"Aaaarrggghhh!"
Terdengar rintihan seorang wanita ketika tubuhnya jatuh terjerembab ke lantai yang dingin. Sekujur tubuhnya sudah dipenuhi oleh luka lebam. Wanita itu berusaha bangun sambil menahan sakit di tubuhnya. Belum sempat dia bangun, seorang pria mendekat. Di tangannya terdapat stik panjang. Melihat wanita yang merupakan istrinya sendiri sudah tidak berdaya, pria itu malah menyeringai. Dia berjongkok di depan sang istri. Dicengkeramnya rahang wanita bernama Santi itu.
"Apa kamu masih menanyakan soal Lani?"
"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku."
Santi menangkupkan kedua tangannya. Dia terus meminta maaf pada suaminya. Kejadian seperti ini bukan hal baru bagi Santi. Sejak menikah tiga tahun, wanita itu sering mendapatkan perlakuan kasar dari sang suami. Hadi menikahi Santi atas suruhan orang tuanya. Pria itu sudah dua kali menikah sebelumnya. Pernikahannya selalu gagal karena sikap kasar pria itu.
Setelah menikahi Santi, sikap kasarnya semakin menjadi-jadi. Pria itu tetap melampiaskan kekesalannya pada sang istri. Menyiksanya sampai terkadang Santi tidak bisa bangun dari tempat tidur. Pasangan ini sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia dua tahun. Pada anaknya juga Hadi kerap bersikap kasar, tapi tidak sampai memakai kekerasan. Hanya umpatan saja yang sering diteriakkan laki-laki itu.
Malam ini Hadi benar-benar marah karena Santi terus menanyakan tentang Lani. Wanita itu adalah penjaga warung remang-remang yang kerap didatangi Hadi usai kerja. Hadi sendiri masih bekerja serabutan. Kadang dia menjadi kuli bangunan, kadang menjadi supir tembak atau membantu temannya mengantar barang keluar kota.
Sudah tiga bulan ini Hadi menjalin hubungan dengan Lani. Uang belanja yang diberikan Hadi pada Santi yang terbilang pas-pasan masih harus dikurangi karena pria itu juga sering memberikan uang pada Lani. Bukan hanya itu, Hadi juga sering menggunakan uang penghasilannya untuk berjudi dan minum minuman keras.
Didesak kebutuhan yang semakin meninggi, Santi memberanikan diri meminta nafkah lebih pada Hadi. Bukan uang yang didapat, melainkan siksaan yang diberikan suaminya. Suatu hari Santi memergoki Hadi tengah jalan berdua dengan Lani. Melihat itu emosi Santi langsung terpancing. Harga dirinya semakin direndahkan. Akhirnya wanita itu memberanikan diri bertanya tentang Lani. Keduanya bertengkar hebat dan berakhir dengan penyiksaan yang dilakukan Hadi.
Wajah Santi sudah tak berbentuk lagi. Kedua matanya bengkak akibat pukulan suaminya. Darah juga keluar dari mulut dan hidungnya. Belum lagi tubuhnya yang terasa linu dan nyeri akibat pukulan Hadi menggunakan stik besi. Namun begitu, Hadi masih belum puas menyiksa istrinya. Dia menarik rambut wanita itu kemudian menyeret tubuhnya.
"Ampun Mas, ampun.." mohon Santi sambil menangis tapi telinga Hadi seakan tuli.
Pria itu menghempaskan tubuh Santi ke lantai. Dia bersiap memukul kembali tubuh istrinya menggunakan stik besi. Namun belum sempat dia memukul, terdengar suara tangis anaknya. Hadi menolehkan kepalanya ke arah kamar. Tangis sang anak semakin kencang sambil memanggil sang Ibu.
"Mbu.. Mbu.."
Kesal karena anaknya terus menangis, Hadi bergegas menuju kamar. Pria itu berteriak kesal dan semakin membuat anaknya menangis histeris. Susah payah Santi berusaha bangun. Dengan langkah terseok dia melangkah menuju kamar. Belum sempat dia tiba di kamar, Hadi tiba-tiba keluar sambil membawa anaknya.
"Suruh anakmu diam!!"
Hadi melempar anak berusia dua tahun itu. Sambil menjatuhkan diri Santi menangkap anaknya. Asra terus menangis. Sebisa mungkin Santi menenangkan anaknya namun Asra tetap tidak mau diam. Hadi yang kesal segera mendekat lalu menampar anak itu dengan keras. Karuan saja tangis Asra semakin kencang.
"Mas..tolong jangan sakiti Asra."
Ucapan Santi hanya dianggap angin lalu oleh Hadi. Dia menarik paksa Asra, menyeret tubuh anak itu ke arah pintu. Tak sanggup melihat anaknya diperlakukan kasar, mata Santi segera melihat sekeliling. Kemudian dia melihat panci di atas meja. Dengan cepat dia mengambil panci lalu memukulkan ke kepala Hadi.
