NovelToon NovelToon

Menikahi Adik Kesayangan Mantan

Membatalkan Pernikahan

"Arrgggh!"

Teriakan frustrasi menggema memenuhi ruang kamar yang berantakan. Buku-buku berserak di lantai, bercampur dengan pecahan gelas dan puntung rokok.

Aroma nikotin menguar, berbaur dengan bau alkohol yang sangat menyengat. Samar-samar terdengar de-sah napas berat dan isak tangis yang tertahan.

Di tengah-tengah ruangan, tepatnya di sisi ranjang besar yang spreinya pun sudah berantakan, seorang lelaki duduk sambil memeluk lutut. Menyembunyikan wajah dan seolah ingin menghilang dari muka bumi saat itu juga.

Kilasan balik tentang apa yang telah terjadi kembali menghantui, menghakimi dan memaksanya tersudut dalam kubang kebodohan yang dalam, membuatnya tenggelam di tengah sesal dan rasa bersalah.

"Bagaimana caraku memperbaiki semua ini," batin lelaki itu sambil mencengkeram kaos tanpa lengan yang dia kenakan.

Lantas tak lama setelah itu dia menengadahkan wajah, menatap langit-langit kamar yang tampak lebih kelam dari biasanya. Lalu sudut mata itu kembali basah, mengingat lagi tentang masa depan yang mungkin telah hancur karenanya.

_________

'Ketemu di restoran yang biasanya saja. Kamu tidak usah menjemput, nanti aku datang langsung dari hotel.'

Esson Barnard mengulum senyum lebar saat membaca pesan dari tunangannya—Carla Aurora, wanita cantik nan anggun dengan rambut panjangnya yang dicat kecokelatan.

Esson selalu terpukau dengannya, baik dengan paras wajah, tingkah laku, maupun tutur sapanya. Bagi Esson, Carla adalah gambaran wanita paling ideal untuk menjadi pendamping hidupnya.

'Baik, Sayang. Sampai ketemu nanti.'

Senyuman Esson kian melebar saat menulis balasan tersebut. Lantas, ia beranjak dari ranjangnya dan bersiap-siap untuk datang ke Starlight—hotel tempat Carla bekerja sebagai florist.

Tak lebih dari lima belas menit, Esson sudah rapi dalam setelan celana dan kemeja. Kemudian, ia menyambar kunci mobil dan bergegas pergi meninggalkan rumah mewah bak istana tersebut.

Sepanjang perjalanan menuju hotel, Esson tak henti-hentinya tersenyum. Membayangkan sang kekasih yang sebentar lagi menjadi istri sahnya.

Ya, tiga minggu lagi. Hari pernikahan mereka akan diselenggarakan. Segalanya sudah dipersiapkan dengan matang, termasuk undangan yang kini tinggal mengirimkannya pada orang-orang.

"Carla ... aku sudah tidak sabar menjemput hari bahagia kita," batin Esson, yang kemudian disambung dengan senandung romantis.

Perjalanan yang memakan waktu setengah jam lebih, pada akhirnya serasa sebentar karena kebahagiaan yang membuncah.

Namun kini, setelah keluar dari mobil, Esson kembali memasang wajah datar. Memang itulah dia, sosok lelaki yang dingin. Hanya pada orang-orang tertentu dia bisa bersikap hangat, salah satunya pada seorang Carla.

"Kenapa menjemputku? Restoran yang kita janjikan tidak searah dengan hotel ini. Kamu jadi harus mutar, Esson," ucap Carla saat menyambut kedatangan Esson. Agak terkejut karena tak mengira Esson akan datang ke sana.

"Hanya soal jarak yang tidak seberapa, Sayang. Aku hanya ingin menjemputmu dan berangkat ke restoran bersamamu."

Mendengar itu Carla hanya tersenyum masam. Lantas, menatap Esson sekilas dan kemudian kembali menunduk.

"Hari ini adalah anniversary hubungan kita yang kelima, Sayang. Dan aku ... sudah menyiapkan hadiah spesial untuk kamu," lanjut Esson, masih tak menyadari kejanggalan di wajah Carla.

