Pengenalan Tokoh
1.Sean Arthur
Seorang mantan bos mafia yang memilih untuk insyaf karena menemukan kebahagiaannya dengan menikahi wanita muslim yang sebelumnya menjadi asisten rumah tangganya. Memiliki karakter keras dan dingin, tetapi sangat lembut kepada orang-orang yang dikasihinya.
2. Salwa Humaira
Seorang perempuan luar biasa yang berhasil memiliki hati Sean Arthur, terlahir sebagai putri sulung dari empat bersaudara dari kalangan miskin. Ia sebelumnya bekerja sebagai asisten rumah tangga Sean Arthur yang kini telah menjadi suaminya.
3. Leon dan Abust
Laki-laki yang menjadi adik angkat Sean yang juga pernah menjadi anak buahnya dalam mengurus perusahaan. Kedua adik angkatnya ini tidak mengetahui bahwa Sean Arthur sebelumnya terlibat organisasi hitam di dunia bawah tanah. Mereka mengenal sosok Sean Arthur hanyalah seorang pengusaha kaya raya dan merupakan pahlawan mereka karena mengubah nasib keduanya yang sebelumnya hanya bocah ingusan dari kalangan hampir gelandangan menjadi seorang pria sukses yang digilai banyak wanita.
4. Alvaro
Laki-laki yang merupakan cinta pertama Salwa Humaira saat masih berada di sekolah. Lelaki ini ternyata memiliki perasaan yang sama, tetapi enggan mengungkapkannya karena rasa gengsi yang lebih besar untuk mengakui. Namun, ketika takdir mempertemukan mereka kembali, Alvaro baru menyadari bahwa ia benar-benar mencintai Salwa Humaira yang ternyata berstatus istri orang..
5. Yang Pou Han
Laki-laki yang merupakan musuh sekaligus teman dari Sean Arthur yang juga mempunyai ketertarikan yang sama dengan Salwa Humaira. Ia pernah menolong Salwa dan mengajaknya untuk tinggal bersamanya dalam beberapa waktu dan sempat akan melamar perempuan itu. Tetapi karena suatu tragedi kisah cinta mereka tidak sampai berlanjut.
Dan Kisah dimulai ....
🌹🌹🌹
Seandainya takdir bisa memilih, mungkin ia lebih memilih dilahirkan dari keluarga biasa saja. Terlahir dari keluarga kaya bukanlah suatu prestisius yang harus dibanggakan.
Sean Arthur yang kini mengganti namanya menjadi Sean Paderson adalah anak hasil kejahatan ayahnya yang menjual sang Ibu dalam kondisi tak sadar untuk melayani investor di perusahaannya yang hampir bangkrut.
Sean kecil tak pernah merasakan kasih sayang ayahnya karena dia bukanlah anak kandung, sehingga didikan keras membuat lelaki itu menjadi pribadi yang dingin dan tak tersentuh.
Sampai dia dipertemukan oleh tambatan hatinya, Salwa Humaira yang sebelumnya adalah pelayan di rumahnya, kini telah sah menjadi istrinya. Perempuan itu mampu mengubah sifat buruk Sean menjadi lebih lembut dan penyayang sehingga lelaki itu memutuskan meninggalkan dunia hitamnya dan berbuat baik demi masa depan anak-anaknya kelak agar hidup tenang tanpa takut dihantui oleh musuh-musuhnya.
Mereka sekarang sedang berdoa di depan pusara Sarah Paderson--ibu dari Sean.
"Mas, ...." panggil perempuan yang sedang menunggui Sean di sampingnya.
Sean menoleh ke arah istrinya itu, tangannya menyentuh jemari Salwa yang sedang memegang bahunya. Ia menyunggingkan senyum saat Salwa ikut duduk di sampingnya sambil mememeluk lengannya. Memberikan kekuatan batin untuk lelaki itu yang sedang bersedih hati.
Usia pernikahan mereka sudah memasuki tahun kedua, dan saat ini Sean memutuskan untuk hidup damai bersama sang istri dengan menetap di Indonesia. Di negara di mana ia dibesarkan terlalu banyak musuh yang mengusiknya hingga ia harus kehilangan anaknya yang belum sempat melihat dunia. Ia tidak ingin hal buruk kembali terulang sehingga akhirnya ia lebih memilih menetap di negara Salwa.
