"Kau harus segera menikah, Aaron!" perintah Albern, papanya.
Sedangkan anak laki-laki satu-satunya di keluarga itu masih duduk di kursi empuk saling berhadapan dengan papanya, keduanya bersitegang dengan adu pendapat.
"Benar apa kata papamu, Aaron. Umurmu sudah tidak muda, pengusaha sukses sepertimu tidak terlalu sulit mencari pendamping hidup," timpal Samantha, mamanya.
Aaron adalah anak kedua dari pengusaha kaya raya yang sudah terkenal keganasannya dalam menjalankan bisnis, Albern Conan Drax.
"Aku akan menemui Kathrine, aku akan pergi ke belanda selama beberapa hari," jawab Aaron, laki-laki yang hampir mendekati tiga puluh tahun itu tampak mengangguk yakin.
"Tidak! kami tidak setuju kau menikah dengan gadis murahan sepertinya," tolak Samantha tegas, wanita berumur setengah abad itu mengibaskan rambutnya dengan geram.
"Ini hidupku, Ma. Kalian memintaku menikah, it's ok, aku menurutinya, tapi jangan ikut campur siapa mempelai wanita yang akan ku pilih," jawab Aaron tegas.
"Satu lagi, Kathrine gadis baik-baik, jangan mengatakan hal buruk tentangnya, dia kekasihku," lanjut Aaron, ia bangkit dari duduknya berlalu pergi.
Albern dan Samantha saling berpandang, menghela nafas panjang memikirkan anak tengahnya yang sangat sulit di atur, keras kepala dan kokoh pendirian.
Mobil mewah, lamborgini aventador terbaru berwarna hitam yang ia kendarai membelah jalanan yang ramai, ia langsung kembali menuju kantornya, PT. Conan Dream Tbk.
Laki-laki itu tampak tenang menghadapi berbagai situasi yang terjadi di antara dirinya dan kedua orang tuanya, kini kesuksesan yang sudah ia raih selama bertahun-tahun berjuang membuatnya mantap untuk menjalin hubungan dengan kekasihnya lebih serius.
"Kathrine, aku akan menjemputmu," gumam pelan Aaron sambil duduk di kursi kebesarannya.
"Aaron, kau datang terlambat," sapa Alex, sepupu sekaligus orang kepercayaannya itu datang membawa setumpuk berkas.
"Ada masalah kecil," jawab Aaron sekenanya.
"Oke, ini semua berkas yang harus kau tandatangani, semua! jangan ada yang terlewat." Alex memperingatkan.
Laki-laki berperawakan tinggi dengan rambut silver mencolok itu menatap sepupunya yang melamun, Alex selalu tahu jika Aaron sedang dalam masalah.
Keduanya di besarkan oleh orang yang sama meskipun bukan saudara sekandung, namun kebersamaan sedari kecil membuat dua laki-laki tampan itu saling memahami satu sama lain.
"Katakan, ada masalah apa?" tanya Alex tiba-tiba, ia duduk di sofa panjang ujung ruangan sambil menyilangkan kaki.
"Papa memintaku segera menikah," jawab Aaron.
"Menikah? orang tua, dasar!" desah alex. "Mereka memang sangat suka mengatur hidup anak muda."
"Aku tidak memiliki pilihan, jika tidak segera menikah, maka mereka akan mengambil alih perusahaan ini dan memberikan kekuasaan penuh pada suami Beatricia," jawab Aaron gelisah, laki-laki itu mengendurkan dasi di lehernya yang terasa mencekik.
"Suami Beatricia, Jackson Kenner," tebak Alex. "Ah, laki-laki laknat, tukang selingkuh."
"Harus bagaimana lagi, aku akan menemui Kathrine di Belanda, semua urusan kantor ku serahkan padamu." Aaron mendesah, ia memikirkan cara terbaik untuk melamar kekasihnya.
"Kau ingin menikahi Kathrine?" tanya Alex, laki-laki itu tersenyum kecut. "Ku traktir seumur hidup jika dia bersedia saat itu juga."
