"Nah, gaji kamu bulan ini!"
Seorang wanita dengan kisaran usia 40 tahun berkulit putih, dengan mata sipit menatap Vanila dengan ekspresi aneh yang entah harus bagaimana menyebutnya.
Gadis itu terdiam menatap tumpukan uang yang terlihat semakin menipis.
"Kenapa? Ambil!" katanya dengan ketus.
Wanita itu merapatkan punggungnya pada sandaran kursi seraya melipat kedua tangan di dada dengan raut wajah yang tidak enak dilihat.
"Gajinya dipotong lagi, Ci?" tanya Vanila kepadanya.
Wanita yang akrab disapa Ci Mey itu tampak memutar kedua bola matanya, jengah.
"Ya dipikir saja sendiri! Kesalahan apa saja yang kamu lakukan? Berapa customer yang komplain? Bajunya masih kusut lah, nodanya nggak hilang lah, kena noda luntur lah. Kamu kira mereka nggak minta ganti rugi gitu, sama saya? Dangkal sekali cara berpikirmu!" ketus Ci Mey kepada karyawannya yang satu itu.
Cercaan kembali Vanila terima. Dan ini bukan untuk kedua atau ketiga kalinya, melainkan kejadian yang sudah sering ia alami. Tapi entah kenapa dirinya masih belum terbiasa, sampai hati Vanila selalu berdenyut ngilu ketika mendapatkan makian seperti itu.
"Ambilah!" katanya.
"Oh, atau mau kamu kasih ke saya semuanya buat ganti rugi? Iya?" ucap Ci Mey lagi dengan nada tinggi.
Vanila menggelengkan kepalanya.
"Nggak, Ci!" Lantas dia meraih lembaran uang yang teronggok di atas meja, lalu menghitungnya satu-persatu. Vanila cukup terkejut, apalagi dengan nominal yang ia terima, karena hasil kerja kerasnya selama sebulan penuh harus kembali terkikis.
"Cuma tujuh ratus ribu, Ci?" Wajah Vanila berubah sendu.
"Memangnya mau berapa? Gaji kamu kan satu koma dua. Di potong buat gantiin beberapa komplainan, ya sisa segitu!"
Vanila menatap uang itu dengan perasaan sedih dan bingung. Bagaimana tidak? Biaya hidup yang cukup tinggi, berusaha bertahan dengan gaji yang selalu pas-pasan, dan kini dirinya harus semakin berjuang dengan uang yang tentu saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
"Masih mending, ya! Makanan saya kasih, kalau mau kopi tinggal seduh, mau minuman dingin tinggal ambil. Nggak usah sok paling tersakiti kayak begitu! Toh ini juga kesalahan kamu, makanya kerja itu yang bener. Kalau kamu nggak salah, nggak mungkin saya potong gaji kamu!" Nada bicaranya semakin ketus saja dalam pendengaran Vanila.
"Emangnya sefatal itu ya? Sampai dipotong lima ratus ribu?"
"Lah? Kasbon bulan kemarin nggak mau kamu bayar yang dua ratus lima puluh? Itu katanya buat beli makan sama isi token kost?" Ci Mei mengingatkan.
Vanila menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tidak tahu kenapa tiba-tiba saja dirinya lupa.
"Sudah saya kasih keringanan lho, itu. Nominal yang saya ganti lebih besar, tapi saya potong dari gaji kamu cuma dua ratus lima puluh. Yang dua ratus lima puluhnya lagi saya ambil bekas kasbon. Kamu kan janji mau bayar pakai gaji bulan sekarang?" ujar perempuan itu lagi.
Vanila menarik dan menghembuskan nafasnya secara teratur untuk menyingkirkan perasaan yang mengganjal di dalam dada.
Biaya makan sehari-hari, bayar kost, token listrik, belum lagi ongkos pulang-pergi yang tidak sedikit. Setidaknya Vanila menghabiskan 25 ribu untuk melakukan sekali perjalanan menuju tempat kerjanya.