"Mari kita pulang!" Sean mengulurkan tangannya untuk membantu istrinya berdiri. Salwa pun menerimanya dengan senang hati. Tangannya terulur menyatukan jemari mereka lalu mengeratkan dengan kuat. Mereka pun berlalu meninggalkan tempat pemakaman keluarga Arthur.
Saturday, March 9th 2013 in HongKong
Visual Tokoh
Sean Paderson
Salwa Humaira
Leon
Abust
AlVaro
Udah... visualnya itu dulu yaahh..
bagi pecinta bulu tangkis pasti hapal tuh sama visual yang author tampilin.. hihihi 🙈🙈🙈🙊🙊🙊
"Hey letakkan di sana,"
"Hati-hati jangan sampai pecah, ku pecahkan juga kepalamu nanti." Salwa mencubit pinggang Sean yang saat ini sedang memerintah anak buahnya. Suaminya itu selalu saja berbicara kasar tanpa bisa dicegah.
"Mas lembut dikit kenapa," Sean hanya nyengir saja mendapat teguran dari istrinya itu. Tangannya mengusap bekas cubitan Salwa dengan ekspresi pura-pura kesakitan.
Hari ini Sean dan Salwa memasuki rumah baru mereka, beberapa furniture yang mereka pesan sudah berdatangan sehingga membuat hari ini benar-benar hari yang menyibukkan.
Sean membeli rumah di kawasan elit yang letaknya agak dekat dengan pusat kota. Sean memulai bisnisnya di bidang property dan pariwisata. Ia sudah benar-benar keluar dari dunia hitamnya sesuai dengan janjinya kepada istrinya itu.
"Pegangin," Sean meminta Salwa memegang tangga yang akan ia gunakan untuk memasang foto pernikahan mereka.
"Jangan deh mas, kenapa gak minta mereka yang melakukan. Kalau mas jatuh nanti gimana?" Salwa mencegah agar Sean tidak perlu repot-repot naik tangga portable itu. Biarkan saja yang profesional yang bekerja. Sean hanya cukup mengarahkan saja tanpa harus turun tangan sendiri.
Sean menyandarkan tangga itu, lalu menarik ke dua sisinya hingga membentuk segitiga.
"Mas bisa melakukannya sendiri. Ini pekerjaan mudah," Sean masih bersikeras melakukannya sendiri. Mana mungkin ia mau diremehkan hanya karena melakukan pekerjaan sepeleh seperti itu saja tidak bisa.
"Ya... tapi tetap harus hati-hati," Salwa akhirnya mengalah, ia tahu suaminya itu sangat keras kepala. Lebih baik ia menurut saja daripada harus banyak membuang energi hanya untuk berdebat. Ia sudah cukup lelah karena seharian sibuk mengatur dan merenovasi rumah barunya.
Sean mulai menaiki tangga dengan Salwa yang menahan tangga itu supaya tidak bergeser. Tangan kirinya menentukan titik dengan memasang paku di permukaan dinding sementara tangan kanannya sudah bersiap dengan palu.
"Kurang ke atas lagi kayaknya," Salwa memberikan aba-aba setelah melihat titik yang ditandai Sean dengan paku. Sean naik lagi satu anak tangga untuk mencapai tempat yang lebih tinggi tapi sebelum ia menginjakkan kaki dengan tepat tiba-tiba ponselnya bergetar sehingga membuatnya terkejut. Kakinya yang hendak menanjak ke anak tangga tidak tepat dan....
"Aaaahhh....." Salwa berteriak saat Sean kehilangan keseimbangan
BRUUUKK
Tangganya oleng karena terhempas berat badan Sean yang jatuh. Sean mengaduh kesakitan, Salwa dan beberapa orang yang menyaksikan segera membantu Sean berdiri.
"No..." Sean mengangkat ke dua tangannya agar orang-orang tidak membantunya. Mana mungkin ia mau dipermalukan di depan banyak orang seperti itu. Sean mencoba berdiri dengan menyeret tangga yang menghalangi tubuhnya. Ia menapakkan kakinya , namun lagi-lagi ia terjatuh.
"Aaauuhh" Salwa memutar bola matanya melihat tingkah suaminya yang keras kepala itu. Ia membungkuk mengulurkan tangannya agar Sean menerima bantuannya.
