Hujan rintik membasahi terminal Tawang, Semarang, sore itu. Suasana kota besar menyambut dengan riuh dan hiruk-pikuk yang asing di telinga Prayitno. Ia berdiri di pinggir jalan, hanya membawa sebuah tas lusuh di punggung dan secarik kertas alamat yang ditulis ibunya sebelum merantau dua tahun lalu.
Ibunya, Ningsih, dulu pamit bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah besar. Tapi sejak pergi, tak pernah sekalipun mengirim kabar. Surat yang dikirim Prayitno ke alamat itu pun tak pernah dibalas.
Kini, dengan bekal seadanya, ia nekat datang sendiri menyusulnya.
Tapi alamat yang tertulis di kertas itu sudah berubah. Rumah itu kosong. Tetangga sekitar hanya berkata, "Yang tinggal dulu pembantu, tapi sudah lama tidak kelihatan."
Prayitno tampak kecewa.
Ia menatap rumah itu dari balik pagar besi, bangunannya besar dan angker, seperti ditinggalkan bertahun-tahun. Jendela-jendelanya tertutup rapat. Halamannya dipenuhi ilalang liar.
"Apa benar ibuku tinggal di rumah tua itu??"
Sesuatu tentang rumah itu, membuat tengkuknya meremang.
Hari demi hari berlalu. Prayitno tak menemukan ibunya. Tak ada sanak saudara, tak ada tempat untuk pulang. Ia pun bertahan hidup di kota dengan menjadi kuli pasar, tidur di emperan toko.
Tahun berganti. Hidup keras membuat tubuhnya mengerut sebelum waktunya. Namun di tengah kesusahan, ia bertemu Nurul, perempuan yang sama kerasnya dalam bertahan hidup. Mereka menikah, dan dari rahim Nurul lahirlah Danang, buah hati mereka yang ceria meski hidup serba kekurangan.
Namun penderitaan tak juga pergi. Danang tumbuh dengan tubuh yang lemah. Nurul sering jatuh sakit.
Pagi yang mendung di sudut Semarang membawa kabar buruk bagi Prayitno. Lelaki kurus berusia awal tiga puluhan itu berdiri di depan kontrakan reyot sambil memeluk Danang, putra semata wayangnya yang tengah demam. Sementara Nurul, istrinya, membenahi pakaian mereka yang sudah dikemas tergesa dalam dua tas lusuh.
Seorang wanita paruh baya bertubuh subur berdiri di depan pintu. Ia tampak kesal karena Prayit selalu telat membayar uang sewa rumah.
"Aku sudah kasih waktu, Prayit. Tapi kamu belum bayar juga. Maaf, kamu harus pergi hari ini," ujar pemilik kontrakan dengan nada tegas.
Prayitno hanya menunduk. Uang sudah tak ada, pekerjaan serabutan pun makin sulit didapat. Ia hanya bisa pasrah saat mereka bertiga melangkah meninggalkan tempat yang mereka sebut rumah, selama lima tahun terakhir.
Langit mendung semakin gelap saat langkah kaki mereka menuntun ke taman kota. Danang menggigil dalam pelukan Nurul. Sore itu, nasib seolah mempermainkan mereka.
"Mas, sepertinya kita harus bawa Danang berobat, panasnya semakin tinggi," ucap Nurul dengan nada panik
"Duit dari mana dek, jangankan buat berobat ada buat makan saja kita sudah bersyukur," jawab Prayitno pasrah
Lelaki itu menatap sendu wajah pucat putra semata wayangnya.
"Maafin Bapak Le," ucapnya sambil mengusap kening Danang
"Malam ini kita tidur dimana Mas??" tanya Nurul membuat Prayitno terkesiap
Lelaki itu menatap para tunawisma yang berbaring di emperan toko beralaskan kardus.
"Jangan bilang kita juga akan tidur di sini seperti mereka," ucap Nurul dengan mata berkaca-kaca
"Kalau tidak di sini dimana lagi, uang juga tidak punya, malam ini saja ya dek. Mas janji besok akan cari kerja biar kita bisa ngontrak lagi," jawab Prayit
Nurul hanya mengangguk Pasrah, menerimanya nasib sial mereka.
Sementara itu di tempat berbeda.
Suara lantunan kidung jawa kuno mengalun merdu membuat tubuh Suryati meremang. Wanita itu segera bangun dari tidurnya saat mendengar suara aneh dari kamar sang ibu.