Amarah Hadi semakin menjadi. Dia melepaskan Asra dan kembali menghajar Santi. Untuk kali ini Santi mencoba melawan. Dia melemparkan barang apa saja yang ada di dekatnya. Hadi mendorong tubuh Santi dengan kasar hingga tubuhnya terhuyung menabrak meja dapur. Matanya kemudian menangkap pisau yang tergeletak tak jauh darinya. Dengan cepat Santi mengambil pisau lalu membalikkan badan. Bertepatan dengan itu Hadi sampai ke dekatnya. Pisau di tangan Santi menancap di perut suaminya.
Terkejut dengan apa yang terjadi, Santi segera melepaskan tangannya. Hadi langsung terdiam, dia memandangi perutnya yang tertancap pisau. Perlahan darah mulai merembes keluar dari sela-sela pisau. Pria itu jatuh ke lantai dengan posisi telentang. Santi yang ketakutan segera bangun. Dia mengambil Asra lalu keluar dari rumah.
"Santi.. tolong aku. Tolong aku."
Tanpa mempedulikan panggilan Hadi, Santi terus berlari meninggalkan rumah di keheningan malam. Karena paniknya, wanita itu tidak mengenakan alas kaki dan tidak menutup pintu rumahnya. Hadi merintih kesakitan akibat luka yang dialaminya.
***
Keesokan harinya, warga setempat dibuat geger ketika menemukan Hadi yang sudah tidak bernyawa. Salah seorang tetangga yang baru pulang dari masjid setelah shalat shubuh berjamaah, penasaran melihat pintu rumah Hadi terus terbuka. Dia pun bermaksud mendatanginya. Pria itu terkejut ketika melihat Hadi sudah terkapar di lantai. Di tubuhnya terdapat luka tusukan dan darah menggenangi tubuhnya. Dia berlari sambil berteriak meminta tolong pada semua tetangga.
Dalam waktu singkat pihak kepolisan dan ambulans datang ke lokasi. Aditya dan Tristan turun dari mobil yang mereka tumpangi lalu segera masuk ke dalam rumah. Hadi masih berada di posisi semula. Petugas forensik sedang mengambil gambar pria tersebut, sementara rekannya yang lain mencari sidik jari selain milik Hadi.
Tangan Aditya yang sudah terbungkus sarung tangan mengambil pisau yang tergeletak di dekat Hadi lalu memasukkannya ke dalam plastik bening. Tristan meneliti luka tusuk di tubuh Hadi.
"Hanya ada satu tusukan di bagian perut. Tapi sepertinya tusukan mengenai area vital. Sepertinya dia mati karena kehilangan banyak darah."
Aditya melihat sekeliling, kemudian dia melihat ada darah lain,tepatnya di bagian ujung meja. Dia mengambil cotton bud kemudian mengambil sampel darah tersebut dan memasukkannya ke dalam plastik bening. Petugas forensik juga mengamankan stik besi yang tergeletak di lantai. Usai meneliti mayat Hadi, Aditya dan Tristan keluar dari rumah. Keduanya segera menanyai tetangga Hadi yang sedang berkerumun.
"Apa kalian mengenal korban?"
"Kenal. Dia adalah Hadi."
"Apa dia tinggal sendiri?"
"Tidak, dia tinggal dengan istri dan anaknya?"
"Di mana istri dan anaknya?"
"Saya tidak tahu. Setahu saya kemarin istrinya masih ada. Sebelum tidur saya sempat mendengar mereka bertengkar."
"Apa mereka sering bertengkar?"
"Lebih tepatnya Hadi sering menyiksa istrinya. Dia itu pria yang kasar."
"Siapa nama istrinya?"
"Santi. Kasihan dia perempuan yang malang."
"Apa anda tahu di mana biasanya Santi berada selain di rumah?"
"Mungkin dia di rumah adiknya. Rumahnya masih berada di daerah ini. Bapak tinggal menyebrang dari gang masuk ke sini. Rumah keenam dari gang masuk."
"Siapa nama adik Ibu Santi?"
"Jaka."
"Terima kasih atas informasinya."
Berbekal informasi yang didapat dari para tetangga, Aditya dan Tristan segera menuju rumah yang dimaksud. Sebelum menuju rumah itu, Aditya bertanya lebih dulu pada warga yang melintas. Setelah yakin kalau rumah yang didatangi adalah benar rumah Jaka, pria itu segera mengetuknya.
TOK
TOK
TOK
"Assalamualaikum."
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam."
Dua kali Aditya mengucapkan salam, baru terdengar suara seseorang dari dalam menjawab salam. Ketika pintu terbuka, muncul seorang wanita dari baliknya.
"Apa saudara Jaka ada?"
"Suami saya sedang kerja."
"Apa ada Bu Santi di sini?"
"Ada perlu apa dengan Kakak ipar saya?" wajah wanita bernama Dini itu nampak cemas.
"Ada yang ingin kami tanyakan. Suami Bu Santi ditemukan tewas di rumahnya. Kami mohon kerjasamanya."
Awalnya Dini nampak ragu, namun akhirnya wanita itu memanggilkan juga Santi. Takut-takut wanita itu keluar. Pandangan kedua petugas kepolisian itu langsung tertuju pada luka memar di wajah Santi.
"Ibu Santi, apa benar kalau Pak Hadi adalah suami Ibu?"
"Iya, benar."
