NovelToon NovelToon

Dua Bilah Yang Tak Menyatu

Bangsa penjajah

Varaya, siapa yang tidak tahu sebuah bangsa besar yang menguasai benua tengah. Setidaknya 30 tahun terakhir siapapun yang mendengar nama kekaisaran itu akan langsung lari terbirit-birit.

Varaya adalah salah satu ras berpopulasi paling besar di dunia. Mereka identik dengan rambut pirang dan mata hijaunya. Sejak 1000 tahun lalu ras ini mendirikan sebuah kekaisaran besar yang menjadi negara adidaya sampai saat ini.

Ras Varaya memiliki keyakinan kuat bahwa mereka adalah keturunan para dewa sedangkan manusia yang lain adalah makhluk gagal yang berkasta dibawah mereka dan menganggap seluruh umat manusia harus tunduk dibawah kaki bangsa ini. Karena keyakinan itulah, 30 tahun lalu bangsa Varaya berani memulai invasi ke seluruh dunia.

Satu persatu kerajaan mulai runtuh. Entah kerajaan dari benua barat, benua timur, maupun benua selatan. Semuanya tak luput dari invasi besar-besaran bangsa Varaya.

Pembantain, penjajahan, perbudakan, dan pemerkosaan sudah menjadi hal biasa semenjak perang berkecamuk. Selama 30 tahun lamanya lebih dari 70 juta manusia seluruh dunia termasuk wanita dan anak-anak yang tak berdosa tewas tak terkecuali seluruh anggota klanku yaitu klan Akaichi.

Klan yang terkenal berkat keahlian mereka dalam mengaktifkan energi sihir. Klan Akaichi tinggal di puncak bukit Lurv di barat wilayah kekaisaran Varaya.

Energi sihir sendiri hanya sebutan untuk mereka yang punya semacam energi langka di tubuhnya. Tapi tidak seperti di dongeng-dongen, energi sihir hanya bisa digunakan untuk meningkatkan fisik, kecepatan, dan indra pada pemiliknya. Butuh kosentrasi tinggi dan bantuan obat-obatan untuk dapat menggunakan energi sihir. Karena itu, walau ada orang awam memiliki bakat energi sihir, tanpa ditempa energi itu tidak akan berguna.

Awalnya klan kami bisa hidup aman karena rutin membayar pajak kepada Varaya setiap 3 bulan. Kami bahkan mendapat perlindungan. Tapi, saat umurku baru menginjak 5 tahun, Varaya mengingkari perjanjiannya dengan klan kami.

Mereka menyerbu tempat kami dan membantai semua anggota klan Akaichi. Alasan mereka membantai klan Akaichi cukup konyol. Hanya karena ramalan pendeta agung mereka yang mengatakan bahwa klan Akaichi adalah ras keturunan iblis karena seluruh anggotanya mampu menggunakan energi sihir dan suatu saat akan melawan bangsa suci Varaya.

Semua anggota klan Akaichi yang berhasil hidup melarikan diri ke segala arah. Tapi itu tak berlangsung lama karena kaisar Varaya mengadakan saimbara besar-besaran kepada tentaranya. Bagi siapa saja yang bisa membawa kepala anggota Akaichi akan diberikan hadiah besar.

Beruntungnya, aku berhasil kabur bersama ibuku. Ibu membawaku lari menuju kerajaan Magolia. Kami hampir sampai di wilayah Magolia sebelum akhirnya para pasukan pemburu dari Varaya berhasil mengejar.

Dan saat itu terakhir kalinya aku dapat melihat wajah ibu. Demi menyelamatkanku, ibu rela melawan para pasukan itu sendirian. Berkat ibu aku berhasil berlari masuk ke wilayah Magolia dan dari kejauhan aku melihat ibu yang diperkosa dan dibunuh dengan kejam oleh para pemburu itu.

Pemimpin dari pasukan itu berteriak padaku sambil menunjukkan kepala ibuku. Dia mengatakan, " Jika suatu saat kau ingin balas dendam maka carilah aku! Namaku adalah Julius! Salah satu petinggi militer kekaisaran Varaya! Datanglah dan akan ku pertemukan kau dan ibumu di neraka! "

Saat itu darahku mendidih, aku benar-benar marah tapi aku sadar aku tak bisa apa-apa. Aku hanya memekik memanggil ibu yang sudah tergeletak dengan keadaan kepala dan tubuh terpisah. Sejak hari itu aku tidak pernah lupa nama maupun wajah si pembunuh ibu.

Di tengah hujan deras aku diselamatkan oleh pasukan Magolia. Mereka juga menguburkan ibuku dengan layak di perbatasan itu. Aku dibawa menuju ibukota Magolia dan dirawat di panti asuhan. Baru beberapa bulan di panti asuhan, aku pun di adopsi oleh baginda ratu kerajaan Magolia bernama ratu Isabella. Mungkin banyak yang berpikir jika aku akan dijadikan anaknya tapi semua itu salah besar. Aku di adopsi untuk dijadikan seorang prajurit yang hanya patuh akan perintah baginda ratu. Bukan hanya aku seorang tapi ada ratusan anak seumuranku yang juga di adopsi dari berbagai panti asuhan.

Diumurku yang baru 5 tahun, masih mustahil bagiku diikut sertakan dalam pelatihan khusus dari baginda ratu. Aku pun di asuh sementara oleh seorang dokter istana sampai umurku 9 tahun barulah pihak baginda ratu membawaku lagi.

Aku bersama anak-anak yatim yang seumuran dibawa ke sebuah ruangan bawah tanah yang luas dan pengap. Di sanalah kami ditempa menjadi prajurit yang bernaung dibawah baginda ratu.

Latihan keras yang melebihi batas wajar manusia selalu kami rasakan tiap hari. Siksaan demi siksaan hampir setiap jam kami terima dan itu menjadikan kami prajurit tangguh yang tak takut akan rasa sakit bahkan kematian.

Selama 8 tahun kami dikurung dan dilatih dalam ruang bawah tanah hingga akhirnya kami diresmikan menjadi prajurit sebenarnya dan keluar dari tempat mengerikan itu. Baru saja keluar dan bebas, saat itu kami langsung diberikan misi sangat berat. Misi kami adalah mendukung kudeta baginda ratu kepada raja Magolia.

Kami generasi kedua yang beranggotakan 100 orang diperintahkan mengepung istana dan terjadilah malam berdarah. Malam di mana untuk pertama kalinya aku membunuh manusia. Ya, kami mengepung dan menghabisi sekitar 300 prajurit pendukung raja Magolia. Bagaikan kawanan singa yang kelaparan, kami benar-benar menggila saat itu. Membunuh secara beringas dengan hanya bermodalkan sebilah pedang.

Misi kudeta itu sukses hanya dalam satu malam saja dan baginda ratu berhasil membunuh suaminya sendiri. Ratu menceritakan kepada kami alasan dia melakukan kudeta karena raja Magolia berencana beraliansi kepada kekaisaran Varaya demi keselamatanya sendiri dan melupakan konflik 30 tahun yang sudah merenggut banyak nyawa orang Magolia.