Keadaan ruangan menjadi hening. Wanita berdarah Cina-Indonesia itu menatap karyawannya dalam diam, sementara Vanila sibuk dengan pikirannya.
"Ada lagi?" tanya nya kemudian.
"Oh nggak, Ci. Makasih ya!" Vanila memilih untuk tak memperpanjang urusan karena ini tidak akan ada ujungnya.
"Hemmm, kerja yang bener. Jauh-jauh dari kampung masa mau begini terus? Yang tekor nggak cuma kamu doang, tapi bisnis saya juga. Ingat ya, Laundry kita itu terletak di tengah-tengah perumahan elit. Pelanggannya juga orang punya semua, jadi jangan macem-macem. Satu kaos mereka saja harganya lebih mahal daripada gaji kamu."
"Iya, Ci. Sekali lagi makasih ya?"
"Hemm, sana deh. Udah selesaikan? Sekarang panggil Eli sama Fuji, mereka juga mau terima gaji sama kayak kamu!"
Vanila mengangguk, kemudian dia berjalan mendekati pintu ruangan yang tertutup rapat, lalu keluar dari sana. Tak lupa menghampiri kedua rekannya, dan meminta untuk segera mendatangi ruangan yang sama.
"Kenapa? Potong gaji lagi?" Fuji yang masih menunggu giliran bertanya saat melihat raut wajah Vanila yang murung, padahal sebelumnya gadis itu terlihat ceria seperti biasa. Berbicara banyak hal, dan melontarkan kata-kata candaan.
Vanila menatap Fuji untuk beberapa detik, kemudian mengangguk.
"Aku lupa kalo punya kasbon juga. Jadi potongannya makin gede aja."
"Berapa?"
"Lima ratus. Sisa tujuh ratus lagi! Gimana ini? Bayar kost aja kurang, belum beli token sama makan sehari-hari." Vanila berkeluh kesah.
Fuji tidak langsung menjawab, dia berjalan mendekati salah satu mesin Drying Tumbler yang sudah berhenti berputar, lalu mengeluarkan isinya ke dalam sebuah keranjang berukuran besar.
"Dari dulu, sistemnya masih potong gaji aja. Mending kalo dia ngasih gajinya gede. Lah ini? Udah kecil, kerja harus maksimal, tapi dia nggak pernah mau ngasih gaji yang setimpal!" Fuji berujar, dengan suara pelan.
"Dari dulu? Terus kenapa Mbak Fuji betah?" Tanya Vanila kepada seniornya.
Fuji menoleh, dan menatap Vanila dengan sedikit senyuman yang terlihat di kedua sudut bibir.
"Dih, kamu juga kenapa betah?" Dia menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi.
"Aku butuh, Mbak."
"Ya sama, aku juga butuh. Anak dua, kerja suami masih serabutan, seandainya nyari kerja nggak susah, mungkin aku udah lama out dari sini, Van!"
Vanila menghela nafasnya, kemudian bersimpuh duduk di lantai dengan tatapan kosong tertuju lurus kedepan. Tiba-tiba saja semangat kerjanya menurun, dan untuk saat ini Vanila tidak tahu harus berbuat apa dengan sisa uang gajinya.
"Jangan dipikirin, nanti juga ada jalan keluarnya. Siapa tau ketemu rezeki nomplok, dapet pekerjaan yang lebih baik?"
Vanila menghela nafasnya lagi.
"Mbak, Fuji. Dipanggil Ci Mey!" Eli berujar.
Gadis sebaya Vanila keluar dari balik pintu ruangan yang terletak di sudut tempat itu. Wajahnya berbinar, dengan satu amplop berukuran sedang di dalam genggamannya.
"Van, tinggal masukin baju-baju yang kotor yah!" Fuji berpesan.
Vanila menjawab dengan anggukan.