"Bapak Hadi ditemukan tidak bernyawa oleh tetangga anda. Apa anda bisa ikut ke kantor polisi dengan kami?"
"Aku tidak membunuhnya."
"Sementara anda hanya menjadi saksi saja."
Santi melihat pada Dini. Adik iparnya itu juga terlihat bingung. Apalagi suaminya belum pulang bekerja karena masuk shift malam.
"Mari Bu Santi," ucapan Tristan membuyarkan lamunan kedua wanita itu.
"Din, aku titip Asra."
"Iya, Teh. Nanti kalau Kang Jaka pulang, aku akan langsung beritahu."
Dengan langkah berat, Santi akhirnya ikut dengan Aditya dan Tristan ke kantor polisi. Setelah Santi dibawa pergi, Dini segera menghubungi suaminya. Jaka mengatakan akan langsung ke kantor polisi setelah jam kerjanya usai.
***
Berdasarkan hasil penyelidikan, Santi dijadikan tersangka pembunuhan. Pisau yang tergeletak di lantai penuh dengan sidik jarinya. Begitu pula dengan darah lain yang ditemukan Aditya adalah darah milik Santi. Hanya ada sidik jari Hadi dan Santi di TKP. Itulah yang membuat Santi langsung dijadikan tersangka.
"Saya menusuknya karena terpaksa. Kang Hadi terus menyiksa saya, bahkan dia juga mau menyiksa anak kami. Saya tidak punya pilihan kecuali membela diri. Ketika saya tinggalkan dia masih hidup."
"Tusukan yang anda berikan tepat mengenai organ vitalnya. Korban meninggal karena kehabisan darah."
"Saya hanya membela diri. Saya tidak berniat membunuhnya!"
Wanita itu mulai menangis. Yang ada di pikirannya sekarang, bagaimana nasib anaknya kalau dirinya sampai di penjara. Aditya memandang sendu pada Santi. Luka memar yang ada di tubuh wanita itu membuktikan betapa menderitanya wanita itu. Namun Hadi sudah meninggal dunia. Walau tindakannya hanya untuk membela diri, namun tetap saja dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
"Apa saya akan di penjara?"
"Bagaimana pun juga Ibu sudah menghilangkan nyawa seseorang. Saya sarankan Ibu mencari pengacara yang bisa meringankan hukuman untuk Ibu. Jika Ibu tidak memilki biaya untuk membayar jasa pengacara, maka negara bisa menyediakannya untuk Ibu. "
Aditya segera keluar dari ruang interogasi. Petugas yang berada di luar segera membawa Santi kembali ke selnya. Saat akan kembali ke dalam sel, Santi berpapasan dengan Jaka yang langsung menyusul ke kantor polisi.
"Teh.."
"Jaka tolong aku. Aku tidak berniat membunuh Kang Hadi. Aku hanya membela diri."
"Tenanglah Kak. Aku akan mencarikan pengacara untukmu."
"Asra. Bagaimana dengan Asra?"
"Asra baik-baik saja. Teteh tenang saja. Aku pergi kerja dulu. Aku akan mencarikan pengacara untuk Teteh."
Usai mengatakan itu, Jaka segera meninggalkan kantor polisi. Pria itu akan menemui beberapa saudara dan temannya. Dia hendak meminjam uang untuk membayar biaya pengacara.
***
Kendaraan roda dua Jaka berbelok memasuki pelataran parkir sebuah kantor. Di bagian depan gedung tertera nama D&G Law Firm. Jaka bekerja di kantor hukum ini sebagai security. Setelah memarkirkan motor dan mengenakan seragamnya, pria itu segera menuju pos tempatnya berjaga.
Wajahnya nampak lesu. Sudah sepuluh hari lamanya sang Kakak ditahan di kantor polisi. Sebentar lagi berkasnya akan masuk di pengadilan. Namun pria itu masih belum mendapatkan pinjaman uang. Dia sudah mendatangi LBH, namun mereka mengatakan kemungkinan besar Santi akan dihukum. Berapa lamanya hukuman yang akan didapatkan tergantung dari keputusan Hakim nantinya. Jaka tidak ingin Sang Kakak masuk penjara. Jika Santi di penjara, bagaimana dengan Asra? Anak itu akan menanggung status sebagai anak seorang pembunuh nantinya.
Yang terlintas di kepalanya sekarang adalah meminta bantuan hukum pada pengacara di tempat dia bekerja. Namun Jaka tahu biaya yang harus dikeluarkan cukup besar. Karena firma hukum tempatnya bekerja adalah firma hukum ternama. Banyak kasus yang dimenangkan para advokat yang bergabung di firma ini.
Sesekali pria itu melirik jam di pergelangan tangannya kemudian pandangannya tertuju pada pintu masuk pelataran parkir seperti tengah menunggu seseorang. Lima menit berselang sebuah sedan mewah pabrikan Jerman memasuki pelataran parkir. Mobil tersebut terus melaju dan berhenti di tempat sang pengemudi biasa parkir. Dengan cepat Jaka menuju mobil tersebut. Dengan sigap dia membukakan pintu mobil.
"Selamat pagi Bu Elina."
"Pagi Pak Jaka."
