NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Duda

Pemburu Lembur

Seorang wanita senyum-senyum menatap ponselnya. Ia begitu puas melihat saldo atmnya.

"Berapa gajimu, Lika?" Tanya Ratna sambil mengambil tas di dalam lokernya.

"Ada deh." Jawab Lika dengan senyum mengambang bak sedang iklan pasta gigi.

Ratna mencibir, ia yakin Lika dapat gaji yang besar. "Pasti banyak gajimu!"

"Iya dong! Namanya aku rajin lembur." Jawab Lika. Ia memang yang selalu bersemangat saat lembur, karena otomatis gajinya akan bertambah.

Lika menyimpan ponsel dan mengambil tasnya, ia akan bersiap pulang.

"Besok siapa yang bisa lembur?" Tanya sang mandor yang tiba-tiba masuk.

"Lika bisa lembur, pak!" Mengangkat tangan sambil berucap penuh semangat.

Ratna menggeleng melihat sang teman. Mendengar lembur begitu bersemangat.

Sang mandor melihat ke arah Lika dan menggeleng. "Yang lain, jangan Lika terus. Nanti cepat kaya dia."

Lika jadi memanyunkan bibirnya mendengar itu. Padahal ia bekerja keras bukan untuk cepat kaya, tapi untuk modal nikah.

Sang mandor tidak mau setiap lembur, Lika-Lika terus yang lembur. Gantian dengan yang lain. Tapi,

"Sari?"

"Besok saya ada undangan, pak."

"Meta?"

"Besok 40 hari nenek, pak."

"Ratna?"

"Mau bawa kucing saya usg, pak."

"Juli?"

"Tidak sanggup, pak."

"Lia?"

"Maya?"

"Rima?"

Sang mandor membuang nafas dengan kasar, banyak yang tidak bersedia lembur. Ia melihat Lika yang tersenyum lebar, seolah sudah mengerti saja.

"Besok kamu lembur!" Tak ada pilihan lain, terpaksalah wanita itu lagi.

"Siap, pak!" Lika menjawab dengan semangat 45.

Malika Zahra seorang wanita muda yang berusia 20 tahun. Ia bekerja di sebuah pabrik bagian packing kemasan. Memulai bekerja sejak lulus SMA hingga sekarang. Sudah sekitar 2 tahun lebih.

Lika harus menyisihkan sebagian gajinya untuk modal menikah. Ia dan kekasihnya akan sama-sama berjuang untuk masa depan mereka.

Makanya Lika sangat bersemangat kerja bahkan lembur agar ia bisa mencukupi semua. Kebutuhannya, modal menikah, memberikan pada orang tua dan sebagian di tabung untuk menjadi pegangannya.

"Boni!" Lika melambaikan tangan melihat sang kekasih hati di parkiran. Kekasihnya itu menjemputnya.

"Mau jemput kok nggak bilang-bilang sih?" Tanya Lika setelah menghampiri. Ia tersenyum manis pada pria itu.

"Kebetulan aku lagi libur hari ini, Ka. Ayo, kita pulang." Ucap Boni seraya memakaikan Lika helm.

"Kok langsung pulang?" Tanya Lika merasa tidak rela. Mereka baru juga bertemu setelah hampir sebulan tidak bertemu.

Kesibukan di antara mereka yang membuat tidak selalu bisa bertemu. Mereka bertemu sebulan sekali.

"Jadi mau ke mana?" Tanya Boni dengan suara lembut lalu menggenggam tangan Lika.

"Kita makan dulu ya." Ucap Lika. Ia ingin lebih lama dengan sang kekasih.

"Tapi, Lika. Aku belum gajian. Kan tidak mungkin pakai uang tabungan kita." Ucap Boni memasang wajah sedih.

Lika menggeleng segera. "Aku yang traktir."

Tak lama kini mereka berada di sebuah kafe. Mereka sedang makan dengan lahap sambil bercerita ketawa ketiwi.

"Aku ingin kita terus bertemu. Tapi kamu tahu-"

"Aku mengerti." Sela Lika cepat. Ia memahami situasi mereka.

Mereka sama-sama saling bekerja keras untuk masa depan. Makanya bertemu hanya sebulan sekali. Kata Boni dengan begitu bisa mengirit pengeluaran juga.

"Oh iya. Sudah aku transfer ya." Ucap Lika kini menunjukkan bukti transaksi dari ponsel pada Boni.

Boni melihat nominal transaksi dan sedikit kecewa, tapi segera ia kondisikan wajahnya. Jangan sampai Lika melihat ekspresinya.