"Yang teliti, jangan sampe ketuker-tuker, nanti bos kamu ribet lagi."
"Dih, bos Mbak Fuji itu!" Jawab Vanila dengan ketus.
Fuji terkekeh pelan, dan suara wanita itu benar-benar menghilang setelah masuk ke dalam ruangan yang sempat Vanila datangi tadi.
"Cie yang gajian full."
Vanila menarik sebuah keranjang berisikan pakaian kotor, memasukkannya ke dalam mesin cuci, kemudian menambahkan liquid dan juga pewangi pakaian.
"Nggak full juga, sama aja kena potongan." Eli tertawa.
"Dasar aneh, nggak full tapi senyum-senyum."
"Seenggaknya, ini gaji terbanyak yang aku terima selama aku kerja disini. Kayaknya nggak usah aku jelasin, berapa kali aku bikin jas orang rusak karena salah masuk mesin, berapa kali orang datang maki aku, berapa kali juga Ci Mey bentak-bentak aku di depan kalian sama customer. Udah gaji tipis, bayarnya pake mental health lagi!" Dia tertawa lagi.
Vanila menyandarkan punggungnya pada mesin-mesin yang berjejer rapi disana.
"Cari kerjaan lain yuk?" Ajak Vanila.
"Apa? Nyari kerja sekarang tuh susah tau. Cobain aja kalau nggak percaya. Selain ijazah, berpenampilan menarik juga salah satu syarat lowongan kerja disini." Eli memasukan amplop gajinya kedalam saku celana.
"Udah ah, mau nyetrika dulu. Semangat kerjanya Vanila, ini bukan akhir dari segalanya. Siapa tau habis ini dapet tawaran kerja yang menggiurkan. Jagain lansia sebatang kara misalnya. Jadi kalau dia meninggal harta mereka buat kita, hahah."
Eli membawa keranjang pakaian yang sudah bersih ke sisi lain tempat itu, meninggalkan Vanila yang masih bergelut dengan isi pikirannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Holaaa cuyung, i'm back!! 😗
Vanila menggeser mangkuk mie ayamnya yang sudah kosong lalu meneguk es teh yang masih tersisa banyak hingga tandas. Kemudian ia meraih selembar tisu, setelahnya bangkit dan berjalan mendekati seorang pria tua penjual mie ayam gerobakan pinggir jalan.
"Jadi berapa, Pak?" Gadis itu bertanya sambil merogoh tas kecilnya dan menarik selembar uang berwarna biru dari sana.
"Mie ayamnya satu, dua belas. Es teh tiga ribu, sama apa lagi?" Dengan ramah pria tua itu bertanya.
Dia bahkan terus tersenyum meskipun raut wajah lelah terlihat sangat jelas. Tak jarang handuk yang melingkar di lehernya ia gunakan untuk mengusap keringat yang terus bercucuran.
"Tadi saya ambil kerupuk pangsitnya dua, Pak." Vanila menjawab.
"Kerupuk pangsitnya satu bungkus dua ribu lima ratus. Jadi semuanya dua puluh ribu, Neng."
Vanila mengangguk seraya mengeluarkan selembar uang pecahan 50 ribu itu yang kemudian ia berikan pada sang penjual mie.
Segumpal daging yang terkurung di dalam tulang rusuknya terasa dicengkram kuat, sehingga menimbulkan rasa sesak yang teramat sangat. Apalagi saat ingatan Vanila tertuju pada seorang pria yang akrab dirinya sapa dengan sebutan Bapak.
Dimana ayahnya saat ini? Apa ia juga merindukannya seperti dirinya yang selalu merindukan kehadiran pria itu?
Apa dia sehat? Atau mungkin sakit? Vanila menunggu dalam kurun waktu yang tidak sebentar, tapi pada kenyataannya pria itu tak kunjung datang untuk menjemput seperti janjinya 16 tahun silam.