"Mas bisa sendiri," ucap Sean yang masih berusaha berdiri sendiri. Salwa mengerutkan ke dua alisnya. Suaminya itu benar-benar menguras kesabaran.
"Kalau gak mau dibantu nanti malam gak ada jatah" Salwa berucap dengan sedikit malu. Tapi apa boleh buat, Sean hanya menurut kalau sudah diancam seperti itu. Entah mengerikan darimananya, tetapi cara yang digunakan Salwa sering kali berhasil membuat suaminya itu patuh.
"Yaaa.. jangan gitu," Sean menerima uluran tangan Salwa lalu berusaha menegakkan tubuhnya. Dengan merangkul bahu Salwa dan berjalan pincang Sean berhasil melangkah menuju kamar utama yang sudah selesai direnovasi.
"Masih sakit?" Salwa memperhatikan kaki Sean yang tampak kemerahan dan sedikit membiru. Sean hanya mengangguk tanpa bersuara, rasanya memang benar-benar sakit.
"Tulangnya patah gak ya?" Ucap Salwa memprovokasi, yang benar saja masak Sean harus mengenakan tongkat karena kakinya patah akibat hal konyol yang baru saja terjadi. Sungguh tidak keren bukan?
"Harusnya aku menyuruh Alan untuk ikut pindah ke sini, aku yakin laki-laki itu akan berguna kedepannya," Sean kembali menggerutu karena ia belum mendapatkan dokter pribadi yang terbaik seperti sahabatnya Alan.
Salwa menepuk perlahan ujung hidung suaminya dengan jari telunjuknya.
"Mas, kamu bukan sultan yang membuat semua orang harus patuh dengan perintahmu. Dokter Alan mungkin mempunyai alasan tersendiri menolak untuk pindah. Kamu harus menghargai keputusannya."
Salwa beralih mengambil lap bersih yang sudah di rendam dengan air hangat. Ia mengusap perlahan kaki Sean yang terlihat lebam itu. Ia mengoleskan minyak urut di bagian yang sakit lalu melakukan pijatan secara perlahan.
Sean tersenyum melihat begitu telatennya Salwa merawatnya. Hemm.. dia memang tidak salah memilih istri. Sudah cantik, baik dan juga penuh pengertian. Sungguh Sean merasa sangat beruntung.
Setelah selesai memijat kaki Sean, Salwa memakaikan selimut menutupi tubuh suaminya itu karena Sean terlihat sudah terlelap. Ia menghadiahkan kecupan hangat di kening suaminya itu sebelum memutuskan keluar dari kamar mereka.
"Selamat beristirahat suamiku," bisiknya lirih.
Salwa membereskan semua peralatan yang ia gunakan untuk merawat Sean lalu mengembalikannya ke tempat masing-masing. Seolah tidak tega, Salwa kembali menyibakkan selimut yang dipakai Sean untuk memeriksa kembali memar di kaki suaminya itu.
Salwa menghela napasnya perlahan. Ia merasa sepertinya kaki Sean akan segera membaik dengan sendirinya sehingga tidak memerlukan penanganan medis. Salwa menutup kembali selimut tersebut lalu menegakkan tubuhnya untuk segera kembali ke ruang tamu dimana anak buah Sean sedang merenovasi rumahnya.
"Mau kemana?" Sean menarik tangan Salwa saat perempuan itu beranjak pergi.
"Bukannya mas tidur?"
"Tidak mungkin, kau punya satu janji dan mas mau menagihnya sekarang." Sean menipiskan bibirnya melihat Salwa yang mengingat-ingat tentang janji yang Sean maksudkan.
"Apa..." Sepertinya Salwa belum mengingat apa-apa tentang janji itu. Sean menangkup jemari Salwa dengan kedua tangannya lalu mencium punggung tangan Salwa lembut.
"Kau berjanji akan memberikan jatah malam ini," wajah Salwa terlihat merona mendengar penuturan Sean itu. Ia tadi hanya menggertak saja, tidak menyangka bahwa Sean dengan tidak tahu malu akan menagihnya secara terang-terangan secepat itu.