"Aku yakin tahun depan kita akan menikah." Ucap Boni sambil mengelus kepala Lika.

Lika begitu senang mendengarnya. Dulu saat pertama kali jadian, Boni merencanakan tabungan masa depan. Setiap bulan keduanya harus mentransfer sejumlah uang ke rekening bersama. Ya rekening bersama namanya, tapi atas nama Boni.

Rencana menabung selama 3 tahun dan Boni yakin uang yang mereka tabung cukup untuk semua. Pesta pernikahan yang diimpikan Lika. Walau bukan pesta pernikahan layaknya seorang princess, tapi Lika ingin ada pesta pernikahan. Ia ingin memakai gaun pengantin.

Kini hubungan mereka sudah berjalan 2 tahun. Dalam satu tahun ke depan, rencana mereka akan segera terwujud.

"Lika." Panggil Boni pada Lika yang melamun.

"Iya." Jawab Lika kembali tersadar.

"Aku ingin kita segera menikah dalam 4 bulan mendatang. Jadi mari kita tambah tabungan kita jadi 3 kali lipat dari biasanya." Saran Boni dengan wajah serius.

"3 kali lipat?" Tanya Lika. Gajinya itu harus dibagi-bagi. Jika ditabung 3 kali lipat ia tidak bisa menabung dan memberi pada orang tuanya.

"Iya, 3 kali lipat. Jadi kita bisa lebih cepat menikah. Aku ingin kita segera bersama, tidak seperti ini yang bertemu hanya sebulan sekali." Jelas Boni sambil membuang nafas yang terasa berat. Seolah tidak bisa menahan kerinduan terus menerus.

"Tapi, aku tidak punya uang jika harus menabung sampai 3 kali lipat." Ucap Lika dengan nada lemah.

"Kamu bilang selalu lembur, masa tidak punya uang?" Boni mempertanyakan pendapatan Lika. Ke mana gajinya itu pergi?

"Memang lembur, tapi uangnya kan aku bagi-bagi." Ucap Lika. Ia harus bisa mengatur keuangan.

"Bagi-bagi ke mana?" Tanya Boni ingin tahu.

Lika menjelaskan bagi-bagi yang dimaksudnya. Untuk kebutuhan dirinya, memberi orang tua, tabungan bersama mereka dan tabungan pegangannya.

Boni mengangguk mengerti akan penjelasan Lika.

"Kamu selalu memberi orang tua?" Tanya Boni kembali. Ini harus meluruskan.

Lika mengangguk. "Tiap gajian aku selalu kasih bunda."

"Kamu kasih bunda tidak usah tiap bulan, 3 bulan sekali saja." Saran Boni. Jadi Lika bisa menambah tabungan mereka.

Lika tampak berpikir. Ia kini sudah kerja, jadi ingin memberi uang untuk orang tua dengan gajinya. Walaupun ayahnya masih mampu, tapi Lika tetap ingin memberi.

"Tidak bisa.  Aku kan sudah kerja sekarang, jadi aku ingin memberi juga."

"Tapikan tidak perlu memberi tiap bulan juga."

"Tapikan aku makan tiap hari-"

"Itukan sudah kewajiban mereka." Ucap Boni menyadarkan. Tidak perlulah Lika membalas budi orang tua. Anak bukan investasi.

"Sebelum menikah aku akan tetap memberi pada orang tua." Ucap Lika masih bersikeras. Ia sadar kemungkinan setelah menikah, ia tidak bekerja lagi dan tidak bisa memberi orang tua. Makanya sebelum menikah ia ingin tetap memberi dari hasil keringatnya.

Boni membuang nafas perlahan, "Terserah kamu saja."

Lika melihat Boni yang berwajah masam. Lalu ia meraih ponselnya dan menekan-nekan.

"Itu sudah aku transfer 4 juta lagi." Ucap Lika. Ia mentransfer dengan uang di tabungannya. Tidak mau sang kekasih marah padanya. Ia tahu niat Boni hanya ingin pernikahan cepat terlaksana. Ingin yang terbaik untuk mereka.

Boni tersenyum setipis tisu. Hari ini Lika mentransfer 6 juta ke rekeningnya.

"Bulan depan aku akan transfer 6 juta lagi." Ucap Lika yang akan menuruti rencana Boni. Ia ada tabungan dan itu yang akan dikirim ke tabungan bersama mereka.

Boni pun tersenyum dan mengelus kepala Lika. "Baiklah."

