NovelToon NovelToon

Kitab Dewa Naga

Prolog

Di sebuah masa yang telah lama terlupakan oleh ingatan fana, ketika cakrawala masih terasa begitu rendah hingga sentuhan awan bagaikan belaian lembut, dan gemuruh napas para dewa menggema di antara lembah-lembah yang sunyi, terjalinlah sebuah harmoni yang menakjubkan.

Dunia, yang kelak akan dikenal sebagai gugusan pulau permata Nusantara, adalah pusat dari keseimbangan kosmik ini. Di jantungnya, menjulanglah Gunung Mahameru, bukan hanya sekadar puncak fisik, melainkan poros spiritual yang menghubungkan alam fana dengan alam para dewa.

Di sanalah, dalam kemegahan yang tak terlukiskan, bersemayam para Dewa Naga, penguasa langit dan bumi, penjaga tatanan semesta.

Dewa Naga Agung Antaboga, yang tubuhnya melingkar abadi bagaikan Uroboros yang menelan ekornya sendiri, adalah yang tertua dan termulia di antara mereka.

Sisiknya berkilauan seperti ribuan matahari yang dipadukan, memancarkan cahaya keemasan yang menenangkan.

Napasnya adalah embusan angin musim semi yang membawa kesuburan, gerakannya adalah aliran sungai yang menghidupi, dan kebijaksanaannya bagaikan samudra tak bertepi yang menyimpan rahasia penciptaan. Bersama Antaboga, bersemayam para Dewa Naga lainnya, masing-masing dengan kekuatan dan tanggung jawabnya sendiri.

Ada Basuki, naga agung penguasa samudra dan segala isinya, ombak patuhnya menari mengikuti irama kehendaknya.

Ada Anantaboga, naga misterius penjaga pengetahuan purba dan lorong-lorong tersembunyi di bawah bumi, bisikannya adalah gemuruh tanah yang memberi peringatan.

Ada pula Manikmaya, naga cahaya yang menerangi kegelapan dan membawa harapan, serta Sesa, naga penyeimbang yang menjaga harmoni antara berbagai elemen.

Di zaman keemasan ini, naga dan manusia hidup berdampingan dalam kedamaian yang saling menguntungkan.

Para naga, dengan kebijaksanaan dan kekuatan mereka, menjadi pelindung dan penasihat bagi para raja dan ratu manusia. Mereka mengajarkan tentang siklus alam, seni pengobatan, dan bahkan beberapa rahasia sihir kuno.

Manusia, sebagai imbalannya, menghormati para naga sebagai utusan para dewa dan membangun kuil-kuil megah untuk memuliakan mereka. Kisah-kisah tentang persahabatan antara manusia dan naga, tentang naga yang membantu membangun kerajaan dan melindungi rakyatnya dari ancaman, diukir dalam prasasti batu dan dilantunkan dalam kidung-kidung merdu.

Namun, seperti lukisan terindah sekalipun, retakan pun bisa muncul. Di antara para Dewa Naga yang mulia, tumbuhlah sebentuk kegelapan yang merayap, sebuah benih keserakahan dan ambisi yang menghancurkan.

Kaldor, si Naga Hitam, adalah manifestasi dari kegelapan ini. Ia lahir bukan dari telur emas seperti para Dewa Naga lainnya, melainkan dari pecahan komet hitam yang jatuh dari langit malam yang penuh bintang. Kulitnya sekeras obsidian yang tak tertembus cahaya, dan matanya membara dengan api dingin kebencian.

Kaldor tidak memiliki rasa hormat pada tradisi atau kasih sayang pada makhluk lain. Ia haus akan kekuasaan, sebuah keinginan yang terus membara di dalam hatinya yang sedingin es. Ia iri dengan kemuliaan dan penghormatan yang diterima Antaboga, dan ia membenci tatanan harmonis yang menurutnya membatasi potensi kekuatannya.

Kaldor mulai menyebarkan bisikan-bisikan pengkhianatan di antara para naga yang merasa tidak puas atau yang tergoda oleh janji kekuatan yang lebih besar. Ia mengumpulkan pengikut, naga-naga yang matanya dibutakan oleh ambisi dan rasa iri, menjanjikan kepada mereka dunia di mana mereka akan menjadi penguasa tertinggi, tanpa perlu tunduk pada hukum para Dewa Naga Agung.