"Ini masih siang mas, belum malam. Lagi pula.... kakimu masih sakit, kau akan kelelahan dan kesakitan nantinya," Salwa menopangkan dagu dengan berjongkok di sisi ranjang sambil memberi pengertian kepada suaminya yang sedang manja itu.
"Yang sakit hanya kaki, bukan yang lain. Dan mas merasa tidak ada perbedaan jika kita melakukannya di atas sini," Sean menepuk-nepuk sisi ranjang yang kosong itu dengan memperlihatkan senyumnya yang tampak menawan.
"Tapi...."
"Sudahlah... mas akan cepat tidur kalau sudah tidak memikirkan hal itu lagi," bisikan Sean tersebut berhasil meluluhkan hati Salwa, tiada alasan lagi baginya untuk menolak.
"I..iya, baiklah. Tapi janji setelah ini harus beristirahat," ucap Salwa memperingatkan Sean.
"Iya... iya istriku..."
🙈🙈🙈🙈
Lanjut aja yaahh... mereka berdua gak usah dibahas lagi. Palingan juga gitu-gitu aja kelakuannya... 😄😄😄
Sejak pagi Salwa sudah sibuk dengan kegiatan sebagai ibu rumah tangga. Membuat sarapan sehat untuk Sean adalah kewajiban baginya. Meskipun Sean sudah mempekerjakan asisten rumah tangga tetapi Salwa masih bersikeras untuk memasak sendiri. Bagi Salwa, suami wajib memakan masakan istri supaya lidah suaminya itu terbiasa dengan masakan rumahan.
Sean masih tertidur saat ini, setelah melakukan sholat subuh bersama sepertinya matanya tidak bisa dikondisikan lagi. Ia kembali berbaring merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Salah dia sendiri karena terlalu menguras energi saat bermain bersama Salwa, seolah tidak ada bosannya ia selalu melakukannya hingga beberapa kali sampai hari menjelang pagi.
Suara ketukan terdengar dari luar, tidak biasanya ada tamu pagi-pagi sekali. Salwa yang masih kerepotan dengan peralatan masaknya pun segera membereskannya dan mencuci tangannya.
"Biar saya saja nyonya?" Bibi Sri asisten rumah tangga yang membantu Salwa di dapur menyela saat Salwa hendak membukakan pintu. Salwa mengangguk menyetujui karena ia harus menyiapkan hidangan yang ia buat di meja makan.
Dengan cekatan Salwa menata menu masakan yang terlihat menggugah selera. Ia ingin membangunkan suaminya yang saat ini pasti masih tertidur pulas.
"Kakak ipar!" suara yang sangat dikenal Salwa itu terdengar begitu nyaring. Salwa yang hendak naik ke tangga menuju kamar utama langsung menoleh ke arah pemilik suara barito itu.
"Abust, Leon!" Kedua tamu laki-laki itu mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk kakak iparnya yang masih terbengong dengan kedatangan mereka, namun dengan cepat Salwa segera menghindar. Mana mungkin Salwa mau dipeluk-peluk begitu, bisa-bisa suaminya memasang perisai di sekelilingnya agar ia tidak bisa kemana-mana sebagai hukuman.
"Ya ampun, kakak ipar masih malu-malu saja." Leon berkata dengan sedikit menggoda setelah tangannya tak mampu meraih kakak iparnya itu. Leon dan Abust memang saat ini sudah lebih akrab dengan Salwa. Kesalahan masa lalu sudah Salwa maafkan dan ia tidak menaruh dendam sama sekali dengan kedua adik angkat suaminya itu. Tapi bukan berarti mereka bisa leluasa melakukan kontak fisik, Salwa cukup menjaga dirinya agar tidak terlalu dekat dengan dua orang di depannya ini.
Bagaimana pun mereka berdua adalah seorang laki-laki ,lagi pula usia mereka jauh lebih tua dari Salwa sehingga Salwa tidak mau ambil resiko dengan tetap menjaga jarak.
"Kalian duduk saja dulu, pasti belum pada sarapan kan, aku panggilkan mas dulu lalu kita makan sama-sama." Salwa mencoba ramah kepada dua orang itu untuk menghilangkan rasa canggung pada dirinya.
Leon dan Abust melirik ke arah meja makan yang sudah penuh dengan hidangan lezat. Tanpa menunggu perintah mereka dengan tidak tahu malu langsung menyergap piring dan memindahkan beberapa menu makanan di piring mereka masing-masing.
