Samuel akan bekerja sekarang." Samuel pun bersusah payah bangkit dari tempat tidur, dengan langkah yang terhuyung-huyung berjalan keluar.
"Kau kenapa, Sam? Wajahmu tampak lelah, kau sakit?" Sembari menepuk pundak Samuel.
"Suhu tubuhmu panas, kau sungguh sakit? Ma, kamu ini bagaimana sih, anak sedang sakit kok disuruh kerja? Biarkan saja dia istirahat," tegur Pak Fandi pada istrinya.
"Anak? Cih, aku tidak sudi menganggapnya sebagai anak, dia itu cuma seorang sampah yang bisanya menyusahkan, pria seperti dia itu jangan terlalu dimanjakan, ngelunjak nantinya," protes Bu Rosi.
"Sudahlah, Pa. Aku tidak apa-apa, hanya demam ringan, setelah minum obat pasti akan baik-baik saja," sahut Samuel dengan tersenyum ringan.
"Yuna tahu kamu sedang sakit?" Pak Fandi kembali bertanya. Dan Samuel menggeleng pelan.
"Sebaiknya dia jangan sampai tahu, nanti dia tidak fokus bekerja. Aku ke belakang dulu ya, Pa." Samuel pun melangkah pergi meninggalkan kedua mertuanya di sana.
Sebelum memulai pekerjaan, Samuel mencuci wajahnya dengan air agar terasa lebih fresh. Selama dua tahun ini, dia selalu menutup telinganya mengabaikan cibiran dan makian dari ibu mertuanya, tak jarang ia merasa kesal dengan ibu mertuanya itu, tapi karena Yuna dan ayah mertuanya tidak pernah mempermasalahkan kemiskinannya, ia pun juga tidak ingin terlalu mengambil pusing mengenai Bu Rosi.
Saat Samuel sedang menjemur pakaian, tiba-tiba sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah, sang pemilik mobil lalu mendekati pagar dan tersenyum pada Samuel.
"Sstt, Bos," panggilnya dengan sedikit berbisik.
Samuel menoleh dan mengeryitkan alisnya. Lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, takut ada yang melihat kedatangan pria itu.
"Mau apa kau ke sini, hah? Sudah berapa kali kukatakan, jangan pernah datang ke sini apalagi memanggilku dengan sebutan seperti itu, kau ingin kuhajar, hm?" Samuel menatap tajam pada pria yang bernama Roy tersebut.
"Haih, kalau tidak mau, cepatlah ke mari, aku ingin bicara," ujar Roy.
Roy merupakan anak buahnya di dalam klan, saat ini juga sedang mewakilkannya menjadi ketua klan sekaligus pemimpin, mereka memiliki seribu tentara mafia yang dikenal sebagai klan pembantai berdarah biru yang paling ditakuti di seluruh kota.
"Pergi sana, aku tidak akan bicara padamu, jangan membuatku bicara untuk yang kedua kalinya," desak Samuel dengan tersulut.
"Bos, jika Anda tidak mau, aku akan teriak sekarang dan membongkar identitasmu," ancam Roy.
"Kau berani, hm?"
"Tentu saja, biar mereka tahu bahwa pria yang mereka suruh menjemur pakaian ini sebenarnya adalah ketua klan mafia yang sangat lentur dalam membantai, tidakkah mereka akan takut setelahnya?" Roy pun semakin menantang.
"Bedebah satu ini, lihat bagaimana aku memberimu pelajaran nanti." Samuel pun meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri Roy, sambil terus mengawasi di sekelilingnya.
Samuel masuk ke dalam mobil. "Ada apa?" tanya Samuel langsung.
"Aku tidak menyangka seorang pembantai bengis seperti Anda sekarang malah menjadi asisten rumah tangga di rumah istri Anda sendiri." Roy terkekeh.
"Aku tidak tertarik mendengarkan ocehanmu, katakan apa maumu sekarang!" sungutnya.
"Baiklah, Anda ini semakin galak saja setelah beristri." Roy menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya. kepulan asap seketika memenuhi seisi ruangan mobil.
"Bos, Klan Naga Merah sedang membutuhkanmu sekarang," ucap Roy dengan air muka yang serius.
"Sudah kukatakan aku tidak akan kembali ke klan, sampai kapan kau akan mengerti dengan kalimatku ini? Aku tidak akan kembali, titik." Untuk yang ke sekian kalinya Roy selalu datang hanya untuk memintanya kembali ke klan.
