NovelToon NovelToon

L&M

BAB 1 : Awalnya

Hai, namaku Mutiara Nabila—tapi panggil saja Tiara, lebih simpel dan gampang diingat, kan, daripada "Mutiara"?

Aku siswi berusia 16 tahun yang belajar di salah satu SMA negeri di kota kelahiranku, Batam. Aku lahir tanggal 21 Agustus 2000. Masih muda banget, kan? Mungkin kalian nggak percaya, tapi di usia yang masih remaja ini, aku sudah mengalami beberapa kisah cinta yang bikin aku sendiri heran—kadang terasa seperti mimpi, kadang juga bikin lelah hati.

Batam, 2016...

Hari ini terasa panjang sekali. Kenapa? Karena salah satu teman sekelas kami harus berdiri di tengah lapangan dan menghormat ke tiang bendera sampai jam istirahat tiba—dan kami semua kena imbasnya.

Kami berdiri berbaris rapi, menghadap ke tiang bendera tinggi yang sinarnya mulai silau karena pantulan matahari. Udara panas menyengat kulit, keringat mulai mengalir, dan aku berdiri di barisan kedua—tepat di belakang sahabatku, Novi, yang seperti biasa... tidak bisa diam.

Mungkin karena kepanasan, aku masih bisa maklum. Tapi Novi memang terkenal tidak bisa diam, apalagi saat kena hukuman begini. Protesnya itu lho, kadang bisa bikin satu kelas kena tambah.

Aku mulai risih karena dia terus bergerak-gerak. Takut ada guru yang melihat dan malah kita tambah dihukum. Aku pun menegurnya dengan nada setengah kesal.

“Novi! Kenapa sih kamu nggak bisa diam? Nanti kita tambah kena, lho!”

Dia menoleh dengan wajah cemberut.

“Tiara, kamu nggak merasa kepanasan? Kamu pikir sekarang kita lagi di kutub apa?”

“Iya, aku juga kepanasan, Novi. Tapi ya nggak ada salju juga di sini, kan?” jawabku pelan.

“Iya juga sih. Tapi tetap aja nyebelin! Masa gara-gara Arga, satu kelas kena begini?!”

"Nov, jangan gitu. Dia juga sering bantuin kita ngerjain PR Matematika, kan? Lagian, ini masalah sepele, biasalah anak cowok.”

Novi diam. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku. Aku coba mendekat dan berbisik padanya beberapa kali, tapi dia tetap tak menanggapi. Yah, mungkin nanti juga baikan sendiri. Tapi rasanya nggak enak juga kalau sahabat sendiri ngambek karena omongan kita.

Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi nyaring.

Kriiing! Kriing!! Kriiing!!!

Kami semua serentak menurunkan tangan dan duduk kelelahan di lapangan. Tapi belum sempat lega, Bu Susi, guru yang menghukum kami, datang menghampiri dengan ekspresi datar.

"Bagus sekali! Belum disuruh duduk, kalian sudah duduk semua? Siapa yang menyuruh, hmm?”

Bu Susi memang terkenal tegas. Sebenarnya bukan guru yang suka marah, tapi... mungkin kami yang terlalu sering bikin masalah.

"Bu, panas. Capek, lagipula udah istirahat juga...” keluh beberapa dari kami sambil menyeka keringat.

"Ya sudah, ibu kasih kalian istirahat. Tapi ingat, jangan diulangi lagi! Terutama kamu, Arga. Kalian semua paham?!”

"Paham, Bu!” jawab kami serentak.

Begitu beliau pergi, kami langsung beranjak menuju kantin. Letaknya ada di belakang gedung pertama setelah pintu gerbang. Gedung itu juga digunakan untuk kelas 10—baik jurusan IPA maupun IPS.

Sekadar info: kelasku berada di lantai dasar gedung 1, tepatnya kelas 10 IPS 3—letaknya paling ujung kanan setelah masuk dari gerbang. Di kelas itu, aku sekelas dengan Novi dan satu lagi teman lamaku dari SMP: Rangga. Lantai dua gedung ini diisi kelas 10 IPS 4 sampai 6, sementara lantai tiga untuk kelas 10 IPS 7 sampai 9.

Kembali ke cerita...

