NovelToon NovelToon

Dear, My Heartbeat

Rabbit Punch Gym

...N A U R U...

...────୨ৎ────જ⁀➴...

Membicarakan omong kosong satu sama lain itu sudah jadi kebiasaan kita. Gue sama anak-anak selalu nongkrong di tempat yang sama tiap minggu. Rabbit Punch, Gym yang sekarang jadi punya gue. Dari kecil, kita sudah sering banget nongkrong di sini. Kita semua tumbuh di sini.

"Kayaknya hari ini banyak yang kudu dibahas, deh," kata Hazerrie sambil melirik Mohan sama Eros. Santai, sih gayanya, tapi kalau ada yang bikin dia kesal, dia pasti jadi orang yang pertama buat teriak.

"Ros, kenapa, sih kita mesti ribet sama cafe itu?" keluh Mohan.

Mohan sama Hazerrie memang saudara kandung, tapi buat gue sama yang lain, mereka sudah kayak keluarga sendiri, kami sedekat itu.

Eros cuma tertawa, angkat bahu. Eros sama Mohan itu yang punya FOD Construction, singkatan dari Fight or Die, yang juga sudah jadi tato wajib di badan kita bertahun-tahun lalu.

"Bro, itu kerjaan. Masa mau ditolak? Konyol banget kalau kita nolak proyek segede itu. Sejak empat tahun lalu, hampir semua renovasi di pusat kota, kan kita yang pegang," jawab Eros.

"Gue kasih tahu nih ya, bego, mau lo ambil proyek itu atau nggak, lo tetap kelihatan tolol. Dan ini bukan soal proyeknya." timpal Hazerrie, terbahak-bahak. "Tapi, kalau lo ambil proyek itu, lo bakal ngecewain keluarga Batari. Seriusan."

Keluarga Batari itu punya hampir semua properti di Royale Blossom Town, kota tempat kita tumbuh. Nama mereka pun ada di mana-mana, jalanan, sekolah, perpustakaan, dll. Marga Batari itu tajir melintir. Dan kita punya alasan yang kuat buat benci mereka.

Tapi kalau soal bisnis, gue mengerti posisi Eros sama Mohan. Duitnya bagus, usaha mereka juga lagi naik daun. Jadi gue enggak mau urusan pribadi menghancurkan bisnis mereka.

Masalahnya, si Ailsa Batari. Anak dari keluarga Batari. Dia baru lulus kuliah, dan sekarang lagi buka cafe, persis di sebelah Gym gue. Nah, dari situlah keributan kita dimulai.

"Gue pernah bilang, kan, kalau Yoan dulunya temanan sama dia waktu sekolah? Dan kata adik gue, Ailsa itu cewek baik-baik. Itu kata Yoan, ya, bukan kata gue," kata Kai sambil menggulung matanya.

"Gue, sih tetap enggak nganggep keluarga Batari sebagai teman, tapi kadang memang kita kudu kerja sama. Kota ini kecil, bro. Gue aja padamin kebakaran di rumah mereka tahun lalu, masa lo mau nyalahin gue gara-gara gue enggak tega lihat rumah orang kebakar?"

"Terserah lah, Kai. Yang penting tugas lo kelar," jawab Hazerrie sambil menyeruput kopi, bersandar di sofa kulit di ruang belakang Gym yang sudah menjadi basecamp resmi kita. "Sekarang bisa enggak, sih, kalian stop jilatin iblis kayak mereka?"

"Setuju!" kata Mohan sambil mengangkat tangan. "Tapi jujur aja ya, Ailsa itu enggak sekaya atau seberengsek yang lo kira. Dia malah renov apartemen di atas tokonya buat tempat tinggal. Dia bukan putri mahkota kayak yang lo bayangin."

"Oh, biar gue tebak, lo mau ngegebet cewek dari keluarga Batari, ya, sekarang?" ejek Hazerrie.

"Santai lah, bego. Mohan semalam barengan sama gue, dan gue bisa jamin dia enggak ngincer cewek," tawa Kai.

"Anjir, jangan gitu dong. Gue bukan gay. Tapi tenang, gue juga enggak ada niat dekatin Ailsa Batari. Dia terlalu manis buat gue," Mohan angkat alis, sengaja banget buat bikin Hazerrie makin kesal.

Membenci keluarga Batari sudah seperti tradisi buat kita. Wajar, sih. Tapi jujur saja, Ailsa sebenarnya enggak ada salah apa-apa. Kita bahkan enggak pernah dekat. Dia sekolah di tempat elit, sedangkan kita di sekolah biasa.

