Di ruang keluarga, Aleena tampak kecewa setelah mendengar keputusan dari orang tuanya, terutama ayahnya.
"Pa, Aleena mohon, jangan jodohkan Aleena sama Veriando, Aleena tidak cinta, Pa!"
"Tidak! Aleena. Kamu akan tetap menikah dengan Veriando, tidak ada alasan apapun buatmu menolak." Kata Tuan Arvian dengan tegas.
Aleena yang tidak mendapat pengertian dari ayahnya, pun mendekati ibunya agar bisa mendapat pembelaan.
"Ma, Mama mau 'kan bantuin Aleena buat-"
"Cukup! Aleena. Seharusnya kamu itu bersyukur menikah dengan Veriando, lelaki dari keluarga yang terhormat." Sambung Ayahnya yang langsung menyambar ucapan putrinya yang tengah memohon sama ibunya.
"Maafkan Mama, sayang. Mama tidak bisa berbuat apa-apa, karena hari pernikahan mu sudah ditentukan. Juga, kamu sudah selesai kuliahnya. Mama hanya bisa do'akan yang terbaik buat kamu, dan semoga suami pilihan Papa tidak salah untukmu."
Kemudian, Ibunya memeluk putrinya untuk memberi semangat, dan agar tidak larut dalam kesedihan. Setelah itu, pelukannya pun di lepas, dan menetap wajah putrinya sambil menyelipkan rambutnya yang tergerai.
"Percayalah sama Mama, Papa tidak mungkin mau menyengsarakan putrinya sendiri. Yang pastinya, Papa sudah memikirkan matang-matang memilih calon suami buat kamu. Jadi, kamu jangan berprasangka buruk terhadap Papa, ya."
"Tapi, Ma.. Papa serasa tidak adil sama Aleena. Kalau tau gini, mendingan Aleena tidak pulang kalau gitu. Mending juga di luar negri, nyari suami bule sekalian."
"Hus! jangan bicara seperti itu. Oh iya, hari ini kamu masih bisa jalan-jalan, nanti sekretaris Papa yang nganterin kemana aja yang kamu inginkan. Hitung-hitung menyenangkan mu sebelum menikah."
"Terserah Mama sama Papa aja, Aleena mau ke kamar, mau mandi dulu."
Kemudian, Aleena segera ke kamarnya. Sedangkan kedua orang tuanya pun tersenyum lega karena putrinya tidak ada penolakan setelah beberapa waktu untuk meyakinkannya.
"Akhirnya putri kita menikah juga ya, Ma. Papa benar-benar merasa lega karena kita tidak lagi cemas dengan jodoh Aleena."
"Mama hanya bisa mendoakan yang terbaik buat putri kita, Pa. Semoga suaminya nanti benar-benar tulus menikahinya, dan mendapatkan kebahagiaan sesuai yang kita harapkan."
"Ya, Ma, semoga doa kita dikabulkan. Ya udah ya, Ma, Papa mau siap-siap berangkat ke Kantor. Nanti kalau Devan datang, bilangin, gak ada jadwal jemput Papa, tapi jadi supirnya Aleena seharian, ya."
"Iya, Pa," jawab Nyonya Meli.
Karena tidak ingin terlambat ke kantor, Tuan Arvian segera bersiap-siap. Sedangkan Nyonya Meli tidak lupa untuk menyiapkan bawaan yang akan dibawa suaminya.
Aleena yang baru aja masuk kekamar mandi, buru-buru karena sudah merasa bosan didalam rumah, dan ingin menikmati jalan-jalan kemana yang ia mau.
Selesai mandi, Aleena buru-buru mengenakan pakaiannya. Hanya berpakaian sederhana, Aleena tidak butuh penampilan yang terlihat wah. Sedangkan Tuan Arvian sudah berangkat ke kantor saat putrinya sedang mandi.
Suara mobil yang baru saja berhenti, rupanya tengah mengagetkan Aleena yang sengaja berada di balkon.
"Itu beneran sekretarisnya Papa? yang bener aja, keren banget ternyata." Gumamnya saat mengamati dari lantai atas.
Bahkan, Aleena tidak sadar kalau pintunya diketuk ketuk oleh asisten rumah, yakni Mbak Dila.
"Permisi, Nona, Sekretaris Devan sudah menunggu di depan rumah."
Aleena sendiri tidak menyahut sama sekali, lantaran dirinya tengah fokus memperhatikan sekretaris Devan yang tengah mondar-mandir menunggu anak Bosnya.