"Aku akan membujuknya, dia kekasihku, Alex. Jangan bersikap seperti papa dan mamaku." Aaron berdecak kesal, semua orang bahkan tidak ada yang menginginkan dirinya bersama Kathrine.
🖤🖤🖤
Belanda, di musim dingin.
Aaron memberikan kejutan pada kekasihnya, Kathrine. Dia datang tanpa memberi kabar pada wanita itu, rindu yang menggebu sudah menguasai diri Aaron.
Musim dingin di Belanda tetap memiliki daya pikat bagi para wisatawan, karena itu, Aaron memilih untuk membawa pesawat jet pribadinya sendiri daripada harus mengantre di bandar udara bersama para turis yang ingin berkelana keliling dunia.
Arus ribuan penikmat liburan ke benua Eropa mengalir deras, tidak peduli temperatur rendah di bulan desember sampai maret, mereka malah sangat menikmati cuaca ekstrim yang tidak bisa di rasakan di Indonesia.
Aaron sudah menyiapkan cincin berlian berwarna merah delima yang sangat cantik dengan ukiran khusus, ia sudah merencanakan untuk segera melamar kekasihnya.
Kota bersalju tidak menyurutkan semangat Aaron untuk segera sampai di apartemen milik Kathrine, dia datang membawa sekotak coklat dan buket bunga berukuran besar.
"Kathrine, kita akan segera bertemu," gumam Aaron, ia berdiri di depan pintu sambil mengetuk pelan. Hampir setengah jam, tidak ada jawaban.
"Kat, kau dimana?" Aaron mengetik pesan di layar ponsel dan mengirimnya pada Kathrine.
Namun laki-laki itu tak kunjung mendapatkan balasan pesan. "Mungkin dia sibuk," desis Aaron. Dia mengambil kunci cadangan apartemen ini yang kebetulan ia miliki.
Aaron membukanya perlahan, mengedarkan pandangan mengelilingi ruangan yang di nilai cukup besar, bangunan bergaya khas Eropa dengan arsitektur yang klasik adalah favorit Kathrine, apartemen ini adalah hadian Aaron dua tahun lalu untuk kekasihnya.
Hari mulai gelap, Aaron mendesah kesal, Kathrin bahkan mengabaikan pesan yang sudah ia kirim berkali-kali.
Waktu menunjukkan pukul 7 bagian Eropa, suara seseorang mendekat dengan langkah kaki nyaring yang mengenakan high hells, Aaron yakin itu Kathrine. Dia sudah tidak sabar menyambut sang kekasih.
Aaron mempersiapkan diri, ia berdiri di depan pintu sambil membawa hadiah. "Suprise!" teriak Aaron saat pintu terbuka, ia tersenyum sambil merentangkan tangan menyambut Kathrine.
Wanita di hadapannya melongo, menatap tak percaya pada sang kekasih yang telah berdiri menyambutnya, mereka saling memeluk menumpahkan kerinduan yang telah lama menggunung.
"Kenapa tidak bilang jika akan berkunjung, Sayang." Kathrine mengalungkan kedua tangannya di leher Aaron. "Jika aku tau, aku akan pulang lebih awal," imbuhnya.
"Sengaja, ini kejutan." Aaron merangkul pinggang kekasihnya yang semakin ramping. "Mandilah, ayo kita makan malam." Kathrin mengangguk dan mencium pipi kanan Aaron sebelum berlalu ke kamar mandi.
Usai mereka bersiap, Aaron mengajak Kathrine makan malam di resto dekat apartemen itu, mereka sengaja tidak memilih resto terlalu jauh, karena kondisi jalan bersalju yang menyulitkan kendaraan keluar masuk dari garasi, Aaron memilih yang terdekat sehingga bisa berjalan kaki berdua.
"Dua mulled wine, please!" pinta Aaron pada seorang pelayan wanita.
