NovelToon NovelToon

Reveal The Facts

Bab 1

Bandung, kediaman keluarga Dirgantara.

"Lepas! Kalian mau membawaku kemana?" Gadis manis itu meraung saat beberapa petugas rumah sakit jiwa membawanya secara paksa. "Elara, tolong Kakak, El." Ia menatap kembarannya dengan linangan air mata.

"Lan, tenang. Semua akan baik-baik saja, oke. Kau harus berobat, kau harus sembuh, setelah kau sembuh, kita akan berkumpul kembali seperti dulu lagi." ucap Elara.

"Tapi aku baik-baik saja." Elana menatap sayu pada kembarannya, dan pada detik berikutnya air matanya tak terbendung dan mengalir begitu saja di pipinya. Tetapi hal itu tidak bertahan lama, karena setelah itu ia malah tertawa cekikikan seperti orang gila.

"Lan, berjanjilah untuk segera sembuh. Aku berjanji akan menemukan orang yang sudah membuatmu menjadi seperti ini, dan aku berjanji untuk menghukum orang itu dengan hukuman yang setimpal. Aku berjanji padamu." Elara memeluk erat kembarannya. Setelah beberapa saat, ia melepaskan pelukannya. "Silahkan bawa, Pak. Tolong jaga Kakak saya baik-baik." pesan Elara.

Elara berdiri di teras rumah, mengiringi kepergian mobil rumah sakit jiwa yang akan membawa Elana. Di sampingnya, seorang laki-laki paruh baya yang merupakan Ayah dari Elana dan Elara juga ikut menatap sedih pada salah satu putrinya yang suara raungannya masih terdengar dari dalam mobil.

"Pa, Elana, Pa."

Papa Efendi menarik putrinya kedalam pelukannya. "Sabar, Sayang. Biarkan Elana menjalani perawatan, Papa yakin Elana akan sembuh."

"Tapi ini tidak adil, Pa. Elana harus mendapat keadilan. Dan orang yang sudah membuat Elana menjadi seperti ini harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!" ucap Elara tegas.

"Iya, kita pasti akan menuntut keadilan untuk Elana." Papa Efendi mengusap rambut putrinya dan memberikan kecupan hangat pada puncak kepala sang putri. "Sekarang kau istirahat dulu ya. Papa sudah kehilangan Elana karena dia dirawat di rumah sakit jiwa. Sekarang, Papa tidak ingin kehilanganmu juga. Papa tidak akan sanggup menjalani hari-hari Papa kalau sampai terjadi sesuatu padamu. Ayo, Papa antar ke kamar."

Papa Efendi mengantar putrinya ke kamar, membantu putrinya berbaring, setelah itu menyelimutinya. Setelah memastikan putrinya berbaring dengan nyaman, Papa Efendi menghidupkan lampu tidur, lalu beranjak untuk mematikan lampu kamar. Setelah itu barulah ia keluar dari kamar putrinya.

...•••***•••...

Pagi hari yang cerah, Elara bergabung di meja makan dengan celana hot pant dan kaos oversize yang tadi malam ia pakai tidur, menandakan bahwa gadis satu ini belum mandi. Elara duduk bersama Papanya, lalu melihat ke seberang meja dimana Elana biasanya duduk.

"Sepi ya Pa kalau tidak ada Elana."

Papa Efendi menghentikan kunyahannya saat mendengar penuturan sang putri. Ia meminum teh hangat di hadapannya, lalu menyerahkan roti yang telah diolesi selai kepada Elara. "Semoga Elana bisa cepat sembuh dan pulang kembali ke rumah ini. Tapi sebelum itu, ayo sarapan dulu."

Elara menerima roti dari Papanya dan langsung memakannya. Tidak lupa, segelas susu yang tersedia juga ia minum tanpa sisa, membuat Papa Efendi geleng kepala.

"Pa, aku ingin sekolah di Jakarta." Tanpa basa-basi, Elara mengucapkan keinginannya.

"Sekolah di Jakarta?"

"Hm, aku ingin sekolah di Darma Bangsa. Aku akan mencari keadilan untuk Elana, dan ku akan memulai penyelidikanku dari sekolah itu."

"Tapi, Sayang. Nilaimu tidak memenuhi standar untuk bisa sekolah di sana. Nilaimu tidak ada yang diatas rata-rata, El." peringat Papa Efendi.

"Bukan sebagai Elara, Pa. Tapi sebagai Elana. Papa mengerti maksudku, 'kan?"