Raja Magolia bersama para menterinya tidak peduli apa yang akan terjadi pada rakyat Magolia, karena itulah baginda ratu muak dan memilih jalan keji ini demi terus melindungi para rakyat dan demi menghormati para prajurit Magolia yang terus berperang mempertahankan Magolia dari invasi Varaya.

Memang saat masih diperintah raja, Magolia mengalami kemunduran pesat dari segala bidang terutama bidang militer dan ekonomi. Selain itu, pasukan Magolia berulang kali berhasil dikalahkan Varaya dan membuat beberapa wilayah Magolia jatuh ke tangan Varaya.

Sedangkan sejak baginda ratu mulai memimpin 2 tahun lalu, Magolia kembali pulih sedikit demi sedikit. Meski begitu, para pejuang Magolia masih belum berhasil merebut satupun wilayah yang sudah Varaya duduki.

Dan 2 tahun yang lalu juga setelah pengangkatan baginda ratu sebagai pemimpin yang baru, kami para ksatrianya ratu generasi kedua secara resmi dikirim ke medan perang dengan mengemban misi penting yaitu misi sabotase dan asasinasi para tokoh-tokoh penting di garis belakang Varaya.

Oh ya aku lupa belum memberitahu nama pasukan tempatku berada. Nama pasukan kami adalah Faks atau pasukan rubah. Kami adalah salah satu pasukan khusus kerajaan Magolia. Faks sudah memiliki 2 generasi dan jarak antara generasi pertama dengan kedua adalah 14 tahun.

Alasan jarak yang jauh antara generasi 1 dan 2 karena saat itu pasukan Faks hanya bertugas mengawal baginda ratu saja dan misi yang mereka dapat hanya sebatas misi mata-mata dan sabotase. Berbeda dengan generasi kami yang mengemban misi lebih berat.

Pasukan yang identik dengan jubah dan tudung hitam dengan topeng binatang ini anggotanya adalah para anak laki-laki yatim piatu korban peperangan. Biasanya dari ratusan anak hanya dipilih 100 anak saja yang  memiliki energi sihir. Dulu saat di pelatihan, kami disuntikan obat pernagsang energi sihir. Itu adalah obat paling menyakitkan yang pernah kuterima. Sekali suntikan jika memiliki energi sihir akan langsung mengalami demam tinggi semalaman.

Sementara yang tidak bereaksi apa-apa akan di rekrut pasukan-pasukan khusus lain seperti pasukan penjaga istana, penembak jitu, dan beberapa bergabung sebagai infantri biasa.

Setiap generasi, pasukan Faks terbagi dalam 10 regu dengan misi yang berbeda-beda. Dalam 1 regu beranggotakan 11 orang dimana 10 orang dari generasi kedua dan 1 orang lagi adalah kapten.

Generasi kami dikirim 7 tahun setelah generasi pertama dinyatakan selesai dalam bertugas. Para mantan pasukan Faks generasi pertama dijadikan sebagai pasukan veteran dan beberapa anggotanya yang memiliki reputasi bagus dijadikan pemimpin atau kapten untuk regu pasukan Faks generasi kedua.

Jika para pasukan lain berperang di garis depan menghadang musuh, maka kami berperang dibelakang garis musuh. Sudah tak terhitung berapa jumlah musuh yang berhasil kami tumbangkan selama 2 tahun terakhir. Aku sendiri bahkan sudah tidak bisa menghitung seberapa banyak musuh yang mati ditanganku.

Meski begitu rasa ketakutan, keraguan, penyesalan, dan rasa bersalah selalu menusuk-nusuk hati saat aku membunuh seseorang seakan mereka mengutukku dan mempertanyakan mengapa aku merenggut nyawa mereka. Rasanya aku ingin berhenti saja dalam perang ini tapi tidak bisa. Mau tidak mau aku bersama para pejuang yang lain harus terus berjuang demi melindungi para rakyat Magolia yang menaruh harapan mereka pada kami.

Aku sendiri juga harus membalaskan kematian ibuku. Meskipun rasa mimpi buruk ini terus muncul, tapi demi balas dendam dan demi kebebasan Magolia, aku harus terus berjuang melawan bangsa Varaya biadab itu.

^^^To be continue.^^^

Akhir misi regu satu

Angin sepoi menerjang dari arah barat, menghempas udara dingin beriringan dengan gerak mendung gelap yang menaungi 7 gundukan tanah di atas bukit berumput kering nan jarang ini. Di samping gundukan, aku bersama 3 anggota regu 2 Faks berdiri terdiam membisu menatap dengan penuh duka di mana rekan kami bersemayam di dalam tanah ini 5 bulan lalu.

Ya, 5 bulan lalu semua pasukan Faks mendapat misi bunuh diri. Misi yang mustahil saat kami yang hanya berjumlah 110 orang harus menghadang pasukan bantuan Varaya berjumlah 10 ribu orang menuju garis depan.

Memang mustahil 100 orang bisa melawan 10 ribu karena itulah aku menyebutnya misi bunuh diri. Berkat perangkap yang kami pasang dan perlawanan yang kami lakukan secara gerilya mengikis pasukan Varaya sedikit demi sedikit. Misi kami bisa dibilang sukses karena pasukan bantuan Varaya membatalkan misinya dengan kehilangan kurang lebih 1.400 prajurit meski kami harus membayar mahal dengan gugurnya 51 anggota Faks dari berbagai tim.

Dan bukit ini adalah tempat biasa kami berkumpul setelah menjalankan misi. Bukit yang dulu ramai oleh keberadaan 11 orang sekarang hanya tersisa 4 orang saja.

Elmor, Waine, Elias, Kastor, Darvan, Conrad, dan Ralfe. Kalian adalah para pahlawan, perjuangan kalian mamang tidak akan didengar oleh rakyat Magolia. Tapi, bagi kami anggota pasukan Faks, kisah perjuangan kalian akan terukir selamanya di hati dan ingatan kami. Istirahatlah dengan tenang kawan-kawan. Perjuangan kalian akan terus kami berempat lanjutkan.

***

Oh ya, Pria di depanku ini adalah kapten Alvar. Seorang mantan regu 1 pasukan Faks generasi pertama dan sekarang menjabat sebagai kapten regu 2 pasukan Faks generasiku. Dia adalah sosok yang sangat disegani sekaligus dikagumi oleh para pasukan Faks. Dari semua anggota pasukan, kapten Alvar adalah yang terkuat. Dia juga pintar dalam bidang arsitektur dan strategi perang. Tak heran jika baginda ratu selalu memberikan perlakuan khusus untuk kapten.

Di sampingku ada si badan besar berkulit coklat bernama Daylen. Dia tidak pernah berbicara kecuali saat mempunyai informasi penting. Dengan tinggi badan 190 cm dan berotot membuatnya mendapat julukan hantu banteng.