"Tapi ini sangat genting, Bos. Klan Banteng Hitam sedang gila-gilanya ingin merebut kekuasaan kita, mereka bahkan merencanakan penyerbuan ke markas utama kita, tanpa kehadiran Anda di dalam klan, kami ini bukan apa-apa, sangat mudah bagi mereka jika ingin melenyapkan klan yang sudah Anda dirikan dengan susah payah, Anda benar-benar ingin melihat tentara setia Anda terkapar mati di tangan musuh? Berita kepergian Anda dari klan, telah tersebar ke klan lain, mereka sangat senang dan mencoba untuk menguasai tentara kita, bahkan yang lebih parahnya, mereka berniat bersekutu dengan klan lain untuk menghancurkan kita, aku benar-benar kehabisan akal, aku tidak bisa memecahkan masalah ini sendiri, kami butuh Anda, Bos. Kembalilah, setidaknya membuat mereka tahu bahwa Anda tidak pernah meninggalkan klan, agar kami semua bisa selamat dari incaran mereka, please." Roy tampak benar-benar tertekan dengan masalah itu membuat Samuel juga mengepalkan tangan begitu kesal.
"Banteng hitam, mereka benar-benar tidak bisa dipercaya, sebelum melihat tentara mereka habis, sepertinya tidak akan pernah menyerah untuk memberontak. Bagaimana dua tahun ini kau menjalankan tugasmu? Bagaimana bisa semua perkumpulan klan jadi tahu mengenai kepergianku? Sudah kukatakan, selama kau masih belum memiliki kekuatan yang mampu menyaingiku, jangan sampai mereka tahu tentang masalah ini, sekarang sudah terlambat, mau kalian melawan pun, belum pasti bisa mengalahkan mereka yang bersekutu dengan semua klan," bentak Samuel semakin geram.
"Maafkan aku, Bos. Aku sudah berusaha keras menutupinya sambil berlatih, tetapi aku tidak menyangka berita ini malah lolos keluar dan diketahui oleh mereka." Roy mengusap wajahnya menyesal.
"Sekarang tugasmu adalah menangkap penghianat di dalam klan, jika kau tidak berhasil, jangan berharap aku akan kembali."
"Apa? P-penghianat? Memangnya ada?" Roy terbelalak kaget.
Samuel seketika memukul bahu Roy dengan keras. "Bodoh, hal kecil seperti ini saja kau masih harus disuapi. Jangan katakan padaku bahwa kau juga tidak tahu bagaimana cara menangkapnya."
"M-maaf, Bos. Anda dan aku memang sangat berbeda, kecerdasan Anda tidak perlu diragukan lagi, aku akan berusaha sebisa mungkin." Roy tertunduk takut.
"Batasmu hanya sampai malam ini, jika kau tidak berhasil, jangan harap aku akan membantumu lagi ke depannya." Samuel pun keluar dari mobil meninggalkan Roy, tapi saat ia keluar, ternyata ibu mertuanya sedang menunggu di gerbang rumah, membuat Samuel panik seketika. Apa yang harus dia katakan? Tidak mungkin bilang bahwa mobil itu milik anak buahnya, ibu mertuanya itu tentu saja tidak akan percaya.
"Eh, Ma. Mama sedang apa?" tanya Samuel sedikit canggung.
"Seharusnya aku yang bertanya, kau sedang apa? Mobil siapa itu? Kenapa kau keluar dari sana?" Bu Rosi mengerutkan alisnya menatap Samuel penuh dengan tanda tanya.
"Eh, anu. Mobil orang itu mogok di depan rumah, jadi barusan aku bermaksud membantunya." Untung saja dalam keadaan genting itu, Samuel dapat terpikirkan sebuah ide agar ibu mertuanya percaya.
"Begitukah? Awas saja jika kau berbohong." Bu Rosi melangkah maju menghampiri mobil tersebut, ia mengetuk jendela mobil beberapa kali.
"Iya, ada apa, Bu?" tanya Roy sambil memasang raut wajah polos.
"Benar apa yang dikatakan oleh pria itu? Mobil Anda sedang mogok?" Bu Rosi bertanya demi untuk memastikan bahwa Samuel tidak berbohong.
