Hari itu, untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu mengurung diri, Leon memberanikan diri untuk turun dari kamarnya. Duduk di atas kursi roda, ia menekan tombol lift pribadi di rumah mewah keluarganya. Ada sesuatu yang membuat hatinya berdegup sedikit lebih cepat — ia ingin mengejutkan Clarisa kekasihnya, yang katanya datang berkunjung hari ini.
Begitu pintu lift terbuka di lantai utama, langkah Leon terhenti. Ia belum sempat keluar saat suara lirih percakapan sampai ke telinganya.
"Maaf, Tante," suara Clarisa terdengar jelas, dengan nada berat yang berusaha terdengar sopan. "Aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini dengan Leon... Aku rasa Tante pasti paham kenapa."
Leon mematung. Tangannya mengepal di atas roda kursi, dadanya berdegup kencang menahan rasa sakit yang tiba-tiba menghantam begitu keras. Ia mundur perlahan, membiarkan pintu lift tertutup kembali. Tubuhnya bergetar menahan amarah, kecewa, dan rasa kehilangan yang begitu dalam.
Kamu tidak bisa melanjutkan hubungan dengan Leon? Suara Gaby, mama Leon, terdengar tak percaya. Matanya membulat, menatap Clarisa seolah ingin memastikan dia salah dengar.
Clarisa menundukkan kepalanya. "Tante pasti mengerti... Orangtuaku juga tidak setuju lagi. Mereka ingin aku memilih masa depan yang lebih pasti..." ucapnya dengan suara pelan.
Gaby menghela napas panjang, menahan kesedihannya. "Clarisa ,sayang... Sedikit saja kesabaranmu. Leon hanya butuh waktu. Dia akan pulih. Dia butuh seseorang untuk mendukungnya, bukan meninggalkannya," bujuknya penuh harap.
Namun Clarisa menggeleng pelan. "Maaf, Tante... Aku sudah menunggu... Tapi aku tak sanggup lagi. Rasanya... Leon tak menunjukkan perubahan... Aku tak mungkin menghabiskan hidupku dengan pria yang..." Kata-katanya terhenti, seolah tak tega untuk melanjutkan.
Seketika itu, suara berat penuh kemarahan terdengar di belakang mereka. "Pria cacat, begitu maksudmu?"
Gaby dan Clarisa sontak menoleh. Di sana, Leon keluar dari pintu lift, dengan tatapan dingin menusuk. Kursi roda menjadi saksi bisu betapa tubuhnya tak lagi sama, tapi sorot matanya... justru semakin tajam.
"Leon..." Gaby tergagap, buru-buru menghampiri putranya. "Kapan kamu turun? Mama dan Clarisa baru saja—"
"Aku dengar semuanya," potong Leon dingin. Tatapannya menembus Clarisa, membuat gadis itu salah tingkah. "Tak perlu berbohong, Mama."
Gaby menggenggam tangan Leon dengan gemetar, hatinya hancur melihat luka yang tak tersembuhkan di mata anaknya. Ia tahu, Leon sangat mencintai Clarisa. Bahkan sebelum kecelakaan itu, mereka telah merencanakan pertunangan besar-besaran.
Clarisa berdiri gugup. Ia meremas jemarinya sendiri, lalu berkata, "Baguslah kalau kau sudah dengar, Leon. Setidaknya... kau mengerti. Aku tidak mau melanjutkan hubungan kita. Aku... aku harap kau cepat sembuh, dan menemukan kebahagiaanmu sendiri."
Kata-kata itu seperti belati yang menghujam dada Leon satu per satu. Namun, pria itu hanya tersenyum miring, senyum yang sama sekali tidak hangat.
"Semudah itu, ya?" gumamnya dingin. "Begitu saja kau pergi... hanya karena aku tak lagi sempurna."
Clarisa terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun kata-kata tersangkut di tenggorokannya.