***
Hai².. Aku kembali lagi dengan karya baru. Sesuai janji, aku buatin cerita Elina. Aku juga bakal selipin tentang Adit sekali-kali, sebagai pengobat rindu.
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian, like, komen dan rate bintang 5-nya. Biar aku tambah semangat up tiap hari. Love you all😘
"Selamat pagi Bu Elina."
"Pagi Pak Jaka."
Elina melemparkan senyumannya pada Jaka, security di kantor tempatnya bekerja. Hampir setiap hari Jaka menyapa dirinya ketika tiba di kantor. Pria itu selalu membawakan tas berisi berkas sampai ke ruangannya. Jaka termasuk pegawai yang rajin. Dia selalu membantu pengacara lain membawakan berkas mereka. Namun pengacara favoritnya hanya satu, yakni Elina. Selain cantik, Elina juga pintar dan sangat ramah. Dia tidak pernah membedakan orang berdasarkan status. Elina bisa enak berbincang dengan security seperti dirinya atau cleaning service dan OB. Itulah yang membuat Elina disukai banyak karyawan di firma hukum ini, termasuk Jaka.
Elina adalah anak sulung pasangan Zar dan Renata. Berbeda dari sepupunya yang lain, wanita itu memilih profesi sebagai pengacara. Elina dikaruniai otak yang cerdas. Umur 21 tahun dia sudah lulus kuliah dan menyandang status sebagai Sarjana Hukum. Usai memperoleh gelar sarjana, Elina mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat selama dua bulan. Dia berhasil lulus ujian PKPA dengan nilai sangat memuaskan. Setelahnya Elina magang di Novak and Parters yang ada di Jakarta sambil mengambil kuliah S2 di bidang Hukum. Dia mengambil konsentrasi hukum pidana.
Pemilik firma hukum tersebut adalah Liam Novak, ayah dari Gerald Adrian, pria yang menjadi mentor dirinya sekaligus dekat dengannya. Setelah masa magang selama dua tahun, Elina diajak bergabung oleh Gerald ke D&G Law Firm. D&G Law Firm adalah firma hukum yang didirikan oleh Gerald bekerja sama dengan Damian, seniornya saat di bangku kuliah. Pria itu sengaja mengambil lokasi di Bandung, agar bisa lepas dari bayang-bayang nama besar ayahnya.
Suda dua tahun lebih Elina bergabung dengan D&G Law Firm, namun begitu dia sudah banyak menangani kasus dan menenangkannya. Gerald benar-benar menggemblengnya dengan baik. Wanita itu juga mengambil spesialisasi hukum pidana karena terinspirasi dari Gerald. Diam-diam Gerald menaruh hati pada Elina. Sejak membimbingnya magang di Novak and Partners, duda tanpa anak itu memang sudah jatuh cinta pada juniornya. Namun sampai saat ini Elina masih belum memberikan respon akan perasaannya.
"Bagaimana kasus terakhir yang ditangani Bu Elina? Apa sudah selesai?" tanya Jaka ketika mereka menaiki lift. Kantor D&G Law Firm hanya memiliki empat lantai dan ruangan Elina berada di lantai tiga. Tapi wanita itu malas kalau harus naik turun menggunakan tangga.
"Alhamdulillah. Lusa sudah masuk sidang terakhir."
"Kira-kira menang lagi ngga, Bu?"
"Mudah-mudahan ya, Pak."
"Aamiin."
Lift yang mereka tumpangi berhenti di lantai tiga. Elina segera menuju ruangannya disusul Jaka dari belakang. Pria itu menaruh berkas yang dibawanya di atas meja kerja Elina. Sejenak dia memandangi wanita itu. Sebenarnya Jaka ingin meminta bantuan Elina untuk menangani kasus sang Kakak. Namun melihat wanita itu masih sibuk dengan pekerjaannya yang lain, pria itu mengurungkan niatnya. Dia akan mengatakannya jika Elina sudah punya waktu luang.
"Saya keluar dulu, Bu. Ibu mau minum apa?"
"Teh Chamomile aja."
"Siap."
Jaka keluar dari ruangan kerja Elina yang dindingnya terbuat dari kaca transparan. Sebelum kembali ke pos, pria itu mampir ke pantry. Dia akan meminta OB membuatkan minuman untuk Elina.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Elina menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri seraya menepuk pundaknya yang terasa pegal. Seharian ini dia sibuk membuat laporan dan memilah kasus yang sudah selesai ditanganinya. Damian memintanya merapihkan berkas kasus yang pernah ditanganinya. Pria itu sedang membuat sebuah sistem yang akan memudahkan para pengacara di kantornya mengakses kasus yang pernah ditangani kantor ini.
Elina mengangkat kepalanya untuk melihat keadaan di luar ruangannya. Tanpa sengaja dia melihat Jaka melintas di depan ruangannya. Dalam sehari ini dia sudah melihat Jaka melintasi ruangannya sebanyak delapan kali. Dan itu bukan sesuatu yang wajar. Sepertinya ada yang hendak dibicarakan pria itu padanya.