Novi masih diam. Tak bicara sepatah kata pun sejak tadi. Aku merasa bersalah, tapi juga bingung harus mulai dari mana untuk minta maaf.

Dengan hati gelisah, aku berjalan pelan menuju kantin. Baru saja mau menghampiri Novi, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang.

Aku menoleh cepat. Ternyata—

"Kenapa kamu melamun, Tiara?”

Itu Rangga. Teman cowok yang cukup dekat denganku.

"Ah, Rangga! Kagetin aja! Ada apa sih?” tanyaku agak ketus.

"Justru aku yang harus tanya, kenapa kamu kelihatan mikir berat?” jawabnya sambil tersenyum.

Entah kenapa aku malah jadi kesal. Senyumnya itu… bikin jantungku gak jelas ritmenya. Seolah senyum itu punya efek khusus buat hatiku.

"Tiara! Masih aja ngelamun. Tadi udah ditegur, lho.” godanya sambil menggeleng.

"Apaan sih, Rangga? Udah deh, jangan bikin aku tambah pusing! Sana pergi, aku mau sendiri.” usirku sambil berjalan menjauh, mencari meja kosong.

Aku duduk dan memesan semangkuk mie kuah serta teh obeng. Tapi Rangga bukannya pergi, malah terus tersenyum dan duduk tidak jauh dariku.

"Apa lagi sih, Rangga? Sana pergi! Aku nggak mau ngomong sama siapa-siapa hari ini!” ucapku, mulai kesal lagi.

Tapi dia tetap tersenyum. Matanya menatapku dalam-dalam, seakan bisa menebak isi pikiranku.

“Kamu marah kenapa, Tiara? Aku dari tadi nggak ngapa-ngapain, lho.”

“Iya, kamu nggak ngapa-ngapain. Tapi senyum kamu tuh nyebelin!” balasku.

“Hehe, emang aku suka senyum. Apalagi kalau lagi ngobrol sama orang.”

“Ih, masa sih? Ya udah sekalian aja ketawa sampe gigi kamu kering!”

“Kamu nggak percaya ya? Kalau nggak suka, ngomong aja langsung. Jangan dipendem.” katanya lagi, santai.

“Gak tuh! Kamu aja yang geer. Aku mana mikir gitu.”

“Yakin? Jangan bohong deh, kamu gak bisa bohong kalo sama Rangga.” katanya percaya diri.

Aku diam. Dalam hati... mungkin dia benar.

Bersambung...

BAB 2 : Mengerti

Ih, aku benar-benar makin nggak tahan dengan suasana ini. Rasanya ingin menghancurkan apa pun yang ada di depanku—termasuk wajah menyebalkan Rangga. Walaupun dia temanku, sikapnya yang selalu membalas omonganku dengan candaan dan basa-basi malah bikin aku tambah muak. Apalagi suasana hatiku sedang kacau.

Rangga berdiri dan mengambilkan makanan yang kupesan tadi. Aku sempat ingin memarahinya, tapi sebelum sempat buka mulut, dia sudah meletakkan mangkuk dan minuman di depanku sambil bicara:

"Iya, iya... aku tahu kok, Ti! Nggak usah marah-marah, nanti cepat tua lho—bahaya, tuh!" ejeknya sambil nyengir.

"Ish... amit-amit! Kamu aja sana yang tua duluan!"

Aku langsung menyantap makanan tanpa banyak pikir lagi. Rangga sendiri tidak memesan apa pun, padahal waktu istirahat hampir habis. Sesekali aku melirik ke arahnya. Dia terlihat santai mengobrol dengan beberapa temannya, seolah hidupnya ringan tanpa beban—sedangkan aku... bahkan belum sempat minta maaf ke sahabatku sendiri.

"Rangga!" panggilku pelan.

"Ya? Kenapa, Tiara?"

"Emm... kamu nggak lapar? Aku lihat kamu kayak nggak ada beban sama sekali."

Dia menatapku, kali ini lebih serius, tapi tetap dengan senyum tenangnya.

"Kalau lapar, pasti aku udah makan dari tadi. Soal beban... ya aku punya. Tapi menurutku, nggak perlu bawa semua itu ke sekolah. Bisa diselesaikan di rumah, kan?"