Enggak ada dari kita yang jenius, tapi setidaknya kita survive. Gue sama Hazerrie sempat babak belur setelah keluar dari rehab, tapi akhirnya kita bisa memperbaiki hidup kita.

Soalnya, begitu kita di cap sebagai anak kriminal, susah banget buat menghilangkannya.

"Keluarga Batari itu memang darah iblis semua. Dan kita udah kebanyakan buang waktu buat ngomongin mereka. Sekarang mending bahas yang lebih penting. Setuju, gak, Rabbit Boy?" Hazerrie melirik gue.

Rabbit Boy, itu julukan yang mereka kasih ke gue dulu. Sekarang malah jadi nama gue di dunia tinju. Kita sudah mengalami banyak hal bersama. Gue anak paling bontot di geng ini.

Awalnya kita berteman gara-gara mereka menemukan gue di gang belakang gym, ribut sama tiga orang yang jauh lebih tua. Mereka lihat gue keteteran, dan mereka langsung turun tangan. Sejak itu, persahabatan kita makin solid.

"Oke. Jadi, siapa yang harus kita gebukin kali ini?" sindir Kai, bersandar sambil menyeringai. Kai ini badannya kekar, keras kayak batu, jelas dengan aura pemadam kebakarannya.

"Dia cuma cari perhatian," gue angkat bahu, sok santai, padahal dalam hati kesal setengah mati.

Rahardian The Lion, dia petinju kelas Pro. Beberapa bulan lalu dia kalah lawan Jeka William. Satu-satunya kekalahan di karier dia, dan sekarang dia koar-koar minta rematch. Katanya waktu itu dia lagi gak fit, dan Jeka cuma hoki.

Followers dia di sosmed sudah jutaan, media juga suka banget bahas dia. Soalnya, orangnya memang kacau. Pernah, dia lempar kursi ke luar jendela restoran cuma gara-gara resepsionisnya enggak mengenali dia.

Tolol, kan?

Dan entah kenapa, sekarang gue yang jadi sasaran dia.

Ironisnya, beberapa tahun lalu gue naik ke ring pro melawan Jeka William. Waktu itu, dia baru debut, belum terkenal. Waktu gue mengalahkan dia, enggak ada yang peduli sama gue.

Setelah itu, gue pensiun dari dunia tinju. Sementara Jeka makin naik, sampai akhirnya dia rebut sabuk juara dari Rahardian.

Terus, Jeka kecelakaan. Parah banget, sampai kakinya harus diamputasi. Jeka pun berhenti tinju, dan Rahardian malah sibuk koar-koar karena enggak dapet rematch. Dia memang enggak punya simpati sama sekali, benar-benar norak.

Nah, dari situ, Rahardian jadi mengincar gue. Karena katanya, sebelum kalah sama Jeka, kekalahan terakhir Jeka itu dari gue. Dan dia pengen banget mengalahkan gue buat balikkan reputasi dia.

Padahal, siapa, sih yang masih ingat sama gue?

Gue, sih fine-fine saja.

"Dia memang tolol. Tapi kalau lo benaran mau tanding, kita semua di belakang lo, bro," kata Mohan sambil geleng-geleng.

Dari dulu memang begitu. Tiap kali gue bertanding, mereka selalu ada.

Fight or Die.

Itu prinsip kita.

Fight or Die

"Gila, bro. Gue masih ingat banget pas lo lawan Jeka. Lo jatuhin dia gitu aja, semua orang sampai bengong." Hazerrie mengusap tangannya dengan semangat. "Tapi masalahnya Rahardian ini udah di luar batas, bro. Gue tahu lo masih galau buat balik ke ring, tapi jujur aja ... gue pingin banget lihat lo bikin dia diam!"

Gue sudah berhenti tinju sejak Papa ambruk di ring, beberapa bulan setelah gue lawan Jeka. Dia enggak bangun lagi, meninggal beberapa jam kemudian. Sejak itu, gue enggak ada hati lagi buat main tinju.

Gue fokus buat menjalankan tempat Gym Papa bareng Melpida, partnernya di Rabbit Punch. Setahun lalu dia pensiun, terus dia menemukan cara biar gue bisa beli Gym itu, dan sekarang resmi jadi milik gue.

Lumayan bikin gue sibuk, sih.

Gue latih beberapa petinju, mengurus tim, memastikan tempat ini tetap bisa jalan. Duitnya cukup buat hidup enak, tapi ya, enggak bikin tajir juga. Jujur saja, pertarungan ini bisa jadi jalan cepat buat mendapatkan duit.