"Tapi Sayang—"

"Percaya padaku, Pa. Aku pasti bisa menemukan laki-laki bejad yang sudah menodai Elana. Tapi untuk melakukan itu, aku butuh bantuan Papa. Urus kepindahanku ke Jakarta sebagai Elana, setelah itu biar aku yang mengurus semuanya."

Papa Efendi terdiam. Ia tahu, Elara dan Elana sangat berbeda. Jika Elana bisa ia nasehati tanpa membantah, maka Elara adalah kebalikannya. Jika tidak membantah, maka bukan Elara namanya.

Ya, ia sangat mengenal kepribadian kedua anak gadisnya. Dan akhirnya, meski dengan berat hati, Papa Efendi menyetujui permintaan Elara. Karena ia tahu, Elara sangat nekat dan bisa melakukan apa saja. Jadi, daripada Elara bergerak sendiri untuk mengurus kepindahannya ke Jakarta, maka akan lebih baik jika Papa Efendi yang mengurusnya. Sekaligus, ia bisa memastikan keselamatan sang putri saat jauh darinya.

...•••***•••...

Elara memandang rumah besar keluarga Dirgantara yang selama ini ditinggali Elana saat ia menempuh pendidikan di Jakarta. Kini, rumah ini akan Elara tempati untuk memulai penyelidikannya.

"Non, Non Elara sudah sampai?" Bik Asih, asisten rumah tangga itu langsung menyambut kedatangan Nonanya.

"Iya, Bik."

"Hayuk atuh masuk, sini Bibi bawakan kopernya." Bik Asih membukakan pagar rumah dan membawa Elara menuju kamarnya di lantai atas.

"Bik, kopernya masukan saja ke kamar, aku mau ke kamar Elana dulu."

"Siap, Non."

Elara memasuki kamar Elana, dan menghidupkan lampunya, hingga ruangan yang semula gelap itu menjadi terang. Elara mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar. Terdapat buku-buku yang tersusun rapi di lemari yang menempel pada dinding layaknya perpustakaan. Lalu, di sisi lain dinding terdapat foto-foto Elana bersama dua orang gadis yang tercetak dalam bentuk polaroid yang menggantung pada lampu hias kamar yang Elara yakini sebagai sahabat dekat Elana. Kemudian tatapan Elara tertuju pada sebuah lemari besar yang hampir terisi penuh oleh tropi penghargaan.

Elara mendekati lemari itu, membuka pintu lamari, dan tersenyum simpul saat melihat tropi penghargaan milik kembarannya tersebut. Masih teringat jelas dalam benak Elara bagaimana seorang Elana yang begitu rajin belajar hampir setiap waktu. Jadi wajar saja kalau Elana berhasil mengumpulkan tropi tersebut melalui kecerdasannya.

"Lan, apa kau tidak bosan belajar terus?" tanya Elara saat melihat Elana yang fokus belajar di meja belajarnya.

"Kenapa bosan? Belajar itu menyenangkan, belajar itu adalah healing terbaik versi aku. Lagipula, aku belajar giat begini karena kabarnya beberapa bulan lagi akan diadakan olimpiade Matematika tingkat nasional, dan aku ingin mengikutinya, lalu menang dan tropinya akan melengkapi satu-satunya tempat yang masih kosong di lemari."

Elara memutar bola matnya malas. Apa kata Elana tadi? Belajar adalah healing? Oh ayolah, bagi Elara belajar adalah siksaan. Otaknya bahkan tidak mampu berpikir dengan normal jika sudah berhadapan dengan buku-buku itu. Lalu bagaimana bisa Elana mengatakan bahwa belajar adalah healing? Benar-benar aneh, pikir Elara.

"Terserah kau saja. Tapi ingat, tetap jaga kewarasan otak. Jangan sampai saat tidur kau malah mengigau lima dikali lima sama dengan tiga lima." gurau Elara, membuat Elana tergelak.

"Hahaha... Tentu saja tidak. Bahkan saat masih tidur 'pun otakku masih mampu untuk bekerja normal."

Bab 2

Elara menghapus setitik air mata di ujung matanya saat teringat pembicaraannya dengan Elana saat itu. Dirinya dan Elana memang sangat berbeda, jika Elana sangat pintar dalam bidang akademik, maka Elara justru pintar dalam non akademik. Elana selalu membanggakan Papa mereka dengan prestasi gemilangnya, sementara Elara justru terus membawa Papanya berurusan dengan pihak berwajib karena sering trek-trekan di jalan.

