Assalamualaikum Readers semuanya, novel Kekasih Halal ini sedang mengikuti kontes write season 4, mohon dukungannya yah dengan cara like (tekan tombol icon jempol di bawah, jangan lupa icon love juga biar selalu tahu jadwal updatenya), komen (kritik, saran, kesan boleh banget😘), dan Vote. Terimakasih ya😘😘
...JANGAN LUPA FOLLOW IG AUTHOR YAH...
...Santy isnawan...
☘️Selamat membaca☘️
(🍁Saat takdir itu datang, tak ada yang bisa menolaknya. Meski, kamu sudah berhati-hati dalam bertindak dan melangkah.🍁)
Suara gemercik air dari sungai dan kicauan burung yang riang serta udara sejuk yang memberikan semangat pagiku hari ini.
Setiap pagi aku mencuci baju di sungai, sungai di desaku masih sangat jernih, aku dan teman-teman sebayaku mencuci baju setiap pukul 6 pagi. Kadang selesai mencuci temanku akan mandi di sungai, sedangkan aku hanya mencuci muka saja, walaupun hanya mencuci muka tapi jangan ditanya rasanya, yang jelas sangat segar sekali.
Teman-temanku mandi menggunakan jarik, tenang saja tidak akan yang berani mengintip karena desaku sangat menjunjung tinggi norma agama dan kesopanan.
Ah hampir lupa, perkenalkan namaku Inayah. Namaku hanya Inayah, tidak ada kepanjangannya, entahlah kenapa kedua orangtuaku tidak memberi nama panjang seperti kebanyakan orang.
Aku terkadang melihat guruku di sekolah kesulitan mengeja nama yang begitu panjang dan kebule-bulean. Namaku yang begitu singkat ternyata ada manfaatnya juga sih. saat ujian nasional aku tidak perlu banyak waktu untuk mengisi identitas diri😁.
Kata Ibu namaku begitu sederhana, Ibu berharap aku menjadi pribadi yang sederhana tidak neko-neko. Ibu selalu memperingatkanku agar aku selalu ingat asal usulku. Harus menjaga harkat martabat dengan baik. Harta kami tak punya, setidaknya kami punya harga diri.
Aku baru saja lulus SMK jurusan tata busana. Ilmu dari SMK membuatku bisa sedikit-sedikit menjahit baju sederhana, itupun aku pinjam mesin jahit tetangga jika mesin jahit tetangga tidak terpakai.
Aku sekolah SMK sambil mondok di pesantren. Ibu mengirimku ke pesantren karena di rumah sudah tidak ada siapa-siapa lagi, jadi Ibu menitipkanku di pesantren.
(Cukup yah perkenalannya😁)
Disela-sela aku menggilas baju, tiba-tiba aku asyik melamun ingin sekali suatu saat aku menjadi penjahit yang bisa menjahit sendiri baju pengantinku kelak. Aku jadi senyum-senyum sendiri ketika membayangkan itu.
“Inayah … Inayah.” Kinar memanggilku dengan khas suaranya yang super cempreng membuyarkan lamunanku.
Aku mendongakkan kepalaku keatas karena sungai tempatku menyuci berada di bawah hamparan sawah yang sangat luas.
“Ada apa?” tanyaku menatap Kinar, terlihat wajah Kinar menunjukan wajah khawatirnya.
Kinar masih belum menjawab, ia masih mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, mungkin saat ke sungai Kinar berlari dengan tergesa-gesa. Aku memberikan jeda waktu untuk Kinar mengatur nafasnya.
“Itu … ada telfon dari Jakarta, menanyakan Ibumu Nay, katanya mau berbicara penting dengan Ibumu.” Kinar turun kebawah, ia lalu segera membantuku membilas baju-bajuku.
“Mereka itu suka sekali seenaknya sendiri, kenapa tidak mencari asisten rumah tangga yang lain saja, kenapa masih saja menghubungi Ibu, sudah tahu kalau Ibu masih sakit,” cerocosku sambil membilas baju yang sudah aku cuci.
“Sabar Nay, mungkin majikan Budhe sudah sangat percaya pada Budhe, jadi tidak mau menggantinya dengan orang lain,” ucap Kinar mencoba menenangkan hatiku.