Aku termenung mendengar jawabannya. Rasanya... dewasa sekali. Padahal umur kami sama-sama 16 tahun. Sementara aku? Masih sering marah-marah, manja, dan mudah tersinggung. Rasanya seperti anak TK dibanding dia.

"Ehem! Melamun lagi, ya?" godanya sambil menepuk meja.

"Eh, iya. Maaf. Aku lupa..."

"Katanya sih, melamun itu nggak baik. Walau nggak selalu mikir yang negatif, tapi tetap aja bisa bahaya."

"Iya, iya... aku ngerti kok."

Aku kembali fokus pada makananku. Sementara itu, Rangga sudah asyik ngobrol lagi dengan teman-temannya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi dari ekspresinya, semuanya tampak ringan dan menyenangkan. Dalam hati aku mengakui—apa yang dia katakan memang benar. Kalau aku terus begini, kapan dewasanya?

Tak lama, bel masuk kembali berbunyi.

Kriiing! Kriiiing! Kringgg!!

Semua siswa yang masih di kantin langsung bergegas. Gerbang akan ditutup sebentar lagi, jadi kami harus segera kembali ke kelas.

Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB. Waktunya pulang.

Kriing! Kriing! Kriing!

Bel tanda pulang terdengar nyaring. Suasana kelas mulai ramai, semua bersiap membereskan barang masing-masing. Tapi tak seperti biasanya... Novi tidak menungguku. Sepertinya dia masih kesal. Aku berdiri pelan, mataku menatap kosong ke luar jendela. Perasaan bersalah makin menumpuk dan mataku mulai berkaca-kaca.

Tapi kemudian... seseorang muncul.

Rangga.

Ya, si pengganggu itu datang lagi—dengan senyum andalannya.

"Ehem, Tiara! Melamun lagi. Kan udah aku bilang, nggak baik," ucapnya pelan.

"Ah... iya. Maaf, aku lupa."

"Kamu nggak pulang, Rang? Biasanya bareng Arga dan Wisnu, kan? Mereka udah duluan?"

"Nggak kok. Mereka masih di luar, katanya mau nongkrong sebentar di kantin."

"Oh, gitu. Yaudah... aku pulang duluan, ya?"

Dia mengangguk.

"Iya, pulang sana! Aku memang nunggu sampe kamu jalan, biar bisa pastiin kamu nggak melamun lagi di jalan."

"Iya, iya. Aku pulang duluan, Rang!"

Aku melangkah keluar kelas dengan perasaan yang entah kenapa terasa lebih ringan. Mungkin karena ada yang ngajak bicara? Atau... karena Rangga tahu cara membuat suasana jadi lebih tenang? Entahlah, aku sendiri nggak yakin.

Sambil berjalan, aku iseng menengok ke belakang. Benar saja—dia masih memperhatikanku dari kejauhan. Aku pura-pura membenarkan tali sepatu hanya untuk memastikan... dan ya, dia masih memandang ke arahku.

Itulah Rangga. Entah apa isi pikirannya. Kenapa bisa seaneh itu? Seperti seorang penjaga, yang memastikan semuanya aman sebelum pergi.

Kenapa sih dia seteliti itu? Apa aku tahanan buat dia?

Aku biarkan saja dia memperhatikanku. Daripada berpura-pura tak tahu, lebih baik aku terus berjalan dan membiarkannya kembali berkumpul dengan teman-temannya sesuka hati.

Jarak dari sekolah ke rumahku lumayan jauh. Biasanya aku pulang naik bus kota. Pagi-pagi sih, aku masih diantar ayah atau bunda. Tapi kalau sore begini, mereka masih sibuk di kantor.

Perjalanannya sekitar 15 menit.

Sampai di depan rumah, aku langsung heran. Ada motor sport berwarna hitam terparkir di halaman. Nggak biasanya ada motor seperti itu.

Hah? Motor siapa nih? Keren banget. Apa tetangga punya tamu? Tapi kenapa parkir di sini?

Aku melangkah mendekat, mengerutkan alis sambil memperhatikan detailnya. Motor itu bukan tipe biasa. Mahal, mewah, dan pastinya bukan milik siapa pun yang aku kenal.

Ah, mungkin punya tamu tetangga... pikirku singkat, sebelum naik ke teras.