Lalu di samping kiri kapten adalah Gideon. Dia berperawakan kurus tinggi. Gideon dijuluki si mata elang karena ketajaman matanya melebihi manusia pada umumnya. Bakat yang luar biasa bukan? Dengan mata setajam itu, Gideon bisa membidik dan menembak musuh menggunakan senapan dari jarak jauh. Selain itu, dia juga bisa menggunakan semua jenis senjata dengan sangat baik. Berbeda denganku yang hanya bisa menggunakan belati, pedang, dan senapan api walaupun bidikanku lumayan buruk. Sikurus ini adalah adik dari Daylen.

Berbicara soal senjata api, sudah 100 tahun lalu senjata api mulai menjadi senjata utama para militer di seluruh di dunia. Zaman dulu senapan api paling populer adalah senapan lontak atau musket. Senapan laras panjang yang menembakkan 1 peluru bola timah kecil dan harus diisi ulang setelah sekali tembak.

Berbeda dengan sekarang, senapan api mulai berkembang dengan ditemukanya versi semi otomatis yang bisa diisi 5 sampai 7 peluru tajam atau bahkan senapan otomatis yang bisa menembakkan puluhan butir peluru hanya dalam sekali tarikan. Tapi, senjata otomatis ini sangat terbatas produksinya semenjak Varaya menginvasi.

Senjata api otomatis di Magolia saja hanya berjumlah 90 ribu pucuk. Sisanya masih menggunakan pedang dan senapan semi otomatis. Begitu juga dengan kerajaan-kerajaan lain yang sampai sekarang masih terus berjuang menghadapi Varaya. Minimnya penemuan senjata baru ini juga tak terlepas dari tragedi pilu yang menimpa para ilmuan dan orang-orang jenius penemu alat-alat modern.

Tepatnya 19 tahun silam di mana tahun itu digadang-gadang sebagai awal zaman modern. Banyak penemuan-penemuan baru saat itu.

Saat Varaya memulai invasi, banyak para ilmuan yang diculik lalu dipaksa menciptakan senjata-senjata baru yang berguna bagi bangsa mereka. Bahkan tidak sedikit dari para ilmuan dibunuh karena gagal memberikan apa yang Varaya inginkan. Sedangkan para ilmuan tersisa berkumpul di ibukota kerajaan Gorgia yang baru saja diduduki Varaya dan menciptakan sebuah bom besar.

Mereka yang sudah jadi tahanan berpura-pura menerima tawaran kaisar Varaya agar kaisar mau menghadiri tempat pertemuan. Tentu saja kaisar mau dan saat sampai sana, mereka rela melakukan bunuh diri massal dengan meledakan bomnya. Ledakan besar meluluhlantakan ibukota kerajaan Gorgia. Saat itu korban jiwa mencapai 89 ribu orang termasuk para penduduk sipil, ilmuan dan kaisar Varaya sendiri

Setelah tragedi tersebut, kaisar Varaya yang baru menuduh adanya sabotase dan melancarkan serangan besar-besaran ke timur.

Setidaknya itulah yang pernah diceritakan orang tua angkatku di ibukota Magolia dulu. Meski begitu para ilmuan di luar sana masih terus berlomba-lomba dengan penemuan mereka. Listrik, lampu, senjata api semi otomatis, dan kereta api.

Ceritaku sepertinya kepanjangan. Sampai lupa jika kapten dan yang lain sudah berjalan menuruni bukit.

Aku bergegas turun untuk bergabung dengan mereka mengingat hari mulai gelap apalagi cuaca yang tidak mendukung membuat pergerakan kami sedikit melambat.

" Kita harus mencari goa, " gumam kapten saat aku berjalan menyusul.

" Kalau tidak salah ada ada goa di bawah pohon besar tadi kapten, " balas Gideon.

" Yoha, tolong carikan kayu bakar. Kami akan menunggumu di depan sana. " Perintah kapten padaku sambil menunjuk pohon besar di depan sana.

" Baik kapten. " Jawabku.

Aku memisahkan diri dan mulai memunguti ranting-ranting kering dan kayu-kayu yang bergeletakan di tanah. Tidak jarang aku menemukan selongsong peluru dan beberapa bayonet tua. Wilayah ini dulunya milik Magolia tapi berhasil dikuasai Varaya dan sempat terjadi perang besar disini. Karena itulah banyak sekali bekas-bekas senjata.

Baru 20 menitan, kayu yang ku kumpulkan sudah banyak bahkan terlalu banyak. Terpaksa aku hanya membawa setengahnya saja. Ku berjalan menyusuri jalan setapak yang berlumpur di tengah barisan pohon dengan daun berguguran. Tempat yang kutuju adalah goa di depan sana yang di maksud Gideon.

***

" Ini kayu yang ku kumpulkan. " Ucapku sambil berjalan memasuki goa dan langsung menjatuhkan kayu yang kubawa.

" Banyak sekali! Tapi baguslah kita bisa membuat api unggun yang lebih besar. " Sahut kapten. Dia lalu berjalan mendekati Gideon yang sibuk mengelap senapanya. " Gideon mana korek apinya? "

Si Gideon merogoh saku-sakunya dan sepertinya dia tak mendapati korek api. " Kapten sepertinya jatuh koreknya, "

" Hhh..., kau ini. Daylen tolong buatkan api dari kayu-kayu itu aku akan menyiapkan makanan, " Kapten mengambil tasnya yang tergeletak di dinding goa. Sementara Daylen juga mulai menggegeskan kayu-kayu kering.

Setelah beberapa menit, api unggunpun jadi. Yeah malam ini sepertinya akan lebih hangat daripada malam-malam sebelumnya dan aku bisa bersantai juga karena sejak pagi tadi kami belum mendapat misi baru. Harusnya misi terus dikirim setiap pagi tapi entah kenapa hari ini tidak ada.

" Ini makanlah! " Kapten datang membawakan sepotong ikan asin kering dan roti gandum yang sudah mulai berjamur.

Makanan yang sangat kubenci akhirnya datang juga. Aku tidak mempermasalahkan rotinya tapi ikan asin itu. Tidak tau kenapa sejak kecil aku tidak tahan dengan bau menyengat ikan asin. Aku juga tidak bisa menolak ikan asin yang disajikan kapten karena bagi orang-orang Magolia sangat tidak sopan jika tidak memakan semua makanan yang disajikan. Terpaksa aku harus memakanya sekarang.

Argh...

Benar-benar tidak enak rasanya. Rasa asin bercampur bau yang mengikat hidungku membuat mual. Aku segera menelanya dan melanjutkan memakan roti yang keras dan dingin ini.

" Ada apa Yoha? " tanya kapten. Sepertinya dia menyadari apa yang kurasakan.

" Tidak apa-apa kapten. " jawabku sembari mengunyah roti.

" Tumben sekali hampir seharian kita tidak mendapatkan misi, " pungkas Gideon.