Atau bahkan pria itu sudah tiada? Tapi di mana jasadnya? Vanila tidak pernah mendengar kabar buruk itu, setidaknya pihak panti akan memberitahu jika saja ayahnya memang telah tiada.
"Neng!?" Si penjual mi ayam terus memegangi uang kembalian yang tak kunjung Vanila terima.
"Kembaliannya!" ucapnya sambil menyodorkan uang tersebut.
"Ah, i-iya Pak." Vanila tersenyum canggung, namun kemudian ia meraih lembaran uang receh yang diberikan sang penjual mie.
"Terimakasih, Pak. Mari?" Vanila berpamitan.
Dia berjalan sambil memasukan uang receh itu ke dalam saku celananya. Kemudian mengamankan dompet ke dalam tas, dan tak lupa menutup resleting untuk memastikan semuanya terjaga di dalam sana dengan aman. Dan setelah itu Vanila beranjak pergi, kembali menyusuri trotoar untuk menempuh perjalanan pulang yang sedikit memakan waktu.
Suasana jalanan ramai seperti biasa, mobil dan motor berlalu lalang dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Lalu pandangan Vanila menengadah, menatap lampu-lampu jalanan yang berjajar rapi memenuhi area sana. Sehingga dirinya tidak perlu merasa ketakutan karena jalanan yang dilalui mempunyai penerangan yang cukup.
"Coba kalo Bapak nggak pergi, aku nggak bakalan ada disini. Hidup di tengah-tengah kota besar yang sangat melelahkan!" gumam Vanila.
Suara bising yang berasal dari mesin motor terdengar, dan dengan sekejap mata Vanila merasakan seseorang menarik tas selempangnya dengan paksa.
Beberapa orang yang berada di area sana terdengar berteriak, apalagi saat melihat tubuh Vanila yang sedikit terseret ketika mempertahankan tas miliknya.
Gadis itu tersungkur dengan tubuhnya yang menelungkup di atas aspal. Sementara motor RX king yang di kendarai dua penjambret itu pergi dengan kecepatan tinggi membawa sisa barang-barang berharga yang dia miliki.
"Jambret!!" Setelah mengalami keterkejutan dan tidak tahu apa yang sedang terjadi kepada dirinya Vanila pun berteriak hanya sekedar untuk meminta bantuan orang-orang sekitar.
"Tolong! Tas saya!" Dia berusaha untuk berdiri dan mencoba mengejar dengan langkah tertatih-tatih.
Suara Vanila bergetar, dan dia benar-benar ingin menangis. Bukan karena rasa perih karena luka di tangannya akibat bergesekan dengan aspal, melainkan karena uang sisa gaji yang akan dirinya serahkan kepada sang pemilik kost.
"Eh tolongin, tolongin!"
Semua orang mulai mendekat membantu Vanila untuk bangkit dan membawanya pada sebuah warung kecil yang ada di dekat sana.
"Tas saya, tolong!" Vanila mulai menangis histeris.
"Sudah dikejar, sekarang minum dulu Neng!" Seorang wanita pemilik warung memberikan air minum kemasan yang sudah terbuka.
Vanila sempat menolak sambil terus menatap ke arah jalanan. Dimana gadis itu sempat melihat sebuah motor yang melaju kencang, menarik tas miliknya dengan paksa. Yang di dalamnya ada sisa uang gaji, dompet, juga handphone miliknya raib begitu saja dengan rentang waktu yang sangat cepat.
Terus apa setelah ini? Harus bagaimana dirinya? Uang tidak punya, tempat tinggal apalagi!
"Oh astaga aku harus bagaimana setelah ini?"
"Mudah-mudahan tasnya bisa balik lagi, ya? Sekarang sabar dulu!"
"Saya harus bayar kost, Bu. Uang sama barang-barang saya juga ada disana semuanya."
Vanila terus menangis, apalagi saat seseorang meneteskan obat merah pada lukanya yang membuat teriakan gadis itu terdengar semakin kencang.
