Di sebuah rumah sakit swasta, seorang gadis tengah menangis tersedu lantaran kondisi sang adik yang kian memburuk. Dia adalah Farida Agustin, gadis yang baru berusia 23 tahun itu harus berjuang sendiri demi kesembuhan adik satu-satunya yang bernama Febrian.
Mereka hidup sebatang kara tanpa adanya sanak saudara. Dan kini dia harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan banyak uang karena penyakit yang diderita sang adik.
"Ya Allah, ke mana aku harus cari uang sebanyak itu? Aku ingin Rian sembuh, tapi dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit?"
Seorang pria yang kebetulan sedang melintas di dekat Farida, menghentikan langkah kakinya saat mendengar keluh kesahnya. Rama Arsalan, pria yang berusia 30 tahun itu menatap ke arah Farida yang terisak di bangku ruang tunggu.
Seulas senyuman licik membuat Rama mendekati Farida. Dia pun melangkahkan kakinya lalu duduk tepat di samping Farida.
"Saya dengar, kamu sedang butuh uang, apakah benar?" tanya Rama tanpa basa-basi.
Farida langsung menengok ke arah Rama yang sudah duduk di sampingnya. Dia pun bergeser dari duduknya agar tak terlalu berdekatan dengan pria asing itu.
"Maaf, Anda siapa? Kenapa bisa ada di sini?"
"Itu tidak penting. Saya ada tawaran menarik untuk kamu," ucap Rama dengan ekspresi nyaris tanpa senyuman.
"Tawaran? Maksud Anda apa, Tuan?" Farida sangat bingung dengan apa yang dikatakan oleh Rama.
"Lahirkan seorang anak untuk saya dan saya akan menanggung semua biaya rumah sakit adikmu. Ya, anggap saja timbal balik yang saling menguntungkan. Saya butuh seorang anak untuk menjadi penerus dan kamu butuh biaya untuk kesembuhan adikmu. Bagaimana?"
Bagai mimpi di siang bolong, tak pernah terpikirkan dalam hidup Farida, jika dia akan mengalami hal seperti ini.
"Sebelumnya saya minta maaf, Tuan. Jika hanya ingin memiliki seorang anak, kenapa tidak dengan istri Anda sendiri? Saya tidak memperjualbelikan rahim saya. Jadi, saya menolak tawaran Anda," ucap Farida dengan tegas.
Rama hanya mendengus pelan mendengar penolakan Farida. "Baiklah, jika kamu menolak, tidak masalah."
Rama pun beranjak berdiri lalu mengambil sesuatu dari dalam saku jasnya. "Ini kartu nama saya, hubungi saya jika kamu berubah pikiran. Dengan senang hati saya akan menunggu kabar darimu."
Setelah memberikan kartu nama, Rama langsung pergi meninggalkan Farida yang terdiam sambil terus menatap punggungnya hingga tak terlihat lagi.
Farida kemudian menatap kartu nama di tangannya. Hatinya mulai bimbang, tetapi juga takut. Satu sisi dia sangat membutuhkan uang untuk pengobatan adiknya, tetapi di satu sisi dia juga tak ingin menyewakan rahimnya pada orang.
"Ya Allah, tunjukkan jalan untukku. Berikan aku kemudahan untuk mendapatkan rezeki agar aku bisa membiayai pengobatan Rian," gumam Farida.
***
Keesokan harinya, Farida sudah bersiap pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi sang adik.
Sesampainya di rumah sakit, Farida langsung menuju ruangan di mana sang adik dirawat. Namun, saat akan membuka pintu, gerakan tangannya terhenti ketika seorang dokter memanggilnya.
"Farida, bisa ke ruangan saya sekarang?"
"Bisa, Dok." Akhirnya, Farida mengikuti dokter yang menangani sang adik, yang tak lain teman dari mendiang ayahnya.
"Ada apa, ya, Dok?" tanya Farida setelah duduk berhadapan dengan Dokter Ilham.
"Ini soal kondisi Rian. Secepatnya harus dilakukan operasi, jika tidak ...."
"Saya mohon lakukan yang terbaik untuk Rian, Dok. Hanya dia yang saya punya saat ini," sela Farida sebelum dokter selesai berbicara.
"Iya, saya tahu. Tapi bagaimana dengan biayanya? Apa kamu sudah ada?"
Farida terdiam seketika, dia sama sekali belum memegang uang sepeserpun.
"Saya usahakan besok sudah ada uangnya, Dok. Tapi saya mohon lakukan yang terbaik supaya Rian bisa sembuh."