" Kau benar. Mungkin ini juga efek dari cuaca yang sebentar lagi memasuki musim dingin. Berbahagialah! Saat musim semi nanti misi kita dinyatakan selesai, "

" Darimana kapten tau? "

" Ahaha..., sebenarnya sejak awal aku sudah diberitahu baginda ratu. Misi kalian tidak akan sampai 3 tahun. Kalian akan dipindahkan ke pasukan utama di kota Burga. " Ungkap kapten seraya memakan roti. " Gideon, memangnya apa yang mau kau lakukan jika sudah beralih tugas nanti? "

" Jika di Burga aku ingin hidup damai sejenak lalu menikah dan punya anak sebelum kembali ke medan perang kapten, " jawab Gideon sedikit membuat terheran. Sejak kapan sikurus itu mempunyai pikiran tentang pernikahan.

" Bagaimana denganmu Daylen? "

Daylen tersenyum lalu menunjuk ke arah Gideon yang berarti keinginannya sama dengan sang adik. Memang begitulah Daylen. Dia menirukan semua keinginan adiknya karena memang keinginan Gideon jika dibayangkan sangat membahagiakan.

Kapten menganggukkan kepala, " Lalu Yoha? "

Ditanyai pertanyaan seperti itu sedikit membuatku bingung harus menjawab apa. Pikiranku sejenak kosong saat kucoba menelaah pertanyaan kapten. Aku hanya bisa diam lalu menggelengkan kepala dengan sedikit kutaruh senyum di bibirku.

Kapten juga mengangguk lagi. Dia memang sangat paham dengan situasiku. Bagiku selain menjadi kapten dia juga sosok ayah bagi anggota regu 2. Dia memahami bagaimana sifat kami dan kondisi kami setiap hari. Selain itu, kebutuhan setiap hari juga kaptenlah yang menyiapkan. Memasak dan membeli berbagai kebutuhan semuanya kapten kerjakan. Dia tidak mau dibantu oleh siapapun bahkan jika ada yang tetap memaksa membantu pasti akan langsung dimarahi.

Karena itulah kapten merupakan sosok berharga bagi kami. Aku sendiri rela mati daripada harus kehilangan kapten. Selama di medan tugas, hanya dialah tempatku menumpahkan segala isi hati.

" Oh ya Gideon memangnya kau sudah punya pasangan untuk dinikahi? " tanyaku mencoba memecahkan keheningan yang kuciptakan barusan.

" Tentu saja! Sebentar..., " Gideon kembali merogoh saku. Sebuah foto kecil diangkat dari dalam sakunya dan ditunjukkan pada kami. " Ini dia! "

Di foto yang kulihat ada 2 gadis cantik yang kanan berambut panjang dan yang kiri juga berambut panjang berkepang sedang membawa tas berisi sayuran. " Yang mana? "

" Lihatlah yang kiri adalah pasanganku dan yang kanan milik Daylen, "

Aku tercengang sambil melirik Daylen dan bertanya-tanya bagaimana cara mendapatkan hati gadis secantik itu mengingat dia saja seorang pendiam dan pemalu dikeramaian.

" Kenapa diam? " tanya Gideon.

" Tidak apa-apa aku hanya terkejut. " Jawabku. " Sejak kapan kalian berdua bertemu dengan mereka? "

" Waktu kita ke kota Ankar untuk mengisi logistik sebelum misi bunuh diri itu. Mereka berdua ternyata ada di sana untuk membantu menyiapkan logistik yang dibawa dari kota Burga. Kami tidak sengaja bertemu dan berbincang-bincang cukup lama. Aku dan kakak berjanji pada mereka jika pulang nanti, kami akan menikahi mereka, "

" Ahahahaha..., aku juga terkejut kalian berdua sudah mendapatkan pasangan. Jangan lupa mengundangku dan keluargaku di pernikahan kalian, "

" Tentu saja kapten! aku pasti akan mengundangmu juga mengundang si lajang Yoha, " sindir Gideon sambil melirikku dengan senyum jahilnya.

" Yoha kapan kau akan menyusul mereka? " tanya kapten. Pertanyaan yang sekali lagi tidak bisa kujawab.

Aku menggelengkan kepala lalu berbaring, " Entahlah kapten. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta atau rasa suka kepada wanita. "

" Ngomong-ngomong kapten berapa anakmu? Kau belum pernah memberitahu kami sebelumnya, " sela Gideon.

" Anakku cuma 1 dan sekarang umurnya 10 tahun. Fisiknya sangat lemah tapi aku bersyukur kepintaranya seperti ibunya, " jawab kapten.

" Apa kapten mau memasukanya ke akademi militer? " tanyaku.

kapten tersenyum kecil lalu ikut berbaring. " Dia tidak pandai bertarung tapi sangat pandai mengotak-atik barang. Aku ingin dia menjadi seorang ilmuan suatu saat nanti. Cukup aku saja yang merasakan penderitaan perang ini aku tidak ingin menyeretnya juga. "

Aku tersenyum juga lalu mengangguk. Apa yang dikatakakan kapten benar. Generasi yang akan datang tidak perlu lagi merasakan peperangan ini.

Kami saling bertukar cerita sampai satu persatu dari kami tertidur kecuali diriku. Penyakitku sepertinya kambuh yang membuat tetap terjaga disepanjang malam yang dingin ini.

Aku menderita ptsd. Hampir setiap malam aku merasa arwah-arwah orang yang kubunuh datang dan berusaha balas dendam padaku atau memohon untuk mengampuni nyawa mereka. Sudah sejak 1 tahun lalu aku mengalami trauma ini. Misi keji yang harus membuatku begini dan aku berusaha untuk tidak mengingatnya.

Seperti sebelumnya, malam ini aku dibuat menyesal dan merasa bersalah. Tanpa sadar aku terus mengucap maaf dengan tangan gemetar. Sesekali aku memukul kepalaku sendiri berharap agar mereka keluar dari dalam.

" Kambuh lagi? " tanya kapten yang tiba-tiba menepuk pundakku.

Aku terkesiap lalu duduk sambil bersandar di dinding goa. Kuhapus sisa air mata yang membasahi wajah ini.

" Ini minumlah! " ucap kapten. Dia memberiku sebuah kotak kecil berisi beberapa kapsul.

" Ini apa kapten? " tanyaku sembari menerima pemberian kapten.

" Obat penenang. Aku mendapatkanya dari mayat prajurit Varaya yang kubunuh kemarin, "

" Terimakasih kapten! "

" Hmh..., baguslah aku mau lanjut ti- "

Belum selesai kapten berkata, samar-samar ku mendengar suara ledakan.

" Gideon! " panggil kapten.

Gideon yang tertidur langsung bangun dan tanpa basa basi lari keluar goa. Sudah jelas dia sedang menuju sumber suara ledakan itu karena memang sudah tugasnya.

" Yoha, Daylen, siapkan senjata kalian! Kita susul Gideon! " perintah kapten yang mengelap pedang dan pistolnya.

Aku pun mengecek senjataku. Merasa tidak yang bermasalah, segera menyusul Gideon lebih dulu untuk membawakan senjatanya.

Sepanjang perjalanan, semakin santer kudengar suara tembakan dan ledakan entah apa yang sebenarnya terjadi. Seharusnya daerah ini bukan jalur pasukan Varaya menuju garis depan peperangan.