Kinar adalah sahabat baikku, aku dan Kinar usianya sama, Kinar anak Pak Kades, kehidupanku dan Kinar sangatlah berbeda, orangtua Kinar lumayan berada. Ayahnya menjabat sebagai Kepala Desa, sedangkan Ibunya adalah seorang Guru.
Berbeda denganku, Bapakku sudah meninggal sejak aku kecil, sedangkan Ibuku terpaksa merantau menjadi asisten rumah tangga sejak aku masuk sekolah SMP sekaligus mondok di Pesantren.
Aku dititipkan dan diasuh oleh Ibu Kinar, jika ingin pulang dari Pesantren. Ibu Kinar merawatku dengan baik, menganggapku seperti anak sendiri. Ibu Kinar merasakan kesedihan yang dialami oleh Ibuku yang sudah ditinggal oleh suami dan harus membesarkan anak seorang diri.
Selesai mencuci aku segera membawa keranjang yang berisi baju cucianku. Aku dan Kinar berjalan melewati jalan setapak yang biasanya dibuat petani. Aku dan Kinar sangat hati-hati saat melewati jalan pematang sawah ini, karena jika lengah sedikit saja akan tergelincir, melayang jatuh kedalam sawah, sangat tidak lucu bukan.
Sesampainya di rumahku, aku menjemur baju terlebih dahulu, tentu saja dibantu oleh Kinar juga, Kinar sengaja membantuku agar aku cepat menyelesaikan pekerjaanku lalu segera kerumahnya, menelfon majikan Ibuku itu.
“Emmm …. selesai juga.” Aku menepuk-nepuk telapak tanganku, satu pekerjaan pagi ini selesai sudah, aku hendak masuk kedalam rumah untuk melihat Ibuku, tapi malah di cekal oleh Kinar.
“ Ih Nay, kamu lupa yah, aku memanggilmu tadi supaya kamu ke rumahku, orang dari Jakarta itu menyuruhmu menelfon balik.” Kinar menarik pergelangan tanganku agar aku mengikutinya. Aku akhirnya mengikuti Kinar kerumahnya.
Kinar langsung membawaku kedepan telfon rumah milik keluarga Kinar, Kinar segera membantuku untuk menelfon kembali orang Jakarta itu. Kinar memberikan gagang telfonnya padaku.
Beberapa menit kemudian terdengar suara khas laki-laki yang mengangkat telfon. Aku segera mengucapkan salam dan menanyakan perihal tentang kenapa orang Jakarta itu ingin sekali berbicara pada ibuku.
Setelah sekitar 15 menit berlalu, aku menutup telfonnya, meletakan gagang telfon pada tempatnya. Aku memasang ekspresi kebingungan dihadapan Kinar.
“ Kenapa? Apa ada masalah serius Nay?” tanya Kinar yang penasaran dengan ekpresi wajahku yang tiba-tiba berubah sendu.
“Ceritakanlah, jangan dipendam sendiri.” Kinar mengusap lenganku.
Aku duduk, lalu menceritakan tentang pembicaraan tadi di telfon, sang pemilik suara maskulin di balik telfon itu ternyata bernama Mas Gagah.
Mas Gagah adalah majikan Ibuku. Mas Gagah ingin Ibuku cepat kembali lagi ke Jakarta karena Mas Gagah tidak bisa mengurus dirinya sendiri, biasanya ia dibantu Ibuku, tapi sudah hampir satu bulan ini Ibuku tak kunjung sembuh, mungkin juga karena penyakit orang yang sudah menua.
Seperti biasa, visual Author akan pilihkan yang bening-bening🤭🤭 soalnya kalau yang bening paling bisaan nyarinya😁😁.
Ini halunya Author yah, kalau Readers mau berhalu dengan tokoh yang lain juga boleh banget. Menyesuaikan selera masing-masing saja ya.
Hai...hai ini visual Inayah yang imut-imut berbeda sekali dengan Author yang amit-amit😁😁.
