Mentari pagi menyinari landasan Bandara Internasional Soekarno-Hatta saat pesawat Anya mendarat. Tiga tahun. Tiga tahun Anya habiskan di negeri asing, mencari obat untuk luka hatinya yang menganga. Kini, ia kembali, membawa serta putri kecilnya, Kinan Leonardo, yang baru berusia empat tahun. Anya mengambil kopernya, menggenggam erat tangan Kinan, dan melangkah turun dari pesawat. Langkahnya mantap, namun debaran jantungnya terasa kuat.
"Mama, kita sudah sampai?" Suara Kinan penuh semangat, bergetar dengan rasa ingin tahu yang meluap. Mata besarnya bersinar, mencerminkan kegembiraan anak kecil yang akan menjelajahi dunia baru.
Anya tersenyum, "Iya, Sayang. Kita sudah sampai, tapi rumah kita masih agak jauh." Jemarinya membelai lembut rambut Kinan, mencoba menenangkan, bukan hanya Kinan, tetapi juga dirinya sendiri.
Anya menarik kopernya, tatapannya menyapu penjuru kota kelahiran. Kenangan—indah dan pedih—bermunculan silih berganti, membanjiri ingatannya. Di kota ini, ia pernah merasakan kehangatan keluarga, merasakan cinta yang membuncah, dan merasakan kekecewaan yang begitu dalam hingga nyaris menghancurkannya. Ia menggenggam erat tangan Kinan, menjaga agar putrinya tetap aman di tengah keramaian bandara. Langkah mereka tegap menuju parkiran, menuju sedan hitam yang telah David siapkan untuk menjemput mereka.
"Selamat datang, Nyonya," sapa sang sopir, senyumnya ramah dan hangat, seperti mentari pagi yang menyapa mereka. Ia dengan sigap mengambil alih koper dari tangan Anya.
"Terima kasih, Pak," jawab Anya, suaranya sedikit serak, menahan gejolak yang tak terbendung di dadanya.
Di dalam mobil, jalanan yang dulu begitu familiar kini terasa asing dan mencekam bagi Anya. Kenangan pahit dan manis bercampur aduk, membuatnya gelisah. Kebahagiaan pulang kampung bercampur dengan rasa takut yang mencekik. Namun, celoteh riang Kinan, yang tanpa henti bertanya tentang gedung-gedung pencakar langit dan pepohonan rindang di sepanjang jalan, menjadi oase di tengah gurun emosinya. Suara mungil itu bagai seberkas cahaya kecil yang menerobos kegelapan yang mengancam membenamkannya.
Mobil berhenti di depan rumah mewah itu—rumah yang pernah menjadi saksi bisu kehangatan keluarganya, rumah yang juga pernah menjadi saksi bisu kisah cintanya yang penuh duka dengan Arga, pria yang dulu pernah menjadi segalanya. Rumah itu tampak megah dari kejauhan, namun aura sunyi dan dinginnya terasa menusuk hingga ke sumsum tulang. Kesunyian itu seakan mencerminkan kekosongan dan kesepian yang kini menguasai hati Anya.
Anya membantu Kinan turun, mengambil koper dari tangan sopir, dan mengucapkan terima kasih dengan senyum tipis yang tak mampu menyembunyikan kegugupannya. Ia menutup pintu mobil dengan perlahan, suara detak jantungnya bergema di telinganya.
Kinan menatap rumah besar itu dengan tatapan polos dan bingung. "Mama, ini rumah kita?" Suaranya sedikit ragu, mencerminkan keraguannya.
Anya berusaha tersenyum, "Iya, Sayang. Ini rumah kita." Suaranya terdengar tenang, namun jantungnya berdebar kencang.
"Tidak ada Nenek, Kakek, Paman, dan Bibi yang menyambut?" Kekecewaan terlihat jelas di wajah Kinan yang polos. Bayangan kehangatan keluarga David—yang selalu menyambutnya dengan gembira—tampak tersirat di wajah kecilnya.
Anya mengerti. Kinan terbiasa dimanjakan dan disayangi keluarga David. Mereka begitu menyayangi Kinan, bahkan menganggapnya sebagai cucu sendiri. Kasih sayang yang Anya, karena keterbatasannya, tak mampu berikan sepenuhnya, Kinan dapatkan di tengah kehangatan keluarga besar David.