"Pasti, Farida. Jika biayanya sudah ada, secepatnya akan dilakukan tindakan. Maaf, saya tidak bisa bantu banyak karena memang sudah prosedur dari rumah sakit."
"Iya, Dok, tidak apa-apa. Kalau begitu, saya ke ruangan Rian dulu."
Farida keluar dari ruang dokter dengan menahan sesak di dada. Bagaimana tidak? Mendapatkan uang dengan jumlah yang tidak sedikit dalam waktu satu hari satu malam, bukanlah hal mudah.
"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?" gumam Farida.
Setibanya di dalam ruangan, Farida menarik kursi lalu duduk di samping ranjang.
"Bertahan, ya, Rian. Mbak akan berusaha untuk kesembuhan kamu."
Farida mencoba menghubungi salah seorang temannya untuk meminjam uang. Akan tetapi, belum sempat dia mengambil ponselnya di dalam tas, pandangannya tertuju pada sebuah kertas kecil yang terselip di antara ponsel dan dompet. Ya, kertas itu yang tak lain kartu nama dari Rama.
Farida mengambil kartu nama tersebut lalu mulai membacanya.
"Rama Arsalan," gumam Farida sambil memegangi kartu nama itu.
Hatinya kini mulai goyah, dia kembali mengingat tawaran dari Rama kemarin.
"Lahirkan seorang anak untuk saya dan saya akan menanggung semua biaya rumah sakit adikmu."
Sebenarnya dia takut karena pasti akan ada resiko yang terjadi suatu hari nanti. Namun, di sisi lain dia juga sangat membutuhkan uang secepatnya.
"Apa aku terima saja tawaran kemarin?"
Akhirnya, setelah berpikir ulang, Farida mencoba mengirim pesan pada Rama meminta untuk bertemu membahas hal kemarin.
"Maafin, Mbak, ya. Kamu pasti kecewa dengan apa yang mbak lakukan, tapi percayalah semua ini mbak lakukan hanya demi kesembuhan kamu."
......................
Sementara itu di lain tempat, Rama tengah menikmati sarapan di rumah orang tuanya. Memiliki seorang istri tak menjamin akan melayani segala kebutuhannya, hal itu lantaran sang istri yang lebih memprioritaskan pekerjaan dibanding mengurus suami.
"Mau sampai kapan kamu kayak gini, Ram? Sudah lima tahun pernikahan, tapi apa yang kamu dapatkan?" tanya Sinta yang tak lain mami Rama.
"Sampai aku benar-benar muak dan bosan," jawab Rama tanpa memandang maminya.
"Mami itu udah tua, kalau sampai saat ini kamu nggak bisa tegas dengan istrimu, lalu kapan kamu bisa punya anak? Siapa yang bakal jadi penerus di keluarga kita, kalau Nadia lebih mementingkan karir daripada rumah tangganya?"
Saat akan menanggapi ucapan maminya, ponsel yang ada di saku jas Rama bergetar. Dia lantas mengambil ponsel lalu melihat siapa yang mengirim pesan.
Seketika seulas senyuman terlihat jelas di bibirnya. "Mami tenang aja. Nggak butuh waktu lama, Mami pasti akan segera punya cucu."
"Berapa kali kamu ngomong kayak gitu? Mami udah bosen dengerin, mending kamu buktikan langsung, baru mami bisa percaya."
Tanpa banyak bicara lagi, Mami Sinta meninggalkan ruang makan dan berangkat ke salon miliknya.
"Sudah kuduga, kamu pasti tidak akan bisa menolaknya," gumam Rama.
Selesai sarapan Rama langsung bergegas menuju suatu tempat. Ya, tempat untuk bertemu dengan Farida pagi ini setelah mendapat pesan.
Sesampainya di sebuah restoran, Farida memilih tempat yang tidak terlalu ramai agar bisa lebih leluasa saat membicarakan hal yang bersifat privasi.
Farida duduk di meja yang berada di pojok dekat jendela. Sambil menunggu kedatangan Rama, dia menyibukkan diri dengan bermain ponsel.
"Sudah lama?" Farida tak sengaja menjatuhkan ponselnya karena terkejut, saat mendengar suara yang dihafal meski baru sekali bertemu.
"B-belum, Tuan. Saya baru sampai lima menit yang lalu," jawab Farida sedikit terbata setelah mengambil ponselnya yang terjatuh di pangkuan.