"Pergilah," ucap Leon akhirnya, suaranya datar. "Mulai hari ini, kita tak ada hubungan apa pun lagi."
Clarisa menggigit bibir bawahnya menahan air mata. Tanpa berani menoleh lagi, ia membalikkan badan dan melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Langkah-langkahnya terdengar memudar di kejauhan, sementara di dalam ruangan, keheningan yang mencekam menggantung berat di udara.
Gaby menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin memeluk Leon, tapi langkahnya tertahan ketika melihat betapa kerasnya rahang putranya mengatup, betapa tangan Leon mengepal erat di atas roda kursinya.
Sejak hari itu, Gaby tahu... luka di hati Leon bukan hanya karena tubuhnya yang lumpuh. Tetapi karena hatinya... kini benar-benar hancur
---
Setelah kepergian Clarisa , Leon hanya bisa memandangi pintu yang kini tertutup. Hatinya hancur, perasaannya berantakan. Tanpa berkata apa-apa, ia segera memutar kursi rodanya, lalu mengarahkannya ke lift untuk kembali ke kamarnya di lantai atas.
Gaby, mama Leon, mencoba menghentikan langkahnya. “Leon, tunggu… Mama ingin bicara,” ucapnya pelan, penuh harap.
Namun, Leon sama sekali tidak menoleh. Ia bahkan tidak menunjukkan isyarat sedikit pun bahwa ia mendengar suara ibunya. Ia terus melaju, seolah tak ingin mendengar satu pun penjelasan lagi.
Gaby pun terdiam. Dengan suara lemah, ia hanya mampu berkata, “Kalau kamu butuh sesuatu… Mama selalu ada untukmu, Nak.”
Tanpa membalas, Leon masuk ke dalam lift. Pintu lift perlahan tertutup, menyisakan kesunyian yang menyayat hati. Gaby hanya bisa berdiri mematung di tempatnya. Ia memahami betul perasaan putranya. Luka yang Leon rasakan terlalu dalam untuk diobati dengan kata-kata.
Sesampainya di lantai atas, Leon langsung menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Ia menguncinya rapat-rapat, seakan ingin menutup dunia luar yang hanya memberinya luka dan kekecewaan. Nafasnya memburu, tangannya bergetar menahan emosi.
Tanpa berpikir panjang, ia menggerakkan kursi rodanya ke arah lemari kecil di sudut kamar. Tangannya menyambar bingkai foto dirinya bersama Clarisa , lalu melemparkannya ke lantai hingga pecah berantakan.
“AARRRGHH!!” teriaknya penuh amarah. “Kau jahat, Cla!!!” suaranya menggema memenuhi ruangan.
Leon mengguncang kursi rodanya dengan kasar. Tangannya menyapu semua barang di atas meja. Buku, vas bunga, jam, dan benda-benda lainnya beterbangan dan jatuh berantakan ke lantai.
“Kenapa kau tinggalkan aku?!” jeritnya dengan suara serak. “Apa salahku sampai kau tega meninggalkanku hanya karena aku lumpuh?!”
Matanya memerah. Air mata yang selama ini ditahan tumpah begitu saja. Ia memukul-mukul dadanya sendiri sambil menggeram, “Kau tahu betapa aku mencintaimu! Tapi ternyata cintamu hanya palsu, hanya sebatas kata-kata yang manis saat aku masih sempurna…”
Suasana kamar menjadi saksi amuk dan ratapan hati seorang pria yang kehilangan segalanya dalam sekejap.
“Aku membencimu, Clarisa! Aku benar-benar membencimu!!” ucapnya di sela tangis yang pecah tak terbendung. “Aku sudah menyiapkan hidup untuk bersamamu… Tapi kau hancurkan semuanya hanya karena aku tak lagi bisa berdiri…”
Leon memukul sandaran kursi rodanya berkali-kali. Ia menunduk dalam, menahan isak yang keluar begitu menyakitkan.