Melihat senyuman Boni, Lika ikut tersenyum. Sedikit lega kekasih hatinya tidak marah lagi.

"Berarti dalam 4 bulan lagi kita akan menikah?" Tanya Lika memastikan. Tak sabar menunggu hari itu tiba.

Boni mengangguk mengiyakan.

"Jadi kapan kamu bawa aku menemui orang tuamu?" Tanya Lika. Ia ingin bertemu calon mertua. Selama ini Boni bilang orang tuanya berada di kampung.

"Secepatnya."

.

.

.

Bawa Dia

Di minggu pagi yang cerah, Lika bangun dan bergegas mandi. Ia akan lembur hari ini.

"Pagi Bunda, pagi Caca." Sapa Lika pada wanita paruh baya yang sedang memasak dan adik perempuannya yang berusia 17 tahun.

"Lembur, Ka?" Tanya Bunda. Setiap hari libur Lika selalu masuk kerja.

Lika mengangguk sebagai jawaban.

"Oh iya, ini Bun!" Lika menyerahkan beberapa lembar uang pada bundanya.

"Tidak usah. Kamu simpan saja!" Tolak Bunda. Tiap bulan Lika selalu memberinya.

"Sudah ada yang Lika simpan, Bun." Ucapnya tetap menyodorkan uang tersebut.

"Kalau bunda tidak mau untuk Caca saja!" Ucap adiknya. Dari tadi melihat bunda dan kakaknya saling oper-operan uang.

"Bunda!" Lika pun meletakkan di tangan Bunda, ia tidak mau ditolak terus. Setiap bulan jika ia memberi, selalu begitu.

Bunda pun tidak bisa menolak dan terpaksa menerima.

"Kak!" Caca mengadahkan tangan. Ia ingin diberi juga.

Lika memberikan selembar dan membuat senyum melebar gadis remaja tersebut.

"Terima kasih kak Lika yang cantik baik hati dan tidak sombong." Puji Caca dengan kegirangan. Ia selalu dapat jatah bulanan dari kakaknya.

Lika mendengus, ia dipuji-puji adiknya jika sudah diberi uang. "Ini!"

"Kak Lika mau minum apa? Mau dikipas? Pijat?" Caca jadi makin bersemangat, Lika menambah uang sakunya lagi. Benar-benarlah kakaknya itu baik hati sekali.

Bunda tersenyum melihat Lika yang mau berbagi pada adiknya. Lika tidak pelit pada adiknya.

"Lika, kapan Boni akan melamar kamu?" Tanya Bunda ingin tahu. Sudah cukup lama hubungan Lika dengan kekasihnya itu.

"Iya kapan, kak?" Caca juga ingin tahu. Ia kini sedang memijat punggung Lika.

"Rencananya dalam tahun ini, Bun." Jawab Lika dengan wajah malu. Membahas pernikahan membuatnya jadi berdebar-debar dan gugup juga.

"Semoga rencana kalian berjalan lancar. Bunda ingin melihat kamu dan Caca bahagia." Sebagai orang tua ingin kebahagiaan anak-anaknya.

Lika dan Caca mengaminkan segera. Bunda selalu mendoakan mereka.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Lika menguap panjang, ia telah keluar dari gerbang dan berjalan menuju halte. Akan menunggu bus di sana.

Sambil jalan sambil merentangkan tangan. Tubuhnya terasa berat dan letih setelah lembur. Dalam bulan ini, Lika hanya sekali libur.

'Semangat untuk masa depan!' Batin Lika menyemangati diri sendiri. Ia harus berjuang, mumpung masih muda dan kuat.

"Tunggu!!!" Teriak Lika saat melihat bus dan ia segera berlari mengejar. Tidak boleh ketinggalan, akan lama lagi menunggu bus berikutnya.

Kini Lika sudah berada di dalam bus, ia mengatur nafasnya karena tadi berlarian mengejar bus. Berlarian seperti itu saja sudah membuatnya berkeringat.

'Boni sedang apa ya?' Lika merindukan pria itu. Merindukan calon suaminya itu.

Ia pun mencoba menelepon, tapi panggilannya tidak terjawab.

'Apa ia lagi kerja ya?' batin Lika menatap layar ponselnya.

Boni pernah bilang jika panggilannya tidak terjawab, berarti ia sedang bekerja. Sedang sibuk bekerja untuk masa depan mereka.