Sedangkan dibawah ini visualnya Mas Gagah yang bener-bener Gagah (dalam bahasa jawa Gagah\= Ganteng)
Aaaaaa..... Author meleleh, ini sih beneran Gagah. Sengaja Author pilihkan yang gagah, kalau tidak Gagah, nanti repot disuruh ganti nama lagi. Kan repot juga bikin bubur merah putihnya😁
(Thor gimana sih lu, namanya Gagah kok tampangnya begitu)🤭
Jadi langsung antisipasi dengan memberikan visual sosok Mas Gagah yang bener-bener Gagah.
Novia Anggraini, Mantan kekasih Mas Gagah yang menolak lamaran Mas Gagah.
Guntur Prakoso, Adik dari Gagah prakoso
Assalamualaikum Readers semuanya, novel Kekasih Halal mohon dukungannya yah dengan cara like (tekan tombol icon jempol di bawah, jangan lupa icon love juga biar selalu tahu jadwal updatenya), komen (kritik, saran, kesan boleh banget😘), dan Vote. Terimakasih ya😘😘
☘️Selamat membaca☘️
(🍁Takdir itu lucu. Ada saja caranya mempertemukan dua orang yang tak punya urusan dengan cara yang seolah kebetulan.🍁)
Mas Gagah adalah majikan Ibuku. Mas Gagah ingin Ibuku cepat kembali lagi ke Jakarta karena Mas Gagah tidak bisa mengurus dirinya sendiri, biasanya ia dibantu Ibuku, tapi sudah hampir satu bulan ini Ibuku tak kunjung sembuh, mungkin juga karena penyakit orang yang sudah menua.
Mas Gagah menyarankan agar aku menggantikan Ibuku menjadi asisten rumah tangga di rumahnya karena Mas Gagah sudah sangat percaya dengan keluargaku.
Aku tidak masalah dengan pekerjaan mencuci, memasak, mengepel dan semacam pekerjaan rumah lainnya, tapi yang ada dalam bayanganku adalah Mas Gagah itu adalah laki-laki dewasa, itu yang membuatku takut.
Selama ini aku tidak pernah dekat dengan laki-laki karena hanya fokus sekolah saja. Aku merasa takut jika tidak bisa berkomunikasi dengan seorang laki-laki apalagi laki-laki dewasa.
Kinar mengelus lenganku, Kinar ingin memberikan sedikit ketenangan padaku, Kinar lalu memberikanku air minum. Aku segera meminumnya dengan tiga kali tegukan.
“Kamu jangan khawatir berlebihan seperti itu Nay, kita tanyakan terlebih dahulu pada Ibumu tentang Mas Gagah,” ucap Kinar sambil menatapku.
Aku mengangguk, aku dan Kinar bergegas menuju rumahku. Aku dan Kinar langsung masuk ke kamar ibuku. Ibuku sedang duduk menyender di atas kasur. Aku menghampiri Ibuku, aku langsung bercerita tentang majikan Ibuku itu.
“Apa kamu tidak keberatan jika harus menggantikan Ibu Nduk?” tangan Ibu menggengam tanganku, jari kami saling mengaitkan, Ibu menatapku sayu.
Aku mengangguk, “jika itu perintah Ibu, aku akan melaksanakannya dengan ikhlas.” Aku membelai punggung tangan Ibuku yang sudah mulai berkerut.
“Terimakasih ya Nduk.” Ibu memelukku, dalam hatinya merasa bersalah karena seharusnya aku bisa mencari pekerjaan yang lebih baik, walaupun gaji menjadi asisten rumah tangga Mas Gagah lumayan besar juga.
“ Tidak Ibu, jangan berterimakasih padaku, seharusnya aku yang berterimakasih pada Ibu.” Aku menatap Ibuku penuh haru.
Aku dan Kinar membantu memapah ibu duduk di teras depan, di teras udaranya lebih segar dari pada di dalam kamar, aku mulai menanyakan sosok Mas Gagah yang nanti akan menjadi majikanku.
Ibu mulai bercerita jika Mas Gagah itu sebenarnya mempunyai sifat baik, aku mengerutkan dahinya, Ibu menggunakan kata sebenarnya, berarti kenyataannya bukan orang baik dong, aku mulai menerka-nerka.