Sementara itu, di luar kamar, Gaby hanya bisa berdiri tepat di depan pintu kamar putranya. Tubuhnya bergetar mendengar teriakan dan suara barang-barang yang dilempar di dalam. Air matanya mengalir pelan, tak kuasa menahan kesedihan yang menyesakkan.
Gaby memeluk dirinya sendiri, mencoba meredam perih yang menjalar ke seluruh tubuhnya sebagai seorang ibu. Ia tak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati Leon—anak semata wayangnya—yang kini tidak hanya harus menghadapi kenyataan pahit karena kelumpuhannya, tapi juga ditinggal pergi oleh wanita yang paling dicintainya.
Ia teringat saat suaminya meninggal dunia, tepat ketika Leon baru memasuki dunia perkuliahan. Saat itu, hanya ia seorang diri yang berjuang membesarkan dan membimbing Leon, sembari mengelola perusahaan keluarga. Dengan kerja keras dan dedikasi, Gaby berhasil menjaga perusahaan tetap bertahan. Dan saat Leon lulus, anak itu mengambil alih perusahaan dan membuatnya berkembang pesat. Leon bahkan dijuluki sebagai salah satu pengusaha muda paling sukses dan disegani di kota itu.
Namun semuanya berubah setelah kecelakaan itu.
Sudah sebulan lebih sejak tragedi itu terjadi. Pada awalnya, Leon masih optimis. Ia percaya dirinya bisa sembuh. Ia rajin menjalani terapi dan selalu berkata bahwa suatu hari nanti ia akan kembali berdiri, kembali mengejar mimpinya bersama Clarisa.
Tapi harapan itu perlahan memudar. Kakinya belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Semangatnya mulai luntur. Terlebih, hari ini, wanita yang ia anggap sebagai masa depannya memilih pergi dengan alasan yang menyayat hati.
Tak hanya itu, pesaing-pesaing bisnis yang dulu tak berani bersuara kini mulai mencibir. Mereka memanfaatkan kondisi Leon untuk menjatuhkannya. Beberapa bahkan terang-terangan meragukan kemampuan Leon dalam memimpin perusahaan.
Gaby memejamkan mata sambil menghela napas berat. Ia tahu, perjuangan anaknya belum berakhir. Tapi luka hari ini mungkin akan meninggalkan bekas yang dalam di hati Leon
“Bertahanlah, Nak…” bisiknya pelan, penuh do'a. “Mama tahu kamu kuat…”
Setelah meluapkan seluruh amarah dan kesedihannya, Leon akhirnya tertidur di atas kursi rodanya. Nafasnya terdengar berat dan tidak teratur, seolah beban di dadanya terlalu besar untuk ia pikul seorang diri.
Kamar yang biasanya rapi dan tertata kini tampak berantakan. Pecahan bingkai foto berserakan di lantai, buku-buku berhamburan, vas bunga pecah di sudut ruangan. Semua itu adalah bukti nyata betapa dalam luka hati yang dialami Leon.
Tak ada seorang pun yang berani masuk ke kamar itu, kecuali dua orang yang sangat mencintainya—Gaby, sang mama, dan Bibi Eli, kepala pelayan yang telah bekerja pada keluarga mereka sejak Gaby dan almarhum suaminya menikah. Bibi Eli bukan sekadar pelayan. Ia sudah seperti keluarga sendiri, mengetahui betul sifat dan tabiat Leon sejak masih kecil hingga kini tumbuh dewasa.
Dengan hati-hati, Gaby membuka pintu kamar dengan kunci cadangan. Langkahnya pelan, seolah takut membangunkan amarah Leon yang mungkin masih mengendap. Di belakangnya, Bibi Eli mengikut, membawa perlengkapan untuk membereskan kekacauan di kamar itu.
Namun baru beberapa langkah masuk, suara serak memanggil, membuat Gaby terkejut.
