Wajahnya tersenyum membawa kue buatannya sendiri. Pucat pasi akibat kekurangan nutrisi, tubuh kurus di balik pakaiannya yang kebesaran. Hanya satu hal yang ada dalam hatinya, hidup bahagia bersama keluarga yang baru ditemuinya.
Ini adalah hari ulang tahunnya, sekaligus hari ulang tahun Meira.
Kakinya pincang, salah satu tangannya bahkan diamputasi sebulan lalu, akibat jatuh dari ketinggian. Mengapa wajahnya dapat sepucat ini?
Setahun yang lalu, ginjalnya diambil, hanya untuk didonorkan pada Meira yang sempat mengalami gagal ginjal.
Siapa sebenarnya anak kandung di tempat ini?
Acara ulang tahun kalangan atas untuk Meira. Yang begitu sempurna cantik, lembut, manja dan pintar. Terbalik dengan dirinya.
Memakai pakaian rumahan membawa kue, hanya berharap merayakan ulang tahun bersama keluarganya.
Namun, semua orang yang hadir menggunakan gaun serta pakaian resmi kalangan atas, memandang jijik pada Tiffany.
"Dia anak kandung keluarga Wiratmaja yang baru ditemukan dua tahun lalu bukan?"
"Satu tangannya hanya tangan palsu, bahkan kakinya pincang. Itu karena dia berusaha menyerang Meira Wiratmaja."
"Apa benar Tiffany anak kandung keluarga Wiratmaja. Bukankah Meira lebih pantas."
"Memalukan, menjijikkan, sangat berbeda dengan Meira."
Namun, Tiffany tetap berjalan, berusaha membawa kue dengan stabil menggunakan satu tangan palsu dan satu lagi tangannya yang dapat berfungsi normal. Berusaha menahan air matanya yang hendak mengalir.
Berharap cinta dari keluarganya. Dirinya tidak ingin mencelakai Meira, tapi Meira yang sengaja mendorongnya. Tidak ada yang percaya... karena Meira tinggal lebih lama dengan keluarga Wiratmaja dibandingkan dengan dirinya.
Tiffany ingin terus berharap. Gadis berambut panjang terurai itu tersenyum. Kala menatap ibu kandungnya yang mengenakan gaun berkelas, terlihat begitu cantik. Ayahnya menggenakan setelan jas bernilai tinggi, begitu tampan. Ditambah kakak laki-lakinya yang... begitu keren.
Tidak ada rasa benci atau iri. Dirinya hanya ingin bersama keluarganya. Berusaha menerima Meira yang membencinya.
"Tiffany, kamu seharusnya menggunakan gaun yang kakak sediakan." Meira mendekat tersenyum bagaikan malaikat, memegang jemari tangan Tiffany.
"Ga...gaun?" Tanya Tiffany, tidak mengerti.
Sedangkan raut wajah ibu, ayah dan kakaknya terlihat tidak suka menatap ke arahnya yang bagaikan sengaja menjatuhkan nama keluarga, dengan mengenakan pakaian rumahan.
"A...aku..." Kalimat Tiffany terhenti, kala Meira dengan sengaja menggerakkan tangan Tiffany yang memegang kue.
Membuat seolah-olah Tiffany mendorong Meira, kemudian sengaja menjatuhkan kue ke gaun Meira.
"Tiffany, ini hari ulang tahunku..." Meira menitikan air matanya, terjatuh di atas lantai. Dengan gaun yang kotor. Bagaikan menyembunyikan kenyataan ini juga hari ulang tahun Tiffany.
"Aku tidak mendorongmu. Kamu menjatuhkan---" Kalimat Tiffany disela.
"Anak sial! Kamu cuma mempermalukan namaku!" Yahya Wiratmaja melangkah mendekati putri kandungnya. Mencengkeram pipinya erat."18 tahun kamu hidup di panti asuhan. Ketika pulang malah menjadi liar dan berusaha mencelakai kakakmu! Anak tidak ada etika!"
"Ayah...aku... sakit." Pekiknya, namun Yahya Wiratmaja mendorongnya hingga tersungkur cukup keras di lantai. Rasa sakit akibat operasi setahun lalu masih terasa. Menahan segalanya dalam diam, hanya berharap untuk dicintai.