'Cepatlah waktu berlalu!' Batin Lika yang ingin memutar waktu saja. Agar hari itu segera tiba, yakni hari pernikahan mereka. Jadi mereka selalu bertemu dan bersama selamanya, sampai ajal memisahkan.

Kini Lika telah sampai rumah. Ia segera membersihkan diri, setelah itu membaringkan tubuh di tempat tidur empuknya.

Tidak perlu waktu lama, Lika sudah nyenyak saja. Ia kini sudah di alam mimpi.

"Kak Lika, bangun!" Caca menggoyangkan tubuh sang kakak.

"Hmm." Jawab Lika masih dengan mata terpejam.

"Bangun, kak. Ini sudah pagi. Kakak tidak kerja?" Tanya Caca masih menggoyangkan tubuh Lika.

"Apa?" Mendengar kata pagi, Lika tersentak bangun. Ia melihat sudah pukul 6 saja.

Lika segera bangkit dan meraih handuk. Ia akan mandi dan berangkat kerja.

Beberapa jam kemudian, Lika makan siang dengan lahap di kantin. Ia makan dengan porsi yang banyak. Karena harus punya tenaga untuk bekerja dan menghasilkan uang.

"Semalam kamu jadi lembur?" Tanya Ratna ingin tahu.

Lika mengangguk pelan.

"Kamu kerajinan." Cibir Ratna. Lika terkenal sebagai pemburu lembur.

"Buat modal nikah, Rat."

"Bukannya itu urusan calon suami ya?" Ucap Ratna. Biasanya kan seperti itu.

"Akukan ingin membantunya juga. Karena ini rencana bersama." Jawab Lika. Semua tidak bisa dibebankan pada pihak pria. Karena ia juga menginginkan pernikahan impian.

"Jadi sudah banyaklah tabungan kalian?" Tanya Ratna kembali. Lika pernah cerita punya tabungan bersama.

"Lumayanlah, Rat." Jawab Lika seraya mengangguk. Tabungan mereka bisa untuk pesta pernikahan cukup mewah, meskipun tidak terlalu mewah. Karena Lika juga tidak mau terlalu sederhana, karena pernikahan hanya sekali. Jadi ia ingin yang wow. Ya walau tidak terlalu wow.

"Ka, bisa aku pinjam uangmu?" Tanya Ratna. Ia butuh uang untuk membayar hutang.

"Baru juga gajian." Lika merasa aneh. Baru juga gajian, masa sudah habis saja uang Ratna.

"Hutangku banyak, Ka." Ucap Ratna. Sebenarnya uangnya habis karena judol alias judi online dan ia kalah terus.

"Uangku tidak ada." Ucap Lika. Ia tidak bisa meminjamkan Ratna uang.

"Uang tabungan bersama kalian, aku pinjam dulu setengah. Tiap bulan aku angsur lah, Ka." Ucap Ratna. Ia menyarankan seperti itu.

"Tabungannya dipegang Boni."

"Kenapa dia yang pegang? Seharusnya kamu lah!" Ratna menggeleng. Di mana-mana wanita yang menyimpan uang.

"Kalau ia melarikan uangmu bagaimana?" tanya Ratna. Lika polos sekali.

"Tidak mungkin! Boni mencintaiku dan kami akan menikah!" jawab Lika dengan nada sinis. Ia tidak terima calon suaminya dianggap begitu.

Lika sangat mencintai Boni dan ia sangat percaya pada pria tercintanya.

"Semoga lah." Ratna tidak akan berdebat dengan orang yang lagi dimabuk cinta, karena sulit diberitahu dan dinasehati.

Makanya ada istilah, saat sedang jatuh cinta, t*i kucing pun rasa coklat.

"Ka, nanti malam temani aku yuk!" Ajaknya.

"Ke mana?" Tanya Lika.

"Temanku berulang tahun. Aku tidak punya teman untuk datang ke sana." Ratna menunjukkan wajah memelas.

"Makanya cari pacar, biar kamu tidak jomblo terus!" Ledek Lika. Temannya itu jomblo akut. Selama mengenal Ratna, tidak pernah melihat pacarnya.

Ratna hanya terkekeh saja. "Ka, ayo kita foto berdua!" Ajaknya.

Lika menunjukkan wajah seolah bertanya untuk apa.

"Kita kan tidak pernah foto berdua."

Lika mengangguk dan mendekat pada Ratna. Dan,

Jepret,

Jepret,

2 foto pun di ambil dari kamera ponsel Ratna.

"Sudah mau jam kerja, ayo kita masuk!"Lika melihat jam tangannya.