Suryati merasakan suasana rumah besar itu tiba-tiba berubah. Tubuhnya meremang, suasana hangat di kamarnya tiba-tiba berubah dingin.
Pembantu-pembantu rumah itu pun mulai merasa tak nyaman hingga mereka keluar dari kamar mereka.
"Kalian kenapa ada di sini??" tanya Suryati saat melihat ketiga assisten rumah tangganya berkumpul di ruang tamu
"Aku takut Bu, suara nyanyian itu membuat saya tidak bisa tidur," jawab salah seorang pembantu
"Tadi saya lihat ada bayangan hitam melintas di lorong arah kamar Nenek," timpal yang lainnya
"Jangan ngaco, kalian ini pasti kebanyakan nonton film horor, cepat kembali ke kamar, aku gak mau lihat kalian ngumpul di sini!" seru Suryati dengan nada tegas
Meskipun mereka ketakutan tetap saja perintah sang majikan tidak dapat di tentang, "Baik Bu," jawab mereka serentak
Saat para pembantu itu hendak meninggalkan ruang tamu lampu rumah tiba-tiba mati membuat semuanya berteriak histeris.
Suara gemuruh halilintar menambah suasana semakin mencekam. Ketiga asisten rumah tangga saling berpelukan, sementara Suryati mencoba bersikap tenang, baginya ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal menakutkan.
Bola matanya tertuju pada kamar di ujung lorong. Hanya kamar itu yang menyala, padahal hari-hari biasa kamar itu selalu gelap.
"Ibu, sebenarnya apa yang terjadi padamu??" ucap Suryati dalam hati
Suryati mengusap liontin kalungnya sambil mengucap sesuatu. Tak lama lampu rumah kembali menyala. Ketiga asisten rumah tangga langsung berlarian masuk ke kamar mereka.
Sedan Suryati berjalan pelan menyusuri lorong menuju kamar sang ibu dengan dada yang bergemuruh.
Suryati berdiri tegang di depan pintu kamar. Tangannya tampak gemetar saat hendak membuka pintu kamar itu, hingga seekor kucing peliharaan Mariani tiba-tiba melompat keluar membuatnya tersentak kaget.
Selama ini kucing itu tak pernah keluar, ia selalu menemani Nenek Mariani, tapi entah kenapa malam itu ia enggan masuk ke kamar Nenek Mariani.
Suryati berusaha menangkap kucing itu dan membawanya masuk, tapi entah kenapa malam itu ia enggan masuk ke kamar Nenek Suryani.
Nyonya Suryati, wanita paruh baya yang tegas dan berwibawa, merasa ada yang tak beres. Ibunya, yang selama bertahun-tahun hanya terbaring seperti mayat hidup, kini bisa duduk, tersenyum.
Tubuh Suryani membeku saat ibunya tiba-tiba bangun dan tersenyum kepadanya.
"Ibu???" ucapnya gugup
Mariani menyeringai memperlihatkan giginya, membuat Suryani membeku.
“Dia sudah datang.” ucapnya sambil menatap ke jendela
"Siapa dia??" tanya Suryati dengan gugup
"Seseorang yang akan menyelamatkan kehidupan ku sudah datang, kamu harus segera menjemputnya,"
Mariani kemudian turun dari ranjangnya. Wanita tua itu kemudian duduk di kursi rias dan merapikan rambutnya.
"Dimana aku bisa menemukan orang itu??" tanya Suryati mendekati sang ibu
Suryati tahu kalimat itu bukan sekadar omong kosong. Ia telah lama mengetahui bahwa ibunya terikat pada sesuatu yang lebih gelap, sebuah perjanjian lama yang melibatkan makhluk gaib.
"Aku harus bersiap menemuinya, kamu harus membantuku Yati," jawab Mariani
"Baik Ibu, tapi apa yang harus aku lakukan???"
Mariani memutar badannya menatap lekat kearah putri semata wayangnya.
"Bawa dia ke rumah itu???"
Siang itu Suryati pergi mengunjungi Kyai Jatmiko, guru spiritual keluarga mereka. Seorang pria sepuh berwajah tenang dengan penglihatan yang tajam. Ia sudah lama menjadi penasihat spiritual bagi keluarganya sejak generasi kakeknya.