Dengan tipu daya dan janji-janji palsu, Kaldor berhasil menghasut pemberontakan, sebuah perpecahan mengerikan dalam keluarga para naga.

Perang di langit pun pecah, sebuah konflik dahsyat yang mengguncang fondasi alam semesta. Kilatan petir berwarna hitam dari napas naga-naga pengikut

Kaldor beradu dengan semburan api suci para Dewa Naga dan sekutu mereka. Gemuruh sayap mereka yang raksasa menciptakan badai yang meluluhlantakkan hutan dan gunung. Manusia, yang menyaksikan pertunjukan mengerikan ini dari bawah, hanya bisa berlutut dan memanjatkan doa-doa memilukan kepada para dewa, berharap mereka akan selamat dari amukan para penguasa langit.

Banyak naga baik dan gagah berani gugur dalam pertempuran ini, dan langit yang dulunya dihiasi dengan warna-warni pelangi kini tercemar oleh asap hitam dan awan kegelapan.

Di tengah kekacauan dan kehancuran yang melanda, para Dewa Naga Agung menyadari bahwa kekuatan Kaldor jauh melampaui kekuatan naga biasa. Ia telah menjalin hubungan dengan kekuatan kuno yang tertidur di kedalaman alam semesta, entitas primordial yang haus akan kekacauan dan kehancuran.

Kekuatan ini, yang berbisik melalui mimpi-mimpi Kaldor dan memberinya kekuatan yang menakutkan, mengancam untuk menelan seluruh tatanan semesta.

Untuk menghentikan Kaldor dan mencegahnya menghancurkan segalanya, para Dewa Naga Agung memutuskan untuk mengambil tindakan drastis.

Mereka mengumpulkan semua pengetahuan, kekuatan, dan kebijaksanaan mereka ke dalam sebuah artefak suci: Kitab Dewa Naga. Kitab ini bukan hanya sekadar kumpulan tulisan, melainkan sebuah wadah spiritual yang berisi inti keberadaan para dewa naga, mantra-mantra terkuat, sejarah alam semesta, dan rahasia penciptaan.

Dengan berat hati dan pengorbanan yang tak terhingga, Kitab Dewa Naga disembunyikan dari jangkauan Kaldor dan para pengikutnya. Kitab itu dienkripsi dengan lapisan-lapisan sihir kuno yang rumit dan disegel di sebuah tempat yang tersembunyi di antara dimensi, sebuah lokasi yang hanya akan terungkap kepada seseorang yang memiliki garis keturunan murni, hati yang penuh keberanian, dan takdir yang telah ditentukan oleh para dewa jauh sebelum ia dilahirkan.

Seiring dengan menghilangnya Kitab Dewa Naga, kekuatan para Dewa Naga Agung perlahan memudar. Mereka terluka parah dalam perang dan terpaksa menarik diri dari urusan dunia fana, beristirahat dalam dimensi lain untuk memulihkan diri.

Kaldor, meskipun tidak berhasil merebut kitab yang sangat ia dambakan, berhasil mengguncang keseimbangan dunia dan menanamkan benih ketakutan dan kecurigaan di hati manusia dan makhluk lainnya. Ia dan para pengikutnya menghilang ke dalam bayang-bayang, menunggu waktu yang tepat untuk kembali dan menuntaskan rencana mereka untuk menenggelamkan dunia dalam kegelapan abadi.

Berabad-abad berlalu bagaikan hembusan angin di atas padang rumput yang luas. Kisah-kisah tentang Dewa Naga yang perkasa dan perang dahsyat di langit berubah menjadi legenda yang diceritakan di sekitar api unggun, menjadi mitos yang semakin lama semakin kabur dalam ingatan manusia.

Manusia membangun kerajaan dan peradaban mereka sendiri, menciptakan teknologi dan filsafat baru, perlahan melupakan atau menganggap keberadaan makhluk-makhluk agung bersisik dan kitab misterius itu hanyalah dongeng belaka, cerita pengantar tidur untuk anak-anak.