Ku terus berlari, melompat dari pohon ke pohon lain hingga sampai di tebing batu tempat Gideon sedang tiarap sambil mengamati bawah dengan teropongnya.

" Apa yang terjadi? " tanyaku sembari berjalan mendekati Gideon.

" Ini gawat! " panik Gideon lalu memberikan teropong padaku. " Kau lihat sendiri! "

Aku mengintip ke bawah lewat teropong. Terlihat ada lebih dari 100 pasukan Varaya bersenjata lengkap yang membawa 3 kereta kuda aneh. Kereta kuda itu berbentuk kotak dan sepertinya terbuat dari baja dan setiap kereta ditarik 4 ekor kuda.

Ku alihkan pengamatanku sedikit ke arah kiri. Ku terkejut saat melihat regu 1 pasukan Faks. Saat ini regu itu hanya beranggotakan 2 orang saja tapi anehnya mereka berani menghadang pasukan Varaya secara terang-terangan.

" Kita harus membantu mereka! " kujatuhkan teropong Gideon. Aku tidak bisa membiarkan mereka melawan sendirian.

Tanpa sadar saat aku mau terjun dari tebing, Gideon tiba-tiba memegang erat kaki kananku. " Jangan gegabah! Kita harus menunggu perintah kapten! " desis Gideon.

Aku tetap tidak bisa. Hatiku terus memaksaku menolong mereka tapi memang disisi lain perintah kapten adalah mutlak. Selama kapten belum memberi perintah, aku tidak diizinkan bergerak.

" Jika kita biarkan, mereka berdua bisa mati! " ketusku.

" Yoha jika kau tetap memaksa, sesuai peraturan pasukan Faks aku harus membunuhmu! Sekarang diam di sini sampai kapten datang! Lagipula kau lihat sendiri mereka tidak butuh bantuan! " bentak lirih Gideon padaku.

Ucapan Gideon membuatku terdiam. Kali ini aku tidak bisa menjawab lagi. Aku kembali melihat ke bawah. Tepat di mana 2 pejuang berhadapan dengan 100 pasukan Varaya.Sementara di sisi lain salah satu pasukan Varaya menembakkan flare ke langit untuk memanggil bala bantuan.

Mereka saling pandang dan waspada. Pasukan Varaya dengan senjata apinya dan regu 1 dengan senapan dan pedang. Aku juga melihat regu 1 membawa tas besar yang entah isinya apa. Tak lama mereka berdua mengeluarkan pita merah dan mengikatkannya di kepala.

" Dia menyadari kita, " pungkasku seraya memejamkan mata sejenak.

" Mereka tidak butuh bantuan. Kita hanya bisa menonton sekarang, " balas Gideon mengambil senapan yang kutaruh di tanah.

Pita merah itu adalah tanda mereka akan bertarung sampai titik darah penghabisan dan tidak butuh bantuan dari siapapun. Kulihat pasukan Varaya walaupun bersenjatakan senapan otomatis, tapi mereka sepertinya tidak siap untuk bertarung terlihat dari beberapa diantara mereka gemetar memandangn topeng anjing dan monyet yang dipakai regu 1 Faks.

Suara tembakan mulai kudengar saat salah satu dari mereka bergerak maju dengan pedangnya. Gerakanya sangat cepat. Dalam beberapa detik saja dia sudah berhasil menebas 3 prajurit Varaya. Cara bertarungnya menggunakan pedang lebih hebat dariku. Ditambah kecepatannya yang membuat pasukan Varaya panik.

Sementara anggota lainya masih menunggu dibelakang. Dia mengeluarkan semua isi yang ada di tas dan ternyata isinya adalah puluhan bom dinamit. Dia melilitkan satu persatu bom itu dibadan.

Pandanganku beralih kembali ke yang sedang bertarung. Baru beberapa saat berpaling, setidaknya sudah 21 tentara Varaya gugur.

Kali ini tubuhnya penuh luka. Hampir sekujur tubuhnya terdapat luka tembak. Dia sudah mencapai batas. Memang sulit bertarung secara terbuka sendirian. Aku pun belum tentu bisa membunuh sebanyak itu jika diposisinya.

" Dia akan mengakhirinya, " kata Kapten yang tiba-tiba muncul di sampingku.

Aku menengok kapten sekejap lalu memfokuskan lagi ke bawah. Sesuai perkataan kapten, anggota regu 1 yang di belakang tadi mulai bergerak. Dia mengambil arah memutar dan berencana meledakkan diri dari belakang. Sedangkan anggota yang lain sibuk mengalihkan perhatian semua pasukan Varaya walaupun fisiknya sudah tidak kuat lagi.

Dia hanya biaa bertahan beberapa menit sampai sebuah bayonet menembus leher. Dan di waktu bersamaan...

...Boooom!...

Bom yang dibawa meledak tepat di kerumunan pasukan Varaya yang tersisa. Aku melihat jelas bagaimana ledakan itu menghamburkan banyak darah ke udara dengan beberapa bagian tubuh beterbangan.

Kepulan asap membumbung tinggi menyelimuti area pertarungan. Aku sebenarnya sangat ingin segera ke bawah tapi kapten mencengkram bahu kananku dengan erat. Aku hanya bisa menunggu sampai beberapa menit saat asap mulai menipis.

Mulai kulihat korban dari perang kecil itu. Mayat mereka berserakan dengan banyak anggota tubuh yang terpisah. Masih ada beberapa pasukan Varaya yang berhasil selamat dengan luka berat dan sepertinya mereka juga mengalami syok.

" Kapten apa kita bere- " perkataan Gideon berhenti saat terdengar suara kuda dari arah kanan.

Ternyata masih ada sekitar 40 pasukan Varaya dengan 1 kereta kuda. Dibelakang kereta kuda ada 2 wanita dan 3 laki-laki yang berlumur darah diikat dan terseret kereta kuda.

" Kapten. " pungkasku saat melihat 5 orang diseret kereta kuda.

" Mereka sepertinya terpisah. Kita harus menunggu. Aku khawatir flare tadi akan membawa pasukan bantuan, " jawab kapten.

" Mereka adalah penduduk Magolia kapten! Kita harus menyelamatkan mereka sekarang sebelum pasukan susulan mendekat! " sahut Gideon sambil mengokang senapan angin dan memasukan sepucuk peluru tajam.

Kapten melirikku dan Daylen lalu menarik pedangnya. " Yoha seranglah mereka dari belakang. Aku akan menyerang dari depan. Daylen, Gideon, fokuskan tembakan kalian ke arah prajurit Varaya di sana! "

Daylen dan Gideon mengangguk. Aku menanggalkan pedang panjangku. Lebih mudah bagiku bertarung dengan 2 belati.

" 1..., 2..., maju! " bisik kapten.

Ku segera berlari memutar lalu terjun ke bawah. Sementara kapten dia langsung menghadang pasukan yang tertinggal itu tanpa mempedulikan  pasukan Varaya yang berhasil hidup sebelumnya.