“Mama…”
Gaby berbalik cepat. Ia tak menyangka Leon terbangun, padahal mereka masuk dengan sangat hati-hati.
“Nak, maaf… Mama tidak bermaksud mengganggumu,” ucap Gaby dengan suara lembut, mencoba menenangkan suasana.
Ia melangkah mendekat ke arah putranya, sementara Bibi Eli segera sibuk membereskan pecahan barang di lantai tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, berusaha agar suasana tetap tenang.
Gaby berlutut di samping Leon, menyentuh pelan tangan anaknya yang terasa dingin. “Kamu sudah makan, Nak? Dari siang tadi kamu belum makan apa-apa…”
Leon menggeleng lemah. “Aku tidak lapar, Ma,” jawabnya datar, tanpa menatap wajah ibunya.
Gaby menarik napas dalam. Ia tahu, Leon bukan sekadar tidak lapar—ia sedang menolak hidup, perlahan-lahan menyerah pada keadaan.
“Kamu harus makan, Sayang. Kamu harus minum obat juga…” Gaby membujuk, mencoba bersikap setenang mungkin meski hatinya remuk.
Namun Leon hanya tertawa sinis. “Minum obat? Untuk apa, Ma? Percuma saja. Seminggu, sebulan... aku tetap begini. Aku tidak akan pernah bisa berjalan lagi…” Suaranya getir, penuh keputusasaan.
Gaby menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak boleh menangis. Tidak di depan Leon. Ia harus kuat, karena anaknya membutuhkan kekuatan itu.
“Kamu tidak boleh menyerah, Nak. Mama yakin kamu bisa sembuh. Tapi kamu harus makan, harus kuat…” Gaby terus membujuk dengan suara lembut.
Namun Leon malah membuang muka. Nada suaranya meninggi, menahan kemarahan yang kembali membuncah.
“Aku bilang aku tidak mau makan! Pergilah, Ma! Tinggalkan aku sendiri!” teriaknya.
Gaby terpaku sejenak. Ia ingin sekali memeluk putranya, ingin berkata bahwa ia tidak akan pernah meninggalkannya apa pun yang terjadi. Tapi ia tahu, saat ini Leon tidak ingin mendengar nasihat apa pun.
Sebelum Gaby beranjak pergi, Leon kembali berkata, suaranya dingin dan penuh penolakan. “Dan satu lagi, Ma. Mama tidak perlu repot-repot mencari perawat untukku. Aku tidak butuh orang asing mengasihaniku. Aku bisa mengurus diriku sendiri!”
Gaby mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan gejolak di hatinya. Ia hanya mengangguk pelan, memilih diam daripada memperpanjang pertengkaran dengan Leon yang sedang rapuh.
Bibi Eli, yang sejak tadi mendengar dan menyaksikan semua, mendekati Gaby setelah keluar dari kamar.
“Sabar ya, Nyonya… Orang yang sakit memang emosinya tidak stabil. Tuan Leon hanya butuh waktu. Dia pasti butuh dukungan kita,” ucap Bibi Eli pelan, berusaha menguatkan.
Gaby mengangguk lemah, matanya tampak berkaca-kaca. “Aku tahu, Eli. Aku tahu… Tapi melihat dia seperti ini, hatiku benar-benar hancur…”
“Percayalah, Nyonya. Semua akan membaik seiring waktu,” ucap Bibi Eli sambil memegang tangan Gaby dengan hangat. “Lagipula, perawat yang Nyonya cari itu akan datang hari ini, kan? Semoga saja dia bisa menghadapi Tuan Leon dan membantu memulihkan semangatnya.”
Gaby menghela napas panjang. “Semoga saja... Semoga Tuhan mengirimkan orang yang tepat untuk anakku…”
“Ya, Nyonya. Saya juga berdoa, semoga Tuan Leon cepat sembuh,” kata Bibi Eli tulus.