***
"Makasih ya, Bu. Sudah antar saya sampai sini, maaf udah bikin repot!" Kata Vanila saat dirinya turun dari atas motor matic yang di kendarai sang pemilik warung tadi.
"Sama-sama Neng. Yang sabar ya, semoga rezekinya semakin lancar."
Vanila menghela nafasnya kemudian mengangguk. Dia berusaha memperlihatkan senyuman agar sedikit meringankan perasaan sedih di hati meski itu tidak berpengaruh banyak baginya.
"Saya yang ceroboh, Bu. Sekali lagi maaf udah ngerepotin."
"Namanya juga musibah Neng, tidak usah menyalahkan diri sendiri karena semua sudah jalannya. Kalau begitu Ibu pamit ya?"
Vanila menjawab dengan anggukan, sementara wanita itu kembali menyalakan mesin motornya, dan segera pergi dari sana.
Dia berbalik badan, menatap sebuah gerbang masuk yang terbuka dengan lebar sehingga Vanila mampu melihat pintu-pintu kost yang ada di dalam sana. Tiba-tiba saja dirinya merasa takut, apalagi untuk menghadap kepada sang pemilik.
Pembayaran sudah jatuh tempo, sementara sisa gajinya saja sudah hilang di ambil orang bersama barang-barang yang lain. Tidak terkecuali kunci kamar kost yang dirinya tempati.
"Hanya jelaskan apa yang sudah terjadi, Van. Siapa tahu Bu Tika akan memberikan keringanan." Vanila bermonolog.
Kakinya mulai melangkah perlahan, masuk melewati pintu gerbang sana, dengan tatapan yang tertuju pada sebuah warung. Dan disanalah wanita itu, duduk di atas kursi rotan sambil menatap ke arahnya dengan raut wajah berbinar.
"Selamat malam, Bu Tika." Dia menyapa sang pemilik kost.
"Malam, Van." Wanita itu tersenyum.
Sudah jelas, dalam pikirannya dia akan menerima sejumlah uang dari Vanila yang sebelumnya sudah di janjikan.
"Gimana? Kerjanya lancar hari ini?"
Vanila terlihat gugup dan wajahnya tampak sedikit memerah, bahkan gadis itu terus mempermainkan jari-jari tangannya.
"Begini, Bu. Maaf sebelumnya, saya baru saja kena musibah. Tas saya dijambret. Uang, dompet dan hape saya di dalam tas semua, jadi maaf kalau belum bisa bayar kost hari ini." Vanila segera menjelaskan.
Tika hanya diam dan menatap Vanila dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Entah marah, kesal atau mungkin iba.
"Kamu ceroboh sekali, Van!" Wanita itu bangkit dari duduknya.
"Maaf, Bu. Tapi secepatnya akan saya lunasi, saya janji. Besok saya ambil kasbon dulu, biar saya bisa bayar kamar kostnya ke Ibu." Kata Vanila.
Tika memejamkan mata, kemudian menghela napasnya. "Ya sudah, besok ya? Soalnya saya juga butuh."
Vanila mengangguk, dan perasaannya sedikit lebih lega. Namun, dia tetap berdiri disana.
"Apa lagi?" Tika menatap Vanila yang masih berdiri di hadapannya.
"Boleh minta kunci cadangan nggak, Bu? Kunci kamarnya hilang juga."
Tika memutar kedua bola matanya, lalu masuk ke dalam warung sana tanpa banyak berbicara.
Vanila memindai keadaan sekitar. Beruntung suasana tidak seramai biasanya, sehingga ia tidak harus menahan malu jika saja sang pemilik kost mengomel dan mengatakan banyak hal.
"Besok yah! Kalo besok nggak bisa bayar, mending di kosongin aja. Soalnya yang mau isi banyak, nggak cuma kamu doang." Nada bicaranya terdengar sedikit ketus, sedangkan Vanila hanya bisa mengangguk.