"Kamu duluan saja. Aku mau ke toilet sebentar." Ucap Ratna yang diangguki Lika.

Setelah Lika pergi, Ratna menekan-nekan ponselnya. Ia mengirim foto mereka ke seseorang. Foto Lika dilingkari berwarna merah.

08xx: bawa dia malam ini

Ratna: oke deal

Ratna tersenyum dan segera menyimpan ponselnya. Ia berjalan sambil bersenandung.

.

.

.

Malam Yang Indah

Lika turun dari bus dan setengah berlari menuju rumahnya.

Nanti malam ia ada janji menemani Ratna ke acara ulang tahun temannya. Jadi ia harus segera bersiap-siap. Hari juga sudah menjelang petang.

Begitu masuk kamar, Lika melempar tasnya ke tempat tidur. Dan ia menuju lemari.

"Aku pakai baju apa ya?" tanya Lika dengan suara pelan. Di lemarinya banyak pakaian, tapi ia bingung mau memakai apa untuk datang ke pesta ulang tahun.

Ratna menyarankan untuk memakai gaun dan Lika melihat beberapa gaun yang dia punya.

Gaun berwarna pink dengan panjang selutut dan bertangan pendek. Lika mendekatkan hanger pada tubuhnya, memastikan apa pakaian itu cocok dipakai malam ini.

"Ini sajalah!" gaun itu jadi pilihannya.

Lika melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 sore, ia pun bergegas masuk kamar mandi untuk membersihkan diri.

Selang 30 menit kemudian, Lika keluar dari kamar mandi dan ia pun mulai berdandan.

Dan tidak lama kemudian,

"Lika, mau ke mana?" tanya seorang pria paruh baya yang sedang menonton tv. Ia melihat putrinya keluar dari kamar dengan berpakaian rapi.

"Lika mau menemani teman ke acara ulang tahun temannya, yah." jawabnya seraya memakai high hells.

"Jam berapa acaranya?" tanya ayah ingin tahu. Hari juga sudah gelap.

"Jam 8, yah." jawab Lika. Kini waktu sudah menunjukkan jam 7 lewat 20. Ia tadi kelamaan berdandan.

"Jadi kamu nanti pulang jam berapa?" tanya ayah lagi.

"Paling jam 10 Lika sudah sampai rumah, yah." jawabnya. Ratna bilang mereka tidak akan lama di sana. Ya, palingan sebelum jam 9 sudah keluar dari acara itu.

Ayah tampak berpikir dan hatinya mulai merasa tidak enak. "Ayah akan pergi bersamamu."

"Ayah! Lika mau pergi sama teman loh!" ia menolak. Masa ayahnya mau ikut-ikut acaranya.

"Ayah akan antar kamu lalu akan menunggu di luar saja. Setelah selesai acara temannya temanmu itu, kamu pulang sama ayah. Malam hari bahaya nak, kamu nanti pulang mau naik apa?" ayah tetap bersikeras karena mengkhawatirkan anaknya. Tidak ada bus di jam segitu.

"Lika naik motor sama Ratna, ayah."

"Tapi, nak-"

"Lika bisa jaga diri. Ayah tidak perlu khawatir. Percaya saja pada anak ayah." Lika meyakinkan diri, bahwa ia bisa menjaga diri.

Ayah pun terpaksa mengangguk. Ia akan percaya pada anaknya itu. Tidak mau juga dianggap terlalu mengekang anaknya.

"Ayah percaya padamu. Kamu harus bisa menjaga diri." ayah masih mengingatkan.

"Siap, ayah!" Lika memberi hormat. "Lika pergi dulu, yah."

Lika menyalami ayahnya. Tidak lupa pamitan pada bunda dan Caca juga.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

"Di sini acaranya?" tanya Lika begitu motor yang dikendarai Ratna memasuki area sebuah apartemen yang menjulang tinggi.

"Benar. Temanku sangat kaya." jawab Ratna. Ia memarkirkan sepeda motornya.

"Pacarmu ya?" tebak Lika. Ia melepas helm lalu merapikan rambutnya.

Ratna menggeleng kepala. "Bukan! Dia temanku, aku tidak punya pacar!"

Lika mencibir, ia tidak yakin itu. Pasti ini acara ulang tahun pacarnya Ratna.

"Ayo, Ka!" ajak Ratna. Ia berjalan duluan dan Lika mengikutinya.

Tak lama, mereka kini berada di dalam lift yang akan membawa keduanya naik ke lantai 35.