Anya berjongkok, menatap mata Kinan dengan penuh kelembutan. "Di sini hanya ada kita berdua, Sayang. Kakek, Nenek, Paman, dan Bibi Kinan ada di luar negeri." Senyumnya terasa dipaksakan, menutupi kesedihan yang begitu dalam. Ia tahu, kata-kata itu tak cukup untuk menggantikan kehangatan yang Kinan dapatkan dari keluarga David.
Pintu terbuka, dan tamparan kekecewaan langsung menghantam Anya. Ruang tamu, yang dulu dipenuhi foto-foto dirinya dan Arga, kini kosong melompong. Arga telah menghapus jejak mereka, seolah ingin menghapus Anya dari memorinya. Pernikahan kontrak itu telah berakhir, menyisakan luka dan kenangan pahit yang masih terasa perih. Kehampaan di ruang tamu itu mencerminkan kehampaan yang Anya rasakan di hatinya.
Anya meletakkan kopernya, mencoba mengendalikan gejolak emosi yang mengancam membanjiri dirinya. Ia mengajak Kinan menjelajahi rumah baru mereka, berharap bisa mengalihkan perhatian putrinya dari kesedihan yang terpancar dari dirinya.
"Mama, di mana kamarku?" tanya Kinan, suaranya penuh harap, matanya berbinar-binar menanti kejutan.
"Kamarmu di atas, Sayang. Nanti Mama tunjukkan," jawab Anya, suaranya lembut, namun getaran kegugupannya masih terasa.
Kamar Kinan, dengan dinding berwarna pink salem yang menenangkan, telah disiapkan dengan sempurna oleh Bibi. Kinan langsung berteriak girang melihatnya.
"Mama, kamar ini persis seperti kamarku di luar negeri!" serunya gembira, melompat-lompat kegirangan.
Anya merasa lega melihat putrinya bahagia. "Ya, Sayang. Kamu harus berterima kasih kepada Bibi nanti."
"Pasti, Mama. Rumah Ibu angkat jauh dari rumah kita?"
"Ya, Sayang."
Telepon berdering. David. Suaranya yang hangat terasa seperti seteguk air di padang pasir yang gersang.
"Kalian sudah sampai?"
"Iya, David. Baru sampai di rumah."
"Maaf aku tidak bisa menjemput kalian."
"Tidak apa-apa. Kamu lanjut saja pekerjaanmu."
"Oke. Nanti kita hiasi rumah ini dengan foto-foto Kinan dan kamu, biar Kinan betah tinggal di sini."
"Iya," jawab Anya, senyumnya merekah, menunjukkan rasa syukur yang tulus. David, sahabat dan tempat bersandarnya selama tiga tahun terakhir.
"Om David begitu baik." Ucap Kinan.
Anya mengingat kembali saat-saat awal kedatangannya di negeri asing. Keluarga David yang menyambutnya dengan hangat, menampungnya hingga ia mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal sendiri. Meskipun tinggal di apartemen yang dekat dengan kantornya, David selalu memperhatikannya, menanyakan kabar kehamilannya, dan bahkan sering mengungkapkan perasaannya—yang selalu Anya tolak dengan lembut. Rasa bersalah kembali menghantui Anya. David mencintainya, tetapi hatinya masih terikat pada masa lalu, pada bayang-bayang Arga.
"Iya, Sayang. Om David seperti kakak Mama."
"Rumah Om David jauh dari sini juga, Ma?"
"Tidak terlalu jauh. Nanti Mama ajak kamu ke rumahnya, juga ke rumah Ibu angkat."
Kinan tersenyum puas. Lalu, dengan suara polos dan sedikit naif, ia bertanya, "Mama, Papa di mana?" Ia memeluk kaki Anya erat-erat, mencari kehangatan dan jawaban.