"Nih, awas jangan sampai hilang lagi!" Dia memberikan kunci yang Vanila minta.
"Terimakasih, Bu. Saya usahakan secepatnya."
"Saya nggak mau secepatnya, saya kasih kamu waktu sampe besok sore. Kalo nggak bisa bayar saya minta kamarnya di kosongin aja!" ulangnya, dan dia menatap Vanila dengan raut penuh amarah.
Dan setelah memberikan kuncinya, Tika pun masuk ke dalam warung dan meninggalkan gadis itu yang masih diam mematung dengan mata berkaca-kaca.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Yaampun Vanila🥲
Jangan lupa dukungannya! Like, komen, gift, vote dan subrekkk😘🥰
Fuji mendorong rolling door Laundry tempatnya bekerja, kemudian membalik tulisan tutup menjadi buka. Tak lupa mengambil sebuah sapu dan pengki untuk membersihkan area dalam laundry.
Namun, sebelum dirinya benar-benar kembali masuk, pandangannya tertuju pada sosok gadis yang baru saja turun dari atas motor.
Wanita itu memandang Vanila dengan raut wajah tidak biasa. Karena dia datang tanpa membawa apapun, termasuk tas kecil miliknya yang tidak pernah tertinggal sama sekali.
"Van?" seru Fuji kepada rekan kerjanya, saat gadis itu berjalan mendekat.
Skinny jeans berwarna hitam, seragam kerja berbalut Hoodie abu-abu oversize. Sekilas tidak ada yang aneh, selain ekspresi sendu Vanila dengan mata bengkak dan hidung yang sangat merah.
"Pagi, Mbak Fuji?" Balas Vanila sambil memaksakan senyum.
Kening Fuji mengernyit.
"Di mana tas kamu? Lupa?" Dia bertanya.
Vanila hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan dari temannya.
Fuji terdiam dengan kedua tangan yang memegangi perkakas kebersihan, menatap wajah gadis 23 tahun itu lekat-lekat, dan mereka sama-sama terdiam dalam jangka waktu yang tidak sebentar.
"Van?"
"Tas aku di jambret, Mbak. Dompet, KTP, ATM, sama sisa uang gaji raib," jelas Vanila dengan mata berkaca-kaca dan suara parau.
"Cuma sisa dua puluh lima ribu, itupun kembalian dari kang mie ayam yang aku simpan di saku celana," lanjutnya, membuat Fuji tertegun.
"Aku nggak punya apa-apa sekarang, Mbak. Bu Tika bahkan minta aku keluar kalau nggak bisa bayar uang kontrakan bulan sekarang!" Vanila mulai terisak, gadis itu menunduk sambil mengusap pelupuk mata dengan punggung tangannya.
Fuji menghela napas lalu berjalan mendekati Vanila dan membawanya masuk ke dalam dengan cepat.
"Duduk, duduk!" Perempuan itu berujar.
Dia menyimpan perkakas kebersihannya lebih dulu, berjalan mendekati sebuah showcase kemudian mengambil satu botol air mineral berukuran sedang yang langsung diserahkan kepada Vanila setelah membukanya lebih dulu.
"Bagaimana bisa?" Fuji duduk di salah satu kursi yang berada tepat di samping Vanila.
Gadis itu tidak langsung menjawab, dia hanya terus meneguk minumannya sampai habis setengah, lalu diam.
Perlahan setelah merasa tenang, Vanila pun mulai menceritakan setiap kronologis kejadian yang membuat barang-barang yang ada di dalam tasnya raib.
Fuji tertunduk diam di samping Vanila, mengusap punggung gadis itu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia tahu betul, sebuah kata sabar bukan yang Vanila butuhkan saat ini, sehingga dirinya membiarkan gadis itu menangis, hanya untuk meluapkan kesedihannya.