"Aku menyesal melahirkanmu! Meira, walaupun dia tertukar denganmu dulu, walaupun dia bukan anak kandungku. Tapi dia lebih bisa menghargai orang tuanya. Kamu hanya anak liar tidak berguna! Seharusnya aku tidak membawamu kembali dari panti asuhan!" Sang ibu (Savira Wiratmaja) memaki putrinya.
Tidakkah ada sedikit saja, rasa kasih dan percaya dari ibunya? Berusaha mendengarkan penjelasannya sedikit saja.
"Aku tidak mendorong Meira. Dia jatuh sendiri." Tiffany masih berusaha menjelaskan.
"Br*ngsek!" Sang kakak, Roy Wiratmaja mencengkeram pergelangan tangan adik kandungnya. Menyeretnya paksa untuk keluar dari rumah.
"Dia anak kandung? Apa gunanya hubungan darah. Jika anak kandung adalah orang tidak berguna."
"Benar-benar mengesankan. Anak kandung tapi seperti pengemis liar. Berbeda dengan Meira yang bahkan menjadi selebriti terkenal."
"Benar-benar anak pembawa sial!"
Beberapa hujatan didengarkan samar olehnya. Mereka tetaplah keluarganya, bahkan ginjal telah diberikannya pada Meira. Hanya berharap ayah, ibu dan kakak kandungnya tidak membencinya. Apa hubungan darah sedangkal itu.
Brak!
Dirinya didorong di depan rumah oleh Roy Wiratmaja. Menatap dingin pada adiknya."Aku bahkan jijik melihat seorang adik yang berhubungan dengan pelayan. Kamu bukan adikku lagi."
"Kakak..." Lirihnya, berusaha memegang jemari tangan kakaknya.
Tapi jemari tangannya dihempaskan. Sang kakak berjalan hendak kembali pergi ke ruang pesta.
Namun, Meira tiba-tiba keluar bersama ibu dan ayah mereka. Mendekati Tiffany, kemudian kembali menariknya untuk masuk ke dalam rumah.
"Ini hanya salah paham. Ayo kita masuk ke dalam." Ucap Meira.
"Meira! Kamu terlalu baik, jangan---" Kalimat sang ibu terhenti.
Kala Tiffany menghempaskan tangan Meira. Tidak ingin kembali ke rumah yang tidak mencintainya lagi. Meira berpura-pura jatuh terhuyung, membenturkan dirinya dengan sengaja. Berpura-pura tidak sadarkan diri.
"Meira!" Savira Wiratmaja terlihat panik, mendekati putri angkatnya.
"Kamu! Kamu bukan putriku lagi! Aku menyesal memiliki anak sepertimu." Yahya Wiratmaja, menarik rambut Tiffany, menyeretnya keluar gerbang.
"Ayah, ibu sakit...aku tidak mendorongnya keras." Lirih Tiffany menangis.
"Kamu bukan anakku lagi." Teriakan sang ibu membuat harapan putrinya pupus.
Benar-benar tidak ada cinta untuknya dari awal. Semuanya untuk Meira, orang yang menggantikannya hidup bahagia selama 18 tahun. Bahkan kala dirinya ditemukan tetap tidak ada cinta.
Dirinya dijatuhkan di atas aspal. Benar-benar terasa panas, ada luka lecet di tubuhnya. Seorang anak yang belum makan selama 3 hari akibat dikurung dalam gudang oleh orang tuanya.
Terakhir kali dirinya bertanya dalam senyuman pada ayahnya.
"Ayah, dari hari pertama aku sampai ke rumah, apa ayah menyimpan perasaan cinta untukku?" Tanyanya berurai air mata.
"Tidak, putriku hanya Meira." Sang ayah melangkah berbalik meninggalkannya.
Air matanya mengalir. Berusaha bangkit dengan kaki pincang dan satu tangannya hanya tangan palsu. Tubuhnya lemah akibat salah satu ginjalnya telah diambil. Diperparah karena tidak minum dengan benar 3 hari ini.
Air matanya mengalir, kehidupan di panti asuhan lebih indah. Ada Mars yang menemani, ibu panti serta anak-anak. Terkadang dirinya berfikir apa makna keluarga yang sebenarnya? Apa hanya sekedar hubungan darah?
Perutnya terasa sakit, tubuhnya lemas. Sebuah ambulance melaju melawatinya, sudah pasti ambulance yang akan menjemputmu Meira.
Selalu seperti ini bukan? Anak yang dibesarkan ibu dan ayahnya lebih dapat dipercaya.