Karena pintu tidak dikunci, akhirnya Mbak Dila masuk ke kamar. Sudah mendapat izin sama pemilik kamar untuk masuk ketika ada sesuatu yang mendesak, Mbak Dila segera masuk dan memanggilnya.
"Permisi, Nona, Sekretaris Devan sudah menunggu Nona dari tadi."
"Mbak Dila, sini cepetan."
Bukannya menjawab, Aleena justru memanggilnya.
"Ada apa, Nona?"
"Itu beneran sekretarisnya Papa?"
Mbak Dila pun ikutan melongok kebawah.
"Iya, Nona, namanya Devan, sekretaris Tuan Arvian, juga orang kepercayaannya Tuan."
Aleena justru membayangkan sesuatu, entah apa yang ada didalam pikirannya.
"Maaf, Nona, Sekretaris Devan sudah menunggu Nona dari tadi."
"Mbak, udah kelihatan cantik belum akunya. Bajunya kelihatan norak gak, nanti biar aku ganti baju lagi."
Mbak Dila cuma geleng-geleng kepala sambil bengong.
"Enggak perlu, Nona. Jugaan Nona sudah cantik, cuma perginya bukan sama calon suaminya Nona, tapi sama sekretaris Devan."
"Memangnya apa bedanya, calon suami sama sekretaris Devan. Tapi beneran kan, penampilan aku gak norak."
"Tidak, Nona, Nona sudah cantik kok, malah cantik banget." Puji Mbak Dila yang tidak ingin nambah masalah, pikirnya.
'Ada angin apa lagi, sampai-sampai Nona Aleena jadi aneh gini. Tadi sedih, ini malah kek dapat hoki. Aaah! serahlah. Nona 'kan emang berubah ubah.' Batin Mbak Dila sambil jalan sambil garuk-garuk tengkuk lehernya yang tidak gatel karena merasa aneh dengan anak majikannya.
Aleena sendiri buru-buru keluar, sampai-sampai lupa berpamitan sama ibunya.
"Aleena," panggil ibunya yang tengah menyusul putrinya yang sudah keluar rumah.
Aleena begitu terpukau saat keluar dan melihat sosok Devan yang tengah berdiri tegak di dekat mobil.
"Aleena,"
Aleena tidak menanggapi panggilan dari ibunya, ia justru mendekati Devan sambil senyum sumringah.
"Kenalin, aku Aleena, putri semata wayang, bukan sih, punya Kakak laki-laki. Oh iya, kamu sekretaris Devan, 'kan?"
"Iya, Nona, saya Devan, sekretarisnya Tuan Arvian."
"Ekhem!"
Aleena langsung menoleh ke samping.
"Mama, ngagetin aja deh."
"Nak Devan, maaf ya, sudah merepotkan kamu. Hari ini jadwal kamu bukan menjemput Tuan Arvian, melainkan nganter Aleena jalan-jalan ke mana aja yang dia mau. Tolong jaga Aleena dan awasi ya, jangan sampai dianya ceroboh, soalnya hari pernikahannya sudah dekat. Kami percayakan semuanya sama kamu, jaga Aleena baik-baik," ucap Nyonya Meli berpesan sebelum putrinya pergi jalan-jalan.
"Baik, Nyonya. Tuan Arvian juga sudah menghubungi saya barusan, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga putri Nyonya dengan baik. Berangkat dengan selamat, pulang juga dengan selamat."
"Sudah lah, jangan banyak basabasi, entar gagal lagi jalan-jalannya. Ya udah ya, Ma, Aleena berangkat dulu, byebye Mama,"
"Hati-hati dijalan," jawab ibunya, Aleena pun segera masuk ke mobil.
"Silakan masuk, Nona," ucap sekretaris Devan saat mempersilakan masuk ketika pintu mobil dibuka.
Bukannya segera masuk, justru menatap serius pada Devan.
"Nona, silakan masuk."
Aleena justru tersenyum saat Devan mempersilakan masuk, dan tidak disangka pintunya ditutup.
"Aku mau duduk di depan, soalnya gak nyaman kalau duduk dibelakang."
"Aleena, kamu sudah mau menikah, jaga sikap kamu."
"Ya deh, iya," jawabnya mendadak menunjukkan muka masamnya. Kemudian, dengan terpaksa si Aleena duduk dibelakang.
Nyonya Meli cuma mengelus dadanya saat menghadapi sikap putrinya.