"Hadiah apa?" tanya Carla. "Sebenarnya kamu tidak usah repot-repot, Esson. Aku—"

"Tidak ada kata repot, Sayang. Sebentar lagi kita menikah, kamu berhentilah merasa tidak enakan. Aku adalah lelakimu, apa yang kumiliki adalah milikmu juga."

"Tapi ...."

"Sudah ayo jalan, jangan pikirkan yang lain lagi."

Dengan antusias Esson menggandeng tangan Carla dan mengajaknya melangkah menuju mobil. Carla masih menurut, tidak membantah meski hatinya sangat gundah.

Bahkan ketika mereka sudah berada dalam perjalanan, hanya Esson yang banyak bicara. Sedangkan Carla lebih banyak diam dan menanggapi seperlunya.

Barulah ketika keduanya tiba di restoran, Carla mulai bicara. Sudah cukup ia mengulur waktu dan membiarkan Esson menganggap semua masih baik-baik saja.

"Ada sesuatu yang sangat penting, yang harus kukatakan padamu, Esson."

Namun, Esson yang telanjur antusias dengan hadiah yang dia persiapkan, meminta waktu lebih dulu untuk bicara.

"Aku sudah menyiapkan bulan madu kita ke Paris, dan kamu tahu, aku juga berhasil memesan meja di restoran lantai dua Menara Eiffel, tepat di waktu matahari terbenam. Sayang, ini sangat sesuai dengan keinginanmu dulu."

Carla hanya mengerjap mendengar penuturan Esson. Hadiah itu memang sangat menarik, tetapi untuk situasi kali ini, rasanya sangat miris.

"Selain itu, aku juga berhasil membeli lahan kosong di dekat Gedung Cakra. Sayang, ini sangat startegis untuk membangun vendormu nanti. Bulan depan kita sudah resmi menjadi suami istri, jadi tidak ada alasan lagi bagi kamu untuk menolak pemberianku. Sayang, izinkan lelakimu ini mengembalikan bisnis yang pernah kamu miliki," lanjut Esson sembari menggenggam tangan Carla.

Sebelumnya Carla memang termasuk orang berada, walaupun tidak sekaya Esson yang notabenenya pemilik perusahaan properti terkemuka. Namun, akibat kecelakaan yang menimpa orang tuanya, bisnis vendor bunga yang cukup besar terpaksa kandas di tengah jalan. Harta keluarga habis untuk biaya rumah sakit, hanya tersisa mobil serta rumah sederhana, dan itu pun tidak membuat orang tua Carla selamat.

"Selagi vendor kamu masih dalam tahap pembangunan, aku akan mencarikan relasi yang luas. Sayang, percayalah padaku, bisnis kamu akan kembali seperti dulu," sambung Esson. Niatnya sangat serius untuk mengembalikan apa yang pernah Carla miliki.

Sebenarnya, sudah sejak awal Esson akan melakukan itu. Namun, Carla selalu menolak karena dia tahu biaya ratusan juta saja tidak akan cukup. Walaupun statusnya adalah kekasih Esson, tetapi Carla masih segan. Tak enak hati memanfaatkan harta lelaki yang masih belum ada ikatan resmi.

Namun kini, Carla juga malah tidak bisa menerimanya. Ada sesuatu hal yang membuatnya harus pergi dari sisi Esson.

"Lupakan hadiah itu, Esson," ucap Carla, tegas dan sembari menarik tangannya.

"Apa maksudmu?"

Carla menunduk dan menarik napas panjang. Lantas mendongak lagi dan berkata, "Aku ingin membatalkan pernikahan kita, Esson. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini."

"Kamu hanya bercanda kan, Carla?"

Carla menggeleng. "Aku serius. Aku ingin kita berakhir, cukup sampai di sini saja."

Bersambung...

Kehilangan Jejaknya

Melihat keseriusan di wajah Carla, hati Esson panas seketika. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba Carla memutuskan hubungan, padahal pelaminan sudah di depan mata.

"Kenapa? Bukankah selama ini kita baik-baik saja?" tanya Esson dengan perasaan yang tak menentu. Rasanya masih seperti mimpi Carla akan meninggalkannya, mengingat lima tahun ini hubungan mereka amat sangat manis.