" Musuuuh...! " teriak salah satu prajurit Varaya.

Kapten mulai menerjang dari depan. Dia melibaskan beberapa kali pedangnya yang berhasil memutus kepala 2 prajurit Varaya.

Saat pasukan itu terfokus pada kapten, dengan secepat mungkin aku berlari lalu melempar 1 belati ke arah prajurit Varaya paling belakang.

...Jraak...!...

Yeah, lemparanku tepat menancap di kepalanya. Segeraku cabut belati itu lalu menikam beberapa prajurit yang lain.

Kapten melemparkan bom asap yang membuat prajurit Varaya dihantam ombak kepanikan. Ini adalah kesempatan. Aku berlari ke arah kereta kuda tadi. Ada 2 prajurit yang siaga menjaga 5 tawanan di belakang.

...Sriing...!...

...Jraak! Jraak!...

Aku melompat lalu menikam kedua prajurit itu. Segera kucabut belatiku dari tubuh mereka lalu melepaskan tali-tali yang mengikat para tawanan.

" Tetaplah diam di sini! Jangan bergerak kemanapun sampai kami kembali! " ucapku pada mereka.

Aku mengendap-ngendap dipekatnya asap putih ini. Ramai kudengar seruan prajurit Varaya yang diiringi suara tebasan pedang.

" Yoha merunduk! " pekik Gideon dari atas tebing. Tanpa pikir panjang kuikuti ucapanya.

...Sedetik setelah kumerunduk, seorang prajurit Varaya tergeletak disampingku dengan wajah berlumur darah....

Untung saja kami memiliki Gideon. Jika saja dia tidak ada mungkin bayonet panjang ini sudah menancap di punggungku.

" Jangan ceroboh Yoha! " sentak Kapten yang tiba-tiba ada dibelakangku.

" Maaf kapten, aku kurang fokus. "

" Mereka mulai mengepung kita. Ada 4 orang tepat di depanmu dan 7 orang di depanku. Habisi mereka biar sisanya Gideon dan Daylen yang membereskan! Maju! "

Sedetik setelah perintah kapten terucap, aku berlari maju sambil menyilangkan kedua belati. Samar-samar kulihat 4 orang yang dimaksud kapten.

Kusayat kaki mereka berempat sehingga mereka jatuh tersungkur. Saat aku mau membunuh mereka, tidak tau kenapa tanganku tiba-tiba gemetar. Aku mendengar suara berisik itu lagi di kepala. Langkahku terhenti, dadaku terasa sesak sampai membuatku tak sanggup berdiri.

Hentikan!

Hentikan suara berisik ini!

Aku benar-benar tak tahan lagi. Kulihat 4 orang tadi kembali berdiri walau tertatih-tatih. Mereka berjalan kearahku dengan bayonet yang menggesek tanah.

Aku mencoba bergerak tapi tak bisa. Suara ini benar-benar mengingatkanku pada orang-orang yang sudah kubunuh. Wajah mereka, darah mereka, jeritan dan rintihan mereka semuanya seperti kulihat dan dengar kembali.

" Mati kau disini Magolia sialaaaaan...! " pekik salah satu prajurit tadi. Dia mengayunkan bayonet ke arahku.

Aku hanya bisa menatap pasrah dan entah mengapa aku berharap bayonet itu benar-benar membunuhku. Dengan begitu aku bisa bebas dari suara bising ini.

...Dor! Dor! Dor! Dor!...

4 letusan peluru menembus kepala 4 musuh di depanku. Aku langsung syok dan ketakutan saat mereka tumbang.

" Yoha! Yoha! Tenang! " ucap kapten dari belakang memegangi bahuku.

Tak lama Daylen yang membawa senapan muncul dari kepulan asap. Ternyata dia yang menembak 4 orang tadi.

" Hey Yoha atur nafasmu! " ucap kapten sekali lagi mencoba menenangkanku.

" Kapte- "

...Jreb!...

Belum selesai kuberkata, tanpa sadar ada sebuah bayonet yang bayonet yang menancap di perut kiriku. Itu milik salah satu tentara Varaya di depanku. Dia belum benar-benar mati.

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Dalam keadaanku yang syok aku sudah kehilangan kontrol. Aku hanya terdiam rasanya sangat menakutkan saat kudengar banyak suara yang menyuruhku untuk mati. Sementara tubuhku perlahan mati rasa dan pandanganku memburam sampai akhir semuanya gelap seketika.

^^^To be continue^^^

Selamat tinggal Kapten

Rasanya sangat pusing sekali kepala ini. Kucoba membuka mata meski berat. Sepertinya aku pingsan atau aku sudah mati? Apa dunia kematian memang bersuhu sedingin ini dan sehening ini?

Saat mataku mulai terbuka, kusadar bahwa sekarang aku sedang terbaring di tanah. Samar-samar aku melihat seseorang berdiri disampingku sambil membawa obor.

" Syukurlah kau sudah bangun, "

" Gideon? " ucapku, menengok ke arah kiri dimana Gideon sedang membersihkan senapanya.

" Untung saja kita masih memiliki sisa alat medis dan benang untuk menjahit lukamu, " tandas kapten yang berjalan mendekat. Kedua tanganya berlumur darah.

Aku berusaha untuk bangkit tapi perutku rasanya sakit sekali. Aku terdiam sejenak menahan rasa ini.

" Hey tetaplah berbaring. Kau kehabisan banyak darah dan lukamu baru selesai dijahit jadi tetaplah berbaring. " ucap Gideon.

Kuturuti ucapanya kali ini. Karena memang rasanya sakit sekali. Ini bukan pertama kalinya aku terluka di peperangan, hanya saja aku masih tetap tak terbiasa dengan rasa sakitnya.

" Traumamu semakin parah. Jika kita mengambil logistik bulan depan, istirahatkanlah dirimu dulu Yoha. Obati penyakit itu sebelum kembali bergabung dengan kami. Jujur aku tidak ingin mengatakanya tapi ini demi keberhasilan misi. Jika kau terus memaksa bertarung dengan keadaan seperti ini, kau hanya akan menghambat kami, " ungkap kapten.

Kata-katanya sangat menyakitkan untuk didengar tapi memang itu adalah kenyataan. Aku tidak bisa mengelaknya. Trauma yang ku alami mau tidak mau harus segera kusembuhkan agar aku bisa menjalankan misi lagi.

" Baik kapten. Aku akan mengambil cuti saat pengiriman logistik nanti, " balasku dengan wajah masam karena kecewa. Bukan kepada kapten tapi kepada diriku sendiri.

" Baiklah kita harus segera pergi sebelum pasukan Varaya yang lain datang. " ujar kapten.

Sekali lagi aku berusaha bangkit. Meski sakit pada akhirnya aku bisa berdiri lagi. Saat kuamati sekeliling, kulihat kereta-kereta kuda pasukan Varaya sudah terbakar dan hanya menyisakan 1.