Mulled wine adalah sebutan untuk minuman anggur hangat yang berada di benua Eropa, rasanya sangat khas wine, yaitu manis bercampur pahit dengan aroma tajam nan wangi berasal dari rempah-rempah seperti cengkeh dan kayu manis, namun tidak semua wine di campur dengan alkohol.
"Apa kau merindukanku, sampai datang sejauh ini?" tanya Kathrine, wanita itu melepas jaket bulunya dan menyerahkan pada pelayan untuk di simpan. Resto ini di lengkapi dengan penghangat ruangan dan perapian kecil yang di fungsikan di musim dingin seperti ini.
"Tentu saja, ada hal penting yang ingin ku sampaikan." Aaron meraih kedua tangan Kathrine. "Kita sudah lama saling mengenal, dan hampir lima tahun kita bersama." Aaron menatap Kathrine penuh harap.
"Bukankah sebaiknya kita meresmikan hubungan ini?" lanjut Aaron, namun wanita yang di sangka akan bahagia atas lamaran ini, ia malah terlihat terkejut dan melepas genggaman Aaron secara tiba-tiba.
.
.
.
.
.
.
Bersambung ...
"Aaron, bukankah ini terlalu cepat?" Kathrine menghela nafas panjang, ia menyandarkan punggungnya di kursi empuk berlapis kain satin.
"Tidak, lima tahun bersama bukankah sudah cukup lama?" Aaron menatap manik biru kekasihnya. "Dua tahun lalu kau sudah menolakku dengan alasan yang sama."
Ya, dua tahun lalu Aaron sudah pernah mengutarakan keinginannya untuk memperistri Kathrine, namun wanita itu menolak dengan alasan yang di buat-buat.
"Dulu kau memintaku untuk meraih mimpiku, agar aku lebih sukses. Sekarang semuanya sudah ku dapatkan." Aaron mendesah, perasaan kecewa dan sakit menguasai dirinya.
"Sekarang apa lagi?" tanyanya sekali lagi. "Proyek film yang ku bintangi kali ini sangat menjanjikan karirku, aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja." Kathrine akhirnya bersuara.
"Aku tidak memintamu berhenti, kita hanya akan meresmikan hubungan ini, dan kau tetap bisa berkarir, Kath!"
"Tidak bisa, pernikahan akan membuat karirku meredup, aku tidak bisa melepas status lajangku untuk saat ini, semuanya saling berhubungan." Kathrine menunduk, ia gelisah menatap mata kekasihnya yang diliputi rasa kecewa.
Pelayan datang membawa dua gelas pesanan, meredakan sepasang kekasih dari perdebatan. Aaron menghabiskan segelas wine dalam satu tegukan, ia menceritakan tentang permintaan keluarganya dan ancaman jika ia tidak segera menikah.
Terlintas sebuah ide di benak Kathrine. "Jika aku punya ide, apakah kau akan setuju?" tanya Kathrine.
"Katakan," ujar Aaron pasrah.
"Menikahlah dengan wanita lain." Kathrine menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Wanita yang bisa kau bayar untuk menjadi istri bohongan, setidaknya bisa menolong kedudukanmu di perusahaan."
"Apa? kau gila!" hardik Aaron. "Mana mungkin aku bisa menikahi wanita lain sedangkan aku punya dirimu."
"Hanya untuk satu tahun kedepan, aku janji setelah film ini selesai, kita akan menikah." Kathrine berusaha menjelaskan. "Percayalah, kita akan bersama setelah ini."
"Tidak, aku tidak bisa melakukannya!" Aaron melipat kedua tangannya di depan dada, laki-laki itu merasa sangat rendah di hadapan kekasihnya.
"Please, demi hubungan kita, karirmu, dan karirku." Kathrine kembali meyakinkan.
Aaron mendesah, ia meninggalkan Kathrine di mejanya sebelum makanan yang mereka pesan datang.
"Kathrine, aku kecewa padamu!" gumam Aaron, ia melangkah menjauhi resto dengan perasaan yang entah bagaimana, lalu memesan taksi untuk mengantarnya menuju hotel tempat biasa ia menginap saat berkunjung ke negara ini.