"Ya, kita memang baik-baik saja. Tapi, itu sampai kemarin malam. Setelahnya hubungan kita sudah tidak baik."

Esson mengernyitkan kening, masih tak mengerti dengan jawaban Carla. Memangnya ada apa dengan kemarin malam, perasaan dia tidak melakukan kebohongan ataupun pengkhianatan.

"Kamu tidak ada perhatian lagi, Esson! Kamu tahu mobilku masih di bengkel. Kamu berjanji akan mengantarku pulang sebelum berangkat ke bandara, tapi nyatanya apa? Kamu lebih memilih menemui relasi dan membiarkanku pulang sendirian!" lanjut Carla, memberikan gambaran yang lebih jelas.

 Intonasi suaranya meninggi, tetapi juga tertahan dan sedikit gemetaran, seolah sedang menahan sesuatu yang menyesakkan.

"Aku sedang ada proyek dengan relasi itu, Carla. Harus menunggu satu bulan lagi jika tidak menemuinya kemarin malam. Aku—"

"Kamu tahu aku sedang lembur sampai jam sembilan. Selarut itu kamu membiarkanku pulang sendirian dengan taksi. Kamu tega, Esson! Tega!" pungkas Carla dengan nada suara yang lebih tinggi, jauh berbeda dengan tutur sapa Carla sebelumnya.

Esson merasa heran. Tak biasanya Carla seperti ini. Sebelumnya Carla adalah wanita yang sangat bijak dan pengertian, tidak akan menuntut dan mengedepankan emosi jika menyangkut tentang pekerjaan. Karena Esson sendiri memang tidak pernah menomorduakan Carla, kecuali pekerjaan itu memang tidak bisa ditinggalkan.

Buktinya, hari ini. Begitu dia kembali dari Singapura, langsung menemui Carla setelah membersihkan diri beberapa menit saja. Dia tidak beristirahat lebih dulu meski tubuhnya cukup lelah, dan semua itu Esson lakukan demi Carla.

"Alasanmu konyol, Carla, aku tidak percaya. Kemarin malam kamu tidak protes apa-apa, bahkan kamu masih baik-baik saja dan menyuruhku berhati-hati sebelum ke bandara. Lalu kenapa sekarang harus menjadi masalah sampai sejauh ini, Carla?"

Carla berpaling, enggan membalas tatapan Esson yang lekat dan tajam.

"Katakan, Carla, apa yang sebenarnya terjadi? Kamu punya masalah apa?" tanya Esson, masih mengejar kejujuran Carla.

Namun, Carla langsung menggelang dengan cepat, sebagai jawaban bahwa tidak ada alasan lain, selain yang ia sebutkan barusan.

"Aku tidak percaya. Alasanmu terlalu kekanak-kanakan, Carla. Aku—"

"Kamu mau percaya atau tidak terserah, yang penting aku sudah berterus terang." Carla kembali memotong ucapan Esson, bahkan kini sambil bangkit dari duduknya.

Melihat sang kekasih berdiri, Esson pun turut beranjak.

"Carla ...."

"Hubungan kita sudah selesai, Esson. Ke depannya jangan menggangguku lagi!" ucap Carla dengan tegas. Lantas, tanpa basa-basi langsung hengkang dari hadapan Esson.

Akan tetapi, Esson tidak membiarkannya begitu saja. Ia tahan lengan Carla agar tidak pergi. Esson masih tak rela kehilangan Carla, terlebih dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal.

"Lepas, Esson! Aku bukan siapa-siapamu lagi, jadi jangan menyentuhku!" bentak Carla seraya menarik tangannya dengan kasar. Khusus hari ini, tak ada lagi keanggunan dalam diri Carla.

"Aku tidak bisa menerima keputusanmu, Carla. Kita tetap akan menikah!"

"Tidak! Tidak, Esson! Sampai kapanpun aku tidak akan menikah dengan lelaki kejam sepertimu! Aku benci kamu, Esson! Aku benci!"

Carla berteriak dengan emosi yang tak bisa lagi dikontrol. Untungnya mereka ada di dalam private room, jadi tidak ada pengunjung lain yang melihat keributan itu.

"Carla," batin Esson dengan tubuh yang terpaku di tempat.