Hingga sebuah lilin kehidupan padam. Kala hujan mulai turun, hujan di tengah cuaca panas. Seorang pria tiba-tiba menghampiri kemudian menikam perutnya menggunakan pisau.
Apa orang suruhan Meira? Bahkan dirinya tidak pantas hidup.
Karena itu.
"Aku telah membayar kehidupan yang kalian berikan. Jika ada kehidupan kedua, maka aku tidak akan mengharapkan cinta kalian lagi..." Gumamnya, dengan air mata mengalir. Matanya masih terbuka, meninggalkan dunia yang begitu menyakitkan kala menyadari kenyataan.
Tapi, hujan bagaikan naik ke permukaan, jam bergerak mundur. Segalanya kembali, dalam kegelapan tiba-tiba saja dunia terasa terang.
Napas Tiffany tidak teratur. Dirinya menatap ke arah sekitar, bukankah ini kediaman Wiratmaja? Kenapa bisa? Banyak pertanyaan dalam otaknya.
"Tiffany! Apa yang kamu lakukan?" Bentakan dari sang ibu yang menampar wajahnya cukup kencang.
"I...ibu, Tiffany pasti tidak sengaja merobek gaunku. Jangan memarahi nya..." Meira yang masih memakai seragam SMU tertunduk.
"Tanganku utuh, kakiku juga tidak pincang. Apa aku kembali ke masa lalu?" Batinnya memeriksa tubuhnya.
"A...aku kembali. Benar-benar kembali." Gumam Tiffany menitikan air matanya.
"Berlutut! Minta maaf pada Meira!" Perintah sang ibu.
Tiffany menghela napas kasar, tersenyum mengejek.
"Minta maaf!" Bentak sang ibu.
Tiffany tersenyum, menjambak, kemudian menendang Meira yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya.
"Kamu!" Bentak Silvia pada putri kandungnya.
Tiba-tiba saja Tiffany berlutut."Aku minta maaf karena sudah menendang dan menjambak Meira. Itu kesalahanku."
Tidak peduli jika dibenci oleh ibu kandungnya. Lagipula apapun yang dilakukan olehnya akan dibenci. Yang ada di otak Tiffany saat ini hanya mencari cara dikeluarkan dari kartu keluarga.
Hal yang tidak disangka dan diduga sama sekali.
"Kamu..." Sang ibu menggerakkan tangannya hendak kembali menampar.
"Nyonya... mulai sekarang aku tidak akan meminta maaf jika tidak salah. Sama seperti tadi, aku salah sudah memukul nona Meira. Karena itu aku minta maaf dengan bersungguh-sungguh." Ucap Tiffany tanpa ekspresi sama sekali.
"Nyo... nyonya?" Safira mengernyitkan keningnya. Dirinya dipanggil nyonya.
"Benar, mulai hari ini aku hanya menumpang hidup. Jangan pedulikan aku, anggap aku hanya anak pembantu yang kebetulan tinggal di rumah majikan. Jika tidak kembalikan aku ke panti asuhan." Komat-kamit wajah itu berucap dengan ekspresi wajah datar.
Safira menghela napas, berusaha lebih bersabar."Aku ibumu. Hidupmu adalah tanggung jawabku. Jangan memanggilku nyonya."
Meira mengepalkan tangannya. Tidak! Safira sama sekali tidak boleh menaruh perhatian pada Tiffany.
"Kakak, kita satu keluarga. Aku adalah saudarimu. Ibu begitu mencintai dan menyayangimu. A...aku hanya putri palsu, anak yang seharusnya tidak ada di rumah ini." Ucap Meira menunduk terbata-bata.
Safira mengalihkan perhatiannya pada Meira."Bukan begitu Meira---"
"Bacot." Satu kata celukan dari mulut Tiffany yang bangkit.
"Kamu memang tidak tau etika." Bentak Safira.
"Memang! Karena itu dia putrimu, aku bukan. Nyonya..." Tiffany melangkah penuh ketegasan.
"Tiffany! Meira sudah baik hati padamu." Teriak Safira.
Sedangkan Tiffany menutup kedua telinganya menggunakan tangan. Terserah! Itu hidup mereka, bukan hidupnya.
***
Seharian Tiffany tidak keluar dari kamar. Sama sekali tidak melangkah. Tengah melakukan strategi agar dapat segera keluar dari kartu keluarga.