Elina bangun dari duduknya lalu membuka pintu ruangan. Jaka berdiri tak jauh darinya. Dia sedang berbincang dengan salah satu OB. Tangan Elina melambai memanggil pria itu. Dengan cepat Jaka segera menghampiri. Wanita itu memintanya masuk ke ruangan.
"Apa ada yang ingin Pak Jaka bicarakan dengan saya?"
"Eh.. ke.. kenapa Bu Elina tanya begitu?"
"Hari ini Bapak lewat ruangan saya sudah delapan kali, ngga biasanya seperti itu. Ada apa, Pak? Apa Bapak butuh bantuan saya?"
"Sebenarnya iya, Bu. Tapi saya malu dan sungkan."
"Bapak perlu bantuan apa?"
"Soal Kakak saya."
Jaka pun menceritakan apa yang menimpa Santi, Kakak perempuannya. Saat ini Santi masih berada di tahanan Polrestabes Bandung. Dia dijadikan tersangka pembunuhan suaminya. Santi belum didampingi oleh pengacara. Baik dia maupun Jaka tidak punya uang untuk membayar pengacara. Jaka juga sudah menceritakan tentang konsultasinya pada LBH tentang kasus yang menimpa Sang Kakak.
"Apa Bapak tahu seperti apa kejadiannya?"
"Saya ngga tahu, Bu. Saat kejadian saya sedang kerja shift malam. Cuma ada istri dan anak saya di rumah. Istri saya bilang, Teh Santi datang sambil menggendong Asra, anaknya. Keadaannya jauh dari kata baik. Wajahnya penuh memar dan dia terlihat ketakutan. Tangannya gemetaran saat menyerahkan Asra pada istri saya."
"Sekarang Bu Santi ada di mana?"
"Dia ditahan di kantor Polrestabes Bandung."
"Saya akan bicarakan masalah ini dengan Pak Gerald dulu. Nanti saya kabari ya, Pak."
"Apa Ibu bisa membebaskannya? Bisakah Ibu membuatnya tidak dijatuhi hukuman?"
"Saya belum bisa menjanjikan apapun. Saya harus membicarakan masalah ini dengan Pak Gerald lebih dulu. Saya juga perlu bertemu dengan Kakak Pak Jaka. Kalau Pak Gerald memberi ijin, saya akan menangani kasus ini."
"Terima kasih, Bu. Terima kasih. sudah mau mendengarkan saya. Tapi apa boleh saya membayar jasa Ibu dengan cara mencicil? Saya akan mengajukan pemotongan gaji pada bagian HRD."
"Kita jangan bicara soal biayanya dulu. Kalau Pak Gerald mengijinkan, saya harus menemui Kakak Pak Jaka dan mempelajari kasusnya lebih dulu."
"Baik, Bu. Sekali lagi terima kasih. Saya permisi dulu."
Jaka bangun dari duduknya lalu keluar dari ruangan. Elina segera mencari kasus yang disebutkan oleh Jaka di media massa online. Biasanya kasus pembunuhan seperti ini akan dengan cepat menjadi bahan pemberitaan. Tak sulit bagi Elina menemukan berita tersebut. Dengan seksama dia membaca semua pemberitaan kasus Santi yang terjadi sepuluh hari lalu. Usai membaca berita, wanita itu segera menghubungi Aditya. Dari pemberitaan dia tahu kalau unit satu Jatanras yang menangani kasus tersebut.
***
TOK
TOK
TOK
"Masuk!"
Pintu ruangan Gerald terbuka setelah terdengar suara pria itu. Elina masuk ke dalam dan langsung duduk di depan meja kerja atasannya. Secara hierarki, Gerald dan Damian adalah atasan Elina, namun hubungan mereka lebih seperti sahabat. Dulu Gerald menjadi salah satu staf pengajar saat Elina menempuh pendidikan sebagai advokat. Di sanalah kedekatan keduanya terjalin hingga akhirnya Gerald jatuh cinta pada Elina.
"Ada apa?"
"Apa Abang tahu soal istri yang membunuh suaminya? Dia sedang mengalami KDRT saat pembunuhan terjadi."
"Iya aku tahu. Beritanya gencar di media massa. Dan negara sudah memasukkannya ke dalam daftar kasus pro bono."
"Apa Abang tahu kalau pelaku pembunuhan itu Kakaknya Pak Jaka?"
"Maksudmu Pak Jaka security kita?"
"Iya. Tadi Pak Jaka menemuiku. Dia meminta bantuanku untuk mendampingi Kakaknya. Kakaknya adalah korban KDRT, dia melakukan penusukan untuk membela diri. Aku berniat membantunya, itu pun kalau Abang mengijinkan."
"Walau apa yang dilakukannya untuk membela diri, tetap saja dia akan menjalani hukuman. Kamu tahu benar soal itu."
"Aku tahu, Bang. Tapi setidaknya aku akan berusaha mengurangi masa hukumannya. Aku sudah bicara dengan Bang Adit, kalau Abang setuju aku akan langsung menemuinya."
"Kalau kamu mengambilnya, maka ini akan menjadi kasus Pro Bono ke-enam mu."
"Apa Abang mengijinkan?"
"Oke."