Puluhan panggilan masuk dari Kathrine tak ia hiraukan, memilih untuk menenangkan diri di dalam kamar hotel.
Keesokan paginya, Kathrine sudah berdiri di depan pintu kamarnya, ia mengenakan gaun ketat yang di lapisi jaket bulu tebal dan kaos kaki panjang untuk meredakan dingin di area kulit kakinya.
"Kau tau aku ada di sini?" Aaron bertanya, tanpa memperdulikan mata sembab kekasihnya.
"Aku sudah tau kebiasaanmu." Kathrine mendekat, memeluk Aaron dari belakang. "Maafkan aku, Sayang. Aku memang keterlaluan."
Kathrine menempelkan wajahnya di punggung Aaron, ia begitu merasa bersalah, namun tidak bisa melakukan permintaan kekasihnya.
Aaron merasakan punggungnya hangat terkena hembusan nafas Kathrine, ia mendesah, menahan gejolak hasrat yang datang tiba-tiba, apalagi sudah terlalu lama mereka tidak pernah bersama.
"Kath, lepaskan aku!" sergah Aaron, ia tidak mau membuat kekacauan atas dirinya sendiri. "Duduklah di sofa, ku buatkan minuman hangat."
"Tidak, aku hanya ingin dirimu, kau lebih hangat dari minuman apapun," tolak Kathrine, wanita itu sepertinya sengaja menggoda, ia semakin mempererat pelukannya, gigitan nakal ia luncurkan di telinga kiri kekasihnya.
Tenaga Aaron yang besar mempermudah ia melepaskan diri, ia menepis dengan kasar tangan wanita itu.
"Jika kau menginginkan hal yang lebih, kita akan lakukan. Tapi setelah kita menikah, pantang bagiku menodai wanita," seru Aaron, ia menolak tegas keinginan tersembunyi kekasihnya.
"Kita bisa melakukannya sekali saja, itu sebagai tanda perjanjian bahwa kita akan bersama setelah semua urusanku selesai." Kathrin mendekat.
"Sudahlah, Kath. Sekuat apapun kau menggoda, aku tidak ingin." Aaron menjauh, berdiri di depan jendela kaca yang mengahadap langsung ke kota yang bersalju.
"Munafik!" maki Kathrine, dirinya merasa sia-sia dengan usaha ini.
Bagaimanapun Kathrine, Aaron sangat mencintai gadis itu, mereka sudah lama bersama, menjalin asmara dengan hubungan jarak jauh tidaklah mudah, namun Aaron sanggup melakukannya.
Dia sudah memikirkan ide yang di sampaikan Kathrine, ia bahkan tidak tidur semalaman hanya karena penolakan kathrine dan ide gila yang ia sampaikan.
Namun, karena rasa cinta yang begitu besar, membuat Aaron bertekuk lutut atas nama cinta, ia menyetujui pendapat Kathrine, menikahi wanita lain sebagai penyelamat kedudukannya di perusahaan.
"Pilih wanita sederhana, aku tidak mau dia bersaing denganku untuk mendapatkan hatimu," pinta Kathrine. "Selama kalian menikah, jangan menyentuhnya."
"Aku hanya milikmu, Kathrine."
Aaron setuju, dengan berat hati ia menyetujui semua permintaan kekasihnya, ia benar-benar menjadi budak cinta, melakukan segala cara agar tetap bisa bersama Kathrine.
Sekarang, tinggal bagaimana Aaron menemukan gadis yang tepat untuk pengantin bayarannya.
Setelah mengajak Kathrine jalan-jalan sebentar, Aaron kembali ke Indonesia, berbagai pekerjaan sudah menunggunya.
...
Sampai di rumah besar Aaron, ia sudah menemukan kedua orang tuanya duduk bersantai di meja makan.
"Pa, Ma. Kalian kapan datang?" tanya Aaron.
"Baru saja," jawab Albern tanpa menoleh anaknya.
"Dari mana saja kau, Aaron?" Samantha menimpali.