Mengernyitkan keningnya, tempat paling berbahaya adalah berada di dekat Meira. Karena wanita itu benar-benar bagaikan bunga Peony mendayu-dayu. Sedangkan dirinya memiliki fitur wajah bagaikan ani-ani, maaf salah seperti ratu jahat dalam serial snow white.
Jika mereka berkelahi, sudah pasti bukan, siapa yang akan dipercayai dan dilindungi semua orang.
Menghela napas."Wajahku cantik, tapi dalam artian jahat..." Keluhnya menatap ke arah cermin.
Gadis yang mengernyitkan keningnya, kemudian menata rambut panjangnya, lebih memilih mengikatnya kini. Meniru Meira yang cantik luar biasa pernah dilakukan olehnya. Tapi benar-benar tidak cocok dengan fitur wajahnya.
Pakaian yang ada di lemarinya hanya pakaian yang dulu dimilikinya di panti. Mungkin hanya satu pakaian kalangan atas yang dimiliki olehnya.
Memakai celana pendek dan kaos kebesaran. Melangkah turun ke lantai satu mengingat perutnya yang terasa sudah mau berdemonstrasi. Tidak lupa membawa kalkulator kecil.
"Kamu tidak boleh makan! Sebagai hukuman sudah memukul Meira hari ini!" Tegas Yahya.
"Ayah, maafkan kakak." Ucap Meira lembut.
Hanya menghela napas Tiffany menekan kalkulator, meraih roti di lemari pendingin. Kemudian menunjukkannya pada orang-orang yang duduk di meja makan.
"Aku mengambil dua potong roti. Totalnya aku pinjam 4.678.000 dalam tiga bulan ini." Ucap Tiffany, begitu tegas. Dirinya harus keluar dari kartu keluarga cepat atau lambat.
"Apa maksudmu!?" Bentak sang kakak membulatkan matanya.
"Setelah lulus maka akan aku bayar, agar aku tidak memiliki hutang. Itu sudah termasuk biaya sewa sebulan aku hitung 550.000 mengingat aku tidak begitu sering menyalakan AC." Tiffany menghela napas kasar.
"Kamu memang bodoh! Jauh jika dibandingkan dengan Meira. Uang jajanmu sebulan saja 6 juta. Mana mungkin menghabiskan hanya sekitar 3 juta termasuk makanan. Jika ingin merajuk, merajuk dengan cara yang lebih pantas." Roy menatap jenuh ke arah adiknya.
"3 juta persetan. Aku minta uang untuk membeli buku saja kalian acuh." Tiffany hanya dapat menghela napas.
"Apa maksudmu, uangmu sudah ayah transfer setiap bulan." Geram Yahya menunjuk-nunjuk menggunakan pisau steak. Apa mau memenggal kepala putrinya?
"Transfer? Aku tidak punya rekening." Tiffany mengangkat salah satu alisnya.
"Ibu sudah menitipkan nya pada---" Kalimat Safira disela.
Tangan Meira yang memegang pisau steak gemetar. Kemudian berucap dengan cepat."Maaf! Kakak! Aku lupa, ibu menitipkan kartu ATM untukmu. Kode PINnya hari ulang tahun kita."
Dengan cepat Meira bangkit, melangkah menuju kamar. Mengambil kartu ATM yang seharusnya diberikannya pada Tiffany.
"Maaf! Aku benar-benar lupa." Ucapnya menunduk di hadapan Tiffany.
Menggigit bagian bawah bibirnya. Benar-benar sial! Semua ini seharusnya menjadi miliknya. Dari awal adalah miliknya, anak perempuan satu-satunya. Andai saja Tiffany anak kandung yang asli tidak diketahui dan mengambil segalanya.
Tiffany tersenyum, memakan roti yang sebelumnya diambil dari lemari es."Jika aku mengambilnya maka hutangku bertambah. Kamu simpan dan kamu ambil saja. Keluarga ini milikmu. Aku menyumbangkannya untuk anak yatim."
Benar-benar senyuman keji meremehkan. Hal yang membuat Roy membanting pisau steak. Mentahan rasa kesalnya."Dia seharusnya bersyukur kita sudah mengambilnya dari panti asuhan."
"Dia tetap adikmu. Jadi tutup mulutmu." Ucap Yahya terdengar dingin.