Rama mengangguk kemudian dia menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Farida secara langsung. Dia tampak memandangi Farida yang sedikit menundukkan kepala dan baru menyadari jika gadis di depannya sangatlah cantik dan manis.
"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Rama setelah puas memandangi wajah Farida.
"E ... ini masalah tawaran Anda kemarin," jawab Farida dengan jari tangan yang saling bertautan untuk menghilangkan rasa gugup.
"Lalu?"
Farida memberanikan diri untuk menatap Rama. "Saya menerima tawaran itu."
"Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini? Tidak akan menyesal nantinya? Saya tidak memaksamu untuk menerima tawaran itu," cecar Rama meski dalam hatinya bersorak senang.
"Saya yakin, Tuan. Saya sudah memikirkannya berulang kali," jawab Farida dengan penuh keyakinan.
"Baiklah, jika kamu sudah yakin dan tidak menyesal atas keputusanmu ini. Besok siang temui saya di sini untuk menandatangani surat perjanjian antara kita," pungkas Rama.
"Baik, Tuan."
**
Sepulang dari restoran tadi, pikiran Rama kembali terbayang wajah cantik Farida hingga tanpa sadar dia mengulas senyuman disela-sela mengemudikan mobil.
"Ternyata dia cantik juga," gumam Rama.
Namun, seketika dia menggeleng dan menepuk dahinya berkali-kali. "Sadar, Rama, sadar. Dia hanya menjadi penyewa rahim, bukan istri sesungguhnya."
Berulang kali Rama merutuki pikirannya yang dipenuhi bayang wajah Farida. Sesampainya di kantor, Rama segera menuju ruangan asisten pribadinya.
"Buatkan surat perjanjian sekarang juga, Al," titah Rama tanpa basa-basi.
"Surat perjanjian untuk apa?" tanya Revaldi yang merupakan asisten pribadi sekaligus sahabat Rama.
Rama mendekatkan wajahnya di telinga Revaldi lalu membisikkan sesuatu. Raut wajah Revaldi seketika berubah tegang, mungkin karena terkejut dengan apa yang didengarnya.
"Apa kamu yakin, Ram? Lalu, bagaimana nanti kalau Nadia tahu?" tanya Revaldi.
"Maka dari itu, tutuplah mulutmu agar tidak ada yang tahu," jawab Rama.
Revaldi menghela napas berat, melihat keseriusan di wajah sahabatnya itu, dia yakin Rama sedang tidak bercanda.
"Meski tanpa aku membuka mulut pun, suatu saat Nadia pasti akan tahu hal ini."
"Ya, aku mengerti. Biar nanti jadi urusanku, kamu cukup siapkan apa yang aku minta tadi karena besok harus sudah ditandatangani gadis itu."
"Baiklah." Tanpa mendebat lagi, Revaldi segera membuatkan apa yang diminta Rama sekaligus menulis poin-poin penting dalam perjanjian tersebut.
......................
Pagi ini Farida bekerja di salah satu rumah tetangga untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Meski upah yang didapat tak seberapa, tetapi bisa untuk menyambung hidup sehari-hari pun sudah bersyukur. Dia hanya bisa mengandalkan pekerjaannya itu untuk makan dan membayar pengobatan sang adik.
Farida mengerjakan pekerjaannya dengan cepat, tetapi rapi. Sebab siang nanti harus bertemu dengan Rama untuk menandatangani surat perjanjian.
Pukul 11 siang, pekerjaan Farida sudah selesai semua. Dia pun pamit pulang lalu segera bersiap untuk menemui Rama.
Sepanjang perjalanan menuju restoran, Farida berharap isi dari surat perjanjian tak banyak merugikannya. Sebab dia sudah mempertaruhkan harga dirinya demi uang untuk pengobatan sang adik.
Setibanya di restoran, Farida disambut oleh salah seorang pelayan wanita.
"Dengan Nona Farida?" tanya pelayan tersebut.
"Benar," jawab Farida disertai anggukan.
"Mari, saya antar ke ruang VIP karena Tuan Rama sudah menunggu di sana."
Pelayan itu memimpin jalan menuju ruang VIP yang berada di restoran itu. Rama sengaja memilih tempat yang privat karena tak ingin seorang pun tahu apa yang terjadi di antara mereka.
"Silakan masuk." Pelayan itu membuka pintu lalu mempersilakan Farida untuk masuk dan kemudian kembali menutup pintunya.
"Maaf jika menunggu lama, Tuan." Farida duduk di sofa yang berseberangan dengan Rama.
