NovelToon NovelToon

Terjebak Cinta Si Penjinak Bara

Bab 1

Hujan turun seperti duka yang tak berkesudahan, mengguyur kota yang tak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu jalan berpendar redup di balik kabut yang menari, sementara angin malam menyelinap di antara dedaunan yang bergoyang. Di atas sebuah jembatan tua yang membentang di atas sungai berarus deras, seorang gadis berdiri diam seperti bayangan yang lupa caranya hidup.

Aluna Kirana.

Gaun pastel yang ia kenakan basah kuyup, menempel pada tubuhnya yang gemetar. Rambut panjangnya kusut dan menempel di pipi, menyembunyikan tatapan matanya yang kosong, mata yang kehilangan cahaya harapan. Tangannya menggenggam pagar jembatan, kencang, seolah hanya itu satu-satunya yang tersisa untuk dipegang. Di bawahnya, air sungai mengalir dengan suara gemuruh, seolah memanggil-manggil Aluna, menawarkan pelarian yang mudah dan tanpa rasa sakit.

Hatinya telah remuk, berantakan, seperti kaca yang dihancurkan berkali-kali. Bayangan wajah tunangannya yang dulu ia puja kini hanya menyisakan rasa jijik. Dan adiknya yang ia anggap rumah, justru menjadi tangan yang menusuk dari belakang. Dua orang yang ia cintai, memilih saling mencintai di belakangnya.

"Untuk apa lagi aku hidup?" bisiknya pada malam.

Air mata bercampur hujan. Dingin menggigit kulitnya, tapi luka di dadanya jauh lebih beku. Dunia terasa seperti ruang kosong yang bergema—sunyi, luas, dan menyakitkan.

Langkah kecil ia ambil. Kaki kanan sudah menyentuh sisi luar pagar jembatan. Satu tarikan napas terakhir sebelum segalanya berakhir. Ia ingin berhenti merasa. Berhenti mengingat. Berhenti merasakan luka yang tak pernah sembuh.

Namun sebelum Aluna sempat melepaskan pegangan, sebuah suara serak menerobos malam.

"HEY! Berhenti!"

Aluna membeku. Suara itu terdengar tegas, namun ada nada cemas yang menusuk.

"Jangan lakukan itu," suara itu mendekat, cepat, tergesa.

Dan dalam hitungan detik, sepasang tangan kuat mencengkeram lengannya, menariknya dengan paksa kembali ke sisi yang aman.

Tubuh Aluna jatuh ke pelukan seseorang yang terasa hangat, kuat, dan beraroma asap. Jantungnya berdegup cepat, tapi kali ini bukan karena takut akan mati, melainkan karena ia hidup dan diselamatkan.

"Apakah kau sudah gila?! Kau bisa mati!" suara pria itu meninggi, tapi suaranya terdengar lebih panik daripada marah.

Aluna mendongak pelan, menatap wajah yang nyaris tertutup helm merah dengan emblem Damkar di sisi kiri. Seragamnya basah, tubuhnya tinggi dan kokoh, dan di balik matanya yang tajam, ada sorot kekhawatiran yang nyata.

"Biarkan aku, mati." lirih Aluna, hampir tak terdengar.

Pria itu memandangnya lama, sebelum melepas helmnya. Rambutnya sedikit berantakan, kulitnya kecokelatan, dan garis rahangnya tegas. Tapi yang paling menarik adalah matanya—gelap, dalam, dan menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Bukan hanya simpati. Tapi seolah dia pernah berdiri di tempat yang sama, di tepi kehancuran.

"Aku nggak akan pergi sebelum kau aman," katanya pelan. "Dan aku nggak akan biarkan ada orang mati malam ini."

Nama pria itu adalah Zayyan Raksa Pradipta.

Dan malam itu, ia bukan hanya menyelamatkan nyawa seorang gadis—ia menyelamatkan jiwanya.

...----------------...

Aluna duduk di bangku taman kecil yang tak jauh dari jembatan. Selimut darurat membungkus tubuhnya, sementara Zayyan berdiri tak jauh, berbicara dengan seorang petugas yang datang belakangan. Mereka berbicara pelan, tapi Aluna tak peduli. Ia tak lagi menangis, tapi jiwanya masih seperti kabut yang mengambang, tak tentu arah.

Zayyan menghampirinya setelah selesai berbicara.

"Apakah kau punya keluarga di kota ini?" tanyanya hati-hati.

Aluna menggeleng pelan.

"Keluarga? Tempat tinggal?"

Diam. Ia terlalu malu untuk mengaku bahwa dunia yang ia bangun telah runtuh.

Zayyan duduk di sampingnya, menjaga jarak. Tak mencoba menyentuh. Hanya duduk.

"Terkadang hidup ini memang kejam," katanya tiba-tiba. "Dan kadang, satu-satunya hal yang menyelamatkan kita adalah orang asing."

Aluna melirik pelan. "Kenapa kamu menyelamatkanku? Kau bisa saja pergi dan membiarkan aku mati."

Zayyan tersenyum kecil. Tapi senyum itu tak benar-benar bahagia.