Sedangkan Roy dan Safira melirik ke arah Yahya. Apa karena keturunan sang ayah, jadi memiliki watak yang keras. Benar-benar mirip, tidak diragukan lagi.
"Ayah, kakak mungkin tidak menyukaiku. Apa sebaiknya aku tinggal di tempat lain saja?" Tanya Meira terbata-bata.
"Kalian tetap anak ayah." Sebuah jawaban datar dari Yahya.
Tapi memang ada yang aneh dengan sifat putrinya. Tiga bulan tinggal di tempat ini, memang sering menyerang dan iri pada Meira. Tapi tidak pernah seperti ini, bagaikan tidak menganggap mereka keluarga. Seperti Tiffany menghindar.
***
Sedangkan Tiffany melangkah, hari sudah malam. Masih memegang kalkulator kecil, bagaimana caranya anak SMU sepertinya memiliki uang?
Dirinya memang memiliki pacar. Pria dari keluarga baik-baik, tapi cepat atau lambat akan menjadi pemuja Meira. Seperti sebelum waktu terulang.
Tidak ada cinta yang dapat di percaya. Itulah yang ada dalam benaknya. Duduk di tepi jalan raya seorang diri. Rumah bukanlah tempat yang aman.
"Apa aku menikah saja ya? Merawat orang lumpuh lebih baik daripada tinggal dengan keluarga sakit jiwa." Gumamnya mengingat akan ada lamaran dari keluarga terpandang untuk anak mereka yang tidak dapat bergerak sama sekali. Mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan.
Kembali menikmati roti untuk mengganjal perut. Entahlah, di kehidupan ini Tiffany tidak akan mengharapkan cinta lagi.
"Aku akan menjadi wanita karir sukses. Tidak apa-apa jika mengasuh orang lumpuh seumur hidup!" Teriaknya penuh semangat, ingin mendapatkan dukungan finansial untuk keluar dari kartu keluarga.
***
Benar saja, seperti sebelum waktu terulang. Kedua orang tua mereka ingin mereka menggunakan pakaian rapi. Saat itu Meira, maupun dirinya menolak perjodohan mentah-mentah. Dengan pria yang hanya dapat duduk di kursi roda.
Dirinya telah memiliki kekasih. Sedangkan Meira, tidak ingin menikah dengan pria lumpuh.
Tapi saat ini berbeda, pacar? Apa itu pacar, jika pada akhirnya akan menjadi budak Meira.
Hingga pada akhirnya makhluk itu terlihat juga. Berdiri di depan pintu kamarnya, membawa gaun merah dengan warna mencolok.
"Ini aku pinjamkan padamu!" Ucap Meira melempar gaun asal. Kemudian melangkah mendekati Tiffany."Kenapa pacarmu jarang menghubungimu ya?" tanyanya.
"Apa itu pacar?" Tanya Tiffany.
"Beno, kalian pacaran selama setahun. Sayangnya belakangan ini dia sering menyatakan cinta padaku." Bisik Meira, menyeringai. Semuanya adalah miliknya, Tiffany tidak berhak atas apapun.
"Kamu suka sekali memungut sampahku ya? Pemulung..." Tiffany menyeringai.
"Kamu!" Geram Meira hendak menyerang. Ini sudah biasa, wanita yang bagaikan bunga Peony mendayu-dayu ini membuat keributan. Setelah orang tua mereka datang, maka dirinya akan menjadi orang yang paling tersakiti.
Tangan Meira dicengkeram. Kemudian pipinya ditampar cukup kencang. Tidak perlu menjadi anak baik lagi, toh dirinya sudah dianggap jahat oleh kedua orang tuanya.
Sekalian saja menjadi jahat agar dikeluarkan dari kartu keluarga.
"Apa yang kamu lakukan!" Bentak Meira yang terjatuh tersungkur di atas tempat tidur.
"Membuat kakak menjadi jelek. Kulitmu cukup mulus..." Tiffany tersenyum membelai pelan pipi Meira. Sejenak kemudian tersenyum menyeringai.
Plak!
Plak!
Plak!
Tiga tamparan lagi dilayangkan olehnya.
"Ibu! Ayah! Tolong aku!" Teriak Meira tidak dapat bergerak. Pasalnya Tiffany duduk di atas tubuhnya.
Benar saja kedua orang tua mereka datang dengan cepat.
"Tiffany! Hentikan!" Teriak Yahya menarik Tiffany. Menghempaskannya hingga terjatuh di lantai.