"Tidak masalah," ucap Rama kemudian mengambil sesuatu dari dalam map.
"Kamu baca dulu isi surat perjanjian itu, jika ada yang membuatmu keberatan katakan saja."
Farida lantas membaca isi surat perjanjian tersebut dengan teliti. Hingga fokusnya terhenti pada poin terakhir dari surat perjanjian tersebut.
"Maaf, Tuan. Untuk yang poin terakhir ini maksudnya bagaimana, ya? Pembatalan sepihak dikenai denda 2 milyar."
Rama menegakkan tubuhnya lalu menatap Farida. "Ya, pembatalan sepihak di situ adalah jika kamu yang menginginkan perjanjian ini dibatalkan dengan alasan apa pun itu, maka kamu harus membayar denda sebesar 2 milyar."
Farida menelan ludahnya dengan kasar. 2 milyar, bukanlah nominal yang sedikit. Bahkan seumur hidup pun belum tentu dia bisa mendapat uang sebanyak itu.
"Bagaimana? Apa ada yang membuatmu keberatan?" tanya Rama.
"Ti-tidak ada, Tuan."
"Kalau begitu, cepat tanda tangani surat perjanjian itu."
Farida segera mengambil bolpoin di meja lalu membubuhkan tanda tangan pada surat perjanjian yang sudah bermaterai tersebut.
"Sudah, Tuan." Farida memberikan surat perjanjian yang telah ditandatangani pada Rama.
"Tiga hari lagi kita menikah secara agama. Kamu tidak perlu menyiapkan apa pun, cukup persiapkan diri kamu sebaik mungkin karena saat itu juga kamu harus melakukan tugasmu."
Rama beranjak berdiri, kemudian diikuti Farida. "Oh, ya, satu lagi. Setelah menikah kamu harus tinggal di apartemen yang telah saya sediakan. Dan ingat, jangan sampai ada seorangpun yang tahu tentang hal ini. Paham?"
"Paham, Tuan."
Setelah mendengar jawaban Farida, Rama bergegas pergi meninggalkan ruangan itu. Sementara Farida, masih termangu di tempat, masih tak percaya jika dia akan mengambil langkah sejauh ini.
"Satu tahun. Aku harap dalam waktu itu, aku sudah bisa melakukan tugasku agar tak terlalu lama terikat perjanjian ini," gumam Farida lalu pergi dari ruangan itu.
Sementara itu, di dalam mobil yang masih berada di parkiran, Rama tengah melakukan panggilan video dengan sang istri.
"Kapan kamu akan pulang?" tanya Rama.
"Mungkin besok atau lusa aku pulang. Kenapa? Kamu udah kangen, ya?"
"Tentu saja, kita sudah lama menikah, tapi kamu selalu sibuk dengan urusanmu sendiri," ujar Rama, tetapi matanya justru menatap ke arah luar kaca mobil.
"Aku tahu, setelah pulang nanti, kita nikmati waktu untuk berduaan."
Kini Rama tak lagi fokus dengan ponsel yang digenggamnya, tetapi justru fokus pada Farida yang berjalan keluar dari restoran menuju tepi jalan.
"Mas!"
Suara teriakan dari ponsel, menyadarkan Rama yang sejak tadi fokus menatap Farida.
"Ah, iya, ada apa?"
"Kamu lagi lihatin apa, sih? Aku ajak ngomong dari tadi malah diem aja," cecar Nadia dengan ekspresi wajah menahan emosi.
"Enggak lihatin apa-apa, kok. Udah dulu, ya, aku harus balik ke kantor lagi."
"Ok, jaga diri dan hati kamu. Awas, kalau sampai kamu berani macam-macam di belakang aku!"
"Iya-iya, aku nggak akan macam-macam. Aku matikan dulu, ya. Love you."
"Love you too."
Usai panggilan video berakhir, Rama tampak celingukan mencari keberadaan Farida yang tak terlihat.
"Ke mana dia? Kenapa cepat sekali perginya?"
Rama kemudian menyalakan mobil lalu mengemudikannya menuju perusahaan peninggalan sang papi yang kini dikelolanya.
Tiga hari berlalu, tepat hari ini Farida akan menikah dengan Rama secara agama dan tertutup. Dengan riasan yang sederhana dan mengenakan kebaya putih peninggalan sang ibu, Farida duduk di samping Rama yang siap mengucap ijab kabul.