Sementara adik gue masih kuliah, gue berusaha melakukan sesuatu yang bisa bikin Mama sama nenek tetap sehat setelah Papa enggak ada. Gue bersyukur banget waktu nenek memutuskan buat tinggal bareng kita. Lega saja rasanya. Enggak kebayang kalau salah satu dari mereka harus hidup sendirian.

"Gue gak tahu, bro. Gue udah ngobrol sama Barrie soal ini, dan dia bilang jangan sampai terprovokasi omongan Rahardian. Dia udah pernah ngalamin ini jauh lebih parah daripada gue."

Barrie, kakak gue. Gue baru tahu kalau ternyata gue punya kakak, setelah Papa meninggal. Papa meningkalkan surat buat dia, dari situ gue bisa lacak dia. Sejak itu, kita jadi dekat.

"Kayaknya Rahardian makin semangat karena lo sekarang punya kakak terkenal," kata Eros. "Dia benaran enggak ada capeknya ngejelekin lo. Dan jujur aja, Chumpa pasti bakal senang banget lihat om Ru berantem benaran."

Chumpa itu anaknya Eros. Dari lahir dia sudah kayak bagian dari geng kita. Umurnya hampir enam tahun dan serius, dia bocah paling asik yang pernah gue kenal.

Kita berempat jadi wali baptisnya, dan enggak ada hal yang enggak bakal kita lakukan buat dia. Eros mengurus dia sendirian, kecuali waktu mantan istrinya datang buat ketemu setiap weekend. Jadi ya, bisa dibilang Chumpa itu anak kita juga.

Beberapa minggu lalu, dia mulai belajar tinju sama gue, soalnya dia ingin bisa berantem, "Iya, minggu lalu dia bilang pingin lihat gue bertarung. Gue malah kepikiran mau nyeret salah satu dari kalian ke ring buat latian bareng," tawar gue.

"Eh, tapi serius. Lo mungkin harus pertimbangin tawaran Rahardian. Lo lihat, enggak yang dia upload kemarin? Norak abis, bawa-bawa nama lo buat bercandaan."

Rahardian sempat diwawancara di salah satu saluran olahraga terkenal, dan pas ditanya soal pertarungannya yang akan datang, dia sebut nama 'NAURU'. Kalau gue dapat duit tiap kali ada yang menyebut nama itu, sumpah, gue enggak bakal mau balik ke ring lagi.

Masalahnya, ini makin merusak mental gue. Orang-orang bakal tanya, apa gue bakal kasih pelajaran ke dia, soalnya dia gak bisa diam dan terus saja menyerang gue setiap kali ada kesempatan.

"Dia cuma pingin ngusik lo," kata Eros. "Kalau lo mau masuk ring, gue dukung banget. Lihat lo hancurin dia, itu keren, sumpah. Tapi kalau lo tetap milih pensiun, lo juga gak punya utang apa-apa ke dia, kan?"

"Benar banget." Kai angkat cangkir kopinya, kita semua pun ikutan.

"Gue harus mikir dulu. Gue benaran belum tahu mau gimana." Gue bersihkan tenggorokan terus lihat ke Eros. "Lo bakal nitipin Chumpa pulang sekolah nanti?"

Eros sama Mohan lagi urus proyek renovasi besar di kota, jadi mereka kerja sampai malam.

"Iya, bro. Makasih. Cuma beberapa jam kok, habis itu gue mampir ke sini buat jemput dia setelah makan malam."

"Oke. Gue bakal biarin dia main-main bentar di ring."

"Chumpa emang anak beruntung. Punya om-om yang baik. Kebayang, enggak, pas dia udah masuk SMA nanti?" kata Hazerrie sambil ketawa.

"Gokil, sih. Dia mungkin enggak bakal lepas dari jaket kulit yang lo beliin buat dia." Eros angkat alis ke Hazerrie terus menengok ke Mohan. "Sekarang aja dia sering nanya, umur berapa boleh punya tato 'Fight Or Die'? Katanya, suatu hari dia harus punya tatto itu biar jadi bagian dari keluarga kita. Ini parah sih, Mohan ... Anak belum genap 6 tahun aja udah nanya kayak gitu."

Mohan angkat tangan sambil menyeringai, "Bro, waktu dia mampir minggu lalu, gue kan lagi gak pakai baju, dan dia terus-terusan nanya soal tato gue. Dia juga bilang gak suka sama namanya dan pingin ganti nama."

"Apaan, sih masalahnya sama nama dia, Hah?" kata Eros sambil mengusap mukanya.