"Eh, iya, Bu. Benar, tadi mobil saya mogok, untung saja ada kakak itu yang membantu saya membetulkannya." Roy pun menatap pantulan tubuh Samuel melalui kaca spion, sambil tersenyum sedikit licik.
"Mobil mewah begini, memangnya masih bisa mogok juga?" Sambil mengelus body mobil dengan lembut. Jarang-jarang ia bisa menyentuh mobil semewah itu.
"Ya tentunya bisa, Bu. Mobil ini kan juga dibuat oleh manusia, tentu saja ada kekurangannya," jawab Roy lagi.
'Dasar bedebah satu ini, bukannya pergi malah diam meladeni ibu mertua, lihat saja bagaimana aku memberimu pelajaran,' batin Samuel merasa geram pada tingkah Roy.
"Ngomong-ngomong, harga mobil ini berapa?" bisik Bu Rosi penasaran.
"Memangnya kenapa, Bu?" Roy ikut berbisik.
"Ah, tidak. Saya hanya berharap bisa memilikinya juga." Bu Rosi pun tersenyum malu.
"Tidak mahal kok, Bu. Hanya Delapan Milliar saja." Roy pun tersenyum menatap kaca spion di mana terdapat pantulan wajah Samuel yang sedang kesal padanya.
Bu Rosi menelan salivanya dengan berat. 'Delapan milliar dibilang tidak mahal? Seberapa kaya orang ini sebenarnya?'
'Jika saja menantu Anda bersedia menggunakan hartanya, maka jangankan mobil ini, bahkan lima mobil saja ia sanggup memberikannya sekaligus,' batin Roy.
"Eem ... ngomong-ngomong, bukankah dia sudah membantu Anda membetulkan mobil, tidakkah Anda ingin memberikan sedikit royalti padanya? Hitung-hitung sebagai balas budi, di dunia ini kan tidak ada yang gratis," bujuk Bu Rosi licik.
Roy tertawa keras, dengan sengaja agar Samuel mendengarnya. "Iya juga, saya sampai lupa." Roy membuka dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratusan dan ia berikan pada Bu Rosi. "Ini ada imbalan, tolong berikan pada kakak itu." Roy pun tersenyum usil menatap Samuel.
'Anak sialan, dia ingin meledekku dengan uang itu, benar-benar harus diberi pelajaran.' Samuel tak tahan lagi, ia mengeluarkan ponsel lipatnya dan mengirim pesan untuk Roy.
(Pergi sekarang atau batas waktumu kupercepat hingga siang nanti)
Melihat pesan teks itu, wajah Roy berubah pucat, segera ia menyalakan mesin mobilnya dan berkata, "Bu, saya buru-buru, pergi dulu ya. Bye." Roy pun melarikan diri ketakutan.
Setelah kepergian Roy, Bu Rosi tampak begitu senang. "Haih, andai saja pria itu menantuku, pasti aku akan sangat senang dan bangga, aku juga bisa memamerkannya pada teman-teman lain," ucapnya sembari menatap beberapa uang pemberian Roy, lalu melewati Samuel dengan lirikan acuh tak acuh.
Samuel menghela napas kasar. Sudahlah, jika terus mengambil hati ucapan ibu mertuanya itu, bisa-bisa rambutnya rontok dan botak dalam sekejap.
Setelah menjemur pakaian, Samuel berniat untuk istirahat karena kepalanya masih sedikit pusing, tembok dapur itu menjadi sandaran kuat untuk punggungnya yang memiliki begitu banyak beban.
Dalam keheningan, mata Samuel yang tadinya tertutup, kini tiba-tiba terbuka ketika ponselnya bergetar, segera ia mengeluarkan ponsel jadulnya dari saku celana. Melihat nama yang tertera di sana, seketika mata Samuel membulat, sudah lama sekali asisten ayahnya itu tidak pernah menghubunginya. "Halo, Paman? Ada apa?" tanya Samuel langsung.