"Ya Allah, aku tahu ini salah, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan selain menjalani kisah yang entah akan seperti apa ke depannya. Aku hanya ingin kesembuhan untuk Rian, apa pun akan kulakukan meski harus mengorbankan kebahagiaanku," batin Farida.
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah."
Farida tak kuasa menahan air matanya setelah para saksi mengucap kata 'sah'. Dokter Ilham yang kebetulan menjadi saksi dari pihak Farida, nampaknya juga mengerti apa yang tengah dirasakan anak dari temannya itu.
Usai ijab kabul dan penghulu sudah pergi, Rama mendatangi Farida yang duduk bersama Dokter Ilham di ruang tamu apartemen yang akan ditinggali Farida.
"Maaf, bisa saya bicara berdua dengan Farida?" Rama meminta izin pada Dokter Ilham agar diberikan waktu untuk berbicara empat mata.
"Silakan." Paham akan situasi saat itu, Dokter Ilham bergegas meninggalkan sepasang suami istri itu.
Rama mengempaskan pelan tubuhnya di dekat Farida, tetapi masih berjarak.
"Ingat, Rida! Jangan sampai ada yang tahu tentang hal ini. Kalau sampai ada yang tahu dan menimbulkan masalah, maka kamu yang akan menanggung akibatnya. Dan satu lagi, jangan pernah berhubungan dengan lelaki manapun selagi kontrak di antara kita belum berakhir."
"Baik, Tuan. Saya akan mengingat perjanjian ini."
"Bagus. Persiapkan dirimu untuk malam nanti karena saya tidak ingin ada alasan penolakan belum siap."
Usai mengatakan itu, Rama langsung pergi meninggalkan Farida di apartemen. Sementara itu, Farida menghela napas berat karena harus menjalani kehidupan yang baru, tentunya kehidupan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
"Semangat, Farida. Kamu pasti bisa melewati semua ini dengan semestinya," ucap Farida menyemangati dirinya sendiri.
Farida beranjak menuju kamar yang akan dia tempati, lalu membersihkan diri karena dia ingin ke rumah sakit untuk menunggu sang adik yang hari ini menjalani operasi pengangkatan tumor di otak.
***
Di depan ruang operasi, Farida menunggu dengan gelisah. Bibirnya tak berhenti menggumamkan doa agar operasi berjalan lancar dan sang adik lekas diberi kesembuhan.
Tiga jam kemudian, pintu ruang operasi sudah terbuka. Dokter Ilham keluar dari ruang operasi dengan wajah yang lesu.
"Dokter, bagaimana kondisi Rian?" tanya Farida.
"Untuk kondisi belum bisa dipastikan karena masih harus dipantau secara berkala. Dan untuk operasi, berjalan lancar tanpa kendala. Jadi, banyak-banyak berdoa untuk kesembuhan Rian."
"Baik, Dok."
Saat hendak kembali ke dalam ruang operasi, Farida menghentikan langkah kaki Dokter Ilham.
"Dokter, tolong rahasiakan tentang masalah saya dari siapa pun, termasuk Rian."
Dokter Ilham menepuk pelan lengan Farida seraya tersenyum tipis. "Kamu tenang saja, saya pasti bisa menjaga rahasia. Tapi ... kalau nanti Rian bertanya saat kamu sudah hamil bagaimana?"
Seketika Farida langsung mematung, dia tak memikirkan hal itu karena saking fokusnya agar Rian bisa secepatnya menjalani operasi.
"Dokter benar, apa yang harus saya katakan pada Rian nantinya? Jika saya mengatakan yang sebenarnya, dia pasti akan sangat kecewa dengan keputusan yang saya ambil." Jalan pikiran Farida seolah sudah buntu dan tak menemui titik terang.
"Masih ada waktu untuk memikirkan alasan yang tepat, Rida. Maaf karena saya tidak bisa banyak membantu kamu."
"Tidak apa-apa, Dokter. Selagi saya mampu, apa pun akan saya lakukan."
......................
Siang pun berganti malam, Farida yang kini berada di kamar terlihat berjalan mondar-mandir karena gugup sekaligus takut. Sebab malam ini akan menjadi malam di mana dia menyerahkan sesuatu yang dijaganya selama ini.
Tak berselang lama, Rama yang baru pulang dari kantor langsung mencari keberadaan Farida. Perlahan dia berjalan mendekati Farida yang berdiri di dekat ranjang.
"Sudah siap untuk malam ini?" tanya Rama dengan suara pelan.
"S-sudah, Tuan." Farida menjawab pertanyaan Rama tanpa berani menatap wajahnya.