'Semoga sama suaminya nanti tidak bersikap kekanak-kanakan, atau bersikap kasar. Kalau sampai suaminya tidak bisa mengerti dengan karakter Aleena, entah lah, cuma bisa pasrah.' Batin Nyonya Meli penuh kekhawatiran
Aleena yang berasa tidak nyaman duduk dibelakang supir, pun berniat untuk pindah tempat duduk.
"Stop! stop! stop."
Sssssttttt!
Seketika, Devan langsung menepikan mobilnya dan mendadak berhenti.
"Aw!" pekik Aleena sambil mengusap keningnya yang tengah membentur kursi depan.
"Maaf, Nona, tidak ada niat saya buat melukai Nona," ucap Devan sedikit ada perasaan kesal karena ulah anak majikannya yang membuat dirinya mengerem mendadak.
"Kamu gak perlu meminta maaf, tapi aku, karena aku yang sudah salah menyuruhmu berhenti. Eh iya, aku duduk di depan ya, boleh, 'kan?"
"Maaf, Nona, saya tidak bisa membantah ucapan dari Nyonya. Bukankah Nona mau menikah? tentu saja saya harus jaga sikap, dan tidak boleh semena-mena dengan Nona."
"Puih! kamu itu gak usah formal gitu kenapa. Pokoknya aku mau duduk di depan, titik."
Aleena pun segera keluar, dan memaksa Devan untuk membukakan pintu. Karena tidak ingin berdebat, akhirnya Devan membuka pintunya.
'Ini cowok kenapa dingin banget lah, gak naksir kah sama aku, yang udah dandan cantik kek gini.'
"Silakan dipakai sabuk pengamannya, Nona," ucap Devan sambil menyalakan mesin mobilnya.
Aleena yang memang sengaja ada niat tertentu, dirinya pun berpura-pura kesulitan untuk mengenakan sabuk pengaman. Berkali-kali melesat, dan sulit untuk memasangnya. Devan yang melihatnya pun ada perasaan tidak sabar.
"Aduh, gimana ini, susah banget lagi. Gak pernah dipakai ya mobilnya, sampai sulit banget dipasang. Lain kali tuh diperiksa dong, mau itu mesin, juga sabuk pengamannya." Protes Aleena dengan berbagai alasan agar Devan mau membantunya memasang sabuk pengaman.
Benar saja, akhirnya Devan turun tangan dan membantunya. Namun sayangnya, Devan fokus dan hanya melirik ke arah pemasangan sabuk pengaman.
"Sudah, dan tidak ada yang perlu dicek atau diperiksa. Lain kali Nona tidak perlu buru-buru memasang sabuk pengaman, karena beresiko bakal sulit dan emosi," ucap Devan yang kini sudah fokus arah pandangannya ke depan, dan fokus menyetir mobil.
Aleena menoleh ke Devan, rasanya begitu kesal ketika mendapati sikap sekretarisnya yang begitu dingin dan cuek. Bahkan, saat bicara pun tidak memalingkan wajahnya.
'Dasar! cowok kepala batu. Kerasnya minta ampun, dinginnya aja melebihi suhu di Kutub utara.' Batin Aleena sambil memperhatikan Devan yang tengah menyetir.
"Kita mau kemana, Nona?"
"Ke hatimu!" jawabnya dengan ketus.
Devan pun sekilas menoleh pada Aleena.
"Saya tanya serius, Nona."
"Saya juga jawabnya serius, malah dobel serius."
Devan tidak menanggapinya, ia terus melajukan mobilnya sesuka hatinya. Juga, sedari tadi tanya mau kemana, pun tidak ada jawaban yang jelas, pikirnya.
"Aku mau pergi ke pantai, eh gak jadi ke puncak aja. Aku pingin menikmati keindahan dari atas bukit, keknya bagus pemandangannya," ucap Aleena yang akhirnya menunjukkan tempat yang ingin ia tuju.
"Baik, Nona," jawab Devan dan menuju tempat yang diinginkan anak Bosnya.
Dengan kecepatan sedang, akhirnya sampai juga ke tempat tujuan. Kemudian, mereka berdua segera keluar. Devan yang tengah berjalan beriringan, ia selalu siaga untuk berjaga-jaga kalau ada apa-apa terhadap anak Bosnya.
"Kamu punya pacar?" tanya Aleena tanpa ada perasaan canggung untuk bertanya soal pribadinya Devan.
"Saya tidak punya pacar, Nona."