Barusan ia melihat air mata Carla berderai ketika mengucapkan kebenciannya. Gestur wajah menampilkan perasaan sedih, kecewa, dan hancur. Entah karena apa, Esson benar-benar tak yakin jika alasannya sesederhana yang Carla ucapkan.

Setelah tersadar dari keterkejutannya, Esson pun keluar ruangan dengan langkah cepat. Ia edarkan pandangan secara liar, mencari keberadaan Carla di halaman restoran. Namun, nihil. Tak ada sosok Carla di sana. Tak tahu ke mana, mengapa cepat sekali menghilangnya.

Karena gagal menemukan Carla di area restoran, Esson memutuskan untuk mengejar Carla sampai ke rumah.

"Carla! Carla! Carla! Buka pintunya, Carla!" teriak Esson sambil menggedor pintu.

Namun, tak ada sahutan dari dalam. Bahkan sampai Esson menunggu beberapa menit, tetap tak ada tanggapan dari dalam.

"Tuan Esson, Anda mencari siapa? Rumah ini sudah dijual oleh Nona Carla. Katanya, pemilik barunya akan pindah ke sini minggu depan. Apa Nona Carla tidak memberi tahu Anda?"

Satpam komplek yang sangat mengenal Esson, tiba-tiba mendekat dan memberitahukan kabar mencengangkan. Demi apa, Esson tak tahu bahwa Carla telah menjual rumahnya, dan entah dengan alasan apa.

"Carla belum mengatakan apa-apa. Memangnya kapan dia menjual rumah ini?" tanya Esson.

"Waduh, kalau soal itu saya juga kurang tahu, Tuan. Tapi, Nona Carla baru tadi pagi mengatakannya kepada saya."

Tanpa menyahut ucapan satpam, Esson langsung kembali ke mobil dan mengemudikannya tak tentu arah. Dia tak tahu harus mencari Carla ke mana, sementara nomor wanita itu mendadak tidak bisa dihubungi.

Carla, kamu di mana?

Apa yang terjadi dengan dirimu?

Bersambung...

Alvero Barnard

Semalam suntuk Esson mencari Carla, termasuk dengan menelepon sahabat-sahabat Carla. Namun, hasilnya tetap nihil. Tidak ada titik terang yang menunjukkan keberadaan kekasihnya itu.

Jam enam pagi Esson baru kembali ke rumah. Langkahnya lunglai, wajahnya masam, pakaian dan rambut kusut tak beraturan. Ia benar-benar berantakan pagi ini. Pelayan-pelayan yang menyambut kedatangannya hanya berani menunduk tanpa bertanya apa pun. Mereka paham ada yang tidak beres dengan tuannya.

Sesampainya di ujung tangga, sepasang mata menatap langkah Esson dengan lekat. Tak lupa pula menilik kondisi tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Kak Esson!"

Mendengar namanya dipanggil, Esson menoleh malas. Lantas menghela napas kasar saat matanya beradu pandang dengan Alvero Barnard—adik Esson satu-satunya.

"Kak Esson kayak ... kusut banget. Kenapa?" tanya Vero dengan hati-hati.

"Tidak ada. Kamu belajar saja yang baik, kuliah yang benar. Jangan pedulikan masalahku," jawab Esson sambil melangkah pergi, meninggalkan Vero yang kini mematung di tempatnya.

Sekali lagi, Esson menegaskan bahwa dirinya harus kuliah dengan benar. Vero tahu 'benar' yang dimaksud Esson bukan sekadar rajin datang ke kampus dan merampungkan tugas yang diberikan dosen, melainkan juga mengambil jurusan yang dipilih Esson.

Mungkin lelaki itu tak mau lagi mendengar rengekannya, yang masih saja meminta kuliah jurusan otomotif, bukan jurusan bisnis.

'Menjadi teknisi balap tidak bisa menjamin masa depanmu, Vero. Lebih baik belajar tentang binis dan kita kelola perusahaan bersama-sama. Aset Papa sudah menjamur di mana-mana, kalau bukan kita yang mengelolanya, siapa lagi?'

Tanggapan Esson setiap kali Vero mengutarakan keinginannya untuk masuk dunia otomotif.