Namun, di suatu desa terpencil yang terletak di jantung pulau zamrud yang rimbun, di antara sawah yang menghijau dan sungai yang mengalir tenang, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Ia adalah seorang anak desa biasa, tanpa nama besar atau kekayaan, menjalani kehidupan yang sederhana sebagai seorang pengrajin kayu. Ia tidak menyadari bahwa di dalam dirinya mengalir warisan kuno, benih takdir yang telah lama tertidur.

Suatu hari, saat menjelajahi reruntuhan kuil tua yang tersembunyi di balik rimbunnya hutan, Raka menemukan sebuah kotak kayu usang yang terkunci rapat.

Di dalamnya, terbaringlah sebuah buku tua yang tampak biasa namun memancarkan aura misterius. Tanpa ia sadari, penemuan itu adalah awal dari sebuah perjalanan epik, sebuah takdir yang akan membawanya ke dalam pusaran konflik abadi antara cahaya dan kegelapan.

bab 1

Mentari pagi menyapa desa kecil Serangkai dengan kehangatan lembut, merayap di antara celah anyaman bambu dinding rumah-rumah dan menerpa embun yang masih menggantung di ujung dedaunan.

Di salah satu rumah sederhana, tepat di tepi hutan yang menghijau, Raka menggeliat di atas tikar pandannya. Usianya baru menginjak dua puluh tahun, namun tangannya sudah terampil memahat kayu, sebuah keahlian yang diturunkan dari ayahnya dan menjadi sumber penghidupan keluarganya.

Hari itu, seperti biasa, Raka bangun sebelum ayam berkokok untuk membantu ibunya menyiapkan sarapan. Aroma nasi hangat dan tumisan sayur memenuhi udara dapur yang sederhana. Sambil menikmati hidangan pagi bersama kedua orang tuanya, obrolan ringan mengalir

"Raka, Nak," kata ayahnya, seorang pria paruh baya dengan wajah yang dihiasi kerutan pengalaman,

"kemarin Paman Darma memesan patung Garuda kecil untuk upacara desanya. Jangan lupa kau selesaikan hari ini."

"Tentu, Ayah," jawab Raka sambil mengunyah.

"Hampir selesai kok. Tinggal beberapa detail di bagian sayapnya."

Ibunya, seorang wanita lembut dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, menimpali,

"Kau memang berbakat, Raka. Ukiranmu selalu hidup seperti nyata."

Raka tersenyum tipis, merasa sedikit malu dengan pujian ibunya. Baginya, mengukir kayu hanyalah pekerjaan biasa, sesuatu yang ia lakukan sejak kecil. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah kerinduan akan petualangan yang lebih dari sekadar mengukir kayu dan membantu di ladang.

Setelah sarapan, Raka pergi ke beranda rumahnya yang menghadap ke hutan. Di sana, berbagai macam potongan kayu dan alat pahat sudah tertata rapi. Ia mengambil sepotong kayu jati yang sudah berbentuk kasar Garuda dan mulai mengerjakan detail-detail terakhir.

Konsentrasinya terpecah ketika matanya menangkap sosok seorang gadis yang berjalan melintasi jalan setapak di depan rumahnya.

Itu adalah Maya, gadis seusia Raka yang tinggal di ujung desa. Matanya seindah bintang kejora, dan senyumnya selalu mampu menghangatkan hati siapa pun yang melihatnya. Raka sudah mengenal Maya sejak kecil, mereka tumbuh bersama, bermain di sungai, dan berbagi mimpi di bawah langit malam.

Namun, beberapa tahun terakhir, benih-benih perasaan yang lebih dalam mulai tumbuh di antara mereka, meskipun belum pernah terucapkan secara langsung.

Maya melihat Raka dan tersenyum. "Pagi, Raka," sapanya dengan suara merdu seperti alunan gamelan.

"Pagi, Maya," jawab Raka, jantungnya berdegup sedikit lebih kencang dari biasanya. Ia meletakkan pahatnya dan menghampiri gadis itu. "Mau ke mana pagi-pagi begini?"

"Mau ke pasar di desa sebelah," jawab Maya sambil menunjukkan keranjang anyaman di tangannya. "Ibuku menitipkan beberapa barang untuk dijual."