Beruntung Papa Efendi bukanlah tipe orang tua yang suka memaksakan keinginan anaknya. Sehingga anak-anaknya bisa dengan bebas menentukan jalan hidup masing-masing. Bahkan, ketika Elana memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke SMA terbaik di Jakarta dan Elara memilih untuk tetap sekolah di Bandung dan mendirikan sebuah geng motor 'pun, Papa Efendi tetap mengiyakan saja. Tanpa membandingkan kedua putrinya.

"Lan, aku mungkin tidak bisa melengkapi tropimu seperti harapanmu selama ini. Tapi aku berjanji, aku akan membalaskan rasa sakitmu pada orang yang sudah membuatmu harus dirawat di rumah sakit jiwa. Itu janjiku padamu, Elana."

...•••***•••...

Elara duduk menghadap kaca besar di hadapannya. Sementara dua petugas salon melakukan tugas mereka masing-masing untuk memotong rambut Elara sebahu, dan mewarnainya dengan warna hitam pekat, menghilangkan warna blonde yang sebelumnya menjadi rambut kebanggan Elara.

Setelah selesai memotong rambut, Elara dibawa menuju ruang ganti, lalu keluar dengan dress berwarna baby blue selutut yang membuat tampilannya jauh berbeda dari sebelumnya. Rambut hitam sebahu, kacamata bingkai berbentuk segi empat, dan sebuah jepit rambut kecil berwarna senada dengan dressnya membuat tampilan Elara sangat manis, persis seperti Elana.

"Mulai hari ini kau adalah Elana, bukan Elara." bisik Elara pada dirinya sendiri.

...•••***•••...

Elara melangkah menuju kelasnya dengan senyum manis yang tidak hentinya tersungging. Layaknya Elana yang begitu manis, begitulah Elara kini bersikap. Sesuai dengan tekadnya, ia akan mengubur nama Elara demi mencari laki-laki yang sudah menodai kembarannya.

Dari arah yang berlawanan, tiga orang siswa berjalan sambil bercanda. Salah satu diantara mereka berjalan membelakangi jalan menghadap kedua sahabatnya. Hingga tanpa sengaja, laki-laki tersebut menabrak Elara, membuat Elara jatuh ke lantai. Laki-laki itu menghentikan tawanya dan berbalik melihat Elara yang terjatuh. Alih-alih meminta maaf, laki-laki itu justru tersenyum remeh.

"Kalau jalan pakai mata!" ucap laki-laki itu sarkas.

Elara mengambil kacamatanya yang sempat terlempar, lalu memakainya kembali. "Maaf, aku tidak melihat kalian tadi."

"Mata sudah empat, masih belum bisa melihat dengan jelas? Kasihan sekali." Ledek Jojo, teman laki-laki yang menabrak Elara.

"Sam, Jo, sudah." Langit, teman dari Sam, laki-laki yang tadi menabrak Elara menengahi. Langit menatap tampilan Elara dari atas sampai bawah dengan tatapan yang tak kalah meremehkan. "Aku memaafkanmu kali ini, tapi kalau kau membuat masalah lagi pada kami, awas kau!" Langit menoyor kepala Elara, hingga membuat Elara mundur beberapa langkah.

Dari belakang Elara, muncul tiga orang laki-laki yang langsung menangkap tubuh Elara yang hampir limbung. "Kalau berani, jangan sama cewek." peringat Kenzie.

"Wohoho... tidak perlu ikut campur, Bung. Lebih baik persiapkan diri untuk tanding di arena malam ini. Dan jangan lupa, bawa uang yang banyak karena taruhan malam ini, kalian pasti kalah." ucap Langit. Setelah itu, ia mengajak dua sahabatnya untuk pergi.

"Kau baik-baik saja?" tanya Kenzie setelah Langit pergi.

Elara berbalik menghadap Kenzie dan dua temannya. "Aku baik-baik saja. Terima kasih."

"El?" Kenzie menatap tak percaya melihat gadis yang ia sukai itu kembali sekolah setelah satu bulan lamanya tidak masuk tanpa adanya keterangan. "Kau kembali?" tanyanya tak yakin.

Tubuh Elara membeku. Saat ini ia menjadi Elana, bukan Elara dan selama ini tidak ada satu orang 'pun yang memanggil Elana dengan panggilan El karena panggilan El adalah panggilan untuk Elara. Lalu, apakah sebenarnya laki-laki di depannya ini mengetahui siapa dia sebenarnya?