Menolong Meira yang menangis sesenggukan. Dalam pelukan Safira.
"Tiffany! Kamu pembuat masalah! Ayah menghukummu---" Kalimat sang ayah disela.
"Aku akan membunuhnya!" Teriak Tiffany semakin beringas menyalurkan emosinya. Tapi dengan cepat sang ayah memegangnya. Kemudian menamparnya.
"Ayah bukan salah kakak..." Meira yang masih menangis sesenggukan menunduk.
"Memang bukan salahku. Lebih baik kembalikan aku ke panti asuhan! Bahkan pacarku mengatakan menyukai Meira! Bertemu orang tua kandung bukannya untung malah buntung." Komat-kamit mulut Tiffany mengomel, berjalan keluar dari kamarnya.
Ayahnya yang hendak memukul untuk mendidiknya mengurungkan niatnya. Lebih baik kembali ke panti? Apa rumah ini seburuk itu untuk putri kandungnya? Sejenak terfikirkan hal tersebut.
"Ibu sakit..." Keluh Meira masih menangis.
"Meira, apa benar pacar Tiffany mengatakan menyukaimu?" Tanya Safira pelan.
Meira berfikir keras, dirinya bagaikan terjebak. Biasanya Tiffany akan menunduk kemudian memohon ampun pada kedua orang tuanya. Tidak berani menyerang seperti sekarang.
"Tidak, kakak berbohong. Kakak hanya tidak menyukaiku disini. A...aku bukan anak kandung, lebih baik aku pergi tinggal di tempat lain." Ucap Meira terbata-bata.
"Mungkin Tiffany cuma salah paham saja. Dia begitu marah." Yahya menghela napas kasar. Mengingat masa mudanya, pacar direbut tentu saja harus hajar. Apa sifatnya menurun pada putrinya?
Entahlah, tapi dari tingkat kemarahan Tiffany, mungkin memang ada kesalahan dari Meira. Walaupun itu hanya kesalahpahaman.
***
Sedangkan di tempat lain, Tiffany mengompres wajahnya. Berharap tidak bengkak, tapi berdoa dalam hati agar pipi Meira yang bengkak.
Memilih bersikap baik, mereka akan menganggap jahat. Lebih baik sekalian menjadi orang jahat.
Mengunyah buah apel yang diambilnya dari lemari es. Samar didengar olehnya beberapa pelayan berbisik-bisik.
"Nona Meira lebih pantas menjadi anak kandung ya? Sudah cantik, sopan, pintar. Tidak seperti nona Tiffany yang berandalan."
"Maklum, tinggal lama di panti asuhan."
"Benar! Lebih sempurna anak angkat. Memang pantas mereka tertukar saat bayi."
Tawa pelayan itu terdengar. Dulu dirinya menunduk tidak ingin membuat masalah. Tapi kini, dirinya harus membuat masalah agar dikeluarkan dari kartu keluarga.
"Bacot!" Ucapnya melangkah mendekat.
"Nona..." Pelayan dengan name tag nama Lisa itu menunduk.
"Tidak apa-apa! Dia juga anak tidak dianggap. Apa yang dapat dilakukan anak panti asuhan yang hanya kebetulan memiliki darah keturunan Wiratmaja." Pelayan dengan name tag Firda tertawa kecil mengejek.
Tiffany mundur tiga langkah, kemudian menunjukkan kuda-kuda."Dengan kekuatan bulan! Aku akan menghukummu!" Teriaknya.
Sebuah tendangan dari gadis muda yang sedikit melompat. Sukses membuat pelayan bernama Firda tersungkur, dengan bekas sandal slop rumahan di pipinya.
Sedangkan pelayan bernama Lisa membulatkan matanya. Bahkan menutup mulutnya sendiri menggunakan tangan tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Tiffany!" Teriak Roy yang kebetulan lewat menyaksikan kelakuan adiknya.
"Apa!? Kakak mau aku hajar juga!? Sudah aku bilang! Kembalikan aku ke panti asuhan!" Teriak adiknya tidak kalah garang. Benar-benar keturunan seorang Yahya Wiratmaja bukan?
Membuat sang kakak menutup telinganya sendiri. Adik gilanya sudah benar-benar gila kali ini.
"Dasar tidak tahu diuntung!" Sang kakak membentak.