Keduanya pun meninggalkan kamar Leon, membiarkan anak itu sendiri dengan segala luka dan amarahnya. Di balik pintu kamar itu, seorang pemuda yang dahulu penuh percaya diri dan mimpi kini terkurung dalam dinding keputusasaan yang perlahan membunuh harapannya.
Sekitar pukul tiga sore, seorang perawat baru akhirnya tiba di rumah keluarg Leon. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Mery — perawat yang telah dikirim oleh agensi untuk membantu merawat Leon sesuai permintaan Gaby.
Mery mengenakan seragam perawat berwarna putih yang cukup ketat dan rok di atas lutut, meski sebelumnya Gaby sudah memesan khusus agar perawat yang datang mengenakan celana panjang demi menjaga kenyamanan Leon.
Begitu melihat penampilan Mery, Gaby mengerutkan kening. "Bukankah kami sudah pesan agar memakai celana panjang, Suster?"
Mery tersenyum sedikit canggung, lalu membungkukkan badan dengan sopan. "Maafkan saya Nyonya.... Ini murni kelalaian saya. Saya terbiasa memakai seragam seperti ini. Besok saya janji akan memakai celana panjang."
Gaby mengangguk singkat. "Baiklah, tapi besok jangan lupa. Ini penting."
"Baik, Nyonya. Saya mengerti," jawab Mery cepat.
Setelah itu, Gaby mengantar Mery menuju kamar leon di lantai atas. Sepanjang lorong, Mery tampak berusaha menyesuaikan diri dengan suasana rumah besar yang terasa sunyi dan berat.
Di dalam kamar, Leon tengah duduk di kursi rodanya, membelakangi pintu, menghadap jendela besar yang memperlihatkan taman luas di luar sana. Ia tampak diam, termenung dalam dunianya sendiri.
Langkah Gaby yang membawa Mery masuk ke kamar cukup ringan, namun tetap terdengar oleh Leon. Namun Leon tetap diam, mengira bahwa yang datang hanya mamanya atau Bibi Eli.
Gaby membuka suara, dengan nada hati-hati, "Leon, mama membawa seorang perawat untukmu. Dia akan membantumu. Namanya Suster Mery."
Tanpa berbalik, Leon langsung membalas dengan nada ketus, "Aku sudah bilang aku tidak butuh perawat. Keluar dari kamarku."
Gaby melirik Mery dengan ragu. Ia tahu putranya sangat sensitif akhir-akhir ini. Namun sebelum sempat memutuskan langkah selanjutnya, Mery berbisik pelan di dekat telinganya, "Tuan, biarkan saya mencoba membujuknya. Kadang pasien seperti ini lebih mudah berbicara dengan orang baru."
Gaby tampak bimbang. Kekhawatiran akan amukan Leon membayang di pikirannya. Namun melihat keyakinan di mata Mery, ia akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Kami akan keluar dulu. Tapi hati-hati," katanya, setengah memperingatkan.
Gaby dan Bibi Eli pun keluar meninggalkan Mery sendirian bersama Leon.
Begitu pintu tertutup, Mery langsung beraksi. Dengan sengaja, ia membuka dua kancing teratas dari seragamnya, memperlihatkan bagian dadanya, lalu melangkah perlahan mendekati Leon dengan gaya genit.
"Tuan muda," katanya dengan suara dibuat manja, "tidak baik terus-terusan marah dan murung seperti ini. Saya di sini untuk membantu. Bukankah lebih baik kita bekerjasama saja?" Mery kini sudah duduk bersimpuh di hadapan Leon, membiarkan tubuhnya condong ke depan, memperjelas lekuk tubuhnya yang memang sengaja ia pamerkan.
Leon menatapnya tajam. Mata dinginnya tak menunjukkan ketertarikan sedikitpun. Melihat Leon diam, Mery mengira rencananya berhasil. Ia pun nekat menyentuh tangan Leon dengan penuh rayuan.
Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan.
