NovelToon NovelToon

Istri Siri Mas Alendra

1. Hal Menyakitkan

"Maaf." Wajah cantik dengan bibir se merah cherry itu tampak tegas seperti biasa. Dialah Silvia Amanda, perempuan yang kini statusnya sudah menjadi mantan istri tepat lima menit yang lalu. Sementara pria di depannya adalah Aleandra Sukma Wijaya yang telah secara resmi menjatuhkan talak di depan pengadilan untuk memutuskan ikatan pernikahan yang terjalin tiga tahun terakhir.

Aleandra bergeming. Wajahnya datar tanpa emosi seolah segala hal telah hilang dari dirinya. Matanya hanya berkedip pelan, sementara bibirnya terkatup rapat meski banyak hal yang ingin dia katakan kepada wanita yang sempat menempati relung hati yang paling dalam.

"Mas, aku —" kata-kata Silvia menggantung di udara ketika Aleandra menganggkat tangan. Pria 35 tahun itu jelas tak lagi ingin bicara, apalagi setelah sekitar enam bulan proses perceraian yang menguras emosi, perubahan pada tubuh sang mantan istri tampak kentara.

Pipinya sedikit lebih gembil, tubuhnya lebih berisi dan perutnya tentu saja sudah membuncit. Diperkirakan kandungannya saat ini sudah berusia sekitar 7 bulan.

Ya, Silvia tengah mengandung. Dan seharusnya ini menjadi saat-saat paling membahagiakan bagi mereka karena setelah tiga tahun pernikahan akhirnya dikaruniai anugerah paling indah yaitu janin di rahim wanita itu.

Namun sayang, yang ada di dalam kandungan sang istri bukanlah miliknya, melainkan hasil dari perselingkuhan Silvia dengan lelaki lain.

~ Flash back on ~

"Apa ini?" Kedua bola mata Aleandra membulat saat menatap benda kecil yang dia temukan di dalam amplop di genggaman Silvia. Tentu saja wanita itu terkejut karena sebelumnya tak menyadari kehadiran sang suami yang telah merebut hasil pemeriksaan kandungannya.

"Mas?" Lalu dia berusaha merebutnya kembali, tetapi terlambat, benda itu sudah lebih dulu berpindah ke tangan Aleandra.

"Positif?" Pria itu berujar.

"M-Mas, ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Ini ...."

"Milikmu? Bagaimana bisa?" Lalu pandangan Aleandra jatuh pada cup kecil di wastafel dan itu semakin menguatkan prasangkanya kepada Silvia.

"Mas, ini bukan —"

"Milikmu?" tanya nya lagi yang merangsek sehingga jarak di antara mereka benar-benar terkikis. Dan wajah Silvia tempak memucat dengan bibirbergetar. Wanita itu tampak ketakutan seolah dia telah melakukan kesalahan besar.

"Katakan! Apa ini milikmu?" Aleandra mengulang pertanyaan. Dia bahkan meraih tangan sang istri kemudian mengguncangkannya untuk mendapatkan jawaban. "Tidak mungkin ini milik orang lain sedangkan jelas-jelas aku melihatmu keluar dari ruangan dokter kandungan!"

"M-Mas ...."

"Katakan, Silvia!!" Kini dia berteriak yang membuat tubuh perempuan di depannya bergetar.

"Katakan! Atau aku akan —"

"Ya!" Lalu seorang pria yang muncul di belakang Silvia menjawabnya.

Aleandra tertegun. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong mendengar hal tersebut.

"Silvia hamil." Lanjut pria itu yang menarik Silvia ke dekatnya.

"Apa?" Dia tak percaya.

"Ya, itu ... Milikku." Lalu Silvia juga menjawab dengan segenap keberanian yang dia punya. Menghindar bukan pilihan terbaik karena suaminya itu tidak akan mungkin percaya. Lagipula, pria yang selama ini menjalani hari-harinya yang terasa hambar sudah berani muncul dan mengaku.

"Katakqn sekali lagi!"

"Ya, Mas. Itu milikku." Terdengar getaran dalam suara Silvia. "Aku ... Hamil."

"Tidak mungkin!" Aleandra menjatuhkan alat tes kehamilan di tangannya seraya mundur dua langkah ke belakang. Dia masih mencoba mencerna apa yang didengarnya barusan.

Silvia terdiam.

"Tidak mungkin, Silvia. Bagaimana bisa?" Kedua tangan meremat rambutnya dengan keras dan kedua matanya menatap nanar perempuan di hadapannya.

"Tentu bisa karena —"

"Aku vasektomi, dan kamu tau itu!!"

Silvia meremat tangan Rendi, pria yang menemaninya menjalani pemeriksaan pada hari itu.

"Bagaimana mungkin ...."

"Itu bisa terjadi karena aku dalam keadaan normal." Rendi menyela sehingga perhatian Aleandra beralih kepadanya.