"Hari ini Ci Mey nggak datang. Kamu boleh istirahat aja di belakang ya? Kalau butuh apa-apa, atau ngerasa mau makan. Jangan sungkan, aku ada duit kalo cuma buat beli nasi rames di warteg," ucap Fuji dengan suara rendah.
Vanila kembali mengusap kedua pipinya yang basah dengan punggung tangan, kemudian mengangguk.
"Aku harus gimana ya, Mbak?"
"Jangan dipikirin terus, nanti kita cari jalan keluarnya."
Fuji meraih lengan Vanila, kemudian menariknya sampai gadis itu berdiri. Dan mereka pun berjalan bersama-sama ke arah sebuah ruangan yang dikhususkan untuk tempat para pekerja melepaskan lelah.
"Aku bingung! Kost belum dibayar, nggak ada bekel juga. Pinjam ke Ci Mey pasti kena omel, apalagi baru aku bayar kemarin," gadis itu terus terlihat resah.
"Sudah sudah, kita cari jalan keluarnya nanti ya?"
Fuji menarik Vanila, dan membawanya agar duduk di atas lantai beralaskan karpet.
"Dengar, Van. Setiap ada kesulitan, pasti ada kemudahan."
Vanila mengangguk, dengan kedua lengan yang kembali mengusap pelupuk matanya. Tidak tahu kenapa, dia tidak benar-benar bisa tenang setelah apa yang baru saja dialami.
"Aku cuma bingung, kalau nggak bisa bayar kost gimana? Masa harus pulang ke panti? Kan kerja disini juga belum ada setahun, Bapak juga belum ketemu."
"Nanti kita cari jalan keluarnya bareng-bareng, tunggu disini saja ya!" ulang Fuji yang setelahnya beranjak pergi, meninggalkan Vanila di dalam ruangan berukuran kecil itu sendirian.
***
Suasana laundry terasa semakin ramai. Orang-orang tak hentinya berlalu-lalang, mengantar pakaian kotor atau mengambil yang sudah bersih, membuat Vanila tidak bisa hanya berdiam diri didalam sebuah ruangan dengan kesedihannya. Dia duduk di meja depan, melayani setiap customer dengan senyuman hangat.
Yaa, walaupun keadaan hatinya benar-benar buruk.
Sebuah mobil sedan hitam berbelok memasuki area yang cukup luas di depan toko dan berhenti disana, lalu tidak lama setelah itu keluarlah seorang pria dengan pakaian yang cukup rapi.
Tak hentinya Vanila menatap ke arah luar, apalagi setelah mengetahui siapa orang yang datang.
"Selamat siang?" Pria itu menyapa.
Vanila mengangguk, lalu tersenyum.
"Pak Irgi? Mau ambil pakaian?" Vanila berbasa-basi.
Pria yang masuk itu mengulum senyum, kemudian memberikan secarik kertas kepada Vanila.
"Oke, tunggu sebentar," katanya setelah melihat catatan yang tercantum di dalam nota.
Vanila meletakan nota tersebut di atas meja, sementara dirinya berbalik badan untuk mencari pakaian yang sudah siap di laci penyimpanan.
"Silahkan Pak Irgi, terimakasih."
Pria itu menerimanya, seraya memberikan selembar uang pecahan seratus ribu seperti biasa.
"Tips buat kalian."
Vanila diam sebentar, menatap uang dan wajah pria di hadapannya bergantian. Tiba-tiba saja sebuah harapan muncul, apalagi saat mengingat pria itu yang pernah beberapa kali membantunya.
"Ambil, nanti terbang tertiup angin lho!" Katanya sambil menatap kipas angin yang terletak tidak jauh dari posisi mereka.
"Eeee, …"
"Kurang?" Dia bertanya ketika Vanila tak berhenti menatapnya.
Vanila menggelengkan kepala dengan raut wajah terkejut.
"Bu-bukan Pak. Terimakasih, ini lebih dari cukup!"
"Lalu apa? Laundry nya ‘kan sudah di bayar."
"Duh gimana ya aku ngomongnya?" Vanila terlihat canggung.