Tanpa banyak kata, Leon tiba-tiba menepis tangan Mery dengan kasar, lalu dalam hitungan detik mencengkeram lehernya kuat-kuat!
Mery terkejut setengah mati. "T-tuan... Tuan... lepaskan..." serunya dengan suara terbata-bata, kedua tangannya berusaha melepaskan cengkeraman Leon, tapi sia-sia.
Wajah Leon begitu dingin, suaranya penuh kebencian saat berbisik di telinga Mery, "Kau pikir aku sudi dirawat oleh wanita murahan sepertimu? Keluar dari sini, sebelum aku benar-benar menghabisimu."
Mery hanya bisa mengangguk panik, takut setengah mati.
Leon akhirnya melepaskan cengkeramannya. Mery jatuh terduduk di lantai, terbatuk keras sambil memegangi lehernya yang memerah.
Tanpa menunggu lagi, Mery bergegas berdiri dan berlari keluar kamar. Dengan wajah pucat dan ketakutan, ia menemui Gaby yang sudah menunggu di lorong bersama Bibi Eli.
"Ada apa, Suster Mery?" tanya Gaby cemas melihat wajah Mery.
"S-saya... saya tidak bisa merawat Tuan Leon. Maaf. Saya berhenti... saya berhenti hari ini juga," jawab Mery cepat, tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar.
Gaby mencoba membujuknya, "Tolong, bertahanlah sebentar lagi. Leon memang seperti itu, tapi lama-lama dia akan menerima kehadiranmu..."
Namun Mery menggeleng keras. "Tidak, Tuan. Saya tidak mau mempertaruhkan nyawa saya. Saya takut... saya takut dibunuh!" serunya dengan suara bergetar.
Tanpa banyak bicara lagi, Mery segera pergi meninggalkan rumah besar itu.
Dalam hatinya, Mery mengumpat kesal, "Sialan! Padahal kupikir bisa memikatnya dan hidup enak. Ternyata dia monster, bukan pria biasa!"
Gaby hanya bisa terduduk lesu di sofa ruang tamu setelah kepergian Mery. Kepalanya tertunduk berat, pikirannya kalut. Ini bukan pertama kalinya perawat yang dikirim pergi ketakutan setelah bertemu Leon. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Sementara itu, dari lantai atas, Leon hanya menatap kosong ke luar jendela, membiarkan dunia berputar tanpa peduli lagi.
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Mahesa terasa lebih sunyi dari biasanya. Gaby berdiri di depan cermin, sambil mengenakan blezer. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tapi tatapan matanya tetap tegas. Hari ini ia harus berangkat lebih pagi ke kantor. Mau tak mau, setelah kecelakaan yang menimpa Leon, kini Gaby yang harus turun tangan langsung mengurus perusahaan.
Dengan napas berat, Gaby akhirnya melangkah keluar rumah. Ia menyempatkan diri menengok sebentar ke arah kamar Leon yang pintunya tertutup rapat. "Bertahanlah, Leon," gumamnya pelan sebelum akhirnya bergegas menuju mobil.
Sesampainya di kantor, Gaby langsung disambut oleh Rafael, asisten kepercayaan Leon. "Selamat pagi, Nyonya Gaby," sapa Rafa sopan sambil berjalan mendekat.
"Pagi, Rafa. Bagaimana persiapan rapatnya?" tanya Gaby, sambil mempercepat langkahnya menuju lift.
"Semua manajer sudah berkumpul di ruang meeting, Nyonya. Mereka menunggu kedatangan Anda," lapor Rafa cepat.
Gaby mengangguk, lalu mereka berdua masuk ke dalam lift. Begitu pintu lift tertutup, Rafa tampak ragu sejenak sebelum akhirnya membuka pembicaraan.
"Beberapa hari yang lalu saya sempat menghubungi Tuan Leon Nyonya. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," ujar Rafa perlahan, menahan nada suaranya agar terdengar sopan.