"Mau kubantu membawanya?" tawar Raka tanpa berpikir panjang.

Maya tersenyum lagi, dan Raka merasa dunia di sekitarnya menjadi lebih cerah. "Tidak usah, Raka. Tidak terlalu berat kok. Tapi… kalau kau tidak keberatan, bisakah kau menemaniku sebentar? Ada yang ingin kubicarakan."

Raka mengangguk antusias. Ia mengambil selendangnya dan berpamitan kepada ibunya yang tersenyum penuh arti dari dalam rumah. Mereka berjalan bersama menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok, di bawah naungan pepohonan rindang. Suara kicauan burung dan desiran angin di antara dedaunan menjadi latar belakang percakapan mereka.

"Ada apa, Maya?" tanya Raka setelah beberapa saat berjalan dalam diam yang nyaman.

Maya tampak sedikit ragu sebelum menjawab.

"Aku mendengar… aku mendengar ada hal aneh yang terjadi di hutan beberapa hari ini."

Raka mengerutkan kening. "Aneh bagaimana?"

"Beberapa pemburu kembali dengan tangan kosong dan wajah pucat," bisik Maya.

"Mereka bilang melihat bayangan hitam besar terbang di antara pepohonan, dan mendengar suara gemuruh yang menakutkan, seperti raungan naga."

Raka tertawa kecil. "Kau percaya cerita seperti itu, Maya? Naga hanya ada dalam legenda."

Maya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu, Raka. Tapi kakekku pernah bercerita tentang masa lalu, tentang ketika naga memang benar-benar ada. Ia bilang, hutan ini dulunya adalah tempat suci bagi mereka."

Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, membawa bersamanya bisikan yang samar dan tidak jelas. Raka merasa merinding, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Beberapa minggu terakhir, memang ada desas-desus aneh di desa tentang suara-suara misterius dan penampakan yang tak dapat dijelaskan di sekitar hutan.

Awalnya, Raka menganggapnya hanya bualan orang tua, tetapi mendengar Maya mengatakannya dengan nada serius membuatnya sedikit khawatir.

Saat mereka melanjutkan perjalanan, mereka berpapasan dengan beberapa warga desa yang tampak murung.

Ada aura ketidaknyamanan yang terasa di udara. Raka bertukar pandang dengan Maya, dan mereka berdua merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di desa mereka.

Setibanya di pasar desa sebelah, Maya mulai menjajakan barang dagangannya. Raka menemaninya, membantu membawa barang dan sesekali mengobrol dengan para pedagang lain.

Namun, pikirannya masih terpaku pada perkataan Maya tentang keanehan di hutan. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan gelisah yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

Ketika matahari mulai meninggi, Raka memutuskan untuk kembali ke desanya. Ia berpamitan kepada Maya dan berjanji akan menemuinya lagi nanti.

Di tengah perjalanan pulang, ia mengambil jalan memutar melewati tepi hutan, mencoba mencari tahu apakah ada keanehan seperti yang diceritakan Maya.

Semakin dalam ia masuk ke dalam hutan, suasana semakin sunyi dan mencekam. Pepohonan tumbuh tinggi dan rapat, menghalangi sinar matahari untuk menembus masuk. Raka merasa seperti ada mata yang mengawasinya dari balik kegelapan.

Tiba-tiba, ia mendengar suara ranting patah di belakangnya. Ia menoleh dengan cepat, namun tidak melihat apa pun.

Ia melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, matanya awas mengamati sekeliling. Di antara akar-akar pohon besar, ia melihat sesuatu yang aneh. Sebuah gundukan tanah yang tampak seperti bekas galian baru. Rasa penasaran mendorongnya untuk mendekat. Ia berjongkok dan mulai membersihkan tanah dengan tangannya.

Setelah beberapa saat, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang terkunci. Kotak itu tampak tua dan lapuk, dihiasi dengan ukiran-ukiran aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Jantung Raka berdebar kencang. Ada firasat kuat yang mengatakan bahwa kotak ini menyimpan sesuatu yang penting.

Ia mencoba membukanya, namun kotak itu terkunci rapat. Setelah berusaha beberapa kali, ia menyerah dan memutuskan untuk membawa kotak itu pulang.