"El?" tanya Elara mengulangi panggilan Kenzie padanya.

"Kau Elana, 'kan?" tanya Darel, teman Kenzie.

"Mmm... I-iya, aku Elana."

"Lalu kenapa kau malah diam saat mendengar namamu sendiri disebut?" tanya Darel heran.

"Mmm... Itu... Sebenarnya aku—"

Elara memutar otak untuk menjawab pertanyaan laki-laki di depannya ini. Hingga akhirnya suara bel yang berbunyi nyaring berhasil membuat Elara bernapas lega. Ia lekas pergi meninggalkan tiga laki-laki tadi untuk masuk ke dalam kelas.

Saat sudah jauh dari Kenzie dan teman-temannya, Elara menghembuskan napas beberapa kali. Lalu lekas mencari kelas Elana. Dan akhirnya ketemu.

"Elana? Aaaa... Akhirnya kau kembali." Feli berteriak riang tak terkira saat melihat sahabat baiknya kembali sekolah setelah satu bulan absen. Ia sampai memeluk Elana beberapa kali dan bercipika-cipiki.

"Lan, kau berhutang penjelasan pada kami. Kemana kau satu bulan ini?" tanya Chelsea, yang juga merupakan sahabat baik Elana.

Elara masih mengingat dengan jelas bahwa dua gadis di hadapannya ini adalah gadis yang ada di foto polaroid di kamar Elana, dan Elara yakin bahwa dua gadis ini adalah sahabat Elana.

"Aku—"

"Selamat pagi, semuanya." Beruntung guru masuk, sehingga Elara tidak ditodong ribuan pertanyaan oleh dua sahabat Elana.

...•••***•••...

Elara tengah duduk di meja kantin bersama Feli dan Chelsea yang kini menjadi sahabatnya. Ya, meski sejujurnya Elara tidak pernah memiliki teman karena lebih suka sendiri, tetapi demi melancarkan aksinya, maka ia harus bersikap ramah layaknya Elana.

"Jadi Lan, kemana saja kau satu bulan kemarin? Kau tahu, aku dan Chelsea sempat mendatangi rumahmu, tapi rumahmu terkunci, bahkan Bik Asih juga tidak ada." ucap Feli.

"Iya, Lan. Kau tahu, kami sangat khawatir karena kau pergi tanpa pamit. Bahkan guru di sekolah 'pun menanyakan dirimu karena kau sama sekali tidak memberikan keterangan." timpal Chelsea.

"Mmm... Sebenarnya, aku habis mengalami kecelakaan satu bulan yang lalu. Papaku membawaku pulang ke Bandung dan aku menjalani perawatan selama di sana."

"Astaga! Tapi kau baik-baik saja, 'kan?" tanya Feli khawatir.

"Kemarin aku sempat kehilangan sebagian ingatanku dan sebenarnya sekarang masih dalam proses pemulihan." Elara memang sangat berbakat dalam mengarang cerita. Buktinya, ia bisa sangat lancar mengatakan kebohongannya.

"Sorry, kami benar-benar tidak tahu kalau kau habis kecelakaan." ucap Feli.

"Tidak apa-apa, aku juga salah karena tidak mengabari kalian."

"Tidak Lan, kau kehilangan ingatan, wajar kalau kau tidak mengingat kami." balas Feli.

"Oke, kita lupakan dulu soal itu, sekarang lebih baik kita pesan makan," ucap Chelsea menengahi.

Elara dan Feli menyetujui usulan Chelsea. Mereka akan bangkit untuk memesan makanan, tetapi langsung dihadang oleh Siena, Kakak kelas mereka yang juga seorang pembuli.

"Ets! Kalian mau kemana? Mau pesan makan?" Siena melempar buku ke dada Elara. "Kerjakan tugasku, baru kalian boleh makan."

Bab 3

"Apa kau pikir Elana pembantu?" balas Feli sengit. Ia tidak terima sahabatnya selalu dibuli oleh Siena.

"Kenapa? Elana sendiri tidak keberatan, 'kan. Lalu kenapa kau yang tidak terima." balas Siena.

"Apa selama ini Elana diperlakukan begini?" batin Elara.

"Heh, malah bengong! Kerjakan tugasku sekarang juga, aku tunggu istirahat kedua."

"Siena, kau tidak bisa menindas Elara terus!" pekik Feli masih tak terima.

"Kenapa? Kau ingin ditindas juga? Tapi sayangnya kau tidak punya kemampuan apa-apa, jadi aku tidak bisa memanfaatkanmu."