Gaby menoleh, menatap Rafa dengan serius. "Leon tidak membalas teleponmu?"
Rafa menggeleng pelan. "Tidak, Nyonya. Seperti yang sudah Anda sampaikan, kondisi Tuan Leon memang belum stabil. Saya juga mendengar tentang kejadian dengan perawat yang baru."
Gabriel menghela napas panjang. "Ya, benar. Setelah kecelakaan itu, emosinya semakin tidak terkendali. Bahkan perawat yang terakhir, suster Mery, baru sehari bekerja sudah diperlakukan kasar oleh Leon. Belum lagi, Clarisa memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Itu makin memperburuk keadaannya."
Rafa mengangguk penuh pengertian. Ia sempat ragu, namun akhirnya memberanikan diri menyampaikan apa yang menjadi kegelisahannya.
"Sebenarnya, Nyonya, selain masalah perusahaan... ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan."
Gaby menatap Rafael dengan penuh perhatian. "Apa itu, Rafa? Katakan saja."
Rafa tampak ragu-ragu, namun akhirnya berkata, "Beberapa malam lalu, saya tidak sengaja melihat Nona Clarisa... sedang makan malam berdua dengan Tuan davin."
Gaby langsung terbelalak mendengar ucapan itu. "Apa?!" serunya setengah berbisik. Matanya membulat tidak percaya.
Bagaimana mungkin secepat itu Clarisa sudah bersama pria lain? Terlebih lagi, Davin—pria yang kini bersama Clarisa—adalah musuh Leon.
Gaby masih ingin bertanya lebih lanjut, namun saat itu juga pintu lift terbuka, menandakan mereka sudah sampai di lantai ruang rapat.
"Kita bicarakan lagi nanti," kata Gaby cepat, sambil melangkah keluar dari lift, diikuti Rafa.
Mereka berjalan cepat menuju ruang meeting, di mana semua manajer sudah duduk rapi menunggu. Saat Gaby memasuki ruangan, semua mata tertuju padanya. Gaby berusaha mengesampingkan pikirannya tentang Clarisa dan Davin dan memfokuskan diri pada tugasnya hari ini.
Meeting pun berjalan lancar. Gaby memimpin diskusi dengan penuh ketegasan, mendengarkan satu per satu laporan dari para manajer mengenai kemunduran yang terjadi selama sebulan terakhir. Ia juga dengan cekatan mengajukan solusi dan strategi baru untuk membangkitkan kembali performa perusahaan.
Di dalam hatinya, Gaby bersyukur karena setidaknya rapat hari ini berjalan lebih baik dari yang ia bayangkan. Tapi, pikiran tentang Clarisa dan Davin masih mengganggunya... dan ia tahu, cepat atau lambat, hal itu akan membawa masalah baru bagi Leon yang sedang terluka.
---
Setelah rapat selesai, Gaby memutuskan untuk langsung menuju rumah sakit. Hari ini adalah jadwal pemeriksaan rutin Leon, sesuatu yang sudah direncanakan sejak minggu lalu. Meski lelah setelah rapat panjang, Gaby tetap bersemangat. Ia berharap ada kemajuan dalam kondisi putranya.
Namun, begitu baru saja tiba di parkiran rumah sakit, ponsel Gaby berdering. Tertera nama "Bibi Eli" di layar.
Gaby segera mengangkat telepon itu. "Halo, Bibi Eli?" sapanya.
Dari seberang, terdengar suara Bibi Eli yang terdengar cemas. "Nyonya Gaby.. maaf mengganggu. Tapi saya harus memberitahu, Tuan Leon menolak untuk datang ke rumah sakit. Dia... dia menolak keras pemeriksaan hari ini."
Gaby terdiam sejenak, hatinya terasa berat. "Tapi bukankah kita sudah sepakat bertemu di rumah sakit hari ini?" tanyanya, berusaha tetap tenang.