Anya terdiam, kenangan pahit manis bersama Arga membanjiri pikirannya. Pernikahan kontrak mereka: tanpa cinta, tanpa anak, tanpa ikatan hati yang tulus. Hanya sebuah perjanjian yang telah berakhir, meninggalkan luka yang dalam. Senyum getir terukir di wajahnya, menutupi air mata yang hampir jatuh. Mustahil baginya untuk mengatakan yang sebenarnya pada Kinan: bahwa mereka telah bercerai, bahwa pernikahan itu hanyalah sebuah sandiwara, sebuah rahasia yang terkubur. Bahkan jika Anya mengaku Arga adalah ayah Kinan, akankah ada yang percaya? Ketiadaan foto mereka di dinding rumah menjadi bukti nyata bahwa mereka tak lagi memiliki hubungan apa pun.
"Papa kamu sudah pergi, Sayang," bisik Anya, suaranya bergetar menahan kesedihan yang mendalam. Ia memeluk Kinan erat-erat, berharap pelukan itu bisa sedikit meringankan beban luka di hatinya.
Mentari tenggelam di ufuk barat, melukis langit ibukota dengan gradasi jingga dan ungu yang dramatis. Langit itu, kanvas surealis yang merefleksikan kerumitan batin Anya, seorang arsitek muda berbakat namun rapuh. Senyumnya, topeng yang menyembunyikan luka mendalam. Senja itu, saksi bisu kisah cintanya dengan Arga, kini hanya menyisakan kenangan yang memudar bak lukisan yang terhapus air mata.
Di rumah sederhana namun hangat, aroma sup ikan kuah kuning—kesukaan Kinan, putrinya—mencoba mengusir kesunyian, namun tak mampu membendung duka yang membayangi.
"Nyonya Anya, makan malam sudah siap," sapa Bibi, senyumnya selembut desiran ombak pantai, sebuah percikan harapan di tengah malam yang sunyi.
Bibi, asisten rumah tangga yang telah bekerja untuk Anya sejak kuliah, memahami setiap detail kehidupan Anya, termasuk luka yang tak pernah sepenuhnya terungkap. Anya, dengan rambut panjang terurai, menjawab dengan senyum tipis—topeng yang menutupi kesedihan yang mengakar dalam, pekat seperti tinta di atas kertas putih.
"Terima kasih, Bibi. Kinan, ayo turun."
Kinan, gadis kecil bermata bening dan rambut ikal sebahu, menuruni tangga dengan langkah pelan, memeluk erat boneka kelincinya—teman setia di tengah kesunyian.
Melihat Bibi, sesuatu dalam diri Anya bergetar—Bibi, saksi bisu perjalanan hidupnya, dari tawa riang bersama Arga, suami yang selalu mendukung mimpinya, hingga tangis pilu yang tak pernah berhenti, menyisakan luka yang menganga.
Anya, tegar di hadapan orang lain, terkadang merasa rapuh dan kehilangan arah. Kehilangan Arga bukan hanya kehilangan suami, tetapi juga belahan jiwa dan partner berkarya. Banyak rancangan bangunan yang terhenti, banyak mimpi yang tertunda.
"Bibi, terima kasih sudah kembali," ucap Anya, suaranya bergetar, penuh kerinduan dan kesedihan mendalam.
"Tidak apa-apa, Nyonya. Rumah ini terasa kosong tanpa kehadiran Nyonya dan Kinan," jawab Bibi, suaranya lembut seperti debur ombak, menawarkan sepiring ikan bakar yang harumnya membangkitkan kenangan.
Makan malam berlangsung dalam keheningan, hanya diselingi suara kecil Kinan. Anya berusaha menikmati momen itu, mencoba melupakan beban berat—beban kehilangan, kesepian, dan cinta yang terpendam.
Setelah makan, Anya mengantar Kinan ke kamar, kamar yang dindingnya dihiasi lukisan-lukisan Kinan. Anya, yang selalu berusaha kuat, merasakan kelelahan. Ia merindukan suara Arga, semangatnya yang selalu membakar.
"Mama, Papa benar-benar sudah pergi?" tanya Kinan, suaranya lirih, pertanyaan yang menusuk hati. Mata polosnya berkaca-kaca, mencerminkan kerinduan mendalam.
Anya terdiam, kenangan tentang Arga membanjiri pikirannya, kenangan manis dan pahit bercampur aduk, seperti ombak yang menerjang karang. Kenangan di pantai pasir putih, kenangan rumah tangga yang penuh badai, cinta dan tawa.
