NovelToon NovelToon

CINTAKU SEPERTI JEMBATAN GARAM

Rasa Rindu

Mentari pagi memancarkan sinarnya. Kicau burung meramaikan pagi. Aku masih terpaku menatap dinding kamarku. Pikirku melayang menembus batasan waktu kini. Apa ini? Apa aku merindukannya? Tapi siapa aku? Beraninya merindukan sosok itu lagi.

Sosok yang telah lama ku lupakan dari memori otakku, tapi terus saja muncul tanpa pernah ku duga. Sebenarnya ini apa? Perasaan yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Di saat seperti ini aku tak lagi tahu urusan hati terutama kaum lelaki. Sadarlah Ria kamu masih kuliah.

Ku dengar suara nyaring di depan kostku, “Ria bangun woy udah jam segini lu masih molor aja!”

“Iya Fin, aku juga dah bangun kok,” jawabku saat menemuinya di ambang pintu.

Dia Fina teman kost juga di sini. Aku berteman baik dengannya. Melihat tampangku yang murung itu Fina mulai curiga.

“Lu kenapa kok ditekuk gitu mukanya?”

“Enggak kok nggak kenapa-napa.”

“Alah boong lu ya?”

“Hmm… apasih kamu itu pagi-pagi dah ganggu aja?”

“Tuh kan bener lagi ada apa-apa nih. Udah pasti kalo sikap lu jadi jutek gini ada something. Ya kan ngaku aja lu!”

“Iya ada sedikit masalah, tapi ntar lagi selesai kok.”

“Btw masalah apa nih kira-kira? Keknya serius deh,’ tanyanya sambil terus menatapku seperti menyelidiki.

“Pribadi,” jawabku. Lalu, aku segera menutup pintu. Fina terus saja menggedor-gedor pintu itu. Menyeru padaku untuk membukanya, “Ria buka! Woy yang bener aja lu galau sampe segitunya?”

“Udah Fin sana aja! Aku lagi mau sendiri.”

Fina menyerah juga. Dia meninggalkanku sendiri. Sedang aku meneruskan pertanyaan hatiku yang mengganjal ini.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku saat ini? Kok rasanya aneh banget ga kaya biasanya.

“Ting” notif pesan di ponselku. Aku segera meraihnya. 

✉️ Hai apa kabarmu?

Aku mengernyitkan dahiku. Ini siapa? Kok tahu nomorku. Karena masih suntuk dan malas aku tak membalasnya. Aku pun memilih untuk mandi.

Orang yang mengirimiku pesan tadi masih menunggu balasan dariku. Lama banget sih? Kok ga dibales-bales kan udah dibaca? Orang itu Ryan. Dia menghubungiku untuk memberitahuku sesuatu hal. Dia sengaja melakukannya dengan cara yang sama tentunya lewat dunia maya. Diam-diam dia meminta nomorku kepada salah satu admin grup yang dulu pernah ku ikuti dan di sanalah aku mengenalnya sebagai sosok yang begitu tak ku percaya.

Merasa tak direspon dia pun menghubungi admin, “Hei min, ini bener nomornya Ria kan?”

“Iyalah bang masa aku boong sih.”

“Lah masa chatku cuma dibaca ga dibales?”

“Lah kan ga kenal nomor abang jadi ga direspon lah.”

“Perkenalan dulu aja bang nanti pasti dibales kok!”

“Oke gue coba.”

✉️ Ini aku Ryan, temen kamu yang waktu itu di grup matematika.

Lama tak mendapatkan balasan dari Ria, Ryan pun memutuskan untuk melakukan hal lain. Yah mungkin aja dia lagi sibuk. Kan masih kuliah pikir Ryan.

Tak lama kemudian, aku sudah rapi dengan pakaian dan jas almamaterku. Entah mengapa aku ingin memakainya. Mungkin karena cuaca sedikit dingin. Huh aku paling sebal kalau cuaca dingin begini. Bisa-bisa masuk angin kalo sampe kedinginan beneran. Belum lagi pernah gegara kedinginan eh aku malah pingsan. Oke waktunya berangkat.

Ku langkahkan kaki ini menuju salah satu kampus di Jogja tepatnya di UGM. Yup dua tahun lalu aku menjadi maba dan ga terasa kini udah di penghujung semester. Lelah rasanya kuliah itu, tapi aku ingin meningkatkan kualitas diriku juga pengalamanku. Sehingga, ku putuskan untuk kuliah di sini. Meskipun aku berasal dari sekolah pelosok buatku tak masalah. Hingga kini semuanya berjalan aman- aman saja.

Jarak kostku ke kampus tak begitu jauh. Yah kurang lebih sepuluh menitan kalo jalan kaki. Tiba di depan gerbang aku mendengar suara teriakan seseorang, “Ria tunggu!”

Aku pun menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Ternyata dia Fina temanku yang tadi pagi mengingatkanku masuk kuliah pagi. Dasar aneh yang gedor-gedor tadi dia. Eh taunya malah telat. Ia berlari menghampiriku. Napasnya terengah-engah.

“Fin! Fin! Lu tuh ya kenapa malah di belakang gue?”

“Ih Ria sabar napa? Ga tau orang masih ngos-ngosan gini malah diajak ngobrol.”

Aku menunggunya beberapa saat kemudian dengan entengnya dia menjawab, “Gue tadi nyariin HP ga ketemu.”

“Alasan HP lagi,” gerutuku.

Fina malah nyengir.

“Udah yuk masuk!” ajakku.

Kami pun memasuki area kampus dan menuju ke tempatku. Oh iya aku di sini mengambil jurusan Kimia. Tentunya harus ke Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sesampainya di ruang kelas kami sudah banyak mahasiswa lainnya yang berjubel di sana.

“Ini ada apa ya Fin? Tumben jam segini dah pada datang,’ tanyaku.

“Entahlah Ri, gue juga ga tau. Duduk aja yuk!”

Aku hanya menurut padanya meski masih penasaran dengan suasana pagi ini yang terlihat berbeda.

“Ah itu dia orangnya!” teriak salah satu dari mereka. Aku menatapnya heran. Ada apa? Kenapa aku yang kena?

“Ria……. Kami mau diajarin ini dong! Plisss….!”

“Eh,” jawabku sedikit kaget.

“Kenapa lu ga mau ya?”

“Enggak bukan gitu. Emang ini bakal ada apaan sih kok pada belajar?” tanyaku.

“Apa lu lupa ya hari ini kan tesnya,” jawab Iza.

“Eh apa? Tesnya hari ini?”

Mereka semua mengangguk kompak. Sementara Fina sudah sibuk mengubek-ubek tasnya mencari sesuatu. Saat ditemukannya buku itu dia terbelalak saat membukanya.

“Aaaaa……… bener Ri hari ini tesnya kok kita bisa lupa sih. Mana belum belajar pula,” gerutu Fina.

“Ayolah Ri ajari kami!” pinta mereka.