"Tentu saja bertemu Kathrine, bukankah aku sudah bilang pada kalian beberapa hari lalu." Aaron menghempaskan diri duduk di dekat mereka.
"Sudah mama katakan, kami tidak setuju dengan hubungan kalian." Samantha menunjukkan sorot mata tegas mengancam.
"Tenang saja, aku sudah memutuskan hubungan kami, Ma." Aaron berbohong, demi apapun yang sedang ia rencanakan.
"Bagus, nanti malam kita akan bertemu tuan Johanes, papa sudah mengatakan padanya untuk meminang putri semata wayang mereka," sela Albern.
"Apa? kenapa kalian selalu memutuskan suatu hal tanpa persetujuanku?" Aaron menggebrak meja. "Bisakah sedikit saja kalian membebaskanku untuk memilih?"
Kedua orang tua Aaron saling berpandangan, mereka sadar karena terlalu ikut campur urusan putranya, tapi ini semua mereka lakukan demi Aaron, satu-satunya anak laki-laki di keluarga ini.
"Ellera gadis baik, Aaron. Dia cantik, berbakat, karirnya bagus, kalian sangat cocok," timpal Samantha, mengusap lembut punggung putranya.
Aaron tidak menjawab, ia pergi meninggalkan kedua orangtuanya begitu saja di meja makan. Meski belum sempat ia beristirahat setelah perjalanannya dari Belanda, ia memutuskan untuk datang ke kantor, daripada harus berdebat terus menerus dengan papa dan mamanya.
"Bella, kau lihat Alex?" tanya Aaron kepada asisten Alex.
"Tuan Alex sedang di rumah sakit, Mr. Aaron."
"Dia sakit? rumah sakit mana?" tanya Aaron terkejut.
"Di RS. Permata Husada," jawab Bella.
Tanpa basa-basi Aaron langsung kembali ke parkiran dan memacu kencang mobilnya menuju rumah sakit yang di sebut Bella.
Ketika mobil dipacu cukup kencang menuju rumah sakit, Aaron secara tidak sengaja menyerempet seorang gadis muda dengan penampilan berantakan, pakaian lusuh dan mata basah.
Aaron panik, ia segera turun dari mobil dan menghampiri gadis itu. "Kau tidak apa-apa?" Aaron membantu gadis itu berdiri.
Tanpa menjawab sepatah katapun, gadis itu berlari meninggalkan Aaron tanpa ingin mengetahui siapa yang membuatnya terjatuh.
"Apakah wajahku menakutkan, kenapa gadis itu tak mau melihatku?" gumam Aaron dalam hatinya.
"Apa dia baik-baik saja? jangan-jangan dia terluka." Rasa bersalah menghampiri Aaron, ini karena dirinya terlalu panik dengan kondisi Alex, sepupunya itu memang kerap bermasalah.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung ...
Merasa sudah bersalah karena terlalu memusatkan pikiran tentang keadaan Alex, Aaron menurunkan kecepatan mobilnya, ia melaju perlahan menuju rumah sakit yang letaknya tinggal 500 meter lagi.
Sampai di rumah sakit, Aaron menuju meja resepsionis.
"Pasien atas nama Alexavier Bancroft, dimana bisa ku temui." Aaron bertanya pada perawat yang berjaga.
"Sebentar," Perawat itu beralih pada layar komputer. "Masih di tangani oleh dokter, silahkan di tunggu di depan ruangan bedah." imbuhnya.
Pikiran Aaron kalang kabut, ia sama sekali tidak tau tentang apa yang menimpa sepupunya, dan bagaimana bisa dia sampai terluka dan harus masuk ke rumah sakit ini.
Tidak sampai 10 menit Aaron duduk di kursi tunggu, ia melihat Alex keluar dari ruang bedah seperti tidak terjadi apa-apa padanya, laki-laki itu masih berjalan normal dan tersenyum menyapa Aaron.
"Bro, kau tau aku disini?" tanya Alex.