"Karena aku pernah berada di posisimu saat ini, tapi tak ada yang datang dan peduli denganku."

Dan dalam keheningan yang meluruh, dua orang asing duduk di bawah lampu taman, menyimpan luka yang tak terlihat, namun saling mengenali rasa kehilangan yang sama.

Malam itu bukan akhir bagi Aluna. Itu adalah awal. Awal dari sesuatu yang belum ia mengerti—tentang pemulihan, tentang keberanian, dan tentang cinta yang mungkin muncul dari tempat paling tak terduga.

Bab 2

"Kau tidak tahu apa-apa tentangku, kau juga tidak bisa mengerti apa yang saat ini aku rasakan. Aku benar-benar lelah dengan semua yang terjadi dalam hidupku. Kau seharusnya tidak mencegahku untuk mati!" ucap Aluna tajam, memalingkan wajahnya, menatap Zayyan dengan mata penuh luka.

Angin malam berhembus pelan, membawa aroma lembab dari tanah basah dan daun-daun yang berguguran. Di bawah temaram lampu taman yang remang, dua sosok itu duduk dalam keheningan. Aluna, dengan tubuh yang masih bergetar, menundukkan wajahnya, sementara Zayyan menatapnya dengan mata yang dalam—mata yang memancarkan rasa kecewa, namun juga kepedulian yang tulus.

Sejenak, hanya suara dedaunan yang berbisik di antara mereka.

"Apa begini sikapmu setelah aku menyelamatkanmu dari kematian?" suara Zayyan pecah di udara, serak oleh emosi yang sulit ia bendung. "Apakah dengan mengakhiri hidupmu, semua masalahmu akan selesai? Tidak, nona! Tidak seperti itu caranya."

Aluna tetap membisu, seolah kata-kata lelaki itu tak sanggup menembus dinding rasa sakit yang telah ia bangun rapat-rapat di dalam hatinya.

Zayyan menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang tak semestinya ia luapkan pada jiwa yang sudah nyaris patah di hadapannya. Ia bergeser sedikit, mendekat, membiarkan dirinya tenggelam dalam luka yang samar-samar mulai ia rasakan dari aura Aluna.

"Kau tahu..." lanjut Zayyan, kali ini dengan suara lebih pelan, seperti bisikan malam yang menenangkan, "Setiap orang di dunia ini membawa beban di pundaknya. Ada yang kehilangan keluarga, ada yang dikhianati, ada yang bahkan bangun setiap pagi tanpa tahu apa mereka punya alasan untuk tetap hidup. Tapi tetap... mereka bertahan."

Zayyan berhenti, menatap Aluna yang kini perlahan mengangkat wajahnya. Ada genangan air mata di matanya, menggantung di batas kelopak, bergetar, seolah ragu apakah ia diizinkan untuk jatuh.

"Aku tidak bilang masalahmu sepele," lanjut Zayyan, lembut. "Tapi... menyerah bukan jawabannya. Bunuh diri tidak akan menghapus rasa sakit mu, nona. Itu hanya akan memindahkan rasa sakit mu pada orang-orang yang mungkin diam-diam peduli padamu... pada dunia yang mungkin kehilangan satu bintang kecil yang tak sadar betapa berartinya dirinya."

Kalimat itu, perlahan, menembus benteng rapuh yang dibangun Aluna. Tubuhnya bergetar. Satu tetes air mata akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat.

Zayyan melihat itu. Melihat kerapuhan yang tersembunyi di balik sikap keras kepala Aluna. Ada sesuatu dalam dirinya yang berteriak, memaksa untuk mengulurkan tangan, untuk menjadi tempat berpulang bagi jiwa yang hampir hancur ini.

Dengan hati-hati, ia bertanya, "Nona, bolehkah aku tahu? Apa yang membuatmu ingin mengakhiri hidupmu?"

Suaranya begitu lembut, penuh kesabaran yang tak berpura-pura. Seakan ia siap mendengar, siap menampung segala luka yang ingin diceritakan gadis itu, se-kacau apapun.

Aluna terdiam lama. Tangannya meremas lengan bajunya sendiri, seolah mencari kekuatan dari sesuatu yang tak kasatmata.

"Aku..." suaranya serak, nyaris tak terdengar, "Aku sudah kehilangan segalanya."

Zayyan tetap diam, memberinya ruang, memberinya waktu.

Dengan suara bergetar, Aluna mulai bercerita.

"Aku seharusnya menikah beberapa minggu lagi," ia menahan isaknya, mencoba tetap berbicara meski suaranya bergetar hebat. "Tapi aku menemukan tunanganku... orang yang selalu ku percaya, yang ku jadikan tempatku berpulang, berselingkuh."

Zayyan mengepalkan tangan di samping tubuhnya, merasakan amarah yang bukan miliknya sendiri. Tapi ia tetap diam, membiarkan Aluna melanjutkan.

"Dan kau tahu dengan siapa dia berselingkuh?" Aluna mengangkat wajahnya, matanya yang basah memancarkan luka yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. "Dengan adik perempuanku sendiri."