Ia menyembunyikannya di dalam bajunya dan berjalan kembali ke desa dengan langkah cepat, perasaan campur aduk antara rasa takut dan keingintahuan yang membuncah.

Sesampainya di rumah, Raka segera menuju ke kamarnya dan mengeluarkan kotak kayu itu. Ia mencoba berbagai cara untuk membukanya, namun tidak berhasil.

Frustrasi, ia melempar kotak itu ke atas tempat tidurnya dan menghela napas panjang.

Saat matanya tanpa sengaja melihat ke arah ukiran Garuda yang hampir selesai di beranda, ia teringat sesuatu.

Ayahnya pernah menceritakan bahwa di masa lalu, ada simbol-simbol tertentu yang digunakan untuk mengunci kotak-kotak pusaka. Raka kembali mengambil kotak itu dan mengamatinya dengan lebih seksama. Ia menyadari bahwa ukiran-ukiran aneh di kotak itu mungkin bukan hanya hiasan biasa.

Dengan hati-hati, ia mulai mencoba memutar dan menekan bagian-bagian dari ukiran tersebut, mengikuti instingnya. Tiba-tiba, terdengar bunyi klik kecil, dan kotak itu terbuka.

Di dalamnya, Raka menemukan sebuah buku tua dengan sampul kulit yang tebal dan halaman-halaman yang menguning. Buku itu terasa berat di tangannya, dan ada aura kuno yang terpancar darinya.

Raka membuka halaman pertama dengan hati-hati. Tulisan-tulisan di dalamnya menggunakan aksara yang asing baginya, namun ia merasakan ada kekuatan yang luar biasa yang tersimpan di dalam buku itu.

Saat ia menyentuh halaman-halaman buku itu, tiba-tiba kepalanya terasa pening dan ia melihat kilasan-kilasan gambar yang aneh: naga-naga raksasa yang bertempur di langit, dewa-dewa dengan kekuatan dahsyat, dan simbol-simbol misterius yang sama dengan ukiran di kotak.

Raka tersentak mundur, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa telah menemukan sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih penting dari yang pernah ia bayangkan.

Tanpa ia ketahui, di saat yang sama, di tempat yang jauh, di sebuah istana gelap yang tersembunyi di balik pegunungan yang membentang seperti tulang rusuk bumi, Naga Hitam Kaldor merasakan adanya gangguan dalam energi kuno yang selama ini ia pantau. Ia merasakan kehadiran "Kitab Dewa Naga" yang telah lama hilang akhirnya ditemukan.

Sebuah seringai licik mengembang di wajahnya yang mengerikan. Waktunya untuk kembali berkuasa telah tiba.

Di desa Serangkai, Raka masih terpaku menatap buku di tangannya. Ia tidak tahu bahwa hidupnya akan segera berubah selamanya, bahwa ia telah terpilih untuk memainkan peran penting dalam pertempuran abadi antara cahaya dan kegelapan, dan bahwa misteri yang baru saja ia temukan akan membawanya pada petualangan yang penuh cinta, pengkhianatan, dan bahaya yang tak terduga.

Angin berbisik di luar jendelanya, seolah membawa pesan dari masa lalu yang jauh, sebuah peringatan dan sebuah harapan untuk masa depan yang belum terukir.

bab 2

Rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk di benak Raka. Ia membolak-balik halaman-halaman kitab itu dengan hati-hati, mencoba mengenali aksara aneh yang terukir di sana. Bentuknya begitu berbeda dari aksara yang biasa ia lihat. Ada lekukan tajam seperti taring naga, dan bulatan-bulatan yang menyerupai mata yang mengawasi. Meskipun tidak mengerti maknanya, ia merasakan adanya getaran energi yang kuat dari kitab itu, seolah-olah ia memegang jantung yang berdenyut dari sesuatu yang sangat kuno dan berkuasa.

Kilasan-kilasan penglihatan yang ia alami tadi masih terbayang jelas di benaknya. Naga-naga raksasa yang saling bertarung dengan dahsyat, kilatan cahaya yang menyilaukan, dan sosok-sosok dewa yang agung. Ia bertanya-tanya, apakah semua itu benar-benar terjadi? Apakah desanya, dunia yang ia kenal, memiliki sejarah yang jauh lebih kaya dan lebih berbahaya dari yang pernah ia bayangkan?