"Tuan Muda, ada berita bagus, sungguh sangat bagus. Mengenai pertambangan Anda, tim peneliti akhirnya menemukan terobosan baru dan pertama kalinya, penemuan baru ini mencakup sebuah unsur kegunaan yang mampu menghemat biaya tenaga listrik hingga bisa membuat masyarakat merasakan penghematan dalam tagihan listrik, setelah diuji beberapa kali, akhirnya saya dan tim sepakat untuk menambangnya beberapa puluh ton dan melakukan jual beli yang lagi-lagi menjadi sebuah terobosan harga yang begitu langka sepanjang sejarah. Setengah dari hasil penjualan tersebut baru saja saya transfer ke Anda, sementara setengahnya lagi, kami menggunakannya untuk modal baru, apa Anda keberatan, Tuan Muda?"
Mendengar berita itu, Samuel masih terdiam mengumpulkan napasnya, bagaimana ia tidak syok? Selama beberapa tahun pertambangan yang ia beli tidak pernah mengalami kemajuan dan bangkrut, kini akhirnya bisa menemukan titik kesuksesan yang tak terduga dalam bayangannya, bahkan masih ada penemuan baru dan terjual dengan harga tinggi.
"Tuan Muda, Anda masih di sana?" panggil Jimmy, asisten ayahnya dulu. Akibat ulahnya yang menghabiskan harta keluarga demi pertambangan itu, membuat orang tuanya juga diusir oleh keluarga besar, bahkan kedudukan ayahnya sebagai kepala keluarga juga dicabut begitu saja dan menjadi keluarga miskin yang tak memiliki sepeserpun dari kekayaan Adiguna.
"Ya, aku mendengarnya, Paman, apakah yang Paman katakan itu sungguhan? Dengan arti lain pertambangan kita kembali jaya lagi, begitu bukan?" Mata Samuel berbinar terang, sakit kepalanya pun tiba-tiba menghilang dalam sekajap.
"Benar. Selamat, Tuan Muda, akhirnya Anda bisa kembali menunjukkan pada keluarga besar bahwa apa yang Anda lakukan bukanlah sesuatu yang tidak berguna, bahkan jika pertambangan ini semakin dikembangkan, pendapatannya bisa melebihi pendapatan tahunan keluarga besar Adiguna. Jika mereka tahu, pasti mereka akan kembali membujuk Anda untuk kembali ke keluarga besar," ujar Jimmy.
"Ck, tidak semudah itu memintaku kembali, mereka sudah mengusir kami sekeluarga, mereka tak pantas mengharapkan kerja kerasku ini. Lalu bagaimana keadaan mama dan papa? Mereka baik-baik saja? Apa mereka tahu tentang berita ini?" Samuel berbicara dengan suara yang sepelan mungkin agar tidak ada yang tahu isi pembicaraan mereka, untuk saat ini dia tidak ingin langsung mengumumkan tentang identitasnya, ia juga tidak berniat untuk mengakui Adiguna sebagai marganya.
"Mereka baik-baik saja, Tuan Muda. Dan juga seperempat dari pendapatan kita, saya transfer ke tuan besar, mereka juga sudah tahu tentang berita ini. Karena tuan besar selalu ikut memantau perkembangannya setiap hari."
"Baguslah, kalau begitu aku tutup dulu, Paman. Ada apa-apa, langsung saja hubungi aku."
Setelah menutup sambungan telepon, Samuel melihat ada satu pesan masuk penerimaan sejumlah uang ke rekeningnya. pengirim atas nama Jimmy, dan berjumlah sekitar 100 Triliun. Lagi-lagi Samuel mengusap wajahnya, kali saja apa yang dia lihat adalah kesalahan, tapi mau dilihat berapa lama pun, jumlahnya tetap sama, benar-benar nyata membuat Samuel hampir terlonjak senang. Jumlah yang ia dapatkan sekarang bahkan melebihi jumlah yang ia keluarkan saat membeli pertambangan tersebut.
Setelah mendapatkan sejumlah uang yang cukup banyak, Samuel berniat untuk menyusul Yuna ke kantornya, ingin memberikan sebuah hadiah pada istrinya, agar semua teman-teman Yuna tidak selalu mencibir Yuna mengenai pernikahan mereka. Inilah saatnya memukul balik orang-orang yang pernah menghinanya.
Semua pekerjaan rumah telah selesai, kini waktunya Samuel keluar melakukan sesuatu yang dia inginkan.
"Mama, aku pulang!" Baru saja mau keluar, kini Samuel kembali berhadapan dengan Yuni, adik iparnya.
Yuni pulang bersama seorang pria yang tak lain adalah kekasih yang paling ia banggakan.