"Bella yang memberitahuku, kamu kenapa, Alex?" Aaron menelusuri seluruh bagian tubuh Alex, dia tidak apa-apa.
"Ah, biasa. Ini semua gara-gara cewek, kau pasti sudah paham, Bro." Alex tersenyum miring.
"Kamu berantem sama cewek?" Aaron terkekeh.
"Angelina, dia menyatakan cintanya, tapi aku menolak." Alex menghempaskan bokong di samping Aaron. "Dia bilang dia hamil," imbuhnya.
"Hamil? lalu, kamu nggak mau tanggung jawab?" Aaron mendelik, menatap sepupunya yang berbicara santai.
"Ah, dia bohong. Wanita licik!" desis Alex. "Tidak mungkin dia hamil."
"Dari mana kamu tau kalau dia bohong, bukankah kalian sering berhubungan?" Aaron tampak penasaran.
"Sudah ku katakan padanya dari awal, aku akan memberi kepuasan padanya, melayaninya dengan penuh pesona. Asal jangan libatkan hati di antara kita." Alex menjelaskan.
"Kamu mengenalku, Bro. Puluhan wanita yang setiap malam bergilir menemaniku, aku tidak pernah sekalipun menumpahkan gairahku di akhir sesi. Percayalah, aku ahlinya." Alex tersenyum sambil menepuk bahu Aaron.
"It's ok, kamu memang ahlinya!" seru Aaron sambil menepuk punggung Alex.
"Woy, hati-hati, punggungku sakit." Alex meringis. "Gara-gara Angelina, aku harus mendapatkan beberapa jahitan di punggung."
"Apa dia mencabik-cabikmu dengan cakarnya?" Aaron terkekeh.
"Dia hampir membunuhku, punggungku tergores pisau dapur. Dia tidak hanya liar di atas ranjang, saat marah pun lebih ganas." Alex tertawa lepas, seakan kejadian yang hampir merenggut nyawanya itu sebuah lelucon.
Usai mendapatkan obat yang di resepkan oleh dokter, Aaron dan Alex berjalan sambil bercakap-cakap di lorong rumah sakit.
Namun langkah Aaron terhenti saat melihat seorang gadis menangis sesenggukan di depan ruang operasi.
"Sepertinya aku pernah melihat gadis itu," gumam Aaron.
"Memangnya siapa?" tanya Alex.
"Tunggu disini," pinta Aaron pada Alex, lalu menghampiri gadis yang duduk berjongkok dengan membenamkan wajah di antara kedua lututnya itu.
Aaron memperhatikan dengan seksama, dia mengenali gadis berpakaian lusuh itu, meski ia belum melihat wajahnya, namun ia tau betul bahwa gadis itulah yang ia serempet di lampu merah saat perjalanan ke rumah sakit ini.
"Kau kenapa?" tanya Aaron ragu-ragu, ia membawa gadis itu duduk di kursi terdekat.
"Aaron, ayo balik kantor!" sergah Alex, laki-laki itu memang tidak suka mengurusi hal-hal yang bukan urusannya.
"Sebentar, Alex. Tunggu dulu," jawab Aaron, lalu kembali mengarahkan pandangan pada gadis itu. "Kau ada masalah? aku minta maaf telah menabrakmu di jalan tadi, ada yang terluka?" tanya Aaron, gadis itu hanya menggeleng lemah.
"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu," pamit Aaron, ia bangkit dari duduknya setelah memastikan gadis itu tidak terluka akibat ulahnya.
"Tunggu, kau bisa membantuku?" gadis itu mendongak, menatap Aaron dengan wajah berurai air mata. "Aku akan melakukan apapun bagi siapa saja yang bersedia membantu," lanjutnya.
"Apa?" jawab Aaron.
"Ibuku kritis, aku butuh banyak biaya. Seminggu yang lalu aku di pecat dari perusahaan tempatku bekerja." Gadis itu menghela nafas, menatap penuh harap. "Siang ini ibuku harus menjalani operasi pengangkatan tumor payudara. Jika tidak, maka ...."