Tapi saat hendak membuka pintu, aku mendengar suara orang berbicara dari dalam. Lebih tepatnya... seperti sedang ada pembicaraan serius di ruang tamu. Salah satu suara terdengar asing. Laki-laki. Suaranya tidak terlalu berat, dan terdengar seperti anak muda.

Aku mematung di depan pintu, menajamkan telinga.

“Bagaimana kalau misalnya Leon tinggal di Batam?” tanya suara laki-laki asing itu.

Leon? Siapa itu? Aku makin bingung.

“Ya, tergantung Leon-nya. Saya bisa bantu carikan tempat tinggal dekat kampus. Lagipula, Tiara juga tahu daerah sekitar sini,” jawab ayahku dengan nada tenang.

Aku tersentak.

Leon?! Siapa Leon?!

Kenapa ayah menyebut namaku juga? Apa aku akan dijodohkan? Nggak mungkin! Ayah sudah janji—tidak akan menjodohkanku dengan siapa pun.

Panik. Bingung. Penasaran. Aku tetap berdiri di depan pintu, menggenggam kedua tanganku erat. Dalam hatiku hanya satu pertanyaan berputar-putar:

Siapa Leon sebenarnya...?

BERSAMBUNG...

BAB 3 : Siapa dia?

Kalian mau tahu apa yang aku rasakan sekarang? Sakit. Bukan luka yang kelihatan, tapi seperti ada yang menekan kuat di dada. Ini rumahku sendiri, tapi rasanya berat sekali untuk melangkah masuk.

"Leon, kamu jadi tinggal jauh dari Mama dan Papa, kan? Kamu udah janji semalam di rumah. Kamu mau lanjut studi di sini, dan katanya juga pengen ketemu sama Tiara."

Deg. Itu... namaku barusan?

Ada apa sebenarnya? Kenapa mereka membicarakanku? Kenapa tiba-tiba perasaanku campur aduk begini? Gugup, cemas, penasaran. Semua bercampur di kepala.

"Iya, Pa. Leon mau, kok. Tapi masalahnya... Leon masih belum hafal jalan di sekitar kampus."

"Ah, itu gampang! Tinggal tanya Tiara aja. Eh, ngomong-ngomong, sekarang udah jam segini. Kok dia belum pulang, ya?" kata Ayah dengan nada khawatir.

Astaga. Sekarang aku benar-benar bingung harus bagaimana. Masuk seolah-olah nggak dengar apa-apa? Atau tetap berdiri di sini dan pura-pura belum sampai?

"Memangnya Tiara sekolah di mana, Yah?"

"Agak jauh. Baru masuk juga sekolahnya."

Ya ampun, Ayah! Kenapa harus dijawab jujur gitu? Aku makin bingung harus bagaimana sekarang...

Tiba-tiba pintu terbuka. Bunda muncul dengan raut wajah bingung melihatku berdiri kaku di depan pintu.

"Lho, Tiara? Kamu udah pulang? Dari tadi di situ? Kenapa nggak masuk, sayang?"

Aku hanya bisa cengar-cengir.

"Hehe... iya, Bun. Baru sampai kok."

"Lain kali bilang kalau pulangnya bakal telat. Biar dijemput Ayah."

"Nggak usah, Bun. Tiara kan udah gede. Lagian Ayah sama Bunda pasti capek pulang dari kantor."

Bunda menggeleng, tersenyum.

"Iya, iya. Masuk sana. Ganti baju, terus makan, ya?"

Saat Bunda hendak kembali masuk, aku menahan langkahnya.

"Bun!"

"Ya?"

"Itu... siapa yang ada di dalam?"

Bunda menoleh ke arah ruang tamu.

"Oh... kamu nggak ingat ya? Kak Leon. Dulu waktu kamu masih TK, sering main bareng."

Aku mengerutkan dahi, lalu mengingatnya—samar, tapi familiar.

"Ohh... kakak yang dulu sering main es krim vanila di taman? Serius dia di Batam? Kapan sampai?"

Entah kenapa... hatiku langsung hangat. Nama itu...Leon...baru disebut saja sudah membuatku seperti ditarik kembali ke masa kecil. Ada rasa rindu yang selama ini tak kusadari. Aneh ya?