Ia memutuskan untuk menunjukkan kitab itu kepada Maya. Mungkin gadis itu pernah mendengar cerita dari kakeknya tentang aksara kuno atau simbol-simbol aneh. Dengan hati-hati ia membungkus kitab itu dengan kain lusuh dan menyimpannya di dalam keranjang ukirannya. Ia bergegas keluar rumah, berharap bisa menemukan Maya di pasar atau di dekat rumahnya.

Saat Raka tiba di pasar, suasana tampak lebih tegang dari sebelumnya. Para pedagang berbicara dengan suara pelan dan raut wajah khawatir. Beberapa di antara mereka tampak sedang berkemas-kemas, seolah ingin segera meninggalkan tempat itu. Raka mencari keberadaan Maya di antara kerumunan orang, dan akhirnya menemukannya sedang membantu ibunya membereskan barang dagangan.

"Maya!" panggil Raka dengan sedikit tergesa-gesa.

Maya menoleh dan tersenyum lega melihatnya. "Raka! Kau kembali. Aku tadi sempat khawatir karena kau pergi begitu lama."

"Ada yang ingin kutunjukkan padamu," kata Raka sambil melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. Ia menarik Maya sedikit menjauh dari keramaian dan menceritakan tentang penemuannya di hutan.

Awalnya, Maya tampak tidak percaya, namun ketika Raka mengeluarkan kitab itu dari keranjangnya dan memperlihatkannya kepada gadis itu, matanya membulat karena terkejut. Ia menyentuh sampul kulit kitab itu dengan ujung jarinya, merasakan aura dingin yang terpancar darinya.

"Ini… ini seperti yang diceritakan kakekku," bisik Maya dengan nada bergetar. "Kitab Naga… ia bilang, kitab itu menyimpan kekuatan para dewa naga."

"Kau tahu tentang aksara ini?" tanya Raka dengan harapan.

Maya menggelengkan kepalanya. "Tidak persis. Tapi kakek pernah menunjukkan beberapa simbol yang mirip. Ia bilang, kitab ini sangat berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah."

Tiba-tiba, seorang pria tua dengan tongkat berjalan mendekati mereka. Wajahnya tampak pucat dan matanya berkaca-kaca. "Kalian… kalian melihatnya?" tanyanya dengan suara serak.

Raka dan Maya saling pandang dengan bingung. "Melihat apa, Paman?" tanya Maya.

"Bayangan hitam… di langit! Tadi terbang melewati desa kita. Besar sekali… seperti naga!"

Ucapan pria tua itu membuat jantung Raka mencelos. Bayangan hitam besar… seperti yang diceritakan Maya. Apakah ini pertanda? Apakah penemuannya ada hubungannya dengan penampakan itu?

Saat mereka masih terdiam karena terkejut, terdengar teriakan histeris dari arah jalan masuk pasar. Orang-orang mulai berlarian dengan panik. "Mereka datang! Mereka datang!" teriak seseorang.

Raka dan Maya saling bertukar pandang penuh ketakutan. Mereka tidak tahu siapa yang datang atau apa yang terjadi, tetapi kepanikan di sekitar mereka terasa begitu nyata. Raka dengan sigap menarik tangan Maya dan membawanya berlindung di balik salah satu gerobak pedagang yang kosong.

Dari balik gerobak, mereka mengintip ke luar. Mereka melihat beberapa sosok berjubah hitam dengan topeng menyeramkan memasuki area pasar. Di tangan mereka, tergenggam senjata-senjata tajam yang berkilauan. Mereka bergerak dengan cepat dan terorganisir, seolah sedang mencari sesuatu atau seseorang.

"Siapa mereka?" bisik Maya dengan suara gemetar.

Raka menggelengkan kepalanya. Ia tidak mengenali mereka, tetapi ada aura jahat yang terpancar dari mereka yang membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Salah satu dari sosok berjubah itu berhenti tepat di depan tempat Maya tadi berjualan. Ia melihat ke sekeliling dengan gerakan cepat, lalu menunjuk ke arah keranjang Maya yang masih tergeletak di tanah.