"Eh," kata gue, "Chumpa itu bocah paling keren yang pernah gue kenal. Anak paling pede ... Gue aja dulu gak se-pede dia."

"Gue enggak ngerti, deh ... Si Chumpa itu udah ngalahin anak-anak yang ukurannya dua kali lipat dari dia," kata Kai tertawa. "Tapi gue setuju, lo gak perlu khawatir soal dia."

"Anak lo itu tumbuh dengan penuh kasih sayang, bro. Kita semua dulu enggak ngerasain hal yang sama, kan?"

Semua pada mengangguk. Kita semua punya masa kecil yang keras, masing-masing dengan caranya sendiri. Tapi kita terus bertahan. Mungkin itu yang bikin kita jadi sekutu sehidup semati seperti sekarang.

Untuk persahabatan ini.

Untuk keluarga ini.

Kita semua cuma mau hidupnya Chumpa jadi lebih baik dari kita semua.

"Udah pasti. Chumpa lebih banyak yang sayang dibandingin lo semua," kata Hazerrie sambil berdiri.

Tiba-tiba HP gue bergetar, gue lihat layarnya, terus mengeluh.

"Ada apa?" tanya Mohan.

"Nenek minta dibawain minuman Rempah Labu dari Batari Beans buat dia sama Mama minggu ini." Gue melirik dan memutar mata. Setiap ada hal baru di kota ini, Mama sama Nenek pasti langsung borong.

"Anjir. Kayaknya sekarang kita semua udah jadi budak kopi Batari," Hazerrie tunjuk jari tengahnya sambil buang gelas ke tempat sampah.

"Meski kita benci sama Batari," kata Mohan, "Tapi gue akui, gue suka banget sama Chai Latte Labu yang ada gambar hati di atasnya."

Semua tertawa.

Kita berjabat tangan dengan ciri khas kita, dan Kai mulai meneriakkan yel-yel saat keluar dari pintu. "Fight Or Die!! Saudara sampai mati. Setia selamanya. Temani kita selamanya!" Dia angkat dua jari dan pergi.

Gue langsung jalan ke dalam Gym dan balik bekerja.

Batari Beans I

...Ailsa Batari...

...────୨ৎ────જ⁀➴...

Beberapa hari lalu waktu grand opening, tempat ini, sumpah ramai banget. Gue benar-benar terharu, akhirnya gue bisa juga buka toko ini setelah berbulan-bulan merenovasi sama menyusun menu.

Gue lulusan Ahli Gizi. Jadi, dari awal memang niatnya Batari Beans ini bukan sekadar cafe biasa. Gue bakal jual minuman sehat, protein shake, sama pilihan menu diet lainnya. Bahkan gue sudah berencana buat menambahkan lebih banyak menu dalam beberapa bulan ke depan.

Lokkie, lagi di belakang membersihkan dapur. Kita bersahabat dari kecil, dan sekarang dia lagi kuliah online buat mendapatkan gelar Magister Pendidikan. Dia butuh kerja part-time, jadi ya kebetulan banget, lah.

Tiba-tiba pintu terbuka, dan mata gue langsung membelalak melihat dia. Tinggi, ramping, dan gila sih, ini cowok cakep nya enggak kira-kira. Rambutnya agak ikal, panjangnya pas menutupi jidat, matanya cokelat gelap, dan wajahnya ... sudah seperti K-Popers.

Gue pernah lihat Nauru sebelumnya dan tahu dia siapa, tapi kita enggak berteman. Sudah lama juga sejak terakhir kita bertemu. Tapi serius, gue enggak menyangka dia bisa secakep ini sekarang.

"Eh, Nauru, ya?" sapa gue. Dia sempat senyum sedikit, terus malah langsung cemberut. Tatapannya jelas banget, benci gue.

"Gue mau beli dua ... itu, minuman Labu yang bikin Mama sama Nenek gue bawel minta dibeliin," katanya datar.

Wow.

Masih saja jutek, ya.

Tapi ya sudahlah.

"Oke. Dua Cinnamon Pumpkin Chai latte," jawab gue sambil mencatat di kasir. Gue perhatikan dia. "Kalau mau sekalian nambah satu, gue kasih gratis, deh."

"Lo kira gue butuh belas kasihan lo?" Nada suaranya ... gila, ketus banget.

Gue sempat bengong.

"Bukan gitu. Lo kan tetangga. Gue juga naruh kupon gratis buat semua toko di jalan ini, ya sekalian aja," jelas gue santai.

"Gue enggak mau minuman gratis. Skip aja."