Ibu kembali melanjutkan ceritanya, Ibu memberitahuku jika Mas Gagah adalah orang yang sangat disiplin, disiplin perkerjaan maupun waktu, rapi dan bersih, tegas tapi sebenarnya dibalik itu semua Mas Gagah memiliki sifat penyayang, cukup ramah dan tidak sombong.
Mas Gagah menjadi pribadi yang terkadang terkesan galak karena Mas Gagah kurang mendapat kasih sayang dari Ibunya. Ibunya sudah tiada dari Mas Gagah kecil, dan sejak saat itu pula sering sekali ganti-ganti Asisten rumah tangga untuk mengurusnya, hingga yang terakhir ini adalah Ibuku, Mas Gagah merasa nyaman dengan Ibuku.
Mas Gagah mendapatkan pendidikan cukup keras dari Ayahnya, namun kurang kasih sayang dari Ibunya, ketidakseimbangan itu membuat Mas Gagah akhirnya menjadi pribadi yang ambisus dan terkesan galak.
Pekerjaan melayani Mas Gagah tidaklah berat, setiap pagi harus menyiapkan baju kerjanya, sepatu kerjanya, semua keperluan pribadinya.
“Ibu … apa nanti aku harus menyiapkan baju dalamnya juga?” aku memotong pembicaraan Ibuku karena menurutku ini sangat bertentangan dengan prinsipku.
Ibu menjawabnya dengan anggukan. Aku terkejut melihat ibuku mengangguk, wajahku seketika memerah karena bagiku itu terlalu ekstrim.
“ Ibu kenapa dia tidak menikah saja, itu seharusnya tugas seorang istri, aku juga yakin usianya sudah pantas menikah, pemalas sekali sudah dewasa apa-apa semuanya harus disiapkan asisten.” Aku nyaris tidak percaya ada laki-laki seperti itu, semua harus serba dilayani.
Ibu tersenyum melihatku yang protes akan kepribadian Mas Gagah, Ibu memberi penjelasan padaku jika Mas Gagah bersikap demikian karena sejak Ibunya meninggal Mas Gagah biasa dititipkan pada asisten rumah tangga di rumahnya, Ayahnya harus kembali bekerja.
Karena kebiasaan itulah Mas Gagah biasa disiapkan semuanya oleh asisten di rumahnya, mungkin jika nanti sudah menikah, istrinya yang akan menyiapkan semuanya.
Ibu juga bercerita sebenarnya Mas Gagah sudah mempunyai tambatan hati, karena Ibu pernah beberapa kali melihat Mas Gagah membawa wanitanya ke rumah untuk sekedar makan malam di rumah, namun entah kapan mereka akan menikah Ibuku tidak tahu karena itu adalah urusan pribadi Mas Gagah.
“Orang kaya mah bebas ya Bu,” Celetukku, mendengar cerita Mas Gagah yang begitu rumit, aku mulai berfikir seandainya aku menjadi Mas Gagah, dia butuh dilayani, kenapa tidak menikah saja, pacar juga sudah punya, apa pacarnya belum mau menikah.
Ah … kenapa tidak mau, Mas Gagah kan sudah mapan, apalagi yang mesti difikirkan. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“ Apa yang kamu fikirkan, garuk-garuk segala.” Kinar sedikit menarik jilbabku.
“Eh, tidak ada.” Aku tersenyum pada Kinar.
“ Kamu tidak perlu khawatir tentang Ibu, aku dan Ibuku yang akan menjaga Ibumu di sini,” ucap Kinar sambil menggengam tanganku. Aku tahu sekali sahabatku yang satu ini memang sangat pengertian.
“Kamu jangan khawatirkan Ibu Nduk, Ibu baik-baik saja.” Ibu menyunggingkan senyumnya.
Aku tahu semua Ibu di dunia ini pasti akan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja walaupun dalam keadaan rapuh sekalipun, aku sangat mengagumi sosok Ibuku yang begitu sabar dan ikhlas dalam melakukan apapun, saat aku kehilangan Bapakku, Ibu tetap tegar mengantar Bapak sampai peristirahatan terakhirnya.