Saat Leon dan Abust hendak menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya tiba-tiba ada tangan yang menjewer telinga mereka berdua.
"Aduuh-aduuh."
"Heyy, siapa yang menyuruh kalian makan?" Sean yang sudah berada di antara kedua adik angkatnya itu menegur mereka dengan menarik telinga kedua laki-laki itu seperti memberi hukuman kepada anak kecil.
Salwa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah suaminya itu yang begitu galak memperlakukan kedua adik angkatnya.
"Ya ampun bos, kau tega sekali menyambut tamu terhormat yang sudah jauh-jauh datang ke rumahmu." Leon membuat ekspresi sedih yang justru membuat Sean ingin menjitak kepalanya.
"Tamu terhormat tidak akan makan sebelum tuan rumah mempersilahkannya, kalian berdua jauh sekali dari kata terhormat itu." Sean menyindir kedua adik angkatnya itu. Mendengar perkataan Sean kedua orang itu pun terkekeh. Mereka memang sudah kelaparan sejak tadi sehingga melihat hidangan lezat di depan mata langsung saja ingin menyantapnya.
"Sudah-sudah jangan berdebat, ayo makan!" Salwa menarik kursi agar di duduki oleh Sean. Ia juga mengambilkan beberapa menu kesukaan suaminya itu dengan porsi yang sudah dihafalnya luar kepala. Dengan telaten Salwa juga menyuapkan menu itu sesuap demi sesuap ke dalam mulut suaminya sambil memakannya juga, mereka berdua memang terbiasa memakan sepiring berdua, hal itu tidak luput dari perhatian Leon dan Abust.
"Enak sekali hidupmu sekarang bos, sepertinya kau sangat betah tinggal disini." Leon menegakkan punggungnya setelah menandaskan isi piringnya. Tangannya meraih secangkir teh tawar yang masih hangat itu untuk membasahi tenggorokannya dari sisa-sisa minyak yang bersarang di mulutnya.
"Tentu saja, siapa yang tidak betah jika setiap hari dilayani seperti raja." Abust berkata sarkas sambil melanjutkan suapan di mulutnya. Sean yang merasa dibicarakan pun hanya menipiskan bibirnya mengulas senyum.
"Makanya segera cari istri, jangan hanya tidur dengan perempuan sembarangan." Sean kembali menyindir dua orang laki-laki di depannya itu. Salwa mendengar perkataan Sean yang tidak pantas itu segera melayangkan cubitan ke pinggang suaminya dan berhasil membuat Sean nyengir menahan sakit.
"Tidak segampang itu mencari istri, mencari istri lebih susah daripada mencari client baru untuk perusahaan." Abust kembali menyela, ia salah satu dari seorang jomblowan yang susah mendapatkan pasangan.
Leon pun hanya mengangguk-angguk setuju dengan ucapan Abust.
"Jangan hanya mengangguk, bukannya hubunganmu dengan gadis itu sudah semakin dekat, kenapa tidak kau nikahi saja dia?" Abust melanjutkan perkataannya setelah menyesap habis isi cangkirnya.
"Siapa? Apa kau sudah memiliki kekasih?" Sean pun terlihat penasaran dengan perkataan Abust. Mungkin ia ketinggalan banyak hal sehingga membuatnya tidak mengetahui informasi hubungan Leon dengan kekasihnya.
"Jangan-jangan kau menemukannya di club malam seperti biasanya. Aku tidak akan mendukung hubungan kalian jika aku mendapatimu menikah dengan perempuan sembarangan," ucap Sean dengan bersungut-sungut.
"Kau mengenalnya bos, tenang saja. Dia gadis baik-baik, bahkan kau sangat mengenal gadis itu luar dalam." Abust sedikit mengimprovisasi dengan melirik ke arah Salwa. Benar saja, mendengar ada gadis yang dikenal Sean dengan baik membuat ekspresi wajah Salwa berubah. Ia menyuapi Sean dengan suapan paling besar karena terlihat kesal. Abust pun sedikit menahan tawa saat melihat Sean dengan susah payah mengunyah dan menelan makanannya.
"Hey sayang, kebanyakan. Aku tidak selapar itu." Salwa seakan tidak mendengar ucapan Sean, ia kembali menyuapi suaminya itu dengan suapan yang besar.