"Iya, Sayang," jawab Anya, suaranya tercekat, "Papa… pergi ke tempat yang jauh, tempat yang indah dan damai."
"Mama, ada fotonya Papa?" Suara Kinan bergetar, mengungkapkan kerinduan yang tak tertahankan.
Anya, yang selama ini tegar, merasakan dadanya sesak. Ia hanya punya sketsa-sketsa cepat Arga, gambar-gambar yang tersimpan di buku sketsanya yang usang. Kenangan yang tak terabadikan sempurna, hanya terpatri dalam ingatannya.
"Maaf, Sayang, Mama tidak punya foto," jawab Anya, suaranya bergetar menahan tangis. Ia memeluk Kinan erat, mencoba menenangkan putrinya, mencoba meredam kesedihan yang membuncah. "Tapi Mama punya banyak cerita tentang Papa, cerita yang indah dan menyenangkan."
Anya, yang terampil merancang bangunan, merasakan ketidakmampuannya merancang ulang hidupnya yang hancur.
"Tidak apa-apa, Mama," bisik Kinan, memeluk balik ibunya. "Tapi kenapa Mama sedih?"
Anya, yang selalu menyembunyikan kesedihannya, merasakan hatinya tertusuk pertanyaan putrinya. Anya mencium kening Kinan,
"Mama sedih karena Mama merindukan Papamu. Tapi Mama bersyukur karena Mama pernah memiliki Papa, dan karenanya Mama memiliki kamu, Sayangku, harta terindah Mama."
Kinan tersenyum, lepas dari pelukan Anya. "Mama, Kinan mau tidur."
Setelah Kinan tertidur, kesedihan kembali menyelimuti Anya. Bayangan Arga masih menghantui pikirannya, terutama saat ia melihat lukisan matahari terbenam di dinding kamarnya—lukisan karya Arga saat mereka di pantai, lukisan yang menggambarkan sepasang kekasih yang memandang langit senja, lukisan yang penuh dengan kenangan dan cinta yang telah sirna.
Bel rumah berdering. Anya berdiri, hatinya berdebar-debar. Siapa gerangan yang datang malam-malam begini?
"David?" Bisikan Anya terengah, melihat sosok David di ambang pintu, senyumnya lembut seperti cahaya bulan, menawarkan secangkir kopi hangat, sebuah tawaran yang penuh dengan perhatian dan kasih sayang.
David, teman Anya, yang selalu mengagumi bakatnya, telah lama menyatakan perasaannya. Namun, bayangan Arga masih menghalangi Anya untuk membuka hatinya.
Di balkon lantai dua, dengan pemandangan kota yang dihiasi lampu-lampu bagai bintang-bintang di langit malam, Anya dan David berbincang. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma laut yang menyejukkan jiwa.
"Bagaimana perasaanmu setelah kembali?" tanya David, suaranya penuh perhatian.
"Campur aduk, David. Bahagia bisa pulang, tapi juga sedih mengingat masa lalu," jawab Anya, suaranya lirih, penuh kerinduan dan kesedihan. "Masa lalu yang tak bisa kulupakan."
"Apakah kamu masih memikirkan Arga?" Pertanyaan David menusuk.
"Aku tidak tahu, David," jawabnya, suaranya bergetar, penuh keraguan. "Yang kupikirkan sekarang adalah Kinan dan masa depan kami."
David menatap Anya dalam-dalam, tatapan yang penuh dengan kasih sayang dan pengertian.
"Anya, kamu harus melupakan masa lalu. Kinan membutuhkan sosok ayah. Kamu tahu aku mencintaimu, dan aku menyayangi Kinan. Aku akan menyayangi dan menjaga kalian berdua. Bagaimana kalau kita menikah?"
Anya terdiam, perasaannya bercampur aduk. Cinta David tulus dan besar, namun bayangan Arga masih menghantui hatinya.
"David…" Anya memulai, suaranya masih terbata-bata. "Aku… aku masih belum bisa melupakan Arga."
"Jika Arga kembali, apakah kamu akan memilihnya? Melupakan semua kepahitan yang telah kau alami?" Pertanyaan David memaksa Anya untuk jujur pada dirinya sendiri.
Anya terdiam, air mata jatuh membasahi pipinya. Tangan David membelai wajah Anya lembut, menghapus air matanya.