Senyum merekah di wajah Elina mendengar jawaban Gerald. Selama bekerja di bawah D&G Law Firm, Elina sudah lima kali menangani kasus Pro Bono. Setiap pengacara memang diwajibkan menangani kasus Pro Bono minimal satu kali selama berprofesi sebagai pengacara atau advokat. Kasus Pro Bono adalah kasus hukum yang ditangani oleh advokat secara gratis bagi pihak yang tidak mampu membayar jasa pengacara.
"Kasus Pak Rustam hanya tinggal menunggu keputusan akhir. Aku akan langsung menangani kasus ini."
"Katakan kalau kamu butuh bantuan."
"Oke."
"Mau makan malam denganku?"
"Maaf, lain kali aja ya. Aku mau mempelajari kasus ini dulu," Elina menangkupkan kedua tangannya.
"It's okay."
"Aku pulang dulu."
Gerald menganggukkan kepalanya. Elina segera keluar dari ruang atasannya. Wanita itu akan langsung pulang ke rumah. Namun sebelumnya dia akan mampir ke rumah Aditya untuk mendengarkan soal kasus Santi. Pihak kepolisan sedang melengkapi berkas wanita itu dan jika sudah lengkap akan dilimpahkan ke pengadilan.
***
Keesokan harinya Elina mendatangi kantor Polrestabes Bandung untuk mengunjungi Santi. Ternyata berkas perkara wanita itu sudah lengkap dan sudah dikirimkan ke kejaksaan. Sekarang hanya tinggal menunggu keputusan dari Jaksa Penuntut Umum apakah berkas sudah lengkap atau akan dikembalikan lagi ke pihak kepolisian.
Aditya membawa Elina ke ruangan tempat bertemu dengan tersangka kejahatan. Wanita itu mengeluarkan buku catatan kecil dari dalam tasnya. Lima menit kemudian Santi masuk didampingi seorang petugas. Elina memandangi wanita di depannya ini. Wajah Santi terlihat kuyu, masih ada sedikit sisa memar di wajahnya, bekas pukulan yang diberikan Hadi.
"Dengan Ibu Santi?"
"Iya."
"Saya Elina. Saya diminta adik Ibu, Pak Jaka untuk mewakili Ibu."
"Tapi saya tidak punya uang untuk membayar jasa pengacara."
"Ibu tidak perlu memikirkan biayanya. Bisa Ibu ceritakan apa yang terjadi malam itu?"
***
Ini penampakan Elina menurut versiku
Caitlin Halderman as Elina
"Ibu tidak perlu memikirkan biayanya. Bisa Ibu ceritakan apa yang terjadi malam itu?"
Untuk ke sekian kalinya Santi menceritakan apa yang terjadi pada malam kelam itu. Selama menceritakan apa yang terjadi, airmata Santi tak berhenti mengalir. Kejadian penusukan pada Hadi mengejutkannya. Tapi dia tidak menyangka kalau tusukannya menyebabkan sang suami kehilangan nyawa.
Selama mendengarkan keterangan Santi, Elina mencocokkan jawaban dengan laporan yang ditulis oleh pihak kepolisian. Dia juga memperhatikan foto-foto di TKP. Darah yang keluar memang sangat banyak. Menggenangi lantai di mana tubuh Hadi terkapar. Pisau yang digunakan untuk menusuk korban ditemukan tidak jauh dari korban.
"Apa benar ini pisau yang Ibu gunakan untuk menusuk Pak Hadi?"
"Iya."
"Saat Ibu menusuk Pak Hadi, Ibu menarik pisaunya lalu pergi meninggalkan rumah?"
"Saya tidak menariknya. Saya langsung pergi setelah menusuknya."
"Apa Ibu yakin?"
"Iya. Saya ketakutan setengah mati setelah menusuknya jadi saya langsung pergi. Ketika saya pergi, suami saya masih hidup."
"Petugas kepolisian menemukan pisau di lantai. Kalau benar Ibu tidak mencabutnya, ada kemungkinan orang lain yang melakukannya. Apa Ibu sudah mengatakan ini pada petugas polisi?"
"Sudah. Tapi mereka bilang, mereka tidak menemukan jejak lain di dalam rumah. Hanya ada jejak saya dan suami saja. Apa Ibu bisa menolong saya? Kalau benar ada orang lain di sana, saya bisa bebas kan?"
"Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan Ibu tidak bersalah."
Setelah mengatakan keterangan Santi, Elina pun mengakhiri pertemuannya dengan perempuan itu. Dia segera keluar dari ruangan dan bertemu dengan Aditya. Ada hal yang harus dibicarakan dengan Kakak sepupunya itu.
"Bu Santi bilang kalau dia tidak mencabut pisaunya. Pisau masih menancap di tubuh suaminya ketika dia meninggalkan rumah."
"Ya, aku juga sudah memeriksanya. Kami menyusuri lagi TKP tapi tidak menemukan jejak siapa pun di sana kecuali milik Bu Santi dan korban."
"Ngga mungkin kan pisau itu jalan sendiri? Keluar dari perut korban dan jatuh ke lantai."
"Bisa saja Hadi yang mencabut pisau."
"Kalau itu yang terjadi, berarti kematian Hadi bukan disebabkan oleh Bu Santi."