"Gak percaya akunya, kalau kamu masih jomblo. Bilang aja kalau udah punya istri, atau calon istri, iya 'kan."
"Terserah Nona mau nyangka yang mana soal diri saya. Sebaiknya Nona fokus menikmati waktu sebelum statusnya berubah menjadi istri Tuan Veriando."
"Kamu itu ya, sama aja kek Papa aku. Eh! kamu seriusan belum punya pasangan?"
"Tidak ada pengulangan kata. Sebaiknya Nona menikmati liburannya, waktu Nona cuma tinggal hari ini. Sangat disayangkan kalau Nona hanya ingin tahu soal pribadi saya, yang ada Nona-"
"Aaaaaa!" teriak Aleena terpeleset saat mau naik ke atas bukit.
Saat itu juga, Devan langsung menyambar tangannya.
"Nona, bertahan sebentar. Saya tarik tangan Nona, pelan-pelan, jangan takut," ucapnya.
Devan mencoba menarik tangannya, dan- saat Aleena sudah ditarik, ia langsung memeluk Devan, dan menangis sesenggukan.
"Nona, Nona jangan nangis. Udah gak ada apa-apa, Nona udah selamat. Nona tidak perlu takut, Nona jangan nangis lagi," kata Devan berusaha menenangkannya, sedangkan Aleena semakin erat memeluk Devan hingga membuatnya merasa risih.
"Aku takut, aku masih takut," jawab Aleena yang masih memeluk erat tubuh Devan.
Pelan-pelan Devan mencoba melepaskan tangan Aleena yang tengah memeluk dirinya.
"Aw! sakit banget kaki aku, aduh." Aleena memekik kesakitan sambil memegangi pergelangan kakinya.
"Aduh! sakit banget, aw!"
"Maafkan saya kalau tidak sopan, saya gendong Nona untuk turun,"
"Gak gak gak! aku maunya naik ke atas, aku masih pingin lihat pemandangan. Kamu boleh kok gendong aku, dan aku gak ngelarang kamu, boleh kok."
"Baik lah, saya gendong Nona. Maafkan saya jika yang saya lakukan ini kurang sopan dan kurang pantas."
Devan pun segera mengangkat tubuh Aleena dab menggendongnya sampai di atas bukit, tempat menikmati keindahan dari atas.
Aleena langsung melingkarkan kedua tangannya dan mengambil kesempatan untuk memandangi wajah tampan miliknya sekretaris Devan. Sedangkan Devan sendiri merasa risih dan dirinya tetap fokus dengan langkah kakinya dalam kondisi menggendong Aleena.
Aleena benar-benar terpaku atas ketampanan yang dimiliki oleh Devan, tidak kalah dengan CEO CEO yang berpenampilan keren. Kemudian, pelan-pelan Devan menurunkan Aleena ditempat duduk. Aleena sendiri masih terpukau memandangi wajah tampan miliknya Devan.
Merasa diperhatikan oleh Aleena, Devan merasa risih dan juga tidak nyaman.
"Kaki aku sakit banget, tolong diurut ya, soalnya aku gak bisa jalan," ucap Aleena sambil memegangi kakinya, dan menatap Devan sambil membayangkan sesuatu.
"Biar saya carikan tukang urut khusus perempuan, Nona tunggu disini sebentar."
Saat itu juga, Aleena langsung meraih tangan miliknya Devan saat hendak dirinya mau bangkit dari posisinya.
Aleena menggelengkan kepalanya.
"Kamu aja yang ngurut kaki aku, gak perlu kamu nyari orang buat kesini. Gak apa-apa kok, serius. Juga, gak ada siapa-siapa, Papa Mama aku gak ada, calon suami aku juga gak ada."
"Tapi, Nona, saya rasa kurang pantas."
Saat itu juga, Aleena langsung menarik kuat tangannya Devan.
Brug!
Akhirnya Devan jatuh di dekatnya Aleena. Tidak peduli siapanya, dan dimana tempatnya, ada banyak orang atau gaknya, Aleena tidak peduli jika menjadi pusat perhatian orang orang. Aleena dengan berani mencium Devan.
Deg!
Devan langsung bengong saat bibirnya menempel di bibir Aleena.
"Gimana, udah pantas 'kan sekarang?"
"Nona! ini sangat keterlaluan." Bantah Devan dengan perasaan begitu geram atas sikap Aleena yang menurutnya kurang ajar dan kurang pantas.