"Sudah larut. Aku pulang dulu. Istirahatlah. Besok kamu harus bekerja. Jangan terlalu memikirkan semuanya malam ini."
Anya menatap punggung David yang menjauh. "Maaf, David," gumamnya lirih, "Aku… aku belum bisa menerima pria lain di sisiku."
Air mata jatuh membasahi pipinya, membasahi kenangan, membasahi harapan yang masih samar. Dibalik sedihnya, seberkas cahaya kecil muncul—cahaya harapan untuk masa depan yang lebih baik, untuk dirinya dan Kinan. Anya tahu, perjalanan menuju kebahagiaan masih panjang, tetapi ia akan terus melangkah.
Mentari pagi melukis langit dengan warna-warna emas dan jingga, menyinari rambut panjang Anya yang hitam legam. Di depan cermin, ia merapikan rambutnya, gerakannya lincah. Sepasang anting mungil tersemat di telinganya, bergoyang-goyang mengikuti irama detak jantungnya yang berdebar. Anya bersiap untuk kembali bekerja, setelah tiga tahun menjalani hidup yang berbeda di luar negri.
Kinan, putri kecilnya, masih tertidur lelap, mimpinya melayang seperti awan putih di langit biru. Anya mendekat, mencium lembut keningnya. "Mama pergi bekerja, Sayang," bisiknya, lembut.
Langkah Anya menuruni anak tangga, irama langkahnya mengalun pelan seperti alunan musik gamelan yang menenangkan. Aroma kopi robusta yang harum, bercampur dengan wangi roti panggang yang menggoda, menyambutnya. Bibi, dengan senyum ramahnya tengah menyiapkan sarapan.
"Pagi, Bibi," sapa Anya.
"Pagi, Nyonya," jawab Bibi, senyumnya merekah seindah bunga matahari.
Anya memakan sarapan paginya dengan tenang, setiap suapan terasa syahdu, seperti menikmati melodi indah sebuah simfoni. Selesai makan, Anya berpamitan pada Bibi.
"Bibi, jika Kinan bangun, sampaikan padanya bahwa aku pergi bekerja dan akan pulang siang ini," pesan Anya.
"Baik, Nyonya," jawab Bibi.
Anya melangkah keluar rumah, meninggalkan bangunan yang menyimpan sejuta kenangan; kenangan indah yang membahagiakan, dan luka yang menggores kalbu bagai sayatan duri yang tajam. Sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapannya.
David, dengan senyum ramah yang menawan, turun dari mobil, menyapa Anya dengan tatapan yang dalam.
"Pagi, Anya. Siap berangkat kerja?"
"Pagi, David. Ya," sahut Anya, senyumnya mengembang tulus.
"Aku antar. Perusahaan kita searah," tawar David. Senyumnya masih terukir, namun matanya yang peka menangkap keraguan yang bersemayam di kedalaman mata Anya.
"Aku pakai mobilku saja, David. Lagipula, aku ingin merasakan perjalanan sendiri setelah sekian lama." Jawab Anya.
Namun, David membuka pintu mobilnya. Keinginannya untuk mengantar Anya, begitu kuat. "Masuklah," ajaknya.
Anya menatap David dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia masuk ke mobil, tak kuasa menolak ketulusan hati David. Mobil melaju, meninggalkan rumah Anya yang menyimpan semua kenangan. Perjalanan dimulai, membawa Anya menuju hari baru, menuju babak baru dalam hidupnya yang dipenuhi ketidakpastian.
Anya melirik David. Kebaikan David padanya, tak terhitung jumlahnya, ia tak mampu membalas dengan apa pun. Hatinya selalu dipenuhi rasa bersalah dan keraguan yang membebani jiwanya, setiap kali menerima kebaikannya.
"Terima kasih, David," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.
"Untuk apa?"
"Untuk semua kebaikanmu," jawab Anya.
David tersenyum, "Jangan sungkan, kita sahabat."
Sahabat? Ya, mereka sahabat sejak pertemuan tak terduga di bandara tiga tahun lalu, sebuah pertemuan yang telah merajut ikatan persahabatan yang kuat. Namun, Anya merasakan beban berat yang menindih dadanya. Ia menyadari perasaan cinta David untuknya, namun hatinya masih terbelenggu bayang-bayang Arga, seperti burung yang terperangkap dalam sangkar kenangan, tak mampu melepaskan diri dari belenggu masa lalu.