Di dalam ruang pendopo penuh dupa dan jimat tua, Suryati menceritakan semua kejadian aneh, serta kondisi terbaru ibunya.
“Dia bangun. Bahkan menyanyikan lagu Jawa kuno. Dan dia bilang, ‘dia sudah datang.’”
Kyai Jatmiko menatap kosong, lalu mengangguk perlahan. “Itu berarti tumbalnya sudah mendekat.”
Suryati menggenggam kedua tangannya. “Tolong, Guru. Saya ingin tahu siapa dia.”
Kyai Jatmiko menatap periuk berisi air kembang di hadapannya.
"Kita akan tahu setelah melakukan ritual," jawab Kyai Jatmiko
Malam itu, sebuah ritual dilakukan. Dalam lingkaran garam dan asap kemenyan, Kyai Jatmiko memanggil arwah penuntun. Doa-doa dilantunkan dalam bahasa Jawa kuno. Lilin bergoyang tanpa angin. Di tengah ritual itu, Kyai Jatmiko mendadak terdiam, matanya terpejam kencang.
“Ada seorang pria, dengan wajahnya keras. Ia bersama seorang wanita dan anak kecil mereka baru saja kehilangan tempat tinggal. Mereka sedang berjalan di bawah kolong jembatan,”
Suryati menahan napas. Kyai Jatmiko membuka matanya perlahan.
“Cari mereka, Bu Suryati. Karena kalau benar mereka adalah tumbal yang ditunjuk, maka rumah Ibu akan kembali penuh kehidupan. Nenek Mariani akan tetap muda dan kuat. Tapi satu syaratnya, jangan biarkan mereka pergi sampai semuanya selesai.”
Suryati mengangguk paham.
Esok harinya, Suryati mengutus orang-orangnya menyisir kawasan pinggir kota, terminal, dan kolong jembatan. Hingga akhirnya Mereka menemukan Prayitno dan keluarganya yang lelah, kelaparan, dan kehabisan harapan.
Di bawah pohon trembesi yang rimbun, Prayitno duduk termangu. Hujan baru saja reda ketika seorang wanita paruh baya, anggun dan berpenampilan nyentrik, mendekatinya.
"Kalian satu keluarga?" tanya Suryati sambil memandangi Danang yang tertidur di pangkuan Nurul.
"Iya, Bu," jawab Prayitno hati-hati.
Suryati menatap tumpukan barang-barang Prayit yang tertumpuk di belakangnya.
"Apa barang-barang itu punya kalian?"
Sekali lagi Prayit mengangguk, "Benar ibu,"
"Kalian tinggal di sini?" tanya Suryati berusaha menelisik lebih dalam
"Untuk sementara Bu, sampai kami mendapatkan tempat tinggal," jawab Prayit
"Memangnya tempat tinggal kalian kenapa??"
Kali ini Prayit tersenyum malu, ia berusaha menutupi kesedihannya.
"Kami baru saja di usir dari rumah kontrakan kami,"
Sebuah senyum tersirat di wajah ayu Suryati. Wanita itu tampak begitu senang saat tahu Pria di depannya adalah orang yang di orang yang ia cari.
"Tidak salah lagi, baru di usir dari rumah, butuh tempat tinggal dan di dekat kolong jembatan, dia pasti orangnya," gumamnya
“Kalau kalian butuh tempat tinggal, aku punya rumah kosong. Kalian boleh tinggal di sana. Gratis.”
Prayitno dan Nurul berpandangan. Tawaran itu terdengar seperti anugerah dari langit. Mereka mengangguk dengan penuh harap, tanpa tahu bahwa pintu rumah itu bukan membuka jalan ke kehidupan yang lebih baik melainkan ke lorong gelap penuh kematian.
Dan seperti yang telah ditakdirkan, tumbal itu pun dibawa pulang.
Rumah itu berdiri di tengah kawasan yang sepi, diapit pohon-pohon tua yang daunnya selalu berguguran meski tak sedang musim kemarau. Gerbang besi berkarat berderit pelan saat Nyonya Suryati membukanya.
“Rumah ini milik keluarga saya,” katanya datar. “Sudah lama tak dihuni. Tapi kalian boleh tinggal di sini sesukanya.”
Prayitno terpana saat pertama kali melangkah masuk. Lantai marmer berdebu, langit-langit tinggi dengan lampu gantung kuno tergantung kaku. Ada lukisan-lukisan tua di dinding, semua menggambarkan wajah-wajah yang menatap tajam.