Chelsea yang pada dasarnya pendiam, hanya diam sembari memeluk lengan Elara untuk menenangkan. Sementara Elara justru sudah mengepalkan tangannya untuk menahan emosi yang rasanya akan meledak saat ini juga.

"Sudah ya, jangan lupa dikerjakan dengan benar, bye kutu buku." Siena dadah manja pada Elara dan teman-temannya.

Elara tidak tahan mendapat bulian ini. Baginya yang seorang petarung jalanan, harga dirinya seakan diinjak-injak saat ini dan ia tidak akan bisa menerima itu. Terlebih ia juga tidak akan membiarkan pembuli Elana terus merajalela.

Akhirnya, Elara menarik bahu Siena hingga menghadapnya kembali. Saat sudah saling berhadapan, Siena mengangkat tangan untuk menampar Elara karena sudah berlaku tidak sopan padanya. Tetapi yang tidak Siena ketahui, lawannya kali ini bukanlah Elana yang lemah, melainkan Elara si petarung handal. Elara menangkap tangan Siena yang akan menamparnya, lalu memelintir tangan tersebut kebelakang punggung Siena, membuat Siena memekik keras.

"Lepas, sial*n!" maki Siena.

"Sudah kalah, masih sempat-sempatnya mengumpat. Dasar jal*ng!" Elara mendorong Siena hingga terjerembab ke lantai. Tidak sampai disitu saja, Elara menginjak ujung sepatu Siena hingga membuat Siena memekik. "Dengarkan baik-baik. Aku mungkin Elana, tapi aku bukan lagi Elana yang lemah, yang bisa kau tindas sesukamu. Camkan itu!"

"Lepaskan kakiku, sial*n!"

Elara semakin menekan kakinya ke ujung sepatu Siena. Setelah beberapa saat, barulah ia lepaskan. Disaat itu, Siena langsung dibantu sahabatnya untuk pergi dari kantin.

"Ken, sepertinya gadis incaranmu sudah berubah menjadi macan." ucap Juna, sahabat Kenzie. Kenzie tidak menanggapi karena ia juga ikut terkejut melihat tindakan Elana.

Di meja lain, Langit sampai duduk di atas meja saat melihat pertunjukan menakjubkan tadi. Ia tersenyum melihat keberanian Elara melawan Siena yang sebenarnya adalah kekasihnya sendiri.

"Sangat menarik." Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya saat melihat keberanian Elara yang i sangka Elana.

...•••***•••...

"Lana, demi apa? Kau tadi sangat keren." Chelsea sampai mengangkat dua jempolnya untuk Elana.

"Tentu saja. Siapa dulu? Elana!" balas Feli bangga. "Tapi, Lan. Aku baru tahu kalau kau bisa bela diri. Tapi apapun itu, aku sangat suka gayamu tadi, kau hebat. Kakak kelas tukang buli itu memang pantas diberi pelajaran."

"Iya, kau luar biasa, Lan." timpal Chelsea.

...•••***•••...

Kenzie, ketua Geng Motor Ganstar bersama para anggotanya telah berada di arena balap. Di samping mereka, anggota Geng Atlantis yang berada dibawah pimpinan Langit 'pun sudah ada di sana.

"Aku pikir kalian tidak akan datang." ucap Langit angkuh.

"Hanya seorang pengecut yang mengingkari janjinya." balas Darel, salah satu teman Kenzie.

"Sudahlah, Bos. Lebih baik kita langsung buktikan saja, siapa yang akan menang malam ini." Jojo menyerahkan helm milik Langit.

Langit dan Kenzie sudah naik ke motor masing-masing. Keduanya saling melirik dan menatap tajam dari balik helm yang mereka kenakan. Di depan mereka, seorang gadis berdiri di tengah-tengah dengan memegang sebuah bendera. Ketika bendera tersebut ia terbangkan, Langit dan Kenzie langsung tancap gas untuk memulai permainan.

Arena balap liar itu begitu riuh dengan teriakan para pendukung dari masing-masing Geng yang menyerukan jagoannya. Sementara di tempat yang tidak begitu jauh dari arena balap itu, Elara menatap motor yang dikendarai Kenzie dan Langit dengan seksama.

Nyatanya, pemandangan ini sangat Elara sukai. Karena ia 'pun sangat senang mengikuti balap liar seperti ini, walaupun akhirnya selalu berakhir dirinya ditangkap oleh pihak berwajib, lalu menyusahkan Papa Efendi untuk mengurus masalahnya.