“Oke tapi nanti kalo ga tuntas gimana?”

“Penting ada yang kita pahami Ri urusan nanti remed dapat tugas lain kami siap,” kata Dodi.

Akhirnya akupun memulai mengajari mereka yang bertanya. Untung juga waktu tesnya jam ke tiga. Jadi masih sempet buat kita belajar. Salah satu diantara kami ada yang ditugaskan untuk menjaga pintu. Takut kalau nanti dosen datang. Apalagi ini bukan dia pengajarnya. Bisa kacau.

Aku menuliskan deretan rumus-rumus kimia yang kelihatannya sangat rumit. Padahal aslinya mudah kok.  Mereka saja yang belum mengerti. Selesai menulis, aku berbalik menghadap mereka. Ku jelasan apa yang ku tulis barusan dengan sangat detail. Semoga saja mereka paham.

Tak lama bel masuk berbunyi. Gery yang menjadi penjaga pintu segera menuju tempat duduknya. Sambil berteriak, “Dosen datang!” Aku sesegera mungkin menghapus papan tulisnya. Ku rapikan kembali barang-barang di meja. Lalu, aku kembali ke tempat dudukku. Fina yang melihatku terlihat panik malah tersenyum sendiri.

“Malah senyum-senyum. Seneng ya Fin liat gue kek gini?”

“Hehehe… ya iyalah,” jawabnya jujur.

“Dasar temen ga punya hati.”

“Kalo gue ga punya hati mana bisa gue hidup Ri. Soalnya kan hati merombak sel darah merah kita,” jelasnya seolah menyindirku.

“Terserah lu dah.”

Fina tak lagi melanjutkan percakapan karena dosennya sudah masuk. Matkul kali ini cukup menantang gabungan antara biologi dan kimia atau istilah kerennya biokimia. Kebayang ga tuh sama matkulnya. Kali ini masih materi dasar belum masuk ranah forensic (ilmu Kimia yang mempelajari tentang DNA). Umum aja ini matkul udah njlimet kek gitu, tapi gue justru malah semakin dibuat penasaran dengan isinya. Jadi keinget dulu pas aku memilih jurusan. Niatnya ambil Teknik Kimia, tapi karena rasanya tuh belum siap aja jadi gue mundur dan milih Kimia Murni aja deh.

Meski pernah nyesel sih niatku ga kesampaian tapi gue tetep semangat karena ada keluarga di desa yang butuh banget gue jadi seseorang yang bermanfaat buat masyarakat sekitar. Jadilah gue berusaha buat terus maju. Apa pun halang rintangnya harus bisa dilewati. So menurut temen-temen gue sih paling susah ngendaliin rasa suka alias cinta. Kadang emang gitu sih kalo kita ga bisa mengendalikannya bisa bahaya. Baper parah dah.

Oke lanjut ke pembelajaran hari ini. Di mana banyak sekali istilah asing yang gue temui. Belum lagi nanti praktiknya. Huh gue udah gatel nih ga sabar pengen coba. Dosen itu selesai menjelaskan materinya. Beliau berbalik badan menghadapi mahasiswanya. Dengan tatapan yang begitu bersahabat. Ditanyanya mahasiswa di hadapannya itu, “Bagaimana apakah kalian semua paham dengan apa yang saya jelaskan?”

Semua bingung mau menjawab apa. Justru ada yang kelihatan berpikir keras sambil memukulkan ujung penanya ke pelipis. Mikir? Ya iyalah bro sis masa iya jawab ga mikir dulu. “Mungkin agak lumayanlah, waktu kami buat memahami pak,” sahut seorang mahasiswi cantik yang entah apa pun alasannya lebih memilih duduk di belakang sana.

“Kamu benar sekali Tania. Butuh waktu lebih untuk kalian memahami materi ini,” ujar pak Budi selaku guru biokimia.

“Pak kenapa ga suruh Ria aja buat njelasin!” usul Fina.

“Apa-apaan sih lu Fin ngaco aja kalo ngomong,” bisikku 

“Loh gapapa kali Ri kan bagus.”

Fyuh… aku menghela napas berat. Sedetik kemudian, dosen tersebut menatapku dan berseru, “Ayo Ria silahkan!”

“Eh…. kok saya…” kataku sedikit kikuk ditambah lagi dengan pandangan yang lain.

Harga diri gue dipertaruhkan di sini. Oke, gue harus bisa. Aku segera beranjak dari tempat dudukku menuju depan kelas. Ku tatap wajah-wajah penuh kemenangan mereka. Aku memulai penjelasan dari yang paling dasar hingga membuat mereka benar-benar paham akan apa yang gue sampaikan.

Selesai menjelaskan semua itu dosen tersebut menyuguhkan tepuk tangan yang membuat seisi kelas mengikutinya. Kenapa? Pikirku.

“Sangat bagus sekali Ria,” puji dosen tersebut sambil beranjak mendekatiku.

“Kalo begitu kamu jadi asisten saya aja gimana?” tawarnya.

Apa? Asisten? Asisten dosen? Astaga yang bener aja. Masa gue?

“Gimana Ria kamu mau kan?” tanya dosen tersebut.

“Eng…. gimana ya pak saya sendiri juga bingung,” jawabku sembari menggaruk kepala yang tak gatal.

“Oke silahkan kamu pikir dulu yah! Saya akan tunggu jawaban kamu.”

“Baik pak.”

“Waktu mengajar saya masih tersisa lima belas menit tapi materi sudah selesai. Jadi saya undur diri. Selamat belajar di jam berikutnya!”

“Baik pak,” jawab semua serempak. Lalu, beliau pergi meninggalkan ruangan. Tak lama setelah kepergiaannya temen gue yang lain bilang, “Lanjutin deh Ri, kita mau belajar buat tes nanti!”

Aku hanya menurut mereka saja. Dan entah apa yang membuat mereka begitu mudahnya memahami penjelasanku daripada saat dijelaskan oleh dosen. “Tingkah mereka ada-ada aja,” batinku.

Bel pergantian jam berdenting memekakkan telinga. Semua terlihat panik begitupun denganku. Segera ku hapus deretan tinta di papan tulis ini. Huh sebel beud deh masa iya ga ada yang bantuin gue menghapus. Gerutuku dalam hati. Usai kegiatan yang diliputi kepanikan itu mereda dengan sendirinya. Menyisakan mahasiswa duduk di bangku masing-masing dengan tampang tenang. Seolah mereka siap digampar dengan soal tes hari ini.

Ketukan sepatu itu mulai terdengar semakin dekat. Semua yang ada di dalam kelas menjadi was-was, tapi kami berusaha tetap tenang. Hingga dosen matkul termokimia itu masuk ke dalam. Dilihatnya seluruh penjuru kelas dengan matanya. Dia heran sejenak lalu menghentikan langkahnya.

“Kenapa kalian?”