"Jangan galak-galak sama pasangan sendiri, Tuan. Kasihan pacarnya Tuan, justru anda beruntung mendapatkan ciuman dari kekasihnya Tuan. Tandanya Tuan laki-laki yang dicintai oleh Nona. Jarang loh ada yang berani mencium pacarnya, yang ada takut ketahuan sama selingkuhannya." Timpal seseorang ikut bicara.
"Tuh 'kan, kamu dengar gak?"
Devan menatapnya dengan sinis.
"Aw! sakit banget kaki aku." Pekik Aleena sambil meringis kesakitan.
"Tuan, itu kasihan pacarnya, kesakitan. Buruan diurut, takutnya nanti keburu bengkak kakinya,"
Devan pun langsung duduk dan mengurut kakinya dengan perasaan begitu kesal, geram, dan ingin rasanya memarahinya. Namun, karena banyak pengunjung, akhirnya sebisa mungkin untuk menjaga sikapnya agar tidak kelewatan.
Merasa sudah cukup menikmati pemandangan diatas bukit, Aleena mengajak Devan pulang. Namun, saat Devan mau membukakan pintu mobil, tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan suara dering ponsel.
Takutnya ada hal penting, Devan segera merogoh ponselnya didalam saku celananya. Melihat nama kontak, Devan langsung menerima panggilan.
"Apa! Ibu jatuh. Iya iya, Kakak pulang. Kamu jagain Ibu, sekarang juga Kakak langsung pulang."
Devan langsung memutus panggilan telpon.
"Sebelumnya saya minta maaf, Nona, Ibu saya jatuh, dan saya minta izin untuk pulang, saya mengkhawatirkan kondisi Ibu saya."
"Gak apa-apa, aku ikut sekalian, pulangnya nanti juga gak apa-apa, ayo,"
"Terima kasih, Nona,"
Devan segera membukakan pintu mobil.
"Aku mau duduk didepan aja, gak nyaman duduk dibelakang. Apalagi kamu sedang mencemaskan ibu kamu, biar aku aja yang nyetir."
"Tidak usah, kaki Nona aja masih sakit. Biar saya aja yang nyetir, saya masih bisa kok," ucap Devan dan segera membukakan pintu mobil yang didepan.
Kemudian, Aleena segera masuk dan duduk. Kini, dirinya tidak lagi berpura-pura, dan langsung bisa saat memasang sabuk pengaman. Sedangkan Devan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi. Tidak memakan waktu lama, akhirnya sampai juga di rumah ibunya Devan.
Sampai di depan rumah, Devan menyempatkan diri untuk membantu Aleena turun dari mobil. Lalu, buru-buru masuk ke rumah dengan perasaan khawatir.
"Livia! Ibu mana?" teriak Devan memanggil adiknya dan menuju kamar ibunya.
"Ibu, gimana keadaan Ibu? mana yang sakit? tangan, kaki, atau mana, Bu?"
Ibunya justru mengarahkan pandangannya pada Aleena yang tengah berdiri diambang pintu.
"Dia siapa, Dev?"
"Apa kabarnya, Bu? saya pacarnya anak Ibu."
Aleena langsung mendekati ibunya Devan, yakni Ibu Mariana.
"Bukan, Bu. Dia becanda, dia Nona Aleena, calon istrinya Tuan Veriando, yakni putrinya Tuan Arvian sama Nyonya Meli, tepatnya adiknya Bernio."
Ibunya justru tersenyum mendengarnya.
"Kirain beneran pacarnya Devan, Ibu sudah senang tadi. Ya sudah lah, hari ini Ibu dapat candaan yang sudah menghibur Ibu, makasih ya, Nak."
"Maafin Aleena ya, Bu, udah ngerjain Ibu," ucap Aleena merasa bersalah, dan berdiri didekatnya Ibu Mariana.
"Tidak apa-apa, Ibu juga becanda tadi. Silakan duduk, Nona."
"Jangan panggil saya Nona, panggil aja Aleena. Soalnya saya tidak begitu suka dipanggil Nona, kurang nyaman aja,"
Ibu Mariana pun tersenyum, dan Aleena segera duduk.
"Bu, Devan anter Ibu ke Dokter ya, biar diperiksa. Devan takut kenapa-napa."
"Ibu udah diperiksa tadi, ini si Livia yang heboh, langsung nelpon kamu. Ibu udah ngelarang tadi, eee malah tetap aja nelpon kamu. Memangnya kalian dari mana? kamu gak ke kantor? kok sama putrinya Bos kamu. Kalau kalian dimarahin gimana?"