Ya ampun, ribet banget hidup ini cowok?

"Ya udah, bebas," balas gue sambil angkat alis, cuek saja. Yang penting niat baik sudah gue keluarkan, terserah dia kalau mau resek. "Mau pakai kupon gratis buat salah satu ini, enggak?"

"Gue bayar dua-duanya!"

Oke, keras kepala.

"Seratus sebelas ribu," sahut gue sambil sodorkan tangan.

Dia malah lempar duit ke meja. Seolah jijik kalau sampai menyentuh tangan gue.

Masalah dia apa, sih?

Gue tahan napas biar tetap profesional. Ambil duitnya, masukkan ke kasir, terus mulai bikin minuman. Gue tuang air panas ke cup, terus pas tengok ke sana, ke dia?

Dia masih memandangi gue, tajam dan penuh kebencian.

Gue cuek, lanjut selesaikan pesanannya di suasana yang super canggung ini.

Waktu di kampus dulu, gue lumayan dekat sama Yoan. Dia punya kakak, namanya Kai. Kai itu dulunya sering nongkrong bareng Nauru.

Adik gue, Caspian, juga pernah bilang kalau geng mereka itu tukang bikin onar, jadi gue disuruh jaga jarak. Katanya, mereka pernah tertangkap gara-gara mencuri atau kriminal.

Ada dua orang lagi di geng itu, Mohan sama Eros. Mereka sempat mengerjakan renovasi kafe ini juga, dan jujur, pekerjaan mereka rapi banget. Enggak banyak bicara dan profesional.

Gue enggak mengerti kenapa Nauru kayak punya masalah pribadi sama gue. Atau mungkin dia lagi stres karena ada berita soal petinju terkenal yang menyeret namanya?

Gue, sih, enggak mengikuti dunia olahraga.

Bodo amat.

Tapi kayaknya semua orang lagi bahas soal itu.

"Udah kelar. Gue cabut ya," kata Lokkie keluar dari dapur. Dia langsung membeku saat lihat Nauru nongkrong di situ.

"Makasih. Sampai besok ya," kata gue sambil kasih kode ke dia, buat enggak bikin suasana ini jadi lebih canggung.

Tapi namanya juga Lokkie.

Dia malah bikin suasana makin aneh.

Dia jalan ke meja kasir, terus menceletuk, "Lo Nauru, ya?"

Nauru menoleh sebentar. "Iya."

"Wih, cowok cool, nih," Lokkie tertawa sinis. "Gym lo kan dekat sini, ya? Harusnya lo collab sama Ailsa. Bikin promo, kek, beli satu gratis satu gitu, biar para petinju seksi itu pada ramai-ramai beli di sini!"

Gue langsung mendesah.

Sial.

Lokkie benar-benar enggak bisa baca situasi.

Nauru maju sedikit. "Gak perlu. Semua orang juga udah tahu dia siapa. Dia, kan Batari."

Gue tarik alis. "Oh, jadi lo tahu gue siapa?"

"Gue enggak pernah bilang enggak tahu."

Dia ambil dua gelas, terus langsung putar badan mau kabur.

"Ya udah lah, santai saja. Gue juga enggak niat bikin promo barengan sama gym lo, kok," kata gue dalam hati, kesal.

Pas dia buka pintu, dia sempat menengok, terus bilang, "Percaya deh, enggak ada yang peduli."

Terus dia menghilang.

Gue bengong memperhatikan pintu, terus menoleh ke Lokkie.

"Dasar brengsek!" desis gue.

Oh.

My.

God.

Tapi sumpah ... cakepnya dia, enggak ada otak.

Muka, rambut, badan ... gila, sih.

Gue baru sadar, karena tadi sibuk menahan emosi.

Apa, sih masalah dia sama gue?

Gue sudah ramah, sudah kasih promo, malah seakan-akan gue yang habis mengusir dia dari planet ini.

"Iya, gue juga pernah lihat dia beberapa kali. emang jutek, sih, tapi yang tadi tuh ... parah. Gue penasaran kenapa dia seolah-olah benci banget sama lo, Ailsa," kata Lokkie, serius.

Oke, berarti bukan halusinasi gue doang. Bahkan Lokkie juga merasakan hal yang sama.

"Gue juga enggak ngerti. Gue bahkan enggak kenal dia."

"Ya iyalah. Keluarga lo, kan, bangsawan di Royale Blossom. Kadang orang syirik aja sama yang kaya raya. Untung lo sahabat terbaik gue yang suka manjain gue, jadi gue bodo amat," katanya sambil tertawa, bersandar ke kursi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!