Sementara pria di hadapannya terus menatap sambil menunggu.
"Kamu nangis lagi ya? Kenapa? Uang gajinya dipotong? Atau dimarahi lagi karena ada komplain dari pelanggan?" Rentetan pertanyaan langsung Irgi layangkan.
Pria itu sudah hafal dengan ekspresi tersebut karena memang beberapa kali mengetahui apa yang terjadi kepada Vanila.
Gadis itu melihat keadaan sekitar, lalu kembali menatap wajah pria di hadapannya.
"Pak Irgi, saya boleh pinjam uang nggak? Nggak banyak kok cuma buat bayar kost sama bikin KTP. Saya kena jambret semalam dan semuanya hilang." dengan suara sedikit berbisik, tetapi dia langsung pada apa yang dimaksud.
Tidak ada jalan lain bukan? Satu-satunya penyelamat adalah keberanian Vanila meminta bantuan dari orang lain.
Irgi terdiam.
"Pak? Saya janji bakal bayar kok, tapi nyicil yah?" Gadis itu memohon.
Yang tentu saja membuat Irgi merasa iba, apalagi saat melihat ekspresi wajah yang tampak sangat menyedihkan. Hidung merah, dengan mata yang sedikit membengkak.
"Berapa?"
"Cuma buat bayar kost sama bikin KTP. Mungkin lebihnya buat biaya makan sama ongkos ojek setiap hari."
"Iya berapa?" Pria itu bertanya lagi, sambil terkekeh pelan.
"Lima juta, boleh? Saya cicil setahun deh!"
"Lima juta?" Irgi membelalak.
"Sama buat kirim uang ke kampung, udah dua bulan nggak wesel soalnya gaji aku kena potong terus." Vanila mengangguk, lalu dia kembali menjelaskan hal lainnya.
Irgi menghela napas dalam-dalam.
"Saya tidak bisa memberi pinjaman, tapi kalau kamu minta pekerjaan, saya ada. Tapi kamu mau tidak?"
"Kerja apa?"
"Ya beres-beres, masak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi ya pendengaranmu harus kuat, soalnya bos saya agak bawel. Apa-apa di perhatikan dan semuanya harus benar-benar bersih tanpa terkecuali."
Kini Vanila yang terdiam.
"Setidaknya untuk makan dan kebutuhanmu ditanggung di sana. Nggak full time kok, bisa setengah hari juga asal bilang saja dari awal."
"Woi! Gosipin apaan tuh?" Teriak Eli sambil memasukan pakaian kotor ke dalam mesin cuci.
Perempuan itu terlihat penasaran, apalagi saat Irgi terus berdiri di dekat rekan kerjanya cukup lama. Membuat kedua orang yang tengah bercakap-cakap itu menoleh tanpa mengatakan sepatah katapun.
"Ya sudah, saya sudah terlalu lama di luar. Kalau sudah fiks kamu bisa kasih…"
"Mau mau. Yang penting ada dulu buat bikin KTP sama bayar kost, … eh emang bisa yah? Kan harus kerja dulu baru gajian?"
"Bisa di atur. Saya antar ini dulu, nanti sore kesini lagi untuk menjemputmu."
Vanila mengangguk.
"Iya, Pak. Terimakasih sebelumnya."
"Oke."
Pria itu pun memeluk lipatan baju yang sudah dibungkus sebuah plastik bening, untuk kemudian membawanya ke arah luar dan memasukkannya ke dalam mobil, sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat Vanila kerja.
"Ada apaan? Lama bener ngobrolnya?" Eli kembali bertanya.
Perempuan itu berjalan mendekati Vanila.
"Nggak ada, dia cuma ngasih tips ini!" Katanya sambil memberikan selembar uang pada rekan kerjanya, lalu Vanila pergi begitu saja ke arah belakang.
“Van? Bagi empat itu!!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gift, like & komen plisss...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!