"Cari!" perintah sosok itu dengan suara berat yang teredam oleh topengnya. "Kitab itu pasti ada di sekitar sini!"

Mata Raka dan Maya membulat karena terkejut. Mereka mencari kitab itu? Bagaimana mereka bisa tahu tentang keberadaannya? Apakah ada seseorang di desa mereka yang telah mengkhianati mereka?

Rasa curiga Raka langsung tertuju pada beberapa orang di desa yang selama ini tampak aneh dan tertutup. Ada seorang pandai besi yang baru-baru ini datang ke desa dan selalu menyendiri. Ada juga seorang pedagang keliling yang sering bertanya-tanya tentang legenda-legenda kuno. Mungkinkah salah satu dari mereka adalah mata-mata Kaldor?

Ketegangan semakin meningkat ketika para sosok berjubah itu mulai menggeledah setiap sudut pasar. Beberapa warga desa yang mencoba melawan langsung dilumpuhkan dengan kejam. Raka menggenggam erat tangan Maya, mencoba menenangkannya meskipun hatinya sendiri dipenuhi ketakutan.

Tiba-tiba, mata salah satu sosok berjubah itu tertuju pada tempat persembunyian mereka. Ia berjalan mendekat dengan langkah mantap, pedangnya terhunus. Raka tahu mereka tidak punya banyak waktu lagi.

"Kita harus pergi dari sini," bisik Raka. Ia melihat ke sekeliling, mencari jalan keluar. Di belakang mereka, ada sebuah gang sempit yang mengarah ke arah hutan. "Lari bersamaku!"

Tanpa menunggu jawaban, Raka menarik Maya dan mereka berlari sekencang-kencangnya menuju gang itu. Mereka mendengar teriakan dan langkah kaki mengejar di belakang mereka, tetapi mereka terus berlari, berharap bisa selamat dari kejaran para sosok misterius itu.

Saat mereka berhasil mencapai tepi hutan, Raka menoleh ke belakang. Ia melihat para pengejar mereka masih berusaha menyusul. Ia tahu mereka tidak bisa lari terus seperti ini. Mereka harus mencari tempat persembunyian yang aman.

"Ikut aku," kata Raka sambil menarik Maya lebih dalam ke dalam hutan. Ia mengingat jalan setapak kecil yang sering ia gunakan saat kecil untuk mencari kayu. Jalan itu tersembunyi di balik rimbunnya semak-semak dan mungkin bisa membawa mereka ke tempat yang aman.

Sambil berlari, Raka tidak sengaja menyenggol sebuah batu dan menjatuhkan keranjang ukirannya. Kitab Dewa Naga terlepas dari dalamnya dan jatuh ke tanah. Raka segera berhenti dan mengambilnya kembali dengan cemas. Ia memeriksa apakah ada kerusakan, dan untungnya kitab itu masih utuh.

Namun, saat ia mendongak, ia melihat sesuatu yang membuatnya membeku. Di depannya, berdiri seorang wanita dengan senyum yang sangat manis, namun matanya memancarkan aura dingin yang menusuk. Wanita itu mengenakan pakaian serba hitam dan memegang sebuah tongkat kayu dengan ukiran kepala ular di ujungnya. Raka merasa pernah melihat wanita ini sebelumnya, tetapi ia tidak bisa mengingat di mana.

"Mencari ini, Nak?" kata wanita itu sambil menunjuk ke arah kitab di tangan Raka dengan tongkatnya. "Kitab yang sangat menarik."

Raka merasakan firasat buruk. Ada sesuatu yang sangat berbahaya tentang wanita ini. Ia memeluk Maya erat dan bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ia tidak tahu bahwa wanita di depannya adalah seorang penyihir kuno yang telah lama mengabdi pada Kaldor, dan bahwa pertemuannya ini akan membawa mereka ke dalam bahaya yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan. Senyum manis wanita itu menyimpan racun pengkhianatan, dan hutan yang tadinya tampak tenang kini terasa mengancam dengan misteri yang tersembunyi di setiap sudutnya. Cinta dan bahaya kini berjalan beriringan, dan Raka harus segera belajar siapa yang bisa ia percayai dan siapa yang tidak, sebelum semuanya terlambat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!