"Kemarin sore, sekitar jam tiga. Sana, masuk. Ayah tadi juga cari kamu. Katanya ada yang mau dibicarain."

Aku menarik lengan Bunda sambil merengek pelan.

"Bun... Tiara gak ditanyain yang aneh-aneh kan? Nggak disuruh apa-apa, kan?"

Bunda tertawa kecil.

"Lho, memangnya kamu takut ditanya apa? Ayo, masuk dulu sana."

Aku mengangguk pelan, lalu mengikuti Bunda masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di ruang tamu, langkahku langsung terhenti. Mataku tertuju pada seorang pria bertubuh tinggi yang duduk santai di sofa. Kemeja kotak-kotak merah, kulit cerah, rambutnya tertata rapi menutupi sedikit keningnya. Wajah itu...

Dia.

Hatiku langsung berdebar.

Ya ampun... ini kejutan apa lagi hari ini?

Tangan dan kakiku mendadak kaku. Suara-suara di sekeliling terasa jauh. Rasanya jantungku seperti jarum jam yang berdetak panik.

Kalau aku harus jelaskan perasaan ini, kayaknya bakal lebih rumit dari pelajaran matematika. Jadi, ya... cukup kalian tahu aja, aku benar-benar gugup.

"Apakah dia... gadis kecil yang dulu suka es krim vanila itu? Tiara?" pikir Leon dari tempat duduknya.

Aku masih memandangi wajahnya. Matanya tidak sipit, walau dia punya darah Tionghoa. Kulitnya putih bersih. Dan ya... dia juga sedang menatap ke arahku. Lama.

"Nah! Ini nih, yang dicari-cari dari tadi! Tiara, baru pulang? Tumben lama. Biasanya jam setengah lima udah sampai," kata Ayah memecah lamunan.

Aku buru-buru mengumpulkan nyawa kembali.

"Hehe... iya, Yah. Tadi pulangnya agak lama karena jalanan rame, terus ngobrol sama teman dulu."

Ah, Tiara... kamu ini lebay banget.

Mereka semua tertawa melihat tingkahku yang gugup, kecuali satu orang. Leon. Dia hanya menatapku—tenang, tanpa banyak ekspresi. Entah kenapa, itu malah bikin aku makin deg-degan.

Dia lupa sama aku, ya? Tapi wajar sih. Udah dua belas tahun nggak ketemu. Siapa juga yang bisa ingat?

"Tiara, masih ingat nggak sama Papa? Sama Kak Leon? Hayoo, masih ingat gak?" tanya seorang pria paruh baya yang dari suaranya aku langsung kenali: Papa Leon.

Dulu, aku memang sering memanggilnya Papa karena mereka nggak punya anak perempuan. Hanya Leon satu-satunya anak mereka. Sedangkan aku? Punya satu adik laki-laki yang... ya, bisa dibilang pengacau besar di hidupku.

Ya Tuhan... jangan sampai di momen penting ini, si Dhika pulang. Kumohon...

"Hehe, iya. Tiara masih ingat, kok. Tadi malah sempat mikir, itu motor siapa di depan. Ternyata..."

Aku tertawa kikuk.

"Iya, itu motor kesayangan Leon. Dibawa dari Jakarta, lho!"

"Oh... gitu?"

Aku melirik jam tangan. 17.10 WIB.

"Ayah, Bunda, Papa, Kak Leon...Tiara masuk dulu ya. Mau bersih-bersih."

"Iya, mandi sana! Jangan lupa kamar dirapihin juga!"

"Iya, Bunda."

Aku beranjak naik ke lantai dua. Tapi dalam hati... rasanya ingin balik lagi. Masih banyak yang ingin aku tanyakan. Kenapa Kak Leon datang ke sini? Kenapa dia belum bicara padaku? Apa dia nggak yakin kalau aku itu... Tiara kecil?

Mungkin dia gugup. Atau... mungkin juga dia belum percaya kalau gadis kecil yang suka es krim vanila itu sekarang sudah tumbuh jadi aku.

Tapi ya sudahlah. Sekarang yang penting aku mandi dulu. Badan udah lengket dari pagi, apalagi tadi sempat kena hukum berdiri di lapangan. Gara-gara siapa lagi kalau bukan si Arga, raja bikin onar saat jam kosong.

BERSAMBUNG...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!