"Berapa yang di butuhkan?" tanya Aaron tanpa basa-basi.
"Apa? tidak, Bro. Jangan membuang-buang uangmu untuk gadis jelata yang tidak di kenal, ayo pergi!" sentak Alex, ia menarik paksa lengan Aaron.
Aaron adalah laki-laki dingin, tapi dalam lubuk hatinya paling dalam, ia adalah laki-laki yang penuh dengan welas asih, ia tidak segan membantu orang-orang yang kekurangan, beberapa panti asuhan di kota ini sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai donatur tetap.
"Tunggu, Alex." Aaron menolak. "Berapa yang kau butuhkan?" tanya Aaron lagi pada gadis itu, ia menerima secarik kertas berisi biaya rumah sakit yang harus ia lunasi dan biaya persiapan operasi yang akan di lakukan.
"Baiklah, aku akan membantumu. Semua biaya rumah sakit akan ku tanggung. Anggap saja hutang, kau harus segera mencari pekerjaan untuk segera mencicilnya," jawab Aaron.
"Buang-buang duit," desis Alex, namun Aaron pura-pura tidak mendengarnya.
"Siapa namamu?" tanya Aaron, gadis itu mendongak dengan mata berbinar. "Aku Hayley, terimakasih sudah membantu, aku akan segera mencicilnya." Hayley tersenyum dan menghapus air mata yang mengering di pipinya.
Hayley segera membawa Aaron menuju ruang pembayaran, dengan mudah Aaron melakukan pelunasan semua biaya rumah sakit dan membayar biaya operasi yang akan di lakukan, Haylay sangat senang, berkali-kali ia berterimakasih.
"Ini kartu namaku, hubungi aku jika ada perlu." Aaron menyerahkan selembar kertas kecil, ia tidak menghiraukan Alex yang selalu protes dan komat-kamit di belakangnya.
🖤🖤🖤
Perjalanan dari rumah sakit sampai ke kantor, Alex terus saja berceloteh, ia tidak terima dengan Aaron yang begitu mudah menghamburkan uang untuk membantu orang tak di kenal.
"Maka dari itu, kau akan membantuku mencari tau tentang siapa gadis itu, asal usul, pekerjaan, pendidikan, dan hal-hal lain yang penting," pinta Aaron.
"Sudah ku duga! kau suka sekali menambah pekerjaanku," desah Alex. "Oh, ya, bagaimana dengan Kathrine, dia menolakmu?"
Tanpa Aaron menjawab, Alex sudah pasti tau jawabannya, ia merasa sangat marah sekaligus kecewa dengan penolakan Kathrine, namun tidak ada daya untuk berhenti mencintai kekasihnya itu.
"Kathrine menolakmu, dan kau harus segera menikah, gadis mana yang akan kau tumbalkan, Aaron?" Alex terkekeh, sama sekali tidak menunjukkan sikap prihatin pada sepupunya.
"Anak tunggal pak Johanes, papa menjodohkanku dengannya," jawab Aaron lemah, ia mengendurkan dasi di lehernya untuk memperlancar udara yang masuk ke paru-paru.
"Ellera, gadis cantik, seksi, dan ... menarik. Aku beberapa kali pernah merayunya," gumam Alex. "Namun selalu gagal, dia sudah punya kekasih, Aaron." Mata Alex menerawang jauh ke masa lalu saat beberapa kali menggoda Ellera agar mau bermalam bersamnya.
Alex adalah satu-satunya sepupu Aaron yang paling dekat, Aaron begitu menyayangi Alex meskipun laki-laki itu penuh dengan masalah wanita, bergonta-ganti pasangan adalah hobi yang di gemari Alex, mudah mendapatkan dan mudah mencampakkan.
Kekayaan dan ketampanan adalah hal mendasar kenapa Alex begitu di puja banyak wanita, bahkan kebanyakan dari mereka selalu menawarkan diri dengan gratis hanya untuk bermalam bersama si playboy mesum, Alex.
Aaron Conan Drax
Alexavier Bancroft
🖤🖤🖤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!