"Tapi korban sudah meninggal dan satu-satunya orang yang dicurigai dalam kasus ini adalah Bu Santi. Sorry to say, dia tidak mungkin lolos dari dakwaan Jaksa."
Elina menyugar rambutnya. Apa yang dikatakan Aditya benar adanya. Korban sudah meninggal dunia. Walau pun benar Hadi yang mencabut pisau dan menyebabkan dirinya kehilangan banyak darah, tetap saja tidak ada yang bisa membuktikan hal tersebut.
"Apa Aang atau Tante Kim menemukan sesuatu?"
"Mereka tidak terlibat dengan kasus ini. Mereka sedang membantu kasus lain."
"Apa Abang tidak bisa melakukan penyelidikan lagi?"
"Kasusnya sudah diserahkan ke Kejaksaan. Besok Bu Santi akan dipindahkan ke rutan dan menunggu persidangan."
"Kenapa secepat ini?"
"Semua bukti sudah lengkap. Lagi pula Jaksa yang menangani kasus ini meminta kami menyelesaikannya dengan cepat. Bahkan dia datang ke sini sendiri kemarin, meminta berkas Bu Santi diserahkan padanya."
"Kenapa terburu-buru seperti ini. Aneh."
Aditya hanya mengangkat bahunya saja. Jaksa yang menangani kasus Santi adalah Jaksa pindahan dari Jakarta. Mereka belum terlalu mengenal Jaksa tersebut. Dan ketika datang, pria itu memang sedikit memaksa tim Jatanras satu untuk segera merampungkan laporannya.
"Mungkin kamu bisa tanya sama Zahran soal Jaksa yang menangani kasus klienmu. Tanpa memeriksa berkas dengan seksama, dia langsung menanda tangani nya. Dan memerintahkan Bu Santi segera dipindahkan ke rutan."
"Siapa nama Jaksanya?"
"Carya Respati. Aku yakin kamu bisa membantu Bu Santi seperti kamu membantu Salman waktu itu. Walau kamu tidak bisa membebaskannya dari hukuman, setidaknya kamu bisa mendapatkan keringanan hukuman untuknya. Ini kejahatan pertamanya dan dia melakukan itu untuk membela diri."
"Oke, Bang. Terima kasih."
Elina segera meninggalkan kantor Polrestabes. Sebelum menjalankan mobilnya, wanita itu menghubungi Zahran lebih dulu. Zahran adalah senior di kampusnya dan sekarang berkarir sebagai Jaksa. Hubungan mereka terbilang dekat. Bahkan Zahran sudah terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada Elina, hanya saja wanita itu masih belum memberikan jawaban apapun.
Setelah menghubungi Zahran, Elina segera memacu kendaraannya menuju Kantor Kejaksaan Negeri yang berada di jalan Jakarta. Dia perlu tahu siapa Jaksa yang menangani kasus Santi. Hal biasa yang dilakukan olehnya saat menangani kasus kliennya. Hal ini di pelajari dari Gerald. Sebelum berhadapan dengan musuh di pengadilan, harus tahu lebih dulu siapa lawannya. Dengan begitu dia bisa memprediksi apa yang akan dilakukan Jaksa saat persidangan nanti.
Perjalanan menuju kantor Zahran memakan waktu cukup lama. Setelah berkendara hampir satu jam lamanya, akhirnya Elina tiba juga di kantor Zahran. Pria itu sudah menunggu Elina di depan kantor. Elina segera turun dari mobilnya lalu menghampiri Jaksa muda itu.
"Kamu sudah makan?" itulah pertanyaan pertama keluar dari mulut Zahran ketika bertemu dengan Elina.
"Belum," Elina melihat jam di pergelangan tangannya.
"Apapun yang mau kamu tanyakan, tahan dulu. Bagiamana kalau kita bicara sambil makan? Aku lapar."
Zahran segera menarik tangan Elina, membawa wanita itu ke mobilnya. Dia segera membukakan pintu mobil dan mempersilakan wanita pujaannya masuk ke dalamnya. Dalam hitungan menit, kendaraan roda empat milik Zahran sudah meluncur meninggalkan kantornya. Pria itu memilih tempat makan yang tidak terlalu jauh dari kantornya.
"Kamu mau makan apa?"
"Menu spesial di sini apa?"
"Ayam bumbu ijo, cumi bakar dan sei sapi."
"Aku minta sei sapi aja."
Zahran mengangkat tangannya dan seorang pelayan segera menghampirinya. Pria itu segera memesan makanan untuknya dan juga Elina. Sambil menunggu makanan siap, keduanya memulai perbincangan.
"Apa yang mau kamu tanyakan?"
"Apa Abang kenal dengan Carya Respati?"
"Dia Jaksa pindahan dari Jakarta, kenapa?"
"Aku sedang menangani kasus dan dia yang jadi Jaksa penuntutnya."
"Maksudmu kasus pembunuhan seorang suami yang istrinya terkena KDRT?"
"Iya. Aku heran aja kenapa Carya ingin menangani kasus ini cepat-cepat. Bahkan dia datang sendiri ke kantor Polrestabes untuk mengambil laporan. Menanda tanganinya dengan cepat tanpa membacanya lebih dulu."