“Tidak apa-apa Pak,” jawab salah seorang dari kami.

“Lalu apa-apaan ini? Kenapa kalian hanya tenang-tenang saja? Padahal hari ini tesnya,” tanyanya lagi.

“Kalo mau tes kan kitanya harus tenang Pak. Kalo panik mana bisa ngerjain kita. Ya nggak teman-teman?”

Pertanyaan itu di jawab oleh penghuni kelas dengan sebuah anggukan kecil. Dosen itu tersenyum kecut merasakan ada hal berbeda telah terjadi. Atmosfer menakutkan darinya seolah luntur seketika. Siapa pelakunya?

Tes itu pun dimulai. Kertas soal beserta lembar jawab mulai mengunjungi para penjawabnya. Dan dengan pemikiran yang hati-hati menjawabnya. Alur waktu yang seolah membeku seketika lalu, diluncurkan dengan tenaga ekstra. Baru beberapa soal yang habis dijawab. 

Dosen tersebut mengisyaratkan pada seluruh mahasiswanya bahwa waktu mengerjakan tinggal 30 menit. Kali ini tak ada satu pun gerakan yang terlihat ragu. Sesegera mungkin diriku menuliskan jawaban di kertas itu. Tepat bel istirahat berbunyi semua telah selesai. Aku tersenyum. Rasanya lega sekali. Tesnya sudah berlalu.

Aku menatap sekitarku mereka nampak lesu. “Apa mereka ga bisa nyelesein tes ini ya?” pikirku merasa bersalah hanya mengajari mereka sebatas itu aja. Semoga ga ada yang remidial deh ya Aamiin….

Satu persatu dari kami mulai maju ke depan untuk menyerahkan lembar jawab beserta soalnya ke dosen itu. Lalu, keluar kelas dengan loyo. Aduh gimana nih? Apa yang bakalan terjadi nanti? Pikiranku masih saja kacau memikirkan mereka. Namun sejurus kemudian mereka tersenyum ke arahku yang baru saja keluar.

“Kalian kenapa?”

“Ya elah pakek nanya lagi,” celetuk Iza.

“Kita tuh lagi seneng tau hampir separuh lebih yang lo jelasin secara dadakan itu masuk ke otak kita. Ya nggak man teman?” tanya ketua kelas kami.

...****...

Malam yang begitu menjemukan untuk Ryan yang masih setia menunggu balasan dari seseorang itu yang membuatnya penasaran. Seseorang yang tanpa sadar menarik hatinya dan membawanya ke sini. Di kota pelajar terbaik se-Indonesia yaitu Yogyakarta. Mungkin alasan ia menerima pekerjaan itu salah satunya karena dia. Seseorang yang diam-diam dirindukannya baik siang maupun malam. Akankah aku bisa bertemu dengan dia? Entahlah.

Pikirnya kembali melayang, menerawang jauh ke masa lalu. Sebuah perkenalan yang tak diduga membuatnya ingin sekali bertemu. Sayangnya mimpi itu terlalu tinggi sementara aku sudah tak lagi melakukan kontak lewat dunia maya dengannya. Lama sekali dan aku masih terus berusaha mencari keberadaannya. Apakah dia juga merindukanku?

Terdengar notifikasi pesan masuk. Ryan segera meraih ponselnya. Dia mengira itu balasan dari orang yang ditunggunya tapi ternyata bukan. Dia sedikit kecewa, tapi bukan Ryan namanya kalau menyerah begitu saja. Segera ia mengirimkan sebuah pesan beruntun kepada seseorang itu yang tak lain adalah Ria. Tanpa mempedulikan pesan yang tadi baru masuk.

✉️ Apa kabar Ria? Lama nih nggak saling kontak.

Satu menit, dua, tiga, empat, lima. Huh kenapa sih ga dibales terus? gerutunya. “Seandainya dia tahu seberapa aku merindukannya, tapi apa mungkin takdir memang tak berpihak padaku?” pikir Ryan. Dia pun mencoba menghubungi sang admin. 

✉️ Hey min kok dia ga bales chatku ya?

✉️ Masa sih Bang? Bentar ya gue coba yang kontak dia.

✉️ Oke thanks min. Gue tunggu.

Di redupnya cahaya malam ini membuatku semakin kesepian. Apa mungkin aku butuh seseorang? Ah tak perlulah untuk saat ini, tapi semua pikiran itu selalu saja berkecamuk di benakku. Hingga beberapa kali notifikasi pesan itu ku abaikan. Lama-lama aku jengah dengan ulah orang yang menchatku malam-malam begini. Mana aku lagi bad mood dari tadi. Segera ku raih ponsel yang sedari tadi tergeletak.

Aku kira orang jail ga taunya admin grup Matematikaku dulu. Segera kubuka chat itu lalu seketika aku membeku setelah membacanya.

✉️ Kak Ria, kak Ryan chat itu lho kok ga dibales sih?

Otakku menerawang jauh ke masa lalu. Saat dimana aku mengenal sosok yang sempat menarik hatiku bahkan aku sempat mengaguminya, tapi itu dulu. Dan kenapa sekarang dia muncul lagi? Admin itu sempat menunggu lama. Oh, iya dia bernama Ilham. Karena tahu aku sedang online dia mengirimiku pesan lagi.

✉️ Kak!

✉️ Bales donk Kak, kasian itu kak Ryannya!

Jemariku dengan cepat mengirim balasan padanya. Ya tentunya setelah aku sadar dari lamunan itu.

✉️ Iya Ham, nanti aku bakal bales kok.

✉️ Oke, sip lah kalo gitu.

Aku masih teringat nomor yang tak ku kenal tadi pagi. Di mana ia mengaku bernama Ryan. Setelah aku scroll chat yang ada aku menemukannya. Ternyata dia sempat mengirim pesan juga. Haduh jadi ga enak. Ku kira tadi orang jail. Segera ku balas chat itu dengan hati-hati. Entah mengapa aku begitu takut kejadian yang lalu terulang lagi.

✉️ Hai juga kak. Alhamdulillah aku baik-baik di sini. Kalo kakak sendiri gimana?

Terdengar notifikasi masuk di ponsel Ryan. Saat melihat siapa itu dia tersenyum. Akhirnya kamu bales chat aku juga.

✉️

Ryan : Alhamdulillah aku juga baik. Oh ya, denger-denger kamu kuliah di Jogja ya?

Ria : Iya kak. Emang kenapa?

Ryan : Em… kamu mau nggak aku ajak ketemuan?

Aku tercengang membaca chat itu. Lalu, membalasnya dengan sangat hati-hati.

Ria : Bukannya Kakak di Bandung ya? Kok ngajak ketemuan aku?

Ryan : Wkwkwk belum tahu ya, aku kan milih kerja di Jogja.

Aku lemas seketika mendapati kenyataan ini. Apa dia di Jogja? Beneran di Jogja. Astaga bisa-bisa aku ketemu beneran. Pikiranku kacau sampai ajakan Ryan tak ku hiraukan sama sekali tentang pertemuan itu.

