Vanessa Angelica. Gadis ini sudah kelas sebelas SMA. Sifatnya periang kadang juga penakut. Dia menyukai banyak hal yang menurutnya indah di matanya.
Saat ini, Vanes dan kedua temannya Jihan dan Nesya sedang duduk di salah satu cafe sambil mengerjakan tugas.
"Van? Kamu bisa ngerjain yang nomor 15? Bahasanya aku kurang ngerti." Jihan mendekat ke arah Vanes yang sedang membaca soal.
"Aku juga bingung, Han. Coba tanya Nesya. Aku mau pesen kopi lagi." Kata Vanes sambil beranjak dari tempat duduknya.
Kemudian Vanes berjalan ke arah tempat menu. Tak sengaja bahunya menabrak seorang lelaki yang memakai setelan jas.
"Argh.." Rintih Vanes.
Lelaki yang di tabrak Vanes langsung menghampirinya. "Maaf. Kamu tidak apa?"
"Tidak." Ucap Vanes sambil menggigit bawah bibir. "Maafkan saya karena telah menabrak anda." Ucapnya lagi.
Lelaki itu tersenyum. "Aku Juna. Kamu?"
"Vanessa. Panggil saja Vanes."
"Oke Vanes. Aku harap kita bisa bertemu lagi." Kata Juna kemudian pergi.
Vanes masih termanggu di tempatnya. Lelaki yang tadi sungguh tampan dengan mata sipit serta senyumnya yang manis. Dan.. tanpa sadar, Vanes langsung mencintai lelaki tersebut.
***
Arjuna Rakatya Pradita. Berprofesi sebagai seorang manager. Pikirannya kacau balau ketika bertemu dengan gadis di cafe tempatnya beristirahat untuk makan tadi.
Juna melihat bibir Vanes yang ranum itu membuatnya masih terngiang. Gadis itu memang cantik. Dan..mungkin juga sesuai dengan tipe yang diinginkan oleh Juna mungkin.
Juna mengacak rambutnya. Dia terus memikirkan Vanes. Tidak mungkin rasanya jika Juna menyukai gadis kecil yang masih duduk di bangku SMP.
"Tuan? Maaf menganggu. Ada berkas yang harus di tanda tangani."
Juna mengerjap. "Oh iya. Taruh disini saja."
Sekretaris Juna yang bernama Dinda menaruh berkas yang dibawa ke meja Juna kemudian pamit pergi. Meninggalkan Juna yang masih setia melamun.
Di lain sisi, Vanes juga begitu. Dia duduk di pinggir kasur sambil termenung memikirkan Juna.
"Kenapa lelaki itu ganteng banget sih?" Cetusnya hingga membuat Jihan yang merebahkan dirinya di kasur Vanes terperanjat.
"Siapa Van?"
Vanes menoleh ke arah sahabatnya. "Aku tidak nggak sengaja nabrak orang. Orangnya itu kayaknya udah kerja gitu. Matanya sipit. Senyumnya ramah juga."
Kedua mata Jihan melotot. "What? Om-Om, Van?"
Vanes hanya diam.
"Vanes? Kamu ini udah gila apa gimana? Kamu suka om-om? Kamu nggak takut, Van? Kan kebanyakan om-om itu pedofil terus juga udah punya istri!" Cerocos Jihan. Untung Nesya sudah pulang.
Vanes mengangkat bahunya acuh. "Ya udah sih."
"Vanes! ini serius!"
"Iya Jihan." Sulut Vanes.
"Kamu suka kan sama dia?" Tembak Jihan.
Vanes menggeleng ragu.
Jihan menghela nafas. "Siapa namanya, Van?"
"Juna." Jawab Vanes.
"Vanes! Please! Jauhin dia aja ya? Kalau bisa jangan ketemu lagi mumpung kalian baru kenal." Pinta Jihan. Jihan tidak ingin Vanes ini kenapa-kenapa.
"Akan ku usahakan."
***
"VANES?"