Nurul menggenggam tangan Prayit erat. “Rumah sebesar ini, kita benar-benar boleh tinggal di sini, gratis?” wajah Nurul masih tak percaya
Suryati tersenyum tipis. “Asal kalian menjaga kebersihannya. Dan satu hal jangan pernah masuk ke kamar paling ujung di lantai atas.”
Prayitno mengangguk, meski dalam hatinya timbul tanya.
Setelah Suryati pergi, mereka mulai membersihkan rumah itu. Meski terasa sunyi dan sedikit menyeramkan, mereka bersyukur punya tempat berteduh. Danang pun terlihat senang bisa tidur di kasur empuk.
"Alhamdulillah, akhirnya Gusti Allah mendengar doa-doa kita Mas," ucap Nurul penuh syukur
"Iya dek, semoga besok Mas bisa dapat pekerjaan biar kita bisa hidup enak kaya orang-orang," sahut Prayit
Nurul kemudian menghampiri Danang yang tengah melompat-lompat di atas kasur.
"Kamu mau tidur di sini bareng Ibu, atau di kamar sebelah??" tanya Nurul
Danang berhenti melompat, "Di sini saja sam Ibu,"
"Iya, Kamu itu kan penakut mana mungkin berani tidur sendirian," goda Nurul
Wanita itu kemudian memeluk Danang erat dan mengajaknya tidur.
Nurul dan Danang pun langsung terlelap. Sementara Prayit, ia justru masih terjaga.
Malam itu Angin sering berembus dingin dari arah loteng, meski semua jendela tertutup membuat Prayit merasa ada sesuatu yang janggal.
Namun ia menepis semuanya dan membaringkan tubuhnya di samping Nurul.
Tiba-tiba saat ia mulai memejamkan matanya terdengar suara seolah Langit-langit kamar berderit membuat ia kembali terjaga. Matanya menerawang ke atas saat terdengar langkah kaki dari langit-langit kamarnya.
Langkahnya begitu tegas membuat Prayit yakin ada seseorang di atas atap rumahnya.
"Apa ada maling??" pikirnya
Ia segera bangun dan mengambil lampu senter untuk mengecek ke luar. Namun sayangnya tidak ada apapun saat ia melihat ke luar rumah.
“Ah, mungkin cuma tikus,” gumam Prayitno mencoba menenangkan diri sendiri.
Ia kemudian kembali ke kamarnya dan tertidur. Baru sebentar ia terlelap tiba-tiba ia terbangun karena mendengar suara Nurul membangunkannya.
"Mas, bangun Mas," ucap Nurul sambil mengguncang tubuhnya
"Hmm, ada apa??"
"Ada suara perempuan menangis, apa kamu gak dengar??" jawab Nurul
Prayit menggeleng.
"Suaranya jelas banget Mas, sepertinya ada di ruang sebelah, coba kamu cek??"
Prayit segera bangun dan menuju kamar sebelah, saat ia membuka kamar tersebut tak ada siapa pun.
"Gak ada siapa-siapa dek," ucap Prayit saat kembali ke kamar tidurnya
"Aneh, jelas-jelas tadi aku dengar suara orang nangis mas,"
"Mungkin kamu mimpi, sudahlah ayo tidur lagi, aku ngantuk banget,"
Prayit langsung memeluk wanita itu.
Keanehan yang terjadi di malam pertama berlanjut ke malam-malam berikutnya, dimana keanehan demi keanehan terjadi di rumah tua itu.
Dimulai dari Danang yang mendadak demam tanpa sebab. Tubuhnya menggigil setiap pukul dua malam. Dan setiap kali ia menggigil, ia memeluk ibunya erat-erat sambil berkata,
“Ibu, ada nenek seram, nenek itu duduk di pojok kamar,"
Nurul terdiam. Tak ada siapa-siapa di kamar. Tapi setiap kali melihat sudut ruangan itu, ia merasa udara menjadi lebih dingin.
Suatu malam, Nurul melihat bayangan samar di cermin kamar. Sosok perempuan tua, membungkuk, rambut panjang menutupi wajah. Ketika ia menoleh ke belakang, tak ada siapa pun.
Ketika pagi tiba, Danang tak bisa bangun dari tidurnya. Nafasnya lemah. Tubuhnya pucat.