"Dasar kakak tidak pengertian, menjaga mulut pelayan agar tidak membicarakan majikan saja tidak bisa. Tapi masih banyak bacot pada adiknya! CEO! Atur karyawanmu, mulai dari rumah dulu. Baru perusahaan!" Sindiran telak dari sang adik, membuat kakaknya yang memang menjadi CEO di salah satu anak cabang perusahaan ayahnya tidak dapat berkata-kata.
Jadi pelayan ini membicarakan majikan hingga Tiffany murka.
"Sebaiknya kamu kembali ke kamarmu." Sang kakak berusaha tersenyum, menahan rasa kesalnya.
"Ayah dan ibu sedang memeluk Meira yang menangis di kamarku. Aku menunggu di luar karena jenuh menatap keluarga harmonis. Drama romantis yang membosankan." Adik perempuan yang memalingkan wajah darinya. Tiffany melangkah pergi, bagaikan malas berurusan dengan mereka.
Sedangkan kakaknya tidak dapat berkata-kata. Ada banyak kata tanya dalam dirinya. Apa adiknya benar-benar merasa tidak dianggap di rumah ini?
Melangkah menuju kamar Tiffany, benar saja ibu dan ayahnya terlihat menenangkan Meira yang tengah menangis."Aku tidak bermaksud seperti itu..." Gumam Meira sesenggukan.
Sedangkan Roy terdiam membeku di depan pintu. Bagaikan dirinya yang ada di posisi Tiffany. Menghela napas kasar, apa semua yang dilakukannya salah? Itu sempat terlintas. Bagaimana jika dirinya berada di posisi Tiffany.
"Aku yang salah, Tiffany punya hubungan darah dengan ibu, ayah dan kakak. A...aku hanya orang luar." Meira menitikan air matanya.
"Bukan begitu sayang..." Safira menenangkannya.
"Meira memang begitu rapuh." Roy menghela napas kasar. Kemudian melangkah masuk.
"Adik kesayangan kakak tidak boleh sedih." Ucapnya menghibur penuh senyuman.
Bagaikan melupakan ada hati yang terluka sesaat. Keluarga yang terlihat bahagia, meskipun tanpa kehadiran Tiffany. Anak yang mencintai ibu, ayah, serta kakaknya. Tapi tidak pernah mereka cintai.
***
Martin Sastra Narendra, itulah nama pemuda yang duduk diam menatap ke arah jendela mobil. Matanya menelisik, usianya saat ini 23 tahun.
Kala mobil terhenti, maka sang supir menurunkan kursi roda untuknya, membantunya bangkit.
"Martin, kamu yakin ingin menikah dengan anak perempuan dari keluarga ini?" Tanya sang ibu pada putranya.
Pemuda yang mengangguk."Jika dia setuju. Jika tidak maka aku tidak akan memaksa."
"Baik!" Arelia (ibu Martin) menghela napas. Entah apa yang ada di otak putranya.
Melangkah mendekati anggota keluarga yang meyambut mereka di ruang tamu. Tidak ada yang istimewa dengan keluarga ini.
Kala teh disajikan, putranya masih terlihat dingin seperti biasanya.
"Meira, Tiffany, dan Roy sebentar lagi akan turun." Ucap Safira penuh senyuman.
"Omong ngomong bagaimana dengan pelelangan tanah di pinggiran pabrik. Tidak disangka kamu masih muda tapi begitu hebat. Dapat mengetahui harga tanah akan melambung." Puji Yahya, menikmati tehnya.
Putra konglomerat yang jarang bicara. Itulah Martin, tapi jangan ditanyakan tentang kemampuannya.
Yahya menelan ludah menunggu kalimat yang akan keluar.
Tapi.
"Apa penampilanku sudah rapi?" Tanya Martin mengeluarkan cermin yang dilengkapi pegangan.
Hal yang membuat Yahya tidak dapat berkata-kata. Untuk pertama kalinya, dirinya menatap Martin seperti ini.
Hingga, pada akhirnya malaikat turun dari langit. Semua orang tertegun melihat penampilan Meira yang begitu cantik. Dengan gaun putih dan rambut panjang terurai. Jangan fikirkan kuntilanak yang memakai gaun putih dengan rambut panjang terurai. Fikirkan dan bayangkan Meira yang cantik bak malaikat.
Benar-benar membuat semua orang kagum termasuk Arelia."Martin! Lihat begitu cantik..."
Martin menikmati tehnya kemudian berucap."Kurang menantang."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!