Vanes menoleh ke asal suara. Ada Juna yang sedang berlari ke arahnya. Vanes memang sengaja datang lagi ke cafe 'Andca' untuk bertemu dengan Juna. Dan rupanya harapannya terkabul.
"Pak Juna?" Vanes tampak sumringah.
"Ah. Jangan panggil saya dengan embel-embal pak. Panggil nama saja."
Sontak pipi Vanes bersemu. Vanes benar-benar suka dengan Juna. Dia tak tahu kemana jalan pikirannya untuk saat ini. Mencintai lelaki yang jarak umurnya sangat jauh dengannya.
"Aku sungguh senang bertemu lagi denganmu, Vanes."
"Benarkah?" Ucap Vanes sambil tersenyum.
"Benar."
Kemudian keduanya tertawa. Mereka berdua sungguh senang dipertemukan kembali. Vanes berharap perasaanya ini dirasakan juga dengan lelaki yang ada dihadapannya ini.
Bahkan, Vanes sudah lupa dengan nasihat sahabatnya, Jihan.
Sudah dua minggu Vanes dan Juna kenal. Hubungan keduanya semakin dekat. Jihan yang tahu hanya bisa mendukung secara terpaksa sambil mengarahkan Vanes agar tidak terjerumus.
SMA Perdabar memulangkan muridnya sedikit awal. Tepat pukul waktu makan siang. Vanes hari ini di jemput oleh Juna. Tentu saja untuk membuat Vanes senang. Berbeda dengan Jihan yang menunjukkan senang palsunya. Sedangkan Nesya terkagum dengan Vanes yang akan dijemput oleh seorang manager.
"Van? Itu ya mobilnya?" Nesya tampak berantusias sambil menunjuk sebuah mobil berwarna hitam.
Vanes dan Jihan mengikuti arah telunjuk Nesya.
"Wah iya, Nes! Aku kesana ya? Byee!"
Vanes berlari ke arah mobil hitam tersebut kemudian membuka pintu di samping kemudi. Juna menyambutnya dengan senyuman khasnya. Vanes juga ikut tersenyum.
"Menunggu lama, Sayang?" Tanya Juna sambil menyalakan mesin mobil.
Vanes menggeleng.
Juna tidak menjalankan mobilnya. Suasana gerbang SMP Vanes sudah sepi. Hanya ada kedua sahabat Vanes yang duduk di pinggir pos satpam. Juna memegang tangan kanan Vanes.
"Aku punya sesuatu untukmu, Sayang."
Juna dan Vanes benar-benar dilanda mabuk asmara. Beberapa hari yang lalu Juna menjadikan Vanes sebagai kekasihnya. Kekasih kecilnya. Dan Vanes dengan senang hati menerimanya.
Juna mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru muda. Vanes menatap kotak kecil tersebut. Yang membuatnya menarik perhatian Vanes adalah warnanya. Biru adalah warna kesukaanya.
"Terimalah! ini hadiah kecil dariku."
Vanes tersenyum sambil mengambil alih kotak tersebut dari tangan Juna. Kemudian Vanes membukanya. Sebuah liontin berbandul hati berwarna putih.
Vanes menatap Juna. "Untukku?"
Juna mengusap rambut Vanes. "Tentu saja untukmu, Kekasihku."
***
Flashback ON
"*Vanessa? Kamu senang ku ajak jalan ke Taman ini?"
Vanes yang sedang menikmati hijaunya rerumput menoleh ke arah Juna. "Tentu saja aku sangat senang."
"Oh iya?"
"Iya."
Juna memeluk Vanes dari belakang. Nafas Vanes kian langsung memburu. Ada rasa beda saat Juna menyentuhnya. Juna mengendus leher putih Vanes.
"Ihhh geli tau!"
Juna mencium singkat leher Vanes. "Aku mencintaimu, Vanessa."
Vanes membalikkan tubuhnya hingga berhadapan langsung dengan dada bidang Juna. "Aku juga."
"Kamu mau jadi kekasihku?"