Ibu pernah berkata, “ Bukanlah kesabaran jika masih mempunyai batas, bukanlah keikhlasan jika masih merasa sakit.” Nasehat Ibu yang satu ini aku tanamkan dalam diriku sampai kapanpun.
Aku harap pembaca disini juga menanamkan nasehat ibuku, jika diluar sana ada yang berkata kesabaran itu ada batasnya, itu hoax yah 🤭.
“Bu, kapan aku berangkat ke Jakarta?” tanyaku, sebenarnya aku ingin Ibu menjawab nanti saja bulan depan atau bahkan tahun depan.
“ Nanti sore, jawab Ibu sambil tersenyum. Senyuman Ibu meluluh lantahkan hatiku, aku yang terkejut seketika berusaha tenang karena Ibu juga mengatakannya begitu tenang.
“Ayo aku bantu mengemasi baju-bajumu Nay.” Kinar mengajakku masuk ke dalam rumah. Kinar dan aku kembali memapah Ibu ke kamar. Aku dan Kinar langsung memasuki kamarku, aku mengambil tas ransel besar yang ada di atas lemari, aku mulai memasukan baju-bajuku yang tidak banyak.
Aku meraih foto masa kecilku yang tergantung di dinding kamarku, aku menatapnya sejenak, potret bahagiaku dengan kedua orangtuaku kala itu, terlihat ketika aku masih kecil, aku begitu gembul dengan rambut kepang dua, sekarang aku sudah menjelma menjadi gadis yang sedang beranjak dewasa, kata orang aku ini manis, tanpa make up pun sudah manis, pakaianku sederhana, hanya menggunakan rok dan kaos panjang serta jibab sederhana namun tetap terlihat manis.
Aku lalu memasukan foto itu kedalam tas ranselku, Kinar memberi masukan kepadaku jika nanti sudah mempunyai uang yang cukup belilah ponsel, hampir saja terlupa, untung saja Kinar mengingatkan. Aku bukan gadis yang terbiasa menggunakan fasilitas ponsel apalagi sebelumnya aku tinggal di pesantren, di pesantren yang memiliki ponsel pun hanya boleh di gunakan sesekali untuk menelfon itu juga dengan waktu yang sangat terbatas dan ponselnya tidak dipegang sendiri, melainkan oleh pihak pesantren.
Selesai berkemas-kemas Kinar berpamitan pulang, tidak lupa aku mengucapkan terimakasih banyak pada Kinar. Setelah Kinar pulang, aku meminta izin kepada Ibu untuk nyekar ke makam almarhum Bapak, Ibu langsung menyetujuinya dan aku pun langsung bergegas ke pemakaman umum di desaku dengan berjalan kaki karena kebetulan tidak jauh dari rumah.
Sesampainya di pintu area pemakaman, aku membuka sandalku, membuka sandal saat berada di area pemakaman merupakan salah satu adab berziarah, tidak lupa juga aku mengucapkan salam terlebih dahulu sebelum masuk.
“ Assalaamu’alaikum yaa ahlil qubuuri, yaghfirulloohu lanaa, wa lakum antum salafunaa, wa nahnu bilatsari.” (keselamatan untuk kalian wahai penghuni kubur, semoga Allah mengampuni kami dan kalian, sedangkan kalian telah mendahului kami dan kami akan mengikuti kalian).
Aku masuk kedalam menuju makam Almarhum Bapak, aku menatap makam Bapak, aku teringat nasehat Ustad kala aku belajar di pesantren bahwa sebaik-baiknya peringatan adalah kematian. Aku pasti akan menyusul Bapak, cepat atau lambat, kita harus memperbayak amal dan memperdalam taqwa karena kematian itu seperti hujan. Hujan turun tidak pernah menunggu kita sudah atau belum sedia payung, demikian pula kematian, ia akan datang menjemput setiap saat, tidak peduli kita sudah atau belum siap menyambutnya.
Aku menghadap kiblat lalu mulai mulai membaca doa “Allahummagfirli ahli baqi’il gharqad.” Lalu aku melanjutkan membaca surat pendek dan beristigfar dengan niat di sedekahkan untuk Bapak. Setelah selesai aku segera pulang ke rumah karena hari sudah semakin siang dan aku belum memasak untuk Ibu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!