Rama menyentuh dagu Farida kemudian mengangkat wajahnya agar bisa saling bertatapan.
"Bagus. Tunggu di sini, lima menit lagi saya akan kembali. Jangan lupa pakai ini." Rama memberikan sebuah paperbag kecil pada Farida, lalu dia keluar dari kamar utama menuju kamar yang ada di dekat ruang tamu.
Farida membuka paperbag itu lalu mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Alangkah terkejutnya, isi di dalam paperbag itu adalah sebuah lingerie berwarna merah maroon yang sangat transparan.
"A-apa ini? Apa aku harus memakai baju seperti ini?" gumam Farida.
Lima menit berlalu, Rama sudah kembali ke kamar utama dengan wajah yang segar sehabis mandi, sedangkan Farida masih duduk di tepi ranjang dengan baju tidurnya.
"Kenapa belum ganti pakaian?" tanya Rama.
"Maaf, Tuan, saya tidak terbiasa memakai pakaian seperti yang Tuan berikan tadi."
"Maka dari itu, biasakan mulai saat ini juga. Cepat ganti bajumu, atau saya akan mencabut fasilitas perawatan adikmu di rumah sakit," ancam Rama.
"Jangan, Tuan. Saya akan ganti bajunya."
Tak ingin Rama benar-benar bertindak seperti yang dikatakan, Farida bergegas ke kamar mandi lalu mengganti baju yang dipakainya.
Sembari menunggu istri mudanya itu berganti pakaian, Rama merebahkan tubuhnya di ranjang dengan satu tangan menutup kedua matanya.
Tak lama terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, Rama yang semula berbaring seketika langsung duduk dan menatap Farida tanpa berkedip. Terlihat jakunnya naik turun saat melihat penampilan sang istri yang mengenakan lingerie, sangat pas sesuai lekuk tubuhnya.
"Ke marilah." Rama menggerakan telunjuknya, mengisyaratkan pada Farida agar mendekat.
Setelah berada tepat di hadapannya, Rama langsung menarik pinggang Farida dan menjatuhkannya di ranjang.
"T-Tuan." Farida berusaha menutup tubuh bagian bawah yang sedikit terlihat karena tindakan Rama.
"Saya tidak menerima penolakan, Farida. Jadi, malam ini kamu harus siap melakukan tugasmu."
Rama pun mengungkung tubuh Farida lalu mulai menciumi seluruh wajahnya tanpa ada yang terlewat. Dan ciumannya berakhir pada bibir ranum sang istri.
Untuk pertama kalinya, Rama merasakan sensasi yang berbeda saat bersama Farida. Dirinya seakan tak bisa mengendalikan hasrat yang cukup lama terpendam karena harus berjauhan dengan istri pertamanya.
Namun, saat hendak memulai permainan, tiba-tiba saja ponsel Rama yang berada di nakas berdering. Semula dia mengabaikan dering ponselnya, tetapi ponsel kembali berdering hingga beberapa kali.
"Sial, siapa yang berani menggangguku?" umpat Rama lalu segera mengambil ponselnya.
Sementara Farida langsung menutup tubuhnya dengan selimut saat Rama mengambil ponsel.
Raut wajah Rama seketika berubah panik saat tahu yang meneleponnya adalah Nadia.
Dia segera mencari tempat yang tak menimbulkan kecurigaan pada Nadia, barulah menjawab panggilan telepon itu.
"Ada apa, Nad?"
"Kamu di mana? Kenapa rumah sepi?"
Jantung Rama seolah berhenti berdetak ketika mendengar ucapan sang istri.
"Aku sedang di luar. Apa kamu sudah pulang?"
"Iya, aku udah pulang. Tadinya mau kasih kejutan buat kamu, tapi kamu malah nggak ada di rumah. Cepetan pulang, sebelum aku berubah pikiran dan balik lagi ke luar negeri."
"Oke-oke, aku pulang sekarang."
Setelah panggilan terputus, Rama kembali mendekati Farida yang masih berbaring dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya.
"Aku pergi dulu. Besok pagi aku akan kembali lagi. Jadi, kamu tidak boleh keluar ke manapun."
Rama mengecup pelan dahi Farida, membuat siempunya langsung terpaku. Usai berpamitan, Rama langsung pergi meninggalkan apartemen dan bergegas pulang ke rumahnya.
"Kenapa dia bersikap seperti seorang suami yang sesungguhnya?" batin Farida.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!