"Tidak kok, Bu. Papa saya yang nyuruh sekretaris Devan buat nganterin saya jalan-jalan. Terus pas mau pulang, sekretaris Devan dapat telpon dan katanya Ibu jatuh, jadinya saya ikut sekalian,"
"Gak bohongin Ibu, 'kan?"
"Tidak kok, Bu," jawab keduanya bersamaan.
"Cieee.. cocok nih."
"Livia, jaga bicaramu, yang sopan."
"Mendingan kamu buatkan minum, kasihan baru pulang, cepetan sana kedapur."
"Iya, Bu, iya deh. Kirain tadi pacarnya Kak Devan, gak taunya bukan. Eh, tapi mirip loh sama foto yang ada didompetnya Kak Devan,"
"Livia, kamu disuruh apa tadi sama Ibu, buatin minuman 'kan, buruan sana ke dapur."
"Iya sih iya, nyebelin banget punya kakak satu ini,"
Aleena pun tersenyum, rupanya hubungan kakak-beradik tidak jauh beda antara dirinya dengan kakaknya sendiri. Mengingat dengan ucapan yang terlontar lewat mulutnya Livia soal foto didalam dompetnya Devan, pun membuatnya penasaran dan ingin tahu apakah beneran mirip, pikirnya.
"Nak Aleena, makasih ya, udah ngizinin Devan pulang ke rumah. Ngomong-ngomong kamu sudah ngasih kabar belum sama orang tua kamu, kalau kamu ikut kesini."
Aleena menggelengkan kepalanya.
"Maaf ya, Bu, saya mau terima telpon dulu," ucap Aleena yang tengah dikagetkan dengan suara getar pada ponselnya.
Melihat siapa yang menelpon, rasanya begitu males untuk menerima panggilan.
"Kok cuma dilihatin doang, gak kamu angkat telponnya kah?"
"Gak penting." Saat itu juga, Aleena memilih mematikan ponselnya, yakni karena tidak ingin diganggu.
Devan sendiri masa bodoh atas sikap Aleena, dan masuk ke kamar untuk mandi agar badan tidak gerah dan risih.
Aleena yang tengah menemani Ibu Mariana, rupanya Livia ikutan duduk bareng.
"Aku belum kenalan tadi sama Kakak, kenalin, aku Livia, adiknya Kak Devan, panggil Livia aja, tau Livi juga boleh," ucap Livia yang langsung mengulurkan tangannya.
"Nama Kakak, Aleena, panggil aja Kak Aleena atau yang kamu sukai,"
Livia justru mengamati dengan serius, yakni membandingkan serta menyamakan wajah Aleena dengan foto yang ada didalam dompet kakaknya.
"Kakak tidak mempunyai kembaran, 'kan?"
"Enggak, punyanya cuma Kakak laki-laki, dan tinggal di luar negri, memangnya ada yang mirip ya,"
Livia mengangguk, yakni merasa yakin kalau Aleena sangat mirip dengan foto yang ada didalam dompet kakaknya.
"Iya, beneran mirip ya, Bu,"
"Mana Ibu tau, Liv. Lihat dompetnya aja Ibu gak pernah, apalagi ada foto," kata ibunya.
"Livia, kamu itu ya, sukanya bikin orang penasaran. Sejak kapan didompetnya Kakak ada foto perempuan, yang ada kamu itu ngada-ngada."
"Ish! mana ada akunya ngada-ngada. Tapi ya udah lah, debat sama Kak Devan mah gak bakalan bisa menang, yang ada juga kalah terus."
Aleena cuma tersenyum mendengarnya. Saat baru saja minum, rupanya ponsel Devan berdering, dan segera melihat siapa yang menelpon.
"Baik, Tuan, saya segera pulang sekarang,"
Panggilan telpon dari Bosnya, pun terputus.
"Papa ya yang nelpon,"
"Iya, Nona, Tuan Arvian meminta Nona untuk segera pulang, katanya Kakaknya Nona pulang, dan sudah berada di rumah."
Seketika, Aleena melotot.
"Kak Bernio beneran udah di rumah? mam-pus."
"Kok mam-pus, apanya?"
Aleena cuma bisa nyengir kuda, lantaran sudah menolak panggilan dari kakaknya.
"Ya udah kita pulang," jawabnya. Lalu, Aleena berpamitan sama Ibu Mariana, juga Livia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!