Ria : Maaf Kak, aku kan masih kuliah.

Ryan : Ya udah gapapa nanti biar aku jemput kamu di depan kampus gimana?

Ria : Eh ga usah kak. Ga usah repot-repot.

Ryan : Enggak kok santai aja. Lagian aku dulu punya janji sama kamu kan?

Deg! Apa-apaan dia. Haduh bikin pusing aja.

✉️

Ria : Em… kapan-kapan aja Kak.

Ryan : Oh, oke, kalo kamu ada waktu kabari aku ya! Aku udah siap meluncur.

Ria : Iya Kak.

Setelah aku berhasil mengakhiri chat malam ini dengan Ryan. Aku memutuskan untuk segera tidur karena saat ku tengok jam yang menggantung di dinding tepat pukul sebelas malam. Segera aku menarik selimut lalu, merebahkan tubuhku di atas Kasur. Mataku yang masih ku buka terpaksa ku pejamkan. Hingga akhirnya aku berhasil tidur.

Asisten Dosen

Pagi yang cerah, matahari bersinar cerah. Membuka setiap panca indra untuk menyaksikannya. Kota dengan keadaan alam yang tak lagi sama. Meski begitu banyak pepohonan di sekitar sini telah mampu menghadirkan kesejukan pagi. Cicit burung turut meramaikan ketentraman yang ada sejak tadi. Ku melangkah mendekati daun jendela. Ku sibak tirai yang menjadi pembatas pandanganku ke luar sana. Aku tersenyum sendiri melihat jalanan dan pohon cemara itu. Pemandangan yang ku nikmati sendiri. Aku membuka jendela lalu, angin pagi yang penuh kesejukkan segera masuk. Ku nikmati pagi ini sesaat sebelum, suara ponselku membuyarkan semuanya.

“Siapa sih pagi-pagi ganggu aja?” batinku.

Aku meraih ponsel itu dan kaget bukan main. Dosen kemarin yang menawariku menjadi asdosnya.

✉️ Ria hari ini bapak tidak bisa mengajar karena ada urusan. Jadi saya minta kamu menggantikan posisi saya nanti!

Aku berpikir sejenak. Bagaimana ini? Kalau aku tolak juga sayang, tapi kalau diterima gimana? Apa aku sudah siap untuk mengajar? Ah tauk ah ga papa kali Ri buat nambah pengalaman. Setelah, membuat keputusan aku segera membalas chat itu.

✉️

Ria : Baik pak.

Dosen : Wah terima kasih Ria sudah mau menggantikan saya. Oh, ya jadi kamu mau jadi asisten saya kan?

Ria : Iya pak saya coba dulu sambil mikir.

Dosen : Loh kenapa ga langsung bilang ya aja sih?

Ria : Masih belum yakin bisa menjalankan amanah dari Anda, pak.

Dosen : Owalah, oke saya tunggu aja. Ingat ya Ri kamu itu berbakat di bidang yang sulit bahkan mendapat penawaran bagus. Jangan ditolak ya!

Ria : Bapak kok maksa sih?

Dosen : Hehehe… kan saya baru terkesan sama cara kamu mengajar kemarin bener-bener efektif.

Dosen : Ditunggu jawabannya.

Ria : Iya pak.

Aku segera bersiap pagi ini, ga ada lagi waktu buat main-main. So ini kesempatan selain yang kemarin kan? Kalau aku bisa kenapa enggak. Semangat Ria pasti bisa. Ku kalungkan handuk di leherku dan segera masuk ke kamar mandi.

****

“Bagaimana ada yang ingin kalian tanyakan?” tanyaku pada seluruh penghuni kelas.

Seorang mahasiswa laki-laki yang duduk di belakang mengangkat tangannya.

“Ya, kamu silahkan!”

“Sejak kapan Anda menjadi asdos?”

Pertanyaan yang cukup menggelitik. Bisa-bisanya ada yang berpikir seperti itu. Baiklah aku akan menjawabnya agar tak ada rasa kecewa.

“Baru hari ini saya mencoba menjadi asdos. Memangnya kenapa? Kamu mau bilang saya tak berpengalaman?”

“Oh ya? Tapi kenapa Anda terlihat begitu lihai dalam hal ini?”

“Namanya juga asdos bro, pasti dosen udah milih yang terbaik. Masa iya mau diganti sama yang abal-abal. Jadi bego dong mahasiswanya,” sahut mahasiswa lain yang berada di barisan tengah.

“Jadi ada yang ingin ditanyakan lagi?”

“Saya,” jawab seorang dari barisan belakang lagi.

“Oke mau tanya apa?”

“Sebelumnya saya minta maaf karena saya ingin menanyakan pada ibu kalau ……”

Dia menjeda ucapannya membuat seisi kelas menjadi penasaran.

“Kalau apa bro?” sahut teman di sebelahnya.

“Masih single apa udah punya pacar?”

Sontak seluruh mahasiswa tertawa begitupun denganku. Aduh ada-ada aja, malah makin parah kelas ini ya. Kelas yang tadinya sepi jadi begitu riuh. Aku pun berusaha menenangkan mereka.

“Sudah! Sudah! Cukup!”

Mereka menurut suasana kembali tenang. Bertepatan dengan itu pula bel pergantian jam terdengar nyaring. Aku pun berpamitan pada mereka. Banyak dari pada mahasiswa yang seolah menahanku untuk mengajar di kelasnya. Entah apa pun itu alasannya tak akan membuat aku berhenti. Kan udah jelas waktunya matkul selanjutnya kenapa harus suruh tinggal di sana.

“Ibu belum jawab pertanyaan dariku lho,” bujuk mahasiswa tadi yang belum sempat aku jawab.

“Maaf saya tak ada waktu. Waktu mengajar saya sudah habis,” jawabku tegas.

“Silahkan menuju kelas selanjutnya!” perintahku. 

Mereka pun menurut apa yang aku katakan.

****

“Gimana Ri, hari pertama ngajar?”

“Yah gitu deh Fin.”

“Kenapa sih lo kok bete banget deh?”

“Kepikiran itu.”

“Apaan woy yang jelas kalau ngomong tuh!”

“Dia,” jawabku pendek.

“Siapa? Siapa dia? Dia siapa maksud lu? Waaah dah punya someone ya terima nggak ya cie….”

“Apaan sih lu pede banget deh sama jawabannya.”

“Lha terus apa Ri?”

“Itu tawaran jadi asdosnya?”

“Terima aja kali Ri lumayan dapat uang jajan loh, bujuknya.”

“Tapi…”

“Ah lu tuh ya kebanyakan mikir ini itu dah.”

Fina pun beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke luar kantin.  Aku memanggilnya tapi dia malah semakin menjauh. Yah marah deh si Fina. Tiba-tiba seorang satpam berjalan menghampiri mejaku.