Fokus Elara kembali pada Langit dan Kenzie yang masih terus berlomba untuk mencapai garis finish. Seruan atas nama mereka 'pun tidak hentinya terdengar. Hingga akhirnya, setelah beberapa saat berlalu dengan ketegangan untuk menentukan pemenangnya, akhirnya motor Langit lebih dulu menyentuh garis finish.

"Asik... Bos-ku menang lagi." seru Sam. "Mana duitnya, sini sini." Sam mengambil duit dari tangan anak-anak Ganstar, lalu mengipaskannya ke wajahnya. "Ademnya kipasan duit memang beda." ucapnya sombong.

"Lain kali, kalau kemampuan masih cetek, tidak perlu sok jagoan." ucap Jojo tak kalah sombong.

"Hm, malu." ledek Sam.

Elara menatap muak melihat Langit dan Gengnya yang bersikap jumawa. Lalu kemudian tatapan Elara melihat ke jalanan lain dan mendapati mobil polisi yang akan melintas. Dengan gerakan cepat, Elara memakai helm-nya, lalu menuju arena balap. Dengan sengaja ia menciptakan keributan dari suara motornya yang akhirnya membuat Geng Atlantis dan Ganstar marah, lalu mengejar Elara.

Elara terus melihat spion motornya saat melihat dua anggota Geng Motor tadi mengejarnya. Setelah lumayan jauh dari arena balap tadi, Elara langsung memacu motornya dengan kecepatan tinggi, hingga Atlantis dan Ganstar kehilangan jejaknya. Disaat bersamaan, suara sirine mobil polisi terdengar, membuat kedua Geng itu berpencar untuk menyelamatkan diri.

Setelah sampai di markas Atlantis. Seluruh anggota Geng Atlantis masuk dan menyibukan diri dengan urusan masing-masing. Ada yang memodifikasi motor, ada yang olahraga, dan lain-lain. Sementara Langit, Sam dan Jojo memilih duduk di sofa.

"Siapa orang itu tadi, Bos. Aku lihat-lihat, kecepatan berkendaranya sangat diatas rata-rata. Bahkan hampir menyaingimu." komentar Jojo.

"Iya, bahkan aku tidak berhasil mengejarnya tadi." ucap Langit menyetujui. "Tapi siapapun dia, aku rasa niatnya baik. Dia ingin menyelamatkan kita dari kejaran polisi."

...•••***•••...

Elara berkendara dengan motor vespa butut milik Elana. Sepanjang jalan menuju sekolah, ia menikmati udara pagi yang menyegarkan. Hingga akhirnya setelah beberapa menit berkendara, Elara akhirnya tiba di sekolah. Elara memarkirkan motornya dan berniat menuju kelas, tetapi Langit menarik kerah baju bagian belakangnya.

"Siapa yang mengizinkanmu parkir di sini?" tanya Langit.

Elara menatap Langit yang begitu menjengkelkan di matanya. Tampaknya, Elara akan mencabut kata-katanya untuk berperan sebagai Elana sepenuhnya. Karena setelah mengetahui bahwa Elana sering dibuli di sekolah ini, Elara merasa harus untuk melawan pembuli tersebut, termasuk Langit.

"Sekali lagi aku tanya, siapa yang mengizinkanmu parkir di sini?"

"Ada tulisan yang melarang untuk parkir di sini?" tanya Elara balik.

"Satu sekolah ini tahu kalau area ini adalah daerah kekuasaan Geng Atlantis."

"Geng Atlantis? Itu nama Geng atau merk sarden?" tanya Elara enteng. Setelah mengatakan itu, Elara langsung meninggalkan parkiran.

"Dia melawanmu, Bos." ucap Sam tak percaya.

"Hm, dia sangat menarik." Langit tersenyum menatap punggung Elara yang mulai menjauh. Setelah itu, Langit mengajak Jojo dan Sam masuk kelas.

Di seberang parkiran Atlantis, Kenzie, Darel dan Juna menatap tak percaya pada apa yang barusaja mereka lihat. Seorang Elana melawan Langit? Sungguh pertunjukan pagi hari yang luar biasa.

"Aku rasa, satu bulan tidak sekolah, Elana sudah memiliki cadangan nyawa. Kemarin di kantin melawan Siena, hari ini melawan Geng Atlantis, lalu besok? Uhh... Gadis incaranmu semakin menarik, Ken." ucap Juna menggoda.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!