" Kenapa dibakar? " tanyaku. " Bukankah kereta itu bisa kita bawa, "

" Kemarilah Yoha! " seru kapten. Dia sedang menggali tanah dan kulihat dari kejauhan galiannya sudah cukup dalam.

Aku berjalan mendekat. Semakin mendekati galian, kapten mengarahkan obornya ke dalam.

" Ha?! Senapan mesin?? " kejutku melihat benda di dalam lubang itu ternyata adalah senapan mesin.

Senjata mematikan yang dapat menembakan 100 butir peluru dalam sekali tarikan. Banyak negara punya senjata ini tapi hanya Magolia yang punya dengan tingkat akurasi dan ketahanan bagus.

Dulu senapan ini diciptakan oleh beberapa pengrajin senjata Magolia. Di seluruh dunia pun belum ada yang mampu membuat dengan sempurna. Dan bagaimana bisa Varaya tiba-tiba memiliki senjata itu dan bentuknya 100% mirip dengan di Magolia.

" Kau terkejut bukan? Aku juga sama. Kemungkinan besar ada penghianat yang membocorkan rancangan senjata ini, " imbuh kapten dengan berbisik.

" Oh ya kapten bagaimana dengan para tawanan? " tanyaku lagi.

Kapten menunjuk ke arah kereta kuda yang masih utuh. " Aku hanya bisa menyelamatkan dua orang saja. Tiga pria yang sudah terluka parah tidak tertolong lagi, "

Tak lama Daylen menghampiri kapten lalu memberikan beberapa kertas yang sepertinya milik regu 1. Kapten membaca satu persatu kertas-kertas itu. Sementara Daylen melanjutkan menimbun lubang galian berisi senapan mesin itu dengan tanah.

Aku sempat bertanya-tanya tentang hal bodoh. Ya, aku mempertanyakan mengapa senapan itu dikubur padahal bisa dibawa tapi sudah jelas senjata itu sangat berat sekali dan jika dibawa hanya akan menambah beban.

" Kita harus segera pergi! " lontar kapten. Wajahnya terlihat panik.

" Ada apa kapten? " tanyaku.

" Regu 1 sepertinya tidak sengaja berhadapan dengan mereka. Dan kemungkinan besar ada pasukan susulan. Kelompok seperti ini biasanya akan dikawal kavaleri. "

Mataku langsung membelalak. Bagaimana bisa kita tetap santai disini saat kavaleri musuh kemungkinan besar mulai mendekat.

" Gideon bawa kereta kuda itu, kita harus menuju perbatasan dulu sekarang! Kebetulan lokasi ini tidak jauh dari pos pasukan Magolia di perbatasan. " Kapten menyimpan kertas tadi lalu melanjutkan penimbunan galianya secepat mungkin dibantu oleh Daylen.

Kali ini aku tidak bisa membantu dan bergegas menaiki kereta kuda.

Saat naik, kulihat 2 wanita berpakaian lusuh dan compang camping menunjukkan wajah ketakutan. Yah wajar saja topeng rubah hitam yang kupakai ini jelas menakutkan bagi orang awam.

Aku duduk sedikit menjauh dari mereka berdua. Bagaimanapun caranya aku tidak ingin membuat mereka merasa tidak nyaman.

Tak lama, kapten dan Daylen ikut masuk ke dalam kereta yang sudah mulai berjalan dengan Gideon sebagai kusirnya.

Kami menembus hutan lebat di gelapnya malam ini. Dengan hanya 2 obor sebagai penerangan.

Perjalanan kali ini cukup panjang. Meski kapten bilang perbatasan utara sangat dekat, tapi butuh waktu hampir 4 jam untuk sampai. Karena waktu perjalanan yang lama itulah kumanfaatkan untuk tidur agar saat bangun bisa membantu yang lain meskipun bantuanku kecil.

***

Belum ada 1 jam tertidur, aku dibangunkan oleh suara langkah kuda yang jumlahnya banyak. Indra pendengaranku memang lumayan tajam. Walau samar, tapi aku merasa derapan langkah kuda itu seperti mengikuti kami.

Saat ku membuka mata, tak kulihat lagi keberadaan kapten dan Daylen. Sambil menahan rasa sakit kucoba keluar dari kereta kuda yang mulai lambat jalannya.

" Kenapa kau turun bodoh!? " tanya ketus Gideon yang menghentikan kereta kudanya beberapa detik setelah aku turun.

" Dimana kapten dan Day- "

Perkataan terputus saat melihat Daylen dan kapten berlari dari belakang.

" Cepat naik! " pekik kapten.

" Apa yang terjadi? " tanyaku.

" Kavaleri Varaya mendekat! Kalian harus segera pergi! " tegas kapten yang mengambil pedang dari sarungnya.

" Lalu bagaimana denganmu kapten? " tanya Gideon.

" Aku akan mengalihkan perhatian mereka! Kalian pergilah dulu! Aku akan menyusul nanti! " balas kapten yang langsung berlari menghilang dari pandangan kami.

" Kita harus membantu kapten! " Aku ikut berlari mencoba mengikuti kapten tapi langkahku terhenti saat Daylen mencengkran bahuku.

" Perintah kapten tidak boleh kita langgar! Sekarang naik! " tak kusangka Daylen berbicara padaku. Untuk keempat kalinya kudengar suara dari manusia berbadan besar ini.

Tanpa sepatah kata ku ikuti perkataan Daylen. Aku masuk kembali ke kereta kuda. Gideon segera memacu kereta kuda kembali dan Daylen duduk di atap kereta untuk berjaga-jaga.

Baru beberapa kilometer kereta berjalan, hujan deras tiba-tiba turun dan membuat tanah berlumpur sehingga sedikit sulit bagi kereta kuda bergerak.

Sesekali Daylen harus turun dan mendorong kereta karena roda yang terjebak lumpur. Sebenarnya aku ingin membantu tapi Gideon selalu memarahiku dan menyuruhku untuk diam.

Disisi lain aku sangat khawatir terhadap kapten. Karena sejak tadi dia tidak menyusul dan hujan sederas ini semakin menambah kekhawatiranku.

***

Perjalanan yang kami tempuh melebihi waktu perkiraan yang seharusnya 4 jam menjadi 6 jam lebih dan hujan masih belum reda.

Kami sampai di parit militer Magolia saat pagi hari tanpa terlihat terbitnya matahari.

Kami menyerahkan kereta kuda dan 2 wanita kepada pasukan Magolia. Awalnya kami juga ingin menunggu kapten di pos ini tapi setelah kami bertiga berunding, kamipun memutuskan untuk menyusul kapten.

Kami meminjam 2 kuda dari pos dimana Daylen menunggangi sendirian sedangkan aku bersama Gideon.

Meski basah kuyub, kami nekat pergi kembali ke wilayah semalam demi menyusul kapten. Jelas resiko besar menunggu kami di depan sana.

Hanya masalah keberuntungan saja yang menemani kami. Jika kami beruntung, kami akan bertemu kapten dan jika sial, kami justru akan bertemu pasukan musuh yang jumlahnya bisa saja lebih banyak dari semalam. Kami menggunakan rute tercepat yang bisa dilewati kuda.