“Mas ini bukan sakit biasa,” bisik Nurul panik. “Kita harus keluar dari rumah ini.”
Tapi saat mereka hendak pergi, gerbang rumah tiba-tiba terkunci rapat. Gemboknya berubah. Kunci yang diberikan Suryati tidak lagi bisa membukanya.
Rumah itu, kini terasa seperti jebakan.
Meskipun suara jangkrik bersahut-sahutan dari luar jendela, namun malam itu terasa terlalu sunyi. Sunyi yang aneh, yang membuat dada terasa sesak. Prayitno duduk di samping ranjang Danang, menggenggam tangan kecil anaknya yang semakin dingin.
Tubuh Danang makin kurus. Nafasnya pendek-pendek. Matanya tak mau terbuka. Dokter yang dipanggil tak bisa menjelaskan apa-apa, hanya berkata bahwa ini mungkin karena kelelahan dan stres.
Tapi dalam hati, Prayit tahu ini lebih dari sekadar sakit.
"Tidak mungkin Danang stress, memangnya dia tahu apa??"
Sementara itu Nurul yang sedang mencuci piring di dapur tiba-tiba tersentak kaget, saat gelas-gelas yang sudah di cucinya tiba-tiba pecah sendiri.
"Prang!"
Wanita itu segera mematikan kran air dan menatap tajam pecahan gelas itu.
“Lagi-lagi gelas pecah sendiri. Ini pasti ada yang tidak beres!"
Ia pun segera berteriak memanggil suaminya
“Mas,” suara teriakan Nurul menggema dari dapur.
"Mas Prayit!"
Prayitno menoleh. Di tangannya masih tergenggam segelas air hangat yang hendak diberikan ke Danang. Ia baru saja akan bangun dari duduknya saat tiba-tiba lampu kamar padam seketika.
*Buk!!
Ruangan menjadi gelap gulita, hanya diterangi cahaya rembulan dari sela tirai.
Danang menggeliat. Tangannya terangkat perlahan. Mulutnya terbuka, tapi suara yang keluar bukan suara anak kecil.
“Dia sudah datang, nenek itu lapar!"
Prayitno membeku. Tubuhnya kaku. Nurul kembali berteriak dari luar kamar saat suaminya tak kunjung menghampirinya.
“Mas! Lantai dapur dingin banget seperti air es!”
Saat Prayit hendak melangkah, tiba-tiba dari arah loteng terdengar suara seretan. Seperti kaki tua yang diseret perlahan di atas papan kayu.
Belum selesai suara seretan kaki, Lalu terdengar suara ketukan.
Tiga kali.
Lambat.
Berirama.
Tok… tok… tok…
Ketukan itu bukan dari pintu. Tapi dari balik lemari tua di sudut kamar. Lemari yang belum pernah dibuka sejak mereka tinggal di sana.
Dengan tubuh gemetar, Prayit mencoba bangkit. Ia mendekati lemari itu. Tangan kanan menggenggam obor kecil, tangan kiri membuka pintu lemari yang berat dan berdebu.
Saat pintu lemari terbuka tak ada apapun di sana.
Kosong.
Namun di bagian belakang lemari ada garis samar seperti celah.
Pintu rahasia??
Sebelum ia sempat menyentuhnya, suara dari belakang membuatnya menoleh cepat.
“Biar aku yang buka,"
"Danang," Prayit mengusap dadanya
Ia termangu melihat putranya tiba-tiba bangun.
Ia berdiri. Mata terbuka, tapi tatapannya kosong. Bola matanya putih. Langkahnya pelan tapi pasti, menuju lemari. Prayit mencoba menghentikannya, tapi tubuhnya tak bisa digerakkan.
Seperti ada kekuatan tak terlihat menahannya. Meskipun ia sudah berusaha menggerakkan tubuhnya namun kekuatan itu terlalu kuat. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan saja.
Danang menyentuh pintu rahasia itu, dengan perlahan.
“KRIEEEET…”
Pintu kayu itu terbuka. Di baliknya lorong gelap dan sempit terlihat jelas. Udara dari dalam lembab dan amis, seperti bau tanah bercampur darah.
Dari dalam lorong itu, terdengar suara napas berat, serak, dan suara tawa kecil nenek-nenek.