"Eh, ada Kakak ipar, mau kemana tuh? Aku baru juga pulang, malah mau pergi, nanti saja perginya, suguhin Rendra kopi terlebih dahulu," tukas Yuni yang menghentikan langkah Samuel.
"Aku ada urusan, terburu-buru jadi tidak bisa, kamu saja, dia kan pacar kamu," jawab Samuel.
"Oh, tidak bisa. Justru karena dia pacarku, makanya aku harus menemani dia. Bukankah pekerjaan ini memang seharusnya dilakukan olehmu? Atas dasar apa mau menyuruhku seenaknya? Aku tidak mau tahu, buatin kopi sekarang atau aku aduin ke Mama," ancam Yuni sambil melotot.
Samuel mengepalkan tangan dan menggertakkan gigi begitu geram, menatap tajam ke arah mereka berdua, seketika aura pembunuh terpancar di wajahnya, tetapi dengan segera ia mengendalikan diri agar tak kelepasan.
"Wih, lihat dia, Sayang. Sepertinya dia tidak senang dengan perintahmu, ternyata seorang sampah bisa kesal juga," ledek Rendra sambil tersenyum puas.
"Sudahlah, sampah tetap saja sampah, mau marah bagaimana pun juga tidak akan ada gunanya, tidak akan merubah kedudukannya dari seorang sampah, palingan juga naik satu tingkat, menjadi seorang gelandangan." Lalu mereka berdua tertawa begitu keras, sangat puas karena bisa terus-terusan menghina Samuel.
"Ck, aku sangat prihatin sama kakak iparmu ini, namanya saja yang keren, tapi ternyata hanya seorang gelandangan yang cuma bisa menumpang makan." Benar-benar tak ada hentinya. Semenjak baru pertama kali datang ke rumah itu, Rendra selalu saja melontarkan kata-kata yang tidak sopan, tentunya sangat tidak enak masuk di telinga Samuel, tapi untung saja Samuel terlahir sebagai keturunan bangsawan, mengendalikan diri dari kemarahan sudah sangat sering ia lakukan, ini juga salah satu sebuah latihan dalam keluarga besar Adiguna.
"Apa kalian sudah selesai bicara? Bolehkah aku bertanya? Apakah hidup kalian cukup bahagia akhir-akhir ini? Kurasa kalian perlu pergi bersenang-senang dengan berlibur ke mana saja, jika penyakit bawaan kalian ini tidak segera ditangani, takutnya akan berkepanjangan, itu sangat berbahaya." Samuel balik meledek.
"Kau, berani-beraninya mengatai kami seperti itu." Yuni tampak begitu geram hampir ingin memukul Samuel. Namun, setelah mengucapkan hal itu, Samuel langsung pergi ke dapur tanpa memedulikan tanggapan Yuni.
"Sialan, awas saja kau." Yuni melepaskan pukulannya di udara, wajahnya ikut memerah karena kesal.
"Sudahlah, orang seperti dia tidak perlu diambil pusing, lagian juga dia tidak punya apa-apa untuk bisa dibanggakan." Rendra mencoba untuk menenangkan. Dan itu berhasil, Yuni pun mengajak kekasihnya untuk duduk di ruang tamu sembari menunggu ibunya keluar.
"Eh, anak kesayangan Mama sudah pulang, pergi ke mana saja hari ini, Sayang?" Bu Rosi yang baru saja keluar dari berbelanja, seketika mendekat dengan senang melihat putri bungsunya pulang bersama kekasihnya yang terbilang cukup kaya. Karena kedua orang tua Rendra memiliki bisnis sebuah toko aksesoris wanita yang berasal dari brand-brand ternama, tentunya juga dengan harga yang tak murah.
"Mama, pantas saja dari tadi dipanggil tidak datang, ternyata habis dari luar juga, Mama dari mana?" tanya Yuni sambil berdiri memeluk orang tua kesayangannya. Karena hanya Bu Rosi yang selalu memanjakan hidupnya dengan memberikan apa yang dia inginkan.
"Ini, biasa. Mama dari pusat perbelanjaan, beli kebutuhan rumah sekaligus shopping." Bu Rosi pun tersenyum.