Pikiranku mulai kemana-mana tentang kapten dan kuharap sejua yang ada di kepalaku tidak terjadi.

***

Hari mulai siang sementara guyuran hujan masih belum reda. Kami berhasil sampai ke tempat pertarungan semalam. Tak kulihat batang hidung kapten di sini. Hanya ada mayat-mayat prajurit Varaya dengan kereta-kereta kuda yang sudah hangus. Tempat kami mengubur senapan mesin juga masih aman. Kami memutuskan berpencar untuk mencari kapten. Gideon ke timur, Daylen barat, dan aku ke selatan.

Pohon demi pohon kulewati sambil ku awasi area sekitar. Namun, tak kutemui jejak yang menunjukan keberadaan kapten. Sambil menahan rasa sakit di perut ditambah suhu dingin karena hujan, ku paksakan untuk terus mencari lebih jauh. Sesekali ku istirahat karena merasa pusing dan kurasa jahitan di perutku sepertinya terbuka.

Setelah beberapa jam mencari sendirian, tubuhku mulai lemas. Darah mulai mengotori perban yang membalut perutku. Tidak salah lagi, jahitan di lukaku benar-benar terbuka. Aku berhenti sejenak dan menyandarkan tubuh dibawah pohon.

Kapten sebenarnya dimana kau berada? Aku sudah mencarimu kemana-mana.

...Door...! Door...! Door..!...

Saat sedang merenung, ku dikejutkan oleh suara 3 letusan senjata api yang sepertinya jaraknya tak jauh dari sini. Segera aku bangkit dan berlari mencari sumber suara.

Gideon? Daylen? Atau bahkan kapten yang sedang bertarung disana? Pikiranku semakin kacau dan entah kenapa aku membayangkan sesuatu yang tidak pernah kuinginkan itu terjadi.

...Door! Door!...

Semakin kudengar jelas suara tembakan yang kemungkinan besar hanya beberapa ratus meter di depanku. Tak kupedulikan lagi rasa sakit yang menganiaya perut ini. Aku harus segera sampai ke depan sana dan membantu siapapun yang sedang bertarung.

***

Saat keluar dari area hutan, mataku terbelalak dan sekujur tubuhku bergetar ketika melihat seorang pria paruhbaya berjubah hitam dengan topeng anjing putih bermandikan darah sedang bersandar di bawah pohon dengan tangan kiri putus. Di sekelilingnya puluhan prajurit Varaya terkapar meregang nyawa.

" Ka-kapten? " panggilku lirih dengan bibir tak henti gemetar.

Benar saja, saat pria itu menengok ke arahku dapat kupastikan bahwa dia adalah kapten Alvar. ku berjalan mendekat walau tubuh tak henti gemetar lalu kubuka topengnya.

" Me-mereka menjebakku ketempat ini. " Pungkas kapten dengan senyum khasnya. Senyum yang seolah-olah sedang tak terjadi apa-apa.

Lalu aku mengangkat lengan kiri kapten yang terputus. Jubah kapten kusobek dan kuikat ke tangan lengan kirinya agar pendarahan terhenti.

" Kupikir jumlah mereka hanya 10 orang saja saat berada disini. Tapi, ternyata itu untuk memancingku keluar. "

" Berhentilah bicara kapten! Aku akan membawamu kembali. "

Ku coba mengangkat badan kapten ke pundakku.

...Bruk...!...

Baru kuberjalan beberapa langkah, aku terjatuh berasama kapten.

Argh...

Luka diperutku mulai mencengkram erat. Rasanya perih dan nyeri. Aku mengerang kesakitan tepat disamping kapten yang tergeletak lemah.

" Tak perku kau memaksa membawaku Yoha. Aku sudah kehabisan banyak darah dan sekarang adalah giliranku untuk bertemu dewa kematian, " ucap kapten menengok kepadaku.

" Tidak! Kita akan ke parit pasukan Magolia di perbatasan! Kapten akan mendapatkan perawatan di sana. " jawabku mengakhiri obrolan kami.

Aku berusaha bangkit dan mengangkat tubuh kapten lagi. Selangkah demi selangkah ku membawa kapten masuk ke dalam hutan.

Walau sempoyongan menahan rasa sakit, aku tidak akan membiarkan kapten berakhir di sini. Itu yang kuinginkan tapi sepertinya berbanding terbalik dengan tubuhku sendiri.

Sekali lagi aku terjatuh dan terpaksa menyandarkan tubuh kapten di bawah pohon.

Kulihat sejenak wajah kapten mulai pucat dengan mata sayu. Aku tidak bisa membendung air mata lagi.

Apakah akan berakhir seperti ini?

Apakah aku akan kehilangan orang yang kusayangi lagi?

" Ambil... ini. " Kapten mengambil sepucuk pistol yang ia simpan pinggang kanan.

" A-apa maksud kapten? "

" Akhiri... aku... disini. " Ucapnya terengah-engah.

" Tidak! Aku tidak akan melakukanya! "

" Yoha..., aku sudah tidak mampu bertahan lagi. Tolong lakukan... "

Aku mengambil pistol kapten dengan gemetar. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Nafasku terasa sesak saat kutempelkan pucuk pistol pada dada kiri kapten.

" Ba-bagaimana dengan anak dan istrimu? " Tanyaku.

Kapten tersenyum dengan mata memandang langit. " Mereka sudah siap kehilangan bahkan sebelum aku menjadi pasukan Faks. Karena itu akhiri penderitaanku disini Yoha. Aku hidup sebagai prajurit dan biarkan aku mati seperti prajurit juga, "

" Tapi kapten... " Ucapanku terputus oleh air mata yang tak henti keluar.

" Ini adalah perintah terakhirku padamu! Sersan Yoha wakil kapten regu dua pasukan Faks. Kuperintahkan padamu untuk menggantikan posisiku dan mengakhiri tugasku! " Tegasnya walau suara sudah mulai serak lemah.

Kapten memegang erat pucuk pistol yang kutempelkan di dada kirinya.

" Sersan..., " kupejamkan mataku sambil menunduk menahan beban kesedihan, " sersan Yoha siap mengambil alih kepemimpinan dan siap menjalankan perintah terakhir kapten! "

" Setelah kematianku ambilah buku catatan di tas yang kutinggalkan dalam kereta kuda. Selamat tinggal Yoha.... Sekarang aku akan menuju tempat terjauh. Tempat dimana matahari terbenam dengan senyuman kebebasan. "

Kutarik pelan pelatuk pistol itu pelan mencoba terus meyakinkan diri untuk menjalankan perintahnya. Untuk terakhir kali kulihat senyum pucat dari wajah kapten. Senyumnya seolah mengatakan bahwa dia sudah bebas dan akan pergi menuju tempat terdamai di alam semesta.

Maafkan aku kapten...

...Dor!...

Suara tembakan membelah kesunyian hutan di tengah gemercik air hujan dan sekaligus mengakhiri perjuangan kapten Alvar.

^^^To be continue.^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!