“Hehehe... akhirnya, tumbalku datang juga,"
Lorong sempit itu seperti menelan cahaya. Bau anyir darah dan tanah basah menyengat sejak pintunya dibuka. Dinding-dindingnya terbuat dari batu bata hitam yang berlumut. Di beberapa bagian, terlihat bekas cakaran dan noda kecokelatan yang Prayitno tak ingin menebak darimana asalnya.
Bercak darah yang mengering namun baunya seperti masih baru.
Danang masih dalam kondisi kerasukan, berjalan di depan, tanpa suara. Tubuhnya kecil, tapi langkahnya seperti dituntun oleh sesuatu. Bocah itu terus melangkah masuk kedalam lorong.
Prayitno yang panik ingin menariknya, tapi tubuhnya masih terasa berat. Ia benar-benar tak bisa berbuat apa-apa selain memandanginya.
Baru setelah lorong itu semakin dalam dan udara semakin dingin, kekuatannya kembali. Ia langsung menyusul Danang. Ia berlari sekencang-kencangnya meraih lengannya, memeluk anaknya dan membalikkan badannya.
“Danang! Sadarlah, Nak!”
Tapi Danang hanya menatap kosong, lalu pingsan di pelukan ayahnya.
Prayitno membaringkan tubuh Danang di lantai, lalu menoleh ke depan lorong. Ada cahaya temaram dari ujungnya, seolah berasal dari lilin. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat.
Ruang itu, adalah ruang sesaji.
Dindingnya dipenuhi foto-foto lama yang ditempel sembarangan. Sebagian sudah gosong terbakar, sebagian sobek. Tapi satu hal yang membuat dada Prayitno tercekat di antara foto-foto itu, ada wajah yang sangat ia kenal.
Ibunya. Ningsih.
"Ibu??" wajah Prayit seketika berubah gusar, ada kerinduan mendalam saat menatap wajah wanita di foto itu.
Dalam foto itu, Ningsih tampak mengenakan pakaian pembantu. Di belakangnya berdiri seorang perempuan tua yang tersenyum menyeramkan. Dia adalah Nenek Mariani.
Prayitno memandangi meja batu di tengah ruangan. Di atasnya tergeletak benda-benda aneh, ada kain kafan, boneka dari tanah liat, darah kering, dan rambut manusia. Di sisi kiri, ada kendi besar berisi cairan kehitaman, yang bergerak sendiri seperti bernyawa.
Prayit mundur, menjauh dari meja batu itu. Ia tahu tempat itu bukan tempat biasa.
Dan di sudut ruangan, bersandar di kursi roda berkarat, duduklah sosok yang membuat bulu kuduk Prayitno berdiri. Tiba-tiba Prayit melihat sosok wanita tua diatas kursi goyang.
"Nenek Mariani??"
Tubuhnya kurus kering, kulitnya pucat keabu-abuan. Mata setengah terbuka. Tapi bibirnya menyeringai.
“Kamu akhirnya datang juga, anak dari Ningsih.” ucap wanita tua itu
Prayitno melangkah mundur, Ia bahkan hampir terpeleset.
“Kau harusnya bersyukur, Nak. Karena aku akan meneruskan takdir ibumu.”
Tiba-tiba, semua lilin padam. Ruangan menjadi gelap gulita. Terdengar suara tertawa keras, panjang, dari berbagai arah. Membuat suasana semakin mencekam.
Danang menjerit dari belakang. “Ayah! Dia masuk ke dalam tubuh ku lagi!”
Prayitno memeluk anaknya erat-erat, lalu dengan sekuat tenaga berlari keluar dari lorong itu, membawa Danang kembali ke kamar.
Tapi saat sampai di kamar…
Nurul tidak ada.
Prayit memanggilnya, berharap ia segera keluar menghampirinya.
"Dek, Dek Nurul!"
Sepi, tak ada suara sahutan Nurul. Wanita itu benar-benar menghilang.
Yang tersisa hanya baju tidurnya di lantai, dan cermin di kamar yang retak. Tubuhnya seketika lemas.
Ia melangkah mendekati cermin itu.
Di balik retakan cermin itu, untuk sekejap Prayit melihat wajah Nurul. Tapi matanya kosong. Dan di belakangnya berdiri sosok Nenek Mariani yang kini wajahnya tampak jauh lebih muda
"Aku sudah mendapatkannya," ucap Mariani menyeringai seram
"Nurul, tidaaaakkk!!"
Prayitno berteriak histeris.
Tumbal telah diambil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!