“Dengan mbak Ria dari Prodi kimia.”

“Iya benar saya pak ada apa ya?”

“Ada titipan dari cogan.”

“Hah cogan? Saya ga ada cowok pak.”

“Maksud saya tadi itu orangnya ganteng.”

“Oh…”

“Mari mbak ikut saya!”

Aku hanya mengangguk lalu mengikuti di belakang satpam itu.  Sesampainya di pos tempat dia berjaga, dia mengambil sebuah kotak berwarna biru yang bertuliskan namaku. Siapa yang ngirim kek gini ke aku?

“Ini mbak titipannya, katanya sambil menyerahkan kotak biru.”

“Oh, ya pak makasih ya, ucapku sambil menerima kotak biru itu.”

Aku menelitinya dengan seksama. Ga ada nama pengirimnya? Tak beberapa lama ponselku berbunyi. Aku melihat ada pesan masuk dari Ryan.

✉️ Udah diterima kan kotak warna birunya. Warna kesukaan kamu kan?

Deg! Apa ini?

✉️

Ria : Udah kok. Ini dari kamu kak?

Ryan : Iya. Jangan lupa dibuka nanti ya pas udah pulang!

Ria : Iya, makasih ya kak.

Ryan : Masih panggil aku kak?

Ria : Iya, kan tua kamu.

Ryan : Ya udahlah terserah penting kamu nyaman aja.

Ria : Maksudnya nyaman apa?

Ryan : Ya manggil aku pakek kak gitu lho.

Ria : Oh.

Ryan : Udah ya bye. Jangan lupa kalo ada waktu luang kabari aku ya! Ada hal penting yang mau aku omongin sama kamu.

Ria : Hal penting apa ya?

Ryan : Rahasia.

Bener-bener nih orang bikin penasaran aja. Padahal dulu aku juga ga ada urusan sama dia kecuali belajar. Yah, bisa jadi urusan bimbel atau apalah itu. Pokoknya tentang belajar. Dasar manusia haus belajar. Eh, iya sampai lupa aku dia kan Master MaFiKi (Matematika Fisika Kimia). Dahlah lupain aja dulu lagian masih ada urusan lain.

Aku segera memasukkan kotak itu ke dalam tas dan bergegas Kembali ke kelas. Sesampainya di kelas aku menyandarkan punggungku yang lelah di kursi. Tak lama kemudian penghuni kelas mengerumuniku.

“Ada apa?” tanyaku.

“Lu yang ngajar malah duduk di sini,” jawab Gery.

“Oh iya, lupa gue kalo masih ada kelas,” kataku sambil menepuk jidat. 

Setelahnya, aku berjalan menuju meja di depan. Untunglah aku bisa handle semua tugas Pak Budi hari ini. Lumayan buat latihan siapa tahu berguna nantinya. Aku menjelaskan kelanjutan dari materi hari kemarin. Seru kan kalo aku yang ngajar? Apa lagi sesi tanya jawab sebentar lagi bakal ku buka.

“Oke, semua sampai di sini paham?”

Seisi kelas menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

“Apa ada yang ingin ditanyakan?”

“Saya!” ujar Gery.

“Oke, Gery silahkan bertanya!”

“Kapan kita bakal ada praktikum untuk matkul ini?”

“Oh, kalau itu bisa ditanyakan pada Pak Budi karena beliau adalah dosen biokimia, sedang saya hanyalah asistennya yang menggantikan beliau pada hari ini.”

Kelas biokimia selesai untuk hari ini. Saatnya pulang yey. Alhamdulillah semuanya lancar. Para mahasiswa mulai meninggalkan ruang gerah mereka. Di sudut-sudut kampus terlihat segerombolan mahasiswa sedang berdiskusi. Yah meski ini kampus teroke di Jogja kerjasama masih perlu lah ya. 

Dari belakang ku dengar langkah kakinya. “Pasti ni orang mau ngagetin aku,” batinku. Setelah cukup memperkirakan jarak dia sudah dekat, aku berbalik dan mendapati Fina sedang bersiap mengejutkanku.

“Yah ketauan lagi deh,” ujarnya sambal memanyunkan bibir.

“Apa?” kataku pura-pura tak mendengarnya.

“Nyebelin ah lu. Mau pulang aja deh gue,” kata Fina sambil berjalan mendahuluiku.

“Eh Fin tungguin!” teriakku sambil berlari mengejarnya.

Setelah berhasil menjajarinya aku hanya diam begitupun Fina. Sampai akhirnya kami sampai di depan area kost putri. “Dia masih diam kenapa?” batinku. Aku pun tak menghiraukannya lagi. Lebih memilih menuju tempatku dari pada mengikutinya. Entahlah rasanya tubuh ini begitu lelah hingga meronta ingin segera istirahat. Untung juga hari ini ga ada kegiatan.

****

“Kenapa sih harus dia? Apa ga ada yang lain gitu? Gue kan juga bisa kali jadi pacarnya,” oceh Fina di dalam kamarnya.

Ini bermula saat orang yang bernama Aldi terus bertanya tentang Ria padanya. Dan diakhir perbincangan Aldi mengatakan bahwa dirinya menyukai Ria. Dunia Fina seolah runtuh seketika, tapi dia bisa bertahan hingga Aldi pergi meninggalkannya.

“Kenapa harus Aldi yang suka sama Ria? Yang suka sama dia kan gue,” celetuk Fina sambil memukuli bantalnya.

“Ih… sebel, sebel, se…be…l….” 

****

Di kamar yang selalu ku tempati kini menghadirkan nuansa baru. Ya rasanya masih seperti mimpi kalau aku baru saja selesai menggantikan beliau mengajar. Saat sedang asik membayangkan kalau aku benar menerima tawaran menjadi asdos. Entah apa yang bakal terjadi? Bunyi ponselku membuyarkan imajinasiku.

✉️

Ryan : Udah sampe rumah belum? Dibuka dong kotak birunya! Wkwkwk.

Ria : Iya, iya. Ini baru mau dibuka.

Aku segera merogoh tasku. Ku keluarkan kotak biru itu, pemberian Ryan. Tumben banget baik. “Isinya apa ya?” pikirku. Aku segera membukanya dan terkejut bukan main. Sebuah boneka teddy bear yang sedang memegang hati bertuliskan “I Love You” dan sebuah kotak merah di atas hatinya. Aku mengambil kotak merah itu. Membukanya dengan perlahan dan ternyata isinya sebuah kalung berbentuk hati. Apa maksudnya dia kasih aku benda-benda seperti ini?

Aku membuka liontin hati itu. Di dalamnya terdapat tulisan “Izinkan aku ada untukmu” by Ryan. Aku tak percaya ini. Dia bakal ngomongin soal hati. Perasaannya padaku. Nggak-nggak boleh aku belum siap jatuh cinta.