Vanes mengangguk malu.
"Kamu juga mencintaiku?"
Vanes mengangguk lagi.
Dan saat itu dengan sekali hentakan saja Juna mengangkat tubuh Vanes hingga berada di gendongannya. Juna ******* bibir Vanes yang sudah lama membuatnya candu itu. Tentu saja Vanes terkejut dengan perlakuan Juna. Saat hendak melepaskan tautan mulut mereka, Juna semakin memperdalamnya hingga akhirnya Vanes juga terlena dengan permainan Juna*.
Flashback OFF.
***
"Kamu mau makan apa?" Tanya Juna.
Mereka berdua sedang berada di salah satu restoran yang berada di ibu kota. Vanes memilih menu steak dengan minuman jus alpukat. Juna tertawa dan menyamakan pesanannya dengan kekasih kecilnya itu.
"Ayo duduk di dekat jendela!" Ajak Juna sambil menggandeng tangan Vanes.
Vanes menurut. Mereka berdua berjalan beriiringan. Tak peduli dengan tatapan pengunjung yang melihat dengan berbagai pandangan.
"Kamu tidak malu di tatap seperti itu?" Tanya Juna.
Vanes duduk di hadapan Juna. "Tidak. Untuk apa aku malu? Aku kan pakai baju."
Juna mengusap lembut pipi Vanes. "Kamu sangat menggemaskan."
Vanes tersenyum malu.
"Aku mencintaimu!" Ucap Juna lagi.
Juna menatap kekasih kecilnya yang sedang duduk di hadapannya ini. Lelaki ini sadar jika seharusnya dia tidak boleh melakukan hubungan ini. Namun, rasa cinta pada pandangan pertama telah membutakan pikirannya.
Juna juga bisa berbahaya bagi Nadia.
"Vanes! Apa yang telah kamu lakukan sama om Juna itu?!" Nada bicara Jihan membuat seluruh seisi kelas menatap Vanes dengan pandangan risi.
"JIHAN!" Bentak Vanes. Kemudian Vanes membawa Jihan ke rooftop sekolah. Nesya ikut di belakangnya.
Plak.
Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kanan Jihan. "Aku tahu kamu nggak suka tentang hubunganku sama Juna. Aku paham! Aku pun tidak peduli, kamu suka apa enggak. Karena yang menjalankan hubungan ini tuh aku, Jihan! AKU! BUKAN KAMU! DAN SUDAH MEMPERMALUKAN AKU DI DEPAN TEMAN-TEMAN!"
Nesya mengelus bahu Vanes yang sedang emosi. "Udahlah, Han. Kamu itu nggak usah ikut campur urusan orang lain!"
"ORANG LAIN KATAMU, NES? NESYA! VANES INI SAHABAT KITA. TENTU SAJA AKU KHAWATIR JIKA DIA MENJALIN HUBUNGAN DENGAN OM-OM SEPERTI ITU!"
"KAMU HANYA IRI, JIHAN!" Bentak Nesya.
"AKU TIDAK IRI! AKU HANYA KHAWATIR! APA AKU SALAH KHAWATIR DENGAN SAHABATKU?" Jihan masih berteriak.
Vanes menghembuskan nafasnya. "Jihan! aku tak menyangka kamu bisa seperti itu. Aku tahu kamu khawatir. Tapi kenapa juga kamu harus berteriak di depan teman-teman? Aku benci kamu, Jihan. Ayo Nesya kita pergi!"
Jihan menangis dalam sendiri. Dia tidak menyangka jika sahabatnya itu berani berbuat kasar kepadanya. Dengan mencintai seorang lelaki ternyata dapat mengubah pribadi dari Vanes.
Sementara itu, Vanes sedang di olok dengan teman-temannya.
"Oh ternyata kamu jadi perempuan pemuas nafsunya om-om ya, Van?" Pemilik suara sinis itu adalah Utari dan kedua dayangnya, Andini dan Calen yang sedang tertawa. Seisi kelas ikut tertawa.