Anya menarik napas, mencoba menenangkan badai emosi yang menghempas jiwanya, badai yang bergulung-gulung di lautan hatinya. Ia bersyukur atas kehadiran David, namun rasa bersalah menggerogoti hatinya, seperti rayap yang perlahan-lahan merusak sebuah bangunan tua yang megah.
"Kamu baik-baik saja?" tanya David, suaranya lembut, menangkap helaan nafas Anya yang berat.
"Ya."
"Tapi kamu terlihat tidak baik," kata David, penuh perhatian.
Anya kembali menarik napas, mencoba meredakan kegugupannya. "Aku baik-baik saja. Hanya... aku sedikit gugup kembali bekerja."
"Tidak perlu gugup. Kamu juga karyawan tetap di perusahaan itu. Atasanmu justru senang dengan kembalinya kamu," kata David, suaranya seperti embun pagi yang menyejukkan.
Mobil berhenti di depan gedung kantor perusahaan MN. Anya menatap bangunannya dengan perasaan campur aduk. Di bangunan ini, dia pernah menjalani masa muda yang penuh semangat. Namun, setelah perpisahan dengan Arga, ia terpaksa meninggalkan kantor ini dan mencari hidup baru di luar negri.
"Baik-baik saja?" tanya David lagi, tatapannya penuh kekhawatiran.
"Iya. Aku baik-baik saja," jawab Anya, sambil menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian, mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari baru.
"Oke, kalau begitu aku langsung ke kantorku, ya. Nanti aku hubungi lagi," kata David. Anya mengangguk.
Mobil David menghilang di balik kerumunan kendaraan. Langkah Anya ringan memasuki lobi kantor, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. Suasana hangat langsung menyambutnya.
"Anya! Kamu sudah balik?" Suara riang teman-temannya membanjiri telinganya, memecah kesunyian di hatinya.
"Kamu kelihatan makin cantik!" pujian lain berdatangan, membalut Anya dalam sambutan yang tulus.
"Kirain kamu lagi melanjutkan studi di luar negeri? Kok udah balik?" Pertanyaan-pertanyaan ramah silih berganti, menandakan kerinduan terpendam selama tiga tahun Anya meniti jalan hidupnya sendiri.
Senyum Anya merekah, mencerahkan wajahnya yang selama ini terselubung kesedihan. Dia merasa bahagia, dikelilingi kehangatan persahabatan yang tulus.
"Iya, aku sudah selesai studi. Sekarang aku mau fokus bekerja lagi," jawab Anya, suaranya bergema dengan semangat baru.
"Keren! Kita bisa bareng-bareng ngopi lagi nih!" Ajakan untuk kembali bersenda gurau bersama teman-temannya membuatnya merasa lebih utuh.
"Tentu saja." Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa paksaan, mencerminkan kegembiraannya yang sesungguhnya.
Namun, di tengah sambutan hangat itu, sebuah rasa janggal mulai merayap. Anya merasakan sebuah tatapan tajam menusuk punggungnya, tatapan yang intens dan membuatnya sedikit merinding. Dia menoleh, mencoba mencari sumber tatapan itu di antara teman-temannya, namun tak seorang pun tampak menatapnya dengan intensitas seperti itu. Hatinya berdebar-debar, seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang mengusik ketenangannya. Apakah dia salah mengira?
Anya memutuskan untuk mengabaikan perasaan gelisah itu. Dia memasuki ruangannya, kantor yang masih terlihat bersih dan teratur, foto dan bunganya masih terpajang di atas meja kerjanya. Atasannya sudah menunggunya di sana.
"Anya, selamat datang kembali!" Suara atasannya ramah, menyapa Anya dengan senyum tulus.
"Terima kasih, Pak."
Anya duduk di kursi. Atasannya menjelaskan beberapa tugas baru yang menunggu Anya. Anya mengangguk, menyimak dengan seksama, semangatnya kembali menyala. Dia harus fokus, mengurai setiap detail tugasnya dengan tekun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!