Sebuah notifikasi pesan yang ku duga dari Ryan membuyarkan semua skenario di hatiku. Aku enggan jika harus membahasnya sekarang. Apa dia ga ngerti aku sejak awal? Entahlah, yang jelas aku tak mau mengontaknya dulu. Biar dia mikir sebenernya harus bersikap seperti apa padaku. Masa iya baru kenal gitu aja udah mau main hati.

Aku menyimpan kotak biru pemberian Ryan. Berharap itu semua hanya candaannya saja. Mencoba menaklukkan hatiku ya? Coba aja kalo bisa. Terukir senyum di wajahku. Lalu, pudar begitu saja. 

Sebuah Janji

Notifikasi pesan menghiasi layar ponselku. Pagi ini dipenuhi dengan suara itu. “Hih ganggu aja sih tu orang. Brisik tau,” gerutuku. Aku meraih ponsel itu mematikan datanya juga mengubah modenya menjadi senyap. “Gini kan enak,” kataku seolah masalah hati telah berlalu. Ini hari libur saatnya refresing dong gais. Aku segera bersiap untuk mengunjungi taman favoritku yang ada danaunya. Tak hanya itu pepohonan di sana juga rindang sangat cocok untuk bersantai. Udaranya pun sejuk. Di tambah lagi kita bisa menikmati kicauan burung yang berlalu-lalang di sana. Pokoknya mantap, bikin saraf rileks.

Aku segera bersiap untuk berkunjung ke danau favoritku. “Sudah rapi tinggal berangkat,” kataku dengan semangat. Ketika aku mengunci pintu kost, dia datang dengan tampang muram. Yah siapa lagi kalau bukan Fina. Aku menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tampak sama saja tapi kenapa?

“Fin lo kenapa?”

“Putus… Ri…” katanya lalu menghambur ke arahku. Dia memelukku seolah meminta kekuatan.

“Udah-udah jangan nangis lagi! Mending ikut aku ke danau yuk!” ajakku.

Dia melepaskan pelukannya lalu berjalan membelakangiku.

“Fin…”

“Aku mau sendiri dulu,” jawabnya tanpa menoleh.

Tubuhnya menghilang ditelan ambang pintu kost putri yang tak jauh dari tempatku. Aku menghela nafas berat. “Seandainya dari dulu lo dengerin apa kata gue,” batinku seolah menyesal membiarkan temanku menerima cinta dari laki-laki seperti dia. Aku menatap lagi kost Fina. Sepi, dia butuh waktu sendiri. Aku pun melangkah menuju halte bus.

“Kok lama sih?” keluhku karena tak ada bus yang kosong. Nyaris penuh semua. 

Wajarlah orang aku berangkatnya juga jam delapan pagi. Bis mah dah pada lewat. Harus nunggu sekitar satu jam. Baru juga 15 menit tapi rasanya udah kaya setahun. Aku menunggu bus di halte. Kepalaku tertunduk ke arah layar ponsel. Jemariku lihai membuka di setiap itemnya. Hingga sampailah jari ini menklik aktifkan data.

Tak butuh waktu lama, pesan-pesan itu mulai muncul di sana. “Ampun dah libur juga masih ada yang ganggu,” kataku. Seketika niatan bermain ponsel aku urungkan. Datanya mulai ku nonaktifkan kembali. Tanpa aku sadari ada sosok yang diam-diam mengintaiku. Namun, aku tak pernah menyadarinya. 

Jenuh sekali menunggu bus lewat. Jadi akhirnya aku menyetop salah satu ojek yang sedang lewat. “Pak pak pak berhenti dulu!” teriakku.

Dia berhenti di tepi jalan, aku langsung menghampirinya dan bertanya, “Bapak ojek bukan?”

“Iya kenapa dek?”

“Bisa anterin saya ke danau deket taman kota pak?”

“Bisa, bisa. Ayo naik!”

“Siap pak makasih,” jawabku sambil tersenyum girang.

Sesampainya di tempat tujuan. Aku turun dari motor ojek. “Berapa pak?”

“Sepuluh ribu dek.”

“Ini pak,” kataku sambil menyodorkan upah yang diminta. Selepas bapak itu menerimanya dia segera pergi. Sedang, aku menuju ke arah danau.

Tepat di tepi danau itu, aku terdiam menikmati udara yang begitu segar menyentuh wajahku. Setelah, puas aku berjalan ke kursi panjang yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku duduk di sana. Aku mengambil poselku dan seketika jiwa-jiwa fotografer menjalar di tubuhku. Berbagai objek yang menurutku indah segera ku potret. 

Tak jauh dari tempatku, seorang pemuda bertubuh jangkung mengedarkan pandangannya. Dan berhenti saat menemukan sosok yang tengah di carinya. Senyum tipis yang bisa memikat hati para wanita tertuju pada wanita di kursi panjang dekat dengan danau. Ia melangkah dengan mantap menuju ke arah wanita itu. “Dia pasti terkejut,” batinnya senang.

Aku tak menyadari ada seseorang di belakangku. Karena suasana begitu hening. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berdeham. “Ehemm…” refleks aku menoleh ke belakang dan menemukan sosok pemuda bertubuh jangkung sedang tersenyum manis ke arahku. Aku hanya menaikkan alis seraya berkata, “Maaf kamu siapa?”

“Pengunjung aja sih. Boleh duduk di situ?” tanyanya sambil menunjuk tempat kosong di sampingku.

Aku hanya mengangguk pelan. Dia pun menuju tempat duduknya. Dia menyandarkan punggungnya di kursi panjang. Aku heran kenapa dia terlihat bahagia sekali seolah menyembunyikan tawa.

“Kamu kenapa?” tanyaku.

“Ria ga ngenalin aku yah,” tebaknya sambil menatap kedua mataku.

“Eh… kamu tahu nama saya?”

“Iya,” jawabnya singkat.

“Maaf saya ga kenal kamu. Aku aja baru kali ini ketemu sama kamu. Masa belum kenalan udah tahu,” kataku dengan nada kebingungan.

“Bagaimana ya aku jelasinnya ke kamu?” katanya sambil berpikir. Aku masih diam saja menunggu penjelasan darinya.

“Aku pernah janji kan sama kamu…” ia menjeda ucapannya.

“Maksudnya janji apa?”

“Nemuin kamu di Jogja. Terus kalau aku beruntung bisa dapetin hati kamu. Ini kan masuk tantangan kamu kan?” jelasnya.

Aku mematung, mencoba mengingatnya. Rasanya aku pernah menantang seseorang tapi siapa? Sampai akhirnya aku teringat seseorang yang belakangan ini menghubungiku. Mataku terbelalak sambil menatap pemuda itu. Jariku mengarah padanya.

“Jangan-jangan kamu…”

“Kaa…muu…” kataku terbata-bata. Pemuda itu menaikkan satu alisnya. “Siapa?” tanyanya.

“Emm… Ryan bukan?” jawabku ragu.