"Di bayar berapa, Van? Aku sewa sini nanti malam!" Celetuk Dani kemudian tertawa.
Andini menimpali. "Iya tuh. Lumayan Van buat jajan. Mendingan mainnya juga sama Dani dari pada sama om-om ye gak man teman?" Kemudian gelak tawa terdengar.
Vanes ingin melawan. Tapi dia tahu jika lawannya ini banyak. Dan kejadian ini tak akan terjadi jika mulut Jihan tak berkomentar.
Nesya memilih membawa Vanes keluar dari kelasnya. Membawa Vanes ke arah taman mungkin lebih baik. Namun, di jalan, mereka berdua bertemu dengan Jihan.
Vanes menyeka air matanya saat bertemu dengan Jihan. "Gara-gara mulutmu, aku di caci maki. Harga diriku sudah tidak ada di mata mereka semua. Dan itu semua gara-gara kamu, Jihan. Aku akan membalas perbuatanmu. Ayo Nesya!"
"Vanes! Vanessa! Tunggu!" Panggil Jihan tapi tak di hiraukan.
***
Vanes menangis di pelukan sang kekasih. Seperti rutinitas biasa, Juna menjemput Vanes. Juna terkejut mendapati kekasih kecilnya itu menangis.
"Ada apa, sayang?" Tanya Juna sambil mencium puncak kepala Vanes.
Jas hitam milik Juna telah basah karena air mata. "Aku di bilang perempuan pemuas oleh teman-temanku! Dan mereka bilang begitu karena Jihan."
Juna agak tak terima jika kekasihnya di bilang seperti itu oleh teman-temannya. "Jihan? Sahabat kamu kan?"
Vanes mengangguk di pelukan Juna.
Juna sadar sesuatu. Penghalang di antara hubungannya selama ini adalah Jihan, sahabat Vanes. Dan Juna harus bertindak tegas.
***
Setelah mobil Juna turun di gerbang perumahan tempat Vanes tinggal, Vanes turun dari mobil. Tangannya di cekal oleh Juna.
"Ada apa?" Tanya Vanes.
"Ada saatnya nanti aku menurunkanmu di depan rumahmu." Jawab Juna. Vanes tersenyum simpul. "Jangan sedih, Vanessaku!"
Kemudian Juna mencium kedua pipi Vanes. ******* bibir Vanes yang selalu membuatnya candu. Tangan kiri Juna di gunakan untuk mengunci pintu mobil. Vanes yang sudah terlena mengikuti irama permainan Juna. Belum bosan dengan bibir Vanes, Tangan kanannya di gunakan untuk membuka kancing baju Vanes.
Tin! Tin!
"Argh! Sial! Menganggu saja!" Ucap Juna sambil menepikan mobilnya agar mobil di belakangnya bisa lewat.
Vanes hanya diam sambil merapikan tatanan bajunya. Kancingnya sudah terbuka dua.
"Aku turun ya, Jun?" Tanya Vanes terlebih dahulu. Juna hanya mengangguk.
Vanes pun turun dari mobil Juna kemudian berjalan menuju blok rumahnya terletak.
Juna menggeram pelan. Tangannya mencengkram kuat setir mobilnya. Dalam hati, Juna mengutuk siapapun itu yang menganggunya tadi. Lagi-lagi nafsunya tak terpuaskan.
***
"Jihan!"
Mendengar namanya di panggil oleh seseorang, Jihan menoleh. Lelaki yang menggunakan setelan jas berwarna hitam dengan wajah berwibawa dan arogan berdiri di hadapannya.
"Siapa Anda?" Tanya Jihan.
"Saya Juna."
Jihan menatap Juna dari atas hingga ke bawah. Lelaki yang di hadapannya ini benar-benar perfect untuk perempuan yang seumuran dengannya. Pantas saja Vanes langsung menaruh hari jika stylenya seperti ini.
Jihan tersenyum sinis. "Oh jadi anda yang namanya Juna. Ada apa om menemui saya?"