Kata-kata itu jatuh, berat dan penuh luka, seperti beban berton-ton menghantam dada Zayyan.

"Aku... aku merasa seperti badut. Seperti orang yang buta. Mereka... mereka sudah melakukannya selama berbulan-bulan, di belakangku, di rumah yang sama dan aku tidak tahu apa-apa."

Aluna menyeka air matanya dengan kasar, namun air mata itu terus saja jatuh.

Bab 3

"Aku pikir, mungkin aku masih punya keluarga. Tapi..." ia tertawa hambar, getir. "Mereka bukan keluargaku. Aku... aku hanya anak adopsi dari panti asuhan. Mereka membawaku pulang hanya karena tak bisa punya anak saat itu."

Satu-satu luka lama menganga kembali di hadapan Zayyan.

"Aku selalu berpikir mungkin suatu saat mereka akan mencintaiku. Bahwa aku juga berarti bagi mereka. Tapi nyatanya aku hanya... hanya pelengkap dalam keluarga itu. Tak pernah benar-benar diinginkan. Tak pernah benar-benar disayangi."

Zayyan menahan napas, merasa dadanya sesak mendengar setiap patah kalimat yang keluar dari bibir Aluna.

"Mereka bahkan..." Aluna tersenyum pahit, "Mereka bahkan membela adikku dan juga tunanganku. Mereka bilang aku terlalu berlebihan. Bahwa aku terlalu dramatis. Bahwa aku seharusnya berterima kasih karena akhirnya tahu sebelum menikah."

Matanya berkilat karena air mata yang tak pernah habis.

"Jadi untuk apa aku tetap di sini?" bisiknya. "Untuk siapa aku bertahan?"

Suasana di antara mereka berubah menjadi lebih sunyi, lebih kelam, seolah dunia pun ikut berduka bersama Aluna.

Zayyan merasa ada sesuatu di dalam dirinya yang pecah. Sebuah rasa tak terdefinisi, antara iba, amarah, dan keinginan besar untuk melindungi gadis ini dari semua rasa sakit yang telah menghancurkannya.

Dengan langkah pelan, ia mendekat. Sangat dekat hingga hanya berjarak satu tarikan napas.

"Tidak ada yang berhak membuatmu merasa tidak berharga, nona." ucapnya, suaranya penuh getaran emosi. "Tidak keluarga yang mengabaikan mu. Tidak tunanganmu yang mengkhianatimu. Tidak dunia yang seolah membencimu."

Ia mengangkat tangan, ragu-ragu, sebelum akhirnya meletakkan tangannya dengan sangat hati-hati di atas bahu Aluna—seolah menyentuh pecahan kaca yang rapuh.

"Kau berharga. Bahkan meski mereka tidak melihatnya," lanjut Zayyan, lirih. "Kau berarti. Kau pantas untuk dicintai dengan segenap hati, tanpa syarat, tanpa pengkhianatan."

Aluna menatapnya, terisak dalam diam. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada seseorang yang tidak menilainya dari siapa dia berasal, dari apa statusnya, atau seberapa sempurna hidupnya. Ada seseorang yang melihatnya hanya sebagai Aluna. Seutuhnya.

"Aku tahu rasanya ingin menyerah," tambah Zayyan, suaranya nyaris pecah. "Aku tahu rasanya bangun di pagi hari dan berharap kita tidak ada di dunia ini. Tapi... aku percaya, luka seberat apapun bisa sembuh. Mungkin tidak hari ini. Mungkin tidak besok. Tapi suatu saat nanti, kau akan melihat kembali ke hari ini dan bersyukur kau bertahan."

Ia menatap dalam-dalam ke mata Aluna.

"Jadi bertahanlah, nona. Jika kau tidak bisa bertahan untuk orang lain, bertahanlah untuk dirimu sendiri."

Air mata Aluna jatuh lebih deras. Tapi kali ini, bukan hanya karena putus asa, melainkan karena ada sesuatu yang lain. Harapan kecil yang mulai bersemi, meski samar dan gemetar.

Zayyan mengulurkan tangannya.

"Aku di sini," bisiknya. "Jika kau mengizinkanku, aku akan berdiri di sisimu. Sampai kau cukup kuat untuk berjalan sendiri lagi."

Aluna menatap tangan itu. Tangan yang baru saja menyelamatkannya. Tangan yang kini menawarkan bukan sekadar pertolongan, tapi juga sebuah tempat untuk kembali mempercayai dunia.

Dan perlahan—sangat perlahan—Aluna menyentuh tangan itu. Genggaman kecil, ragu, tapi nyata.

Di bawah langit malam yang kelam, dua jiwa yang terluka saling menemukan. Bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, tapi sebagai dua manusia yang memilih untuk percaya lagi, untuk bertahan, bersama.

Dan di dalam keheningan itu, seakan semesta berbisik lembut pada keduanya:

Terkadang, luka terindah adalah luka yang membuatmu bertemu dengan seseorang yang akhirnya mengajarkanmu, bahwa dunia ini... masih layak diperjuangkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!