Pemuda itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku menggeser posisiku. Namun, matanya menatapku tajam. Dia seolah ingin mengunci pandanganku.

“Iya…” katanya dengan yakin. Dia pun kembali ke posisi duduknya tadi.

“Kau tahu, aku berusaha ke sini hanya untuk menepati sebuah janji,” katanya masih menatap danau di depan.

“Lalu, kenapa hanya untuk satu hal saja kakak mau melakukannya?” tanyaku.

“Karena ada sesuatu yang tiba-tiba kurasakan,” jawabnya.

Usai menyelesaikan kalimatnya, dia menoleh. Aku sempat salah tingkah saat matanya menatapku penuh isyarat. Dia tersenyum sambil geleng-geleng. “Ga usah salting gitu!”

“Eh… apa? Salting? Siapa? Ngaco kakak nih,” elakku sambil berlagak baik-baik saja.

“Oh… kirain, tapi tadi itu kamu kaya…”

“Eh apa tuh di sana?” kataku mencoba mengalihkan perhatiannya dan berhasil. Dia tak melanjutkan ucapannya.

 Kak Ryan melihat ke arah yang kutunjukkan tadi. Dia berdeham, “Ehem… ga ada apa-apa juga,” katanya. Aku menurunkan tanganku. “Hehehe… maaf kak, bercanda,” kataku meringis. Dia membuang napas berat. Kemudian, menatapku lagi.

“Apa kamu udah dilamar seseorang?” tanyanya.

 Pertanyaan yang cukup mengejutkanku. Sampai-sampai aku bingung mau menjawab apa. “Eh… kalo itu…”

“Udah ada ya?” tebaknya dengan wajah sedih.

“Tanya ke orang tuaku aja kak!”

“Hmm… rumah kamu di mana?”

“Hah… ngapain tanya rumahku?”

“Lho tadi suruh tanya orang tuamu. Kok malah tanya balik.”

“Itu… maksudku…” aku menjedanya sambil mengetukkan jari telunjuk di pelipis.

“Kenapa? Ada masalah?”

‘Enggak, nggak ada.”

“Memangnya mau ke sana kapan?” tanyaku hati-hati.

“Sekarang. Gimana menurutmu?”

 Aku membelalakkan mata. Mulutku menganga namun, langsung kututup kembali. Seolah tak percaya dengan jawaban orang di sampingku ini. Seserius inikah dia?

“Ria…” tegurnya.

 Aku menoleh ke arahnya dengan ragu. Ku gigit bibir bawahku. Mataku mengisyaratkan ketegangan yang luar biasa.

“Kalo ada yang serius apa mau ditolak?”

“Itu sih tergantung kak.”

“Oh, ya. Apa aja yang bikin gantung?”

“Mungkin hatiku,” jawabku sambil menunduk.

“Ada yang kamu suka ya?”

 Aku terdiam. “Iya kak, ada dan orang itu sekarang ada di sampingku, tapi aku ngrasa ga pantes buat orang kaya kamu kak,” kataku dalam hati.

“Kalo memang ada, aku pengen ketemu dia. Bolehkan?”

 Aku mendongakkan wajahku. “Mau ketemu kak?” tanyaku memastikan. Dia mengangguk santai meski aku tahu dia sedih. Aku diam lagi.

“Boleh ga?” tanyanya lagi.

“Emm… anu. Masalahnya aku ga tau,” kataku jujur.

“Maksudnya dia ga ada di daerah sini atau gimana?”

“Bukan. Bukan itu kak.”

“Terus apa?”

“Aku ga tau siapa orangnya,” kataku jujur sambil menggigit bibir bawahku. Tanganku reflek menggaruk puncak kepalaku yang gatal.

 Kak Ryan yang mendengar jawabanku malah bingung. Dia terheran-heran padaku. “Maksudnya. Kamu ga tahu kamu suka sama siapa gitu,” tanyanya sambil mengangkat sebelah alisnya. Kemudian, dia tertawa kecil.

“I…i…iya gitu kak,” kataku sambil manyun.

 Pengakuanku seolah tak didengarnya. Kak Ryan justru malah tertawa lebih keras lagi. Aku gemas melihat tingkahnya yang tak menghargai pengakuanku. Tanganku terangkat ingin memukul lengannya, tapi dia begitu sigap dan langsung menghindar. Pukulanku hanya mengenai udara kosong.

“Udah dong kak. Aku dah ngaku juga, masa diketawain terus sih,” gerutuku.

“Habis lucu aja. Masa ada orang suka sama orang terus ga tau orangnya. Kan aneh hahaha…”

“Kakak…!” teriakku.

 Ryan tahu bahwa aku akan mengejarnya. Karena itu, dia berlari lebih dulu. Sungguh hal yang tak sepadan. Aku yang tingginya tak setara dengannya terengah-engah mengejarnya. Tubuh jankung dan kaki panjang tentunya membuat jarak yang lumayan jauh dariku. Adegan kejar-kejaran itu tak berlangsung lama. Aku menyerah karena lelah.

“Udah ah. Aku capek lari!” teriakku ke arah kak Ryan.

 Ryan hanya menoleh. Dia menghentikan langkahya dan berbalik menghampiriku yang duduk di atas rerumputan. Aku sengaja menundukkan pandanganku karena ada rencana kecil. Jarak Ryan cukup dekat dan dia berjongkok di sampingku.

“Maaf deh. Jangan marah ya,” ujarnya.

 Aku menatapnya tajam. “Masih marah tahuk,” kataku kesal. Ryan mengangkat alisnya dan tersenyum manis ke padaku. Disentuhnya pundakku dengan lembut seraya mengeluarkan rayuan manis, “Kamu mau apa? Aku beliin deh.”

“Serius?”

“Iyaa…”

 Tawaran menarik itu membuatku lupa pada rencanaku sebelumnya yang ingin memukulinya saat ada di dekatku. Aku berpikir sejenak lalu, terpintas sebuah ide mengerjainya.

“Aku mau kamu jadi supir,” kataku.

“Hah? Supir?” kata Ryan terkejut.

“Iya, kamu jadi supir aku jadi penumpang. Gimana?”

“Supir apa dulu nih?”

“Supirman hahaha…” kataku girang.

“Wah kamu ini ada-ada aja.”

“Iya benerkan. Supirman kan supir laki-laki. Hahaha…”

“Itu jadi supir perahu di danau itu lho kak. Ada perahu nganggur tuh,” lanjutku sambil menunjukkan tempatnya dengan jari telunjuk.

 Ryan mengikuti arah tanganku. Dia melihat perahu kecil yang tertambat di sana. Sedetik kemudian dia mengiyakan permintaanku itu. Aku tersenyum girang. “Kali ini ga akan gagal deh. Aku ceburin kamu ke danau,” pikiran licikku. Kami segera mendekati perahu itu. Aku menaikinya kemudian, disusul oleh Ryan. Dia berada di belakang sibuk melepas tali pengikatnya. Selanjutnya, dengan tenang dia mendayung.