"Jangan ikut campur urusan saya dengan Vanessa walaupun kamu itu sahabatnya." Tegas Juna.
Jihan tak takut sekalipun. "Saya sahabat dari Vanes, Om. Anda tak berhak mengikut campuri urusan saya dengan Vanes."
Halaman sekolah sudah sepi. Hanya ada mereka berdua. Dugaan Juna jika Jihan belum pulang dari sekolah ternyata benar.
"Kamu juga tak berhak ikut campur urusan saya dengan Vanessa."
"Saya dan Vanes adalah sahabat sejak kami kelas 7. Anda hanya baru masuk ke dalam kehidupan Vanes, Om. Anda hanya bagian baru dari hidup Vanes. Anda memang kekasihnya, tapi ikatan persahabatan lebih kuat dari pada ikatan kekasih!"
"Oh iya? Jika memang ikatan sahabat terlalu kuat untuk melawan ikatan kekasih, kenapa Vanessa membencimu?" Juna maju selangkah agar lebih dekat dengan Jihan.
Jihan mundur. "Karena itu semua salah paham, Om! Saya akan menjauhkan Vanes dari anda!"
"Coba saja jika bisa. Kamu tidak akan bisa memisahkan kita, Jihan. Akulah yang akan memisahkan kamu dari Vanessa!" Balas Juna.
"Saya akan tetap berjuang untuk yang terbaik demi sahabat saya. Pengakuan mundur akan selalu terbuka." Ucap Jihan sambil berlalur pergi.
Dengan sekali sabetan, Jihan kembali berdiri di depan Juna karena Juna menarik tangannya dan mencekalnya dengan kuat. "Dengar Jihan! Saya akan mencari tahu asal-usul keluargamu. Dan jika kamu masih tetap saja ingin menghalangi saya untuk Vanessa, saya tak segan-segan mempermalukanmu disini ataupun membunuhmu!"
Dada Jihan kembang kempis. Tepat cekalan tangan dari Juna sudah lepas, Jihan langsung berlari. Berlari menjauh dari Juna. Keyakinannya jika Juna berbahaya benar-benar terbukti. Apalagi melihat wajahnya. Jihan takut.
Tanpa di duga, Aktivitas dari mereka berdua ada yang memantau. Bahkan juga di dokumentasikan.
***
"Vanessa!"
"Iya Ma?" Balas Vanes berteriak dari kamar.
Wanita berkisar berumur 39 tahunan membuka kamar Vanes. Dia adalah Tasya. Mama Vanes.
"Ayo makan!" Ucap Tasya.
"Ayo Ma."
Menikah dengan Dylan -Papa Vanes membuat kebahagian sendiri bagi Tasya. Di tambah dengan hadirnya Vanes 17 tahun lalu, membuat keluarga kecil ini semakin di lengkapi kebahagiaan.
Dylan tampak tersenyum bahagia dengan kedatangan kedua perempuan yang dicintainya. Dylan begitu menyayangi keduanya. Tak segan-segan dia akan membunuh siapapun itu yang berani menyakiti dua perempuan ini.
"Papa!"
"Duduk, Nak. Makanlah yang banyak!" Kata Dylan sambil mengelus rambut putri semata wayangnya.
Mereka bertiga makan dalam diam. Tak ada sepatah kata pun hingga satap makan mereka sudah selesai. Dylan lah yang akhirnya membuka pembicaraan.
"Tadi pas Papa mau masuk ke komplek, ada mobil yang menghalangi di depan gerbang perumahan."
Deg!
"Oh iya, Pa? Siapa mereka?" Tanya Tasya.
Dylan menggeleng. "Papa juga nggak tahu, Ma."
"Ekhem. Ma, Pa, Vanes sudah selesai makan. Vanes mau ke kamar. Selamat Malam."
Vanes khawatir jika papanya itu tahu tentang hubungannya dengan Juna. Vanes ternyata harus lebih waspada dan berhati-hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!