"Uhuk-uhuk-uhuk." Karena terlalu cepat mengunyah dan menelan akhirnya Sean tersedak, hal itu membuat Salwa terkejut dan segera mengambil air putih untuk diberikan kepada Sean.
"Maaf," ucap Salwa sambil membantu suaminya itu minum. Sean mengangguk lalu mengulas senyum, ia tidak mempermasalahkan hal sepele seperti itu.
"Aku... aku mau membereskan piring-piring kotor dulu. Mas lanjutkan saja ngobrolnya." Salwa akhirnya mengalihkam kekesalannya dengan mencuci piring saja di dapur. Mendengar percakapan para laki-laki membuatnya semakin kesal saja. Apalagi yang dibahas hanya seputar perempuan.
Setelah Salwa pergi sambil membawa setumpuk piring kotor, ketiga laki-laki itu akhirnya melanjutkan percakapan mereka.
"Siapa perempuan yang bernasib sial karena disukai olehmu itu?" tanya Sean lagi.
"Menjadi kekasihku bukanlah hal buruk, kenapa kau mengatakan itu sebuah kesialan." Leon sedikit tidak terima dengan perkataan Sean. Bagaimanapun juga siapa pun yang akan menjadi kekasihnya nanti pasti akan merasa sangat beruntung.
"Sudahlah bos, jangan menggodanya terus. Ini calon kekasihnya Leon. Cantik bukan?" Abust menunjukkan sebuah foto di ponsel pintarnya kepada Sean. Sean sedikit terperangah, ia tidak mengira bahwa adik angkatnya itu menaruh hati dengan mantan sekertarisnya dulu.
"Sejak kapan kalian dekat? Oh iya, kalian sempat bermalam di hotel dan kamar yang sama. Atau jangan-jangan kalian sudah..."
"Tentu saja tidak." Leon segera menyambar ucapan ngawur Sean, sama sekali tidak terjadi apa-apa di antara mereka saat itu.
"Baguslah, jika kau sudah yakin segera nikahi dia keburu diambil orang!" Sean mencoba menasehati Leon, ia masih mengingat dengan keputusannya saat menikahi Salwa dulu. Andai saat itu ia terlambat menikahi perempuan yang menjadi istrinya sekarang, mungkin Salwa saat ini sudah berada dalam pelukan laki-laki lain yang juga menginginkannya. Dan hal itu pasti akan menjadi penyesalan terbesar yang akan ia ingat sepanjang hidupnya.
"Hey bos.. bahkan aku belum tahu bagaimana perasaanku padanya. Kita hanya berteman, tidak lebih. Bagaimana mungkin kau menyuruhku menikahinya?"
"Baiklah, kalau begitu biar aku saja yang menikahinya," sela Abust yang greget dengan Leon yang tidak bisa gerak cepat. Saudara angkatnya itu memang benar-benar tidak bisa berpikir cepat untuk masalah wanita.
"Tidak bisa begitu juga, kau tidak boleh menyela antrian seperti itu." Leon menatap Abust dengan tidak suka, berani sekali Abust menyela dan mengambil perempuan incarannya.
"Sudah cukup, suara berisik kalian membuatku pusing. Lebih baik aku menyusul Salwa di dalam." Sean beranjak dari kursi makannya, namun sebelum Sean pergi ia menoleh lagi ke belakang.
"Sampai kapan urusan kalian selesai disini?" Abust dan Leon pun saling memandang, ya sepertinya akan ada pengusiran secara halus bagi mereka.
"Mungkin tiga sampai empat hari, rumahmu sangat besar. Mungkin kita akan tinggal di sini selama empat hari ke depan," ucap Leon dengan tidak tahu malu.
"Apa kalian benar-benar jatuh miskin hingga tak sanggup menyewa hotel untuk menginap?" Sean merasa kedua adik angkatnya ini hanya akan menjadi pengganggu waktu bersama istrinya saja.
"Hahaha... kami hanya merindukanmu saja bos," jawab Abust dengan enteng.
"Cepat selesaikan urusan kalian, jangan mengganggu kehidupanku yang sudah nyaman di sini!" Tukas Sean yang disahut oleh kekehan dua adik angkatnya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!