"Dia memang Jaksa yang terkenal bekerja cepat."
"Tapi apa tidak terlalu sembrono?"
"Carya adalah orang yang kalau dia sudah yakin akan kasusnya, pasti akan dilakukan dengan cepat tanpa menundanya lagi. Itu artinya dia sudah sangat yakin kalau pembunuh korban adalah istrinya sendiri."
"Tapi ada yang ganjil. Pisau ditemukan tergeletak di lantai. Sementara Bu Santi mengatakan kalau dia tidak mencabut pisau dari perut suaminya. Bagiamana caranya pisau bisa berpindah tempat?"
"Bisa jadi korban sendiri yang mencabutnya atau pelaku yang mencabutnya, tapi karena panik, dia lupa apakah pisau itu ditarik atau dibiarkan tertancap di perut korban."
Tidak ada jawaban dari Elina. Apa yang dikatakan Zahran cukup masuk akal. Saat keadaan panik, terkadang seseorang menjadi linglung dan meyakini hal yang tidak dilakukannya. Apalagi Aditya mengatakan kalau tidak ditemukan jejak lain di TKP.
"Carya salah satu Jaksa terbaik di kantor terdahulu. Kamu harus berhati-hati menghadapinya. Aku dengar salah satu alasan dia ingin menyelesaikan persidangan secepatnya karena dia akan segera menangani kasus besar."
"Kasus apa?"
"Narkoba."
"Ck.. jadi dia menganggap remeh kasus yang kutangani."
"Kalau kamu merasa ada yang ganjil dengan kasus itu, selidiki lagi. Datangi lagi TKP dan dapatkan bukti untuk meringankan klienmu."
"Aku memang berencana ke TKP."
"Jangan pergi sendiri. Mau kutemani?"
"Tidak usah. Aku bisa pergi dengan Bang Fathir."
"Aku cemburu pada Fathir, dia bisa menemanimu kapan saja. Sedang aku, kamu datang menemuiku kalau membutuhkan sesuatu."
"Abang ngga pantas merajuk seperti itu."
Zahran melemparkan senyumnya. Sebenarnya pria yang berprofesi sebagai Jaksa ini berwajah tampan dan memiliki karir yang cemerlang. Elina juga sudah mengenalnya sejak di bangku kuliah. Tapi untuk menerima pernyataan cinta Zahran, Elina masih butuh waktu.
Perbincangan mereka terhenti ketika pelayan datang membawakan pesanan mereka. Harum aroma sei sapi langsung menyapa indra penciuman membuat cacing di perut Elina menggeliat. Wanita itu langsung menyantap hidangan yang sudah tersedia di meja. Zahran mengambil sebutir nasi yang menempel di sudut bibir Elina.
"Makannya pelan-pelan. Ngga akan ada yang mau ambil punya kamu kok."
"Enak banget ini sei sapinya. Kok aku baru tahu ada tempat makan seenak ini di sini."
"Kalau kamu mau, kamu bisa makan siang di sini setiap hari sama aku."
"Asal Abang yang traktir."
"Boleh. Jangankan traktir makan,bawa kamu buat dibayar tunai di depan penghulu juga sanggup."
"Dasar gombal."
Tak ayal senyum terbit di wajah Elina. Wanita itu kembali menikmati makanannya. Sesekali Zahran memandangi wajah cantik Elina. Andai Elina menjawab lamarannya, dia akan langsung membawa orang tuanya malam ini juga untuk melamar secara resmi.
***
Keesokan harinya Elina mendatangi TKP bersama dengan Fathir. Fathir adalah salah satu anggota tim keamanan Hikmat. Dia diminta Zar untuk menemani Elina ketika melakukan penyelidikan untuk kasus yang ditanganinya. Usia Fathir hanya berbeda dua tahun saja dari Elina. Hubungan mereka juga terbilang dekat dan akrab. Selain menemani Elina, keselamatan gadis itu juga menjadi tanggung jawabnya.
Mobil yang dikendarai Fathir berhenti di depan gang di mana rumah Hadi berada. Elina mengganti dulu high heels yang dikenakannya dengan sepatu kets, baru kemudian turun dari mobil. Keduanya segera menuju rumah Hadi yang masih terpasang garis kuning di depannya. Wanita itu menundukkan tubuhnya untuk melewati garis kuning lalu masuk ke dalam rumah.
Keadaan di dalam rumah masih sama seperti saat mayat Hadi ditemukan. Di lantai terdapat garis tubuh Hadi saat di temukan. Elina berkeliling untuk mencari sesuatu yang membuktikan kalau ada orang lain di sana selain Santi dan Hadi. Fathir pun ikut membantunya.
Ketika sedang memeriksa setiap sudut rumah, terdengar suara berderak dari arah belakang rumah. Elina bergegas menuju jendela untuk melihat sumber suara. Dia melihat seorang pria berlari menjauhi rumah Hadi.
***
Jadi yang bunuh Hadi siapa? Santi, atau🤔
Yuk coba analisa sama kalian, jadi Detective Conan atau Sherlock Holmes sebentar😉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!