Begitu sampai di lantai 35, keduanya keluar dari lift dan berjalan menuju unit tempat acara akan berlangsung.

Lika memeluk lengan Ratna, mendadak ia jadi takut. Mereka berjalan di lorong yang begitu sunyi dan sepi.

"Rat, apa kamu yakin di sini tempat acaranya?" tanya Lika memastikan. Tempat ini membuatnya tidak nyaman dan terasa horor.

"Iya di sini. Kamu tenang saja, tidak apa-apa." Ratna menenangkan Lika yang tampak mulai ketakutan.

Di salah satu unit, Ratna menekan bel. Dan terbukalah pintu.

"Selamat datang, Ratna. Aku sudah menunggumu." ucap tuan rumah dengan wajah sumringah.

"Selamat ulang tahun, David." Ratna memberikan selamat.

"Terima kasih." ucap David. Ia melihat wanita di sebelah Ratna seolah bertanya siapa dia?

"Kenalkan ini Lika, temanku." Ratna mengenalkan orang yang di sebelahnya.

"Kenalkan aku David." Pria itu mengulurkan tangan.

"Lika." ia membalas uluran tangan pria itu.

"Mari masuk!" David mempersilahkan keduanya.

Keduanya pun masuk dan Lika mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan itu.

"Katamu acara ulang tahun?" tanya Lika. Di ruangan itu seperti ruangan pada umumnya. Tidak ada hiasan di dinding atau makanan yang tersaji di atas meja.

Bahkan tamu yang datang hanya mereka berdua. Seperti tidak diadakan acara apapun.

"Kemarin ulang tahunnya," bisik Ratna.

"Silahkan duduk, anggap saja rumah sendiri." pinta David. Ia tersenyum ramah pada Lika. Wanita itu sesuai tipenya.

Ratna menarik tangan Lika, temannya itu dari tadi berdiri saja.

"Ayo, silahkan diminum." David kembali membawa nampan. Ia menghidangkan botol minuman dengan beberapa gelas. Juga tidak lupa cemilan disajikannya.

Lika menyenggol lengan Ratna agar melihat botol minuman yang dihidangkan David. Itu botol minuman keeras.

"Silahkan diminum." tawar David setelah menuangkan ke gelas-gelas. Ia mengangkat gelas untuk saling bersulang.

Ratna mengikuti David dan melihat Lika yang diam saja.

"Ayo, Ka!" ucapnya agar mengikuti mereka.

Lika menggeleng. "Aku tidak minum itu." bisiknya. Seumur-umur ia tidak pernah meminum minuman yang mengandung alkohol.

"Hargai David, Ka. Minum sedikit tidak akan membuatmu mabuk." ucap Ratna. Ia meyakinkan Lika.

Lika pun dengan terpaksa mengangkat gelas dan bersulang. Ia akan meminum itu sedikit saja. Sekedar mencecap.

David meminum sambil memperhatikan Lika yang tampak ragu-ragu.

'Minuman apa ini?' batin Lika setelah meminum sedikit. Rasanya menusuk dan tidak enak.

David tersenyum tipis. "Ayo habiskan!"

Lika menggeleng, ia tidak bisa meminum itu.

"Lika, jangan buat aku malu!" bisik Ratna. Minuman itu hanya seperempat gelas dan bukan segelas penuh.

Ratna pun menyodorkan minuman itu dan terpaksa Lika menghabiskannya.

"Lagi!" ucap David setelah gelas itu kosong. Ia menambahkan hingga setengah gelas.

Lika menggeleng, ia tidak sanggup minum lagi. Jadi David yang menghabiskan isi dalam gelas tersebut.

Tak lama Lika memegangi kepalanya yang terasa mulai pusing. Pandangannya juga sudah mulai kabur. Ia melihat Ratna dan David yang tampak mengobrol. Tapi ia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Sudah aku transfer ke rekeningmu." ucap David. Matanya terus melihat Lika yang mulai mabuk.

Ratna melihat ponsel dan tersenyum. "Baiklah, aku akan pergi. Selamat bersenang-senang. Dia masih perawan."

David tersenyum smirk, ia sangat menyukai perawan. Apalagi umur Lika masih 20 tahun. Pasti masih kenyes-kenyes.

Ratna yang akan pergi melihat dari balik tembok. David kini berpindah duduk di samping Lika. Ia pun segera keluar dari unit tersebut, akan membiarkan keduanya menikmati malam yang indah dan bergairah.

'Lika, maafkan aku ya. Aku sangat butuh uang.'

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!