"Oh, gitu. Oh iya, tadi Yuni habis jalan-jalan ke toko aksesorisnya Rendra. Yuni melihat ada banyak sekali perhiasan mewah, di dalam toko tersebut benar-benar berkilau sepanjang mata memandang, lain kali Mama harus ke sana juga untuk melihat-lihat, dijamin tidak akan meyesal deh." Yuni hampir berjingkrak-jingkrak gembira ketika mengingat dirinya saat berada di dalam toko itu, serasa ingin membawa pulang semua perhiasan yang ada di sana.
Bu Rosi juga tak kalah heboh, setelah diceritakan oleh Yuni, hasrat ingin ke sana pun tiba-tiba meningkat, penasaran apakah toko itu sebagus yang dikatakan oleh anaknya.
"Rendra pasti akan membawa Tante ke sana juga lain kali, kan?" Bu Rosi berpindah melirik Rendra, dengan senyum penuh maksud.
"Em ... iya, Tante. Pasti, saya pasti akan membawa Anda lain kali," jawab Rendra sopan.
"Oh iya, Ma. Coba tebak apa yang kubawa pulang?" sahut Yuni.
"Apa?" Bu Rosi tampak begitu penasaran.
"Tadaa ... perhiasan edisi terbatas untuk Mama, ini termasuk sebuah kalung liontin giok ungu yang yang sangat langka, harganya bisa mencapai 300 Juta untuk satu buah kalung, Mama pasti akan menjadi pemeran utama di kalangan teman-teman arisan Mama itu, bagaimana, suka tidak?" tukas Yuni sambil memindahkan kalung itu ke tangan ibunya.
Bu Rosi seketika terbelelak lebar dengan mulut yang ternganga, tak menyangka masih ada kejutan yang tak terduga untuknya. "Wah! Serius? Ini benar-benar untuk Mama?"
"Tentu saja, Rendra yang berikan, dia sangat baik sampai rela rugi hingga ratusan juta untuk menyenangkan Mama, Rendra pasti akan menjadi menantu yang paling Mama banggakan, tidak seperti suaminya kakak, si Samuel itu, sudah miskin, menyusahkan lagi, benar-benar malu memiliki anggota seperti dia," sindir Yuni sambil melirik ke arah Samuel yang datang mendekati mereka dengan membawa secangkir kopi untuk Rendra.
"Hanya sebuah kalung palsu saja begitu bangga," cibir Samuel dengan suara pelan.
"Heh, apa katamu tadi? Coba ulangi sekali lagi." Rendra langsung menegur.
"Jika tidak tuli, seharusnya kau bisa mendengar ucapanku barusan." Samuel dengan santainya menjawab.
Rendra semakin tak terima, kau mau cari gara-gara, hah? Mau kuremukkan tubuhmu?" Rendra seketika mencekal pergelangan tangan Samuel dengan keras, wajahnya semakin memerah.
Samuel menatapnya dengan raut wajah kasihan, lalu ia menyunggingkan bibir tersenyum sinis, kopi yang masih panas itu seketika ia siramkan ke tubuh Rendra, membuat pria itu seketika memekik kepanasan.
"Aargh, sialan!" umpatnya dengan tersungut.
"Samuel, apa yang kamu lakukan? Ma, jangan diam saja dong, Samuel sudah sangat keterlaluan," teriak Yuni tak terima.
"Heh, kau. Apa-apaan kau ini? Kau tidak punya otak hingga tak bisa berpikir, hah?" Bu Rosi akhirnya marah besar dan melotot tajam pada Samuel.
"Dia sendiri yang menyentuhku duluan, aku tidak suka tubuhku disentuh oleh siapa pun, apalagi orang rendahan seperti dia." Samuel dengan santai menjawab.
"Apa kau bilang? Rendahan, Kaulah orang rendahan itu, Samuel. Kau punya apa sampai berani mengatakan orang sekelas Rendra sebagai orang rendahan? Kau sudah gila atau tidak ingin hidup lagi?" bentak Bu Rosi semakin marah.
"Dia laki-laki, dia tidak akan mati hanya karena air yang bersuhu rendah itu. Hei, kau. Jika kau merasa sebagai lelaki sejati, jangan sampai menangis hanya karena luka bakar sekecil biji jagung itu, memalukan." Samuel pun berdecih geli saat menatap Rendra, tak peduli bagaimana marahnya Bu Rosi, ia pergi begitu saja usai membuat keributan, membiarkan mereka menanggung akibatnya karena telah bermain-main dengan sang raja pembantai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!