 Aku diam-diam menyusun strategi untuk menceburkannya. Namun sebelum rencana itu terlaksana, seekor katak melompat ke dalam perahu. Aku berteriak-teriak seperti orang gila sambil berjingkat-jingkat di ujung perahu. Ryan memperingatkanku untuk tak terlalu menepi, tapi aku sudah terlanjur panik. Tubuhku limbung lalu, masuk ke dalam air.

 Ryan bertindak cepat saat aku hanya bisa melambaikan tangan. Samar-samar dia mendengarku yang meminta tolong karena memang aku tak bisa berenang. Dia melepas jaket dan sepatunya. Dia langsung menyambut air danau yang hampir menelanku hidup-hidup. Kesadaranku pun menghilang. Sesaat kemudian, tubuhku sempurna masuk ke air tiba-tiba saja terangkat oleh lengan seseorang.

 Ryan membawa tubuhku yang lemah ke tepian. Dia membaringkanku di tepi danau. Ditekan-tekannya perutku dengan sekuat tenaga. Air yang masuk ke tubuhku keluar. Mataku terbuka, Ryan membantuku duduk. Belum sempat dia bertanya mengenai keadaanku, aku sudah memeluknya erat.

“Aku takut…” kataku terisak.

“Udah ya. Tenang! Ada aku di sini,” balas Ryan sambil mengelus punggungku dengan lembut.

 Aku masih memeluknya bahkan lebih erat dari sebelumnya. Rasanya aku benar-benar takut. Selepas pelukan itu terurai, aku meminta maaf padanya. “Maaf kak tadi aku…” belum selesai aku berucap, Ryan seolah mengerti maksudku. Dia mengatakan, “Iya gapapa kok. Santai aja.”

“Dia menjawab seolah semua baik-baik aja padahal, aku tadi memeluknya dengan erat. Apa itu pantas dibilang gapapa?” batinku.

“Aku anter kamu pulang yah,” tawarnya.

 Aku hanya mengangguk lemah sambil mengiyakan tawarannya. Sementara itu, orang yang melihatku nampak setuju beranjak ke danau lagi untuk mengambil barang-barang yang masih tertinggal di perahu.

“Ini tas kamu,” katanya sambil mengulurkan tasku.

 Aku menerimanya. Ryan memakaikan jaketnya di tubuhku. Sontak saja aku kaget dan langsung menolaknya secara halus. “Enggak usah kak,” kataku.

“Udah pake aja! Gapapa kok. Dari pada kamu masuk angin,” jawabnya penuh perhatian.

“Makasih kak, tapi nanti kakak yang masuk angin.”

“Ya gapapa dong.”

“Lho kok gapapa?”

“Iya gapapa penting kamu enggak,” tegasnya sambil memamerkan senyum manisnya.

“Soalnya kalo aku sakit, kamu bisa nemenin aku nantinya,” lanjutnya.

“Apa?”

“Biasa aja kali. Ga usah ngegas gitu.”

“Maksudnya apa tadi ngomong gitu?”

“Ya, cuma seandainya aja sih.”

“Seandainya apa lagi? Ih kamu tuh ya nyebelin tau kak,” kataku mulai kesal.

“Seandainya suatu saat nanti kita beneran bisa sama-sama dalam satu ikatan suci yaitu sebagai keluarga,” ucapnya tegas penuh dengan percaya diri.

“Idih ngarep amat,” kataku lalu, beranjak meninggalkannya.

 Ryan yang tadi dalam posisi jongkok juga segera beranjak menyusulku. Aku memang tak mampu berlari karena tubuhku rasanya tak punya energi. Dengan waktu cukup singkat Ryan sudah di sampingku dengan tangan kiri membawa sepatunya.

“Kok aku ditinggal sih?” katanya penuh nada manja.

“Ga penting,” kataku sambil menatap matanya tajam.

“Apa kamu bilang, aku ga penting?” sahutnya dengan wajah dibuat-buat seperti orang terkejut.

“Iya…”

“Aku tadi yang nolongin kamu. Apa kamu lupa?”

“Ga,” jawabku cuek.

“Terus maksudnya ga penting apa?”

“Ga penting buat ditungguin,” teriakku di telinganya.

 Aku segera mempercepat langkah ke tempat parkir. Sementara, dirinya masih mengelus-elus telinganya yang nyaris tuli akibat teriakkanku tadi. Ryan pun segera menyusulku. Nampaknya dia sudah tertinggal jauh dan aku menunggunya. Tiba dirinya di depanku, aku langsung memerintahkannya menyiapkan kendaraan untuk pulang. Sudah seperti ratu saja yah.

 Ryan hanya menurut saja dengan perempuan ini. Dia segera memasuki mobilnya dan memposisikan dengan benar. Lalu, mobil itu melaju ke tempat seseorang itu berada. Diberhentikannya mobil itu tepat di sampingku. Jendela itu terbuka, menyajikan wajah tampannya. Aku sempat terpana namun, segera sadar saat dia meneriakiku untuk masuk.

 Aku memasuki mobilnya dan duduk tepat di sebelahnya. Sepintas aku meliriknya. “Kenapa dia keliatan ganteng banget sih?” batinku. Ryan menyadarinya dan langsung mengangkat sebelah alisnya. “Apa liat-liat?”

“Nggak kok, ga usah kepedean deh. Siapa juga yang mau liatin kamu,” kataku sambil menjulurkan lidah.

“Awas ya nanti kalo beneran suka sama aku,” ancamnya.

“Bakal aku…” lanjutnya dengan gerakan tangan memenggal leher.

“Astaga jahat banget,” kataku dengan tampang cemberut.

“Ga kok bercanda aja. Mana mungkin aku jahatin kamu.”

 Selepas mengatakan itu, Ryan melajukan mobilnya. Dia menyetir dengan fokus. Aku jadi tidak enak kalau mengganggunya. Jadi sepanjang perjalanan aku hanya diam kecuali dia bertanya sesuatu. Di tengah perjalan Ryan mengatakan bahwa akan mengajakku ke butik karena baju kami sama-sama basah kuyup. Karena aku hanya penumpang jadi ngikut kata dia aja dari pada nanti diturunin di tengah jalan.

 Aku mulai jenuh karena dia tak mengajakku ngobrol lagi. Akhirnya aku mulai mengajaknya bicara. Meskipun, kami terlihat canggung.

“Berapa lama lagi?”

“Bentar lagi kok,” jawabnya santai.

 Kurang lebih lima menit kami tiba di pelataran sebuah butik ternama di Jogja. “Eh ya ampun gila nih orang masa di sini. Bisa-bisa tekor gue,” pikirku. Setelah mesin mobil mati, kami segera turun. Untung sedang sepi ga kebayang kalo rame ada dua orang masuk dengan pakaian basah kuyup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!