"Iya, Tuan. Tapi Tuan Leon benar-benar tidak mau. Dia bahkan mengunci diri di kamar dan tidak mau bicara dengan siapa pun," jawab Bibi Eli dengan suara penuh kekhawatiran.
Gaby menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk duduk di kursi koridor rumah sakit, mencoba menenangkan pikirannya. Matanya menerawang jauh, pikirannya dipenuhi kekhawatiran dan kelelahan.
"Apa lagi yang harus aku lakukan untuk membuat Leon mau berjuang untuk dirinya sendiri?" pikir Gaby lirih dalam hati. Meskipun lelah dan hatinya nyaris putus asa, Gaby menolak menyerah. Leon adalah putranya. Dan ia bertekad akan melakukan apa pun agar Leon bisa sembuh.
Saat ia tenggelam dalam lamunannya, suara gaduh kecil dari ujung koridor menarik perhatian Gaby. Ia menoleh dan melihat seorang gadis muda berpakaian perawat sedang berusaha menyuapi seorang pasien lansia yang tampak keras kepala.
Pasien itu menggeleng keras, menolak suapan yang diberikan. Bahkan sebagian makanan sampai tercecer di lantai.
Namun, gadis itu tetap sabar. Senyum lembut tak pernah lepas dari wajahnya. Dengan sabar, ia membersihkan makanan yang tumpah, lalu kembali mencoba menyuapi pasien tersebut.
"Ayo, Pak. Sedikit saja makannya, ya? Kalau Bapak tidak makan, Bapak nggak akan cepat sembuh," ucap gadis itu dengan suara lembut, penuh kesabaran.
Si pasien tetap membuang muka, menolak makan.
Gadis itu tertawa kecil, lalu melanjutkan, "Kan Bapak sendiri yang bilang bosan terus-terusan di rumah sakit? Kalau Bapak mau cepat pulang, ya harus mau makan, lalu minum obat. Setuju, ya?"
Pasien itu mendengus kecil, namun kali ini, saat sendok kembali diarahkan ke mulutnya, ia akhirnya membuka mulut, meski dengan malas.
Gaby yang memperhatikan dari kejauhan, tanpa sadar tersenyum kecil. Ada ketulusan dan keteguhan yang terpancar dari gadis itu, sesuatu yang jarang ia lihat belakangan ini di antara perawat-perawat lain.
Saat gadis itu menoleh, mata mereka bertemu. Sang gadis melemparkan senyum hangat ke arah Gaby, dan Gabu pun membalas dengan anggukan kecil.
Di dalam hatinya, Gaby mulai membentuk sebuah pemikiran: "Andai gadis itu mau menjadi perawat untuk Leon, mungkin dia bisa membuat putraku berubah pikiran."
Sementara itu, si pasien kembali berulah, kali ini mencoba menjatuhkan sendok. Namun gadis itu dengan cekatan menangkap sendok tersebut sebelum jatuh ke lantai.
"Nah, Bapak ini... Kalau begini terus, nanti tambah lama di rumah sakit, loh!" celetuk gadis itu sambil tertawa kecil. "Bapak harus kuat, ya. Kita sepakat, habis makan langsung minum obat, terus cepat pulang! Setuju?"
Pasien itu akhirnya mengangguk pasrah, membuat gadis itu tersenyum puas.
Setelah sesi makan selesai, gadis itu membantu pasien kembali ke dalam kamar. Ia merapikan meja kecil yang berantakan, lalu berjalan keluar dari ruang rawat, tampak akan kembali ke ruang perawat.
Gaby yang sedari tadi memperhatikan, segera berdiri dan tanpa berpikir panjang, ia menyusul gadis itu.
"Aku harus bicara dengannya," pikir Gaby mantap. "Aku harus minta dia merawat Leon."
Ada harapan baru yang mulai tumbuh di hati Gaby saat ia mempercepat langkahnya, mengejar sosok perawat muda itu yang berjalan santai di depan matanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!