Vero memang berbeda dengan Esson. Dia tidak suka dengan bisnis. Membuat kepala pening, katanya. Justru lebih suka mengotak-atik mesin motor. Bahkan, cita-cita terbesarnya adalah menjadi teknisi di tim pabrikan MotoGP.

Namun sayangnya, mimpi itu tidak mendapat restu dari Esson. Malah dengan sedikit egois, beberapa hari lalu Esson mendaftarkannya kuliah di universitas ternama dengan mengambil jurusan bisnis.

'Nikmati saja dulu, lama-lama akan terbiasa. Kelak kamu akan mengerti kenapa aku bersikeras menyuruhmu belajar bisnis.'

Begitulah ucapan Esson yang membuat Vero tidak punya sempat untuk membantah.

"Ahh!"

Terdengar lagi embusan napas berat dari bibir Vero. Tersadar bahwa sang kakak sedang tidak baik-baik saja. Lantas, Vero kembali melihat ponsel yang sedari tadi ada di genggamannya. Kemudian matanya memejam sesaat seolah memikirkan sesuatu yang berat.

Setelah beberapa saat terjebak dalam dilemanya, Vero pun mengayunkan kaki dan menyusul Esson yang sudah masuk kamar. Untungnya pintu kamar tersebut tidak dikunci, jadi Vero bisa langsung masuk tanpa menunggu Esson yang membukakan pintu.

"Kak, aku tahu kamu sedang ada masalah," kata Vero sambil menghampiri sang kakak, yang kala itu duduk di sofa sembari memegangi kepalanya.

"Ada apa, Kak?" Vero bertanya lagi karena sampai beberapa saat Esson masih setia dalam diamnya.

"Pikirkan saja kuliahmu, Vero! Ini urusan orang dewasa, kamu tidak akan mengerti."

Mendengar jawaban sang kakak, Vero hanya bisa menarik napas panjang. Selisih umur mereka memang cukup jauh. Saat ini dirinya baru 18 tahun, sedangkan Esson sudah menginjak usia 32 tahun. Selisih empat belas tahun. Namun, juga bukan berarti Vero belum mengerti permasalahan orang dewasa. Ia sudah remaja, bukan anak kecil lagi.

"Memang belum tentu aku bisa ngasih solusi untuk Kak Esson, tapi seenggaknya aku bisa jadi pendengar. Aku nggak bisa melihat Kak Esson kayak gini. Sekarang Mama Papa udah nggak ada, cuma Kak Esson yang—"

"Carla pergi, hilang entah ke mana. Dia membatalkan pernikahan dengan alasan yang konyol. Kamu tahu, dia marah karena aku menemui relasi dan tidak bisa mengantarnya pulang. Hanya gara-gara itu Carla meminta pisah dan berulang kali mengatakan kebenciannya padaku. Apa itu wajar? Apa itu bukan hal gila?"

Esson menceritakan permasalahannya dengan berapi-api. Tak tahan lagi menahan semua sesak sendirian. Terlebih Vero mendesaknya untuk bicara.

"Kamu tahu sendiri, Vero, fitting baju sudah, cincin dan undangan sudah ada. Hotel tempat pesta kami sudah kupesan, pihak WO sudah kubayar lunas. Semua orang sudah tahu bulan depan aku dan Carla akan menikah. Aku mencintainya, Vero. Aku hanya mau dia! Tapi, kenapa? Kenapa dia pergi dengan alasan yang gila itu? Kurang apa aku selama ini, hah!" teriak Esson dibarengi napas yang memburu. Tangannya pula dengan kasar menggebrak meja, hingga botol minum yang ada di sana jatuh ke lantai.

"Hubungan kami baik-baik saja sebelumnya, tapi karena alasan sepele pada malam itu, Carla mengeraskan hati dan tidak mau lagi mendengar penjelasanku. Bahkan, dia pergi tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Aku hancur, Vero."

Suara Esson melemah, sekadar tercekat di tenggorokan. Namun, Vero hanya bisa mendengar dan menatapnya tanpa bisa mengatakan apa pun. Ia sendiri tertegun dan kesulitan menelan ludah usai mendengar uraian masalah tersebut.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!