"Ya. Janin itu ... Milikku." Meski berat, tapi kalimat itu meluncur juga dari mulut Rendi, yang semakin membuat Aleandra merasa seolah kepalanya tertimpa batu besar.

Dia ingat. Beberapa kali pernah melihat pria itu saat mengantar ataupun menjemput Silvia di tempatnya bekerja. Jangan-jangan ....

"Maaf, Mas. Aku ... mengandung anaknya Rendi. Kami sebenarnya... Punya hubungan." Silvia mengeratkan genggaman tangan pada Rendi yang mendapat balasan sama dari pria yang seolah diakuinya sebagai kekasih itu.

Sementara Aleandra membeku. Otaknya terasa kosong sehingga dia benar-benar tak mampu mencerna apapun.

~ Flashback Off.~

"Setelah ini ... Aku harap kamu —" Belum selesai Silvia berbicara, Aleandra memilih untuk pergi. Rasanya tidak tahan saja apalagi wanita itu ditemani pria yang menggamilinya. Apalagi kini mereka telah resmi bercerai, dua sejoli itu tak malu-malu lagi meunjukkan hubungan mereka meski sempat mendapatkan hujatan dari dua keluarga.

"Mas? Mas Ale?"

Aleandra tak menggubrisnya sama sekali. Yang dia inginkan hanyalah pergi dari tempat itu dan meninggalkan semuanya.

***

"Kamu yakin?" Sang ibu memeriksa ke dalam kamarnya sejak Aleandra mengutarakan niatnya untuk pindah bekerja ke kota kembang. Lebih tepatnya melarikan diri dari segala kenangan meskipun setelah selesai urusan perceraian dia segera pindah ke rumah orang tua.

Rumah megah yang dibangun bersama sejak dirinya menikahi Silvia harus dibagi dua karena merupakan harta bersama. Juga kendaraan dan beberapa aset yang terkumpul terhitung sejak mereka menjadi suami istri kini telah terpisah meski dengan proses yang cukup alot karena perempuan itu merasa jika bagiannya lebih besar.

"Sudah selesai berkemas tentu saja yakin." Sang putra menjawab tanpa memalingkan perhatian dari koper yang tengah diisinya dengan keperluan yang harus dibawa.

"Tawaran Mama masih berlaku lho, Le. Pabrik kita di Kertosari butuh kamu." Bu Andini, sang mama mendekatinya untuk membuatnya mengurungkan niat. Tetapi sepertinya Aleandra tidak tertarik. Bekerja mengurus pabrik teh milik keluarga bukanlah passionnya, apalagi harus terjebak dalam lingkungan yang tak biasa. Yakni di sebuah perkampungan di mana perbukitan teh membentang luas.

"Ma, sudah Ale katakan kalau Ale tidak tertarik. Lagipula di sana 'kan sudah ada mbak Hani dan mas Juna. Rasanya tidak perlu kalau ditambah lagi."

"Namanya perusahaan keluarga, Le. Ya jelas perlu, apalagi papamu sebentar lagi mau pensiun."

"Ya pensiun saja, sudah waktunya kan? Lagian Syaina juga sudah lulus kuliah. Jadi tuntutan biaya tidak seberat waktu kami masih sekolah." Anak ketiga dari empat bersaudara itu menjawab.

"Kamu ini, dasar!!" Bu Andini dengan nada kesal, tapi dia menyerah juga. Karena tidak mungkin bisa memaksa putranya yang satu itu untuk menuruti kemauannya. Apalagi saat ini dia masih patah hati.

Ya, patah hati begitu dalam akibat pernikahan yang dibangunnya bersama kekasih sejak bangku kuliah harus kandas karena penghianatan. Terlebih, harga dirinya sebagai seorang lelaki benar-benar diinjak ketika wanita yang begitu dicintai, dan dia rela berkorban untuknya malah berpaling kepada pria lain. Padahal pengorbannya sebagai suami begitu besar.

Bahkan saking cintanya dia kepada Silvia yang pada saat mereka menjalin kasih sudah menganut paham childfree, Aleandra rela menerima dan bersedia menjalani metode kontrasepsi untuk laki-laki. Apalagi setelah mengetahui jika tubuh sang istri ternyata tidak mampu menerima segala jenis kontrasepsi sehingga dirinyalah yang harus berkorban. Meski pada akhirnya, hanya kepahitanlah yang dia dapatkan.

*

*

Bersambung ...

Hai readers tersayang. Apa kabar?

Semoga kalian sehat dan bahagia.

Emak hadir lagi dengan cerita baru. Semoga kalian suka, ya?

Alopyu sekebon 😘😘

Kenapan dulu sama Mas Ale

Pindah

“Tapi aku nggak bisa punya anak.” Kalimat itu terlontar dari bibir Silvia tak lama setelah Aleandra mengutarakan niatnya untuk mempersunting perempuan yang telah dipacarinya sejak bangku kuliah. Dan kini