Mentari pagi menyapa Anya dengan hangat saat pesawat mendarat di Bandara International Soekarno-Hatta. Tiga tahun lamanya Anya menjejakkan kaki di tanah air, menjalani hidup di negeri orang demi mengobati luka hatinya.
"Mama, kita sudah sampai?" Kinan, putri kecil Anya, bertanya dengan mata berbinar. Kinan masih terlalu kecil untuk mengingat kenangan pahit yang telah mereka lalui.
"Iya, Sayang. Kita sudah sampai di rumah," jawab Anya, sambil mengelus lembut rambut Kinan.
Anya menarik kopernya, menatap kota kelahirannya dengan pandangan yang penuh kenangan. Di kota ini, dia telah menjalani masa muda yang indah, menikmati cinta yang tak terlupakan, dan mendapatkan luka yang begitu menyayat. Anya membawa Kinan menuju sebuah sedan hitam yang sudah menunggu di parkiran. Sopir itu menyapa Anya dengan senyum yang ramah.
"Selamat datang kembali, Nyonya," sapa sopir itu.
Anya mengangguk, "Terima kasih."
Mobil itu melaju membelah kota. Anya menatap jalan yang familiar dengan rasa campur aduk di hatinya. Ada sedikit kebahagiaan karena dia kembali ke rumah, tetapi juga ada rasa takut menghadapi masa lalu yang tak bisa dia lupakan. Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah mewah yang sudah lama kosong. Rumah itu adalah rumah yang dulunya dia tinggali bersama Arga, pria yang pernah menjadi segalanya baginya.
Anya menurunkan kopernya, membantu Kinan turun dari mobil. Kinan menatap rumah itu dengan mata bingung.
"Mama, ini rumah kita?" tanya Kinan.
"Iya, Sayang. Ini rumah kita."
Anya menarik napas dalam, mencoba mengatasi degup jantungnya yang berdebar kencang. Dia telah bertekad untuk melupakan masa lalu dan membangun hidup baru bersama Kinan. Anya membuka pintu, sebuah kekecewaan menyapa dirinya. Tidak ada lagi foto dirinya dan Arga yang menghiasi dinding ruang tamu, seolah mereka tak pernah mendiami rumah ini.
"Mama, rumah ini sepi," bisik Kinan, menatap keliling dengan mata polos.
"Iya, Sayang. Tapi rumah ini akan menjadi rumah kita yang baru," jawab Anya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Dia menarik napas dalam, mencoba menyingkirkan rasa kecewa yang menyergap hati. Arga memutuskan untuk menghilangkan jejak masa lalu dengan dirinya, mungkin dia sudah memutuskan untuk melupakan semua yang pernah terjadi. Anya menaruh kopernya di lantai dan membantu Kinan menjelajahi rumah yang begitu asing bagi Kinan.
"Mama, di mana kamar aku?" tanya Kinan.
"Kamar kamu di atas, Sayang. Nanti Mama tunjukkan," jawab Anya.
Saat mereka sedang memasuki ruangan, ponsel Anya berdering.
"Halo?"
"Anya, kamu sudah sampai?" Suara pria yang familiar menyapa telinganya.
"Iya, David. Kita baru sampai di rumah."
"Kinan suka rumah barunya?"
"Dia lagi jelajahi rumahnya sekarang. Rumah ini terasa sedikit asing baginya."
"Kamu jangan sedih, ya. Nanti kita akan hiasi rumah ini dengan foto-foto Kinan dan kamu. Dia akan terbiasa nantinya."
"Ya."
Anya menutup ponselnya, senyum sedikit menghiasi wajahnya. David, pria yang selalu mendukungnya, pria yang telah menjadi sahabat serta menemaninya selama tiga tahun terakhir.
"Om David baik, ya, Mama?" tanya Kinan, menatap Anya dengan mata yang penuh keingintahuan.
"Iya, Sayang. Om David teman baik Mama."
Anya mencoba menyingkirkan rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. David mencintainya sepenuhnya, tapi entah kenapa Anya masih terikat dengan masa lalu.
"Mama, Papa di mana?" tanya Kinan, memeluk kaki Anya.
Anya yang terdiam mengingat wajah Arga serta kenangan pahit dan manis lalu tersenyum pahit dan menjawab, "Papa kamu sudah tiada, Sayang."
"Nyonya Anya, makan malam sudah siap," sapa Bibi, sambil tersenyum hangat kepada Anya.
Anya tersenyum, "Terima kasih, Bibi. Kinan, ayo turun."
Anya menuntun Kinan menuruni tangga. Melihat Bibi kembali menjadi ART di rumah ini menimbulkan rasa haru di hati Anya. Bibi adalah saksi hidup kebahagiaan dan kesedihan yang pernah dijalaninya.
"Bibi, terima kasih sudah mau kembali kerja di sini," kata Anya sambil menarik kursi.
"Tidak apa-apa, Nyonya. Saya senang bisa menolong Nyonya dan Kinan."
Mereka menikmati hidangan makan malam dengan suasana yang tenang. Anya mencoba menikmati waktu bersama Kinan, melupakan sejenak perasaan campur aduk yang menyergapnya.
Setelah makan malam, Anya mengantarkan Kinan kembali ke kamarnya.
"Mama, Papa benar-benar telah pergi?" tanya Kinan. Serasa tidak percaya bahwa ayahnya telah tiada. Nuraninya tajam mengatakan bahwa sang ayah masih hidup dan menunggunya.
Anya terdiam, kenangan bersama Arga berputar cepat di dalam pikirannya. Kenangan yang indah dan menyakitkan silih berganti.
"Iya, Sayang. Papa sudah meninggal," jawab Anya dengan suara gemetar dengan raut wajah yang sulit diartikan.
"Mama, apakah ada fotonya Papa?" tanya Kinan, suaranya bergetar sedih.
Anya sedih mendengar pertanyaan Kinan. Dia tahu Kinan sangat merindukan ayahnya. Dan Kinan membutuhkan sosok seorang ayah di sampingnya.
"Maaf sayang, Mama tidak memilikinya," jawabnya dengan raut sedih dan sesal.
"Oh," Kinan terdiam, wajahnya terlihat sedih.
Anya mendekat, memeluk Kinan. "Sayang, Mama tahu kamu sangat mencintai Papa juga merindukannya. Maaf Mama tidak memberimu keluarga yang lengkap."
"Tidak apa-apa, Mama. Kinan sayang Mama. Tapi kenapa Mama sedih?" tanya Kinan.
Anya mencoba menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak, "Mama sedih karena Mama merindukan Papamu. Tapi Mama bersyukur karena Mama pernah memiliki Papa dan karenanya Mama memiliki kamu."
Kinan tersenyum, melepaskan pelukan Anya. "Mama, Kinan mau tidur."
Anya mencium kening Kinan dengan lembut. "Tidur yang nyenyak, Sayang."
Anya keluar dari kamar Kinan, kembali merasakan kesedihan yang mendalam. Dia tidak bisa menghindari kenangan bersama Arga. Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. Anya berdiri dari kursi, menatap ke arah pintu dengan rasa penasaran. Takut jika yang datang adalah orang yang dihindarinya.
"David?" bisik Anya, menatap pria yang sedang tersenyum lembut di ambang pintu.
"Halo, Anya," sapa David, dengan suara yang penuh keramahan.
Anya menuntun David ke balkon lantai dua. Mereka duduk di kursi kayu, menikmati pemandangan kota yang menghitam namun indah disinari lampu-lampu warga.
"Bagaimana perasaanmu kembali ke kota ini?" tanya David, menatap Anya dengan mata yang penuh kekhawatiran.
"Campur aduk, David. Bahagia bisa kembali ke rumah, tapi juga sedih mengingat masa lalu."
"Apakah kamu masih memikirkan dan mencintai Arga?"
Pertanyaan David menghantam Anya seperti petir di siang bolong. Dia menunduk, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.
"Aku tidak tahu, David," jawab Anya, suaranya bergetar. "Yang kupikirkan sekarang adalah masa depan aku dan Kinan."
"Aku tahu kamu masih mencintainya dan selalu memikirkannya. Matamu dan raut wajahmu menjawab semuanya.Tapi Anya, kamu harus melupakan masa lalu. Kamu harus mencari kebahagiaan baru," batin David.
"Apakah kamu tidak bisa mempertimbangkan aku Anya? Kinan membutuhkan sosok seorang ayah. Kamu tahu aku mencintaimu dan aku menyayangi Kinan."
"David aku..."
"Tidak perlu terburu-buru menjawab ku. Aku akan menunggumu dengan sabar."
Anya terdiam dengan kening mengerut. Dia sangat tahu besarnya cinta David untuknya dan anaknya. Tapi dia tidak bisa dan tidak akan pernah bisa untuk mencintai David. Dia pernah mencoba untuk membuka pintu hati serta menerima cinta David namun tidak bisa. Di hatinya selalu dipenuhi dengan Arga. Seakan Arga menjadi pagar dinding, penghalang pria-pria yang mengejarnya.
"David..."
"Jika ada Arga, apakah kamu akan kembali bersamanya? Melupakan kepahitan yang digoreskan?"
Anya bingung untuk menjawab.
David tersenyum lembut seraya memegang kedua bahu Anya. "Sudah malam. Jangan terlalu memikirkan kata-kataku. Aku harus pulang. Kamu tidurlah. Besok harimu untuk mulai bekerja."
Anya mengangguk. Dia menatap punggung David seraya bergumam "Maaf David, aku tidak bisa mencintaimu."
Anya berdiri di depan cermin, menata rambut panjangnya dan memasangkan sepasang anting yang menempel di telinganya. Dia bersiap untuk kembali bekerja, setelah tiga tahun menjalani hidup yang berbeda di luar negeri.
Kinan masih tertidur pulas di kasurnya. Anya mendekat, mencium lembut kening putri kecilnya.
"Mama pergi kerja dulu, Sayang," bisik Anya.
Anya menuruni tangga dan melihat Bibi sedang sibuk menyiapkan sarapan.
"Pagi, Bibi," sapa Anya.
"Pagi, Nyonya," jawab Bibi.
Anya menikmati sarapan dengan tenang. Setelah selesai makan, Anya berpamitan pada Bibi.
"Bibi, kalau Kinan bangun, bilang sama dia kalau aku pergi kerja dan pulang siang ini," kata Anya.
"Baik, Nyonya," jawab Bibi.
Anya membuka pintu rumah, siap meninggalkan rumah yang pernah memberinya kenangan indah dan luka yang menyayat hati. Namun, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Anya menatap mobil itu dengan kaget. David turun dari mobil, senyum menghiasi wajahnya.
"Siap kerja?" tanya David.
"Ya," jawab Anya.
"Aku antar. Perusahaan kita satu jalur."
"Aku pakai mobilku saja, David. Lagipula, aku ingin merasakan perjalanan sendiri setelah sekian lama." jawab Anya.
"Masuklah," kata David, menunjuk kursi penumpang di mobilnya.
Anya menatap David dengan tatapan yang sulit diartikan. Mau tidak mau, Anya masuk ke dalam mobil, tidak enak untuk menolak ketulusan hati David. David menyalakan mesin mobil dan melaju meninggalkan rumah. Anya terdiam sejenak, kemudian menatap David.
"Terima kasih, David," kata Anya.
"Tidak apa-apa," jawab David.
Anya merasa sedikit bersalah karena telah menerima banyak pertolongan David tanpa menjelaskan semua perasaan yang menyerbu hatinya. Dia masih belum bisa menjelaskan rasa bersalah yang menyerbu dirinya terhadap David. Dia merasa terikat dengan David, tapi dia juga masih terikat dengan masa lalu. Anya menarik napas dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Dia tahu bahwa hidup baru menanti, tapi masa lalu masih terukir dalam hatinya. Sepanjang perjalanan menuju kantor, Anya dan David terdiam. Anya masih memikirkan perasaannya yang campur aduk. Dia bersyukur atas kehadiran David yang selalu mendukungnya, tapi rasa bersalah pun terus menggerogoti hatinya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya David, memecah keheningan yang menyelimuti mereka.
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Anya, mencoba menunjukkan senyum yang tulus.
"Kamu terlihat agak murung sejak kita meninggalkan rumah," kata David.
Anya menarik napas dalam. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menghindari percakapan ini terlalu lama.
"Aku baik-baik saja. Ini hanya tentang kembalinya aku di tempat kerja. Sedikit membuatku gugup."
"Tidak perlu gugup. Kamu juga karyawan tetap di perusahaan desain itu. Justru atasanmu akan bahagia dengan kedatanganmu kembali."
Mobil David berhenti di depan gedung kantor. Anya menatap bangunan itu dengan rasa campur aduk. Di bangunan ini, dia pernah menjalani masa muda yang penuh semangat. Namun, setelah perpisahan dengan Arga, Anya terpaksa meninggalkan kantor ini dan mencari hidup baru di luar negeri.
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya David, menatap Anya dengan khawatir.
"Iya, aku baik-baik saja," jawab Anya sambil menarik napas dalam.
"Oke, kalau begitu aku langsung ke kantor, ya. Nanti aku hubungi lagi."
Anya mengangguk, dan David langsung melaju meninggalkan kantor. Anya memasuki lobi kantor dan disambut oleh teman-teman kantornya dengan hangat.
"Anya! Kamu udah balik?"
"Kamu kelihatan makin cantik!"
"Kirain kamu lagi melanjutkan studi di luar negeri? Kok udah balik?"
Anya tersenyum menjawab sapaan teman-temannya. Dia merasa bahagia disambut dengan hangat oleh teman-temannya, setelah tiga tahun menjalani hidup yang berbeda.
"Iya, aku udah selesai studi. Sekarang aku mau fokus bekerja lagi," jawab Anya.
"Keren! Kita bisa bareng-bareng ngopi lagi nih!"
Anya mengangguk, "Tentu saja."
Namun, di tengah sambutan hangat teman-temannya, Anya merasakan sesuatu yang tidak beres. Dia merasa ada tatapan yang menatapnya dengan intens dari salah satu karyawan kantor, tapi Anya tidak bisa menentukan siapa orang itu. Hatinya berdebar-debar. Apakah dia salah mengira?
Anya berusaha mengabaikan perasaan gelisah. Dia memasuki kantornya yang masih terlihat bersih dan teratur, meja kerjanya dihiasi oleh fotonya dan tanaman hijau. Dia disambut oleh atasannya.
"Anya, selamat datang kembali!"
"Terima kasih, Pak," jawab Anya.
Atasannya menawarkan kursi dan menjelaskan beberapa tugas baru yang menunggu Anya. Anya mengangguk dan menyimak penjelasan atasannya dengan seksama. Dia harus fokus pada tugasnya. Anya merasa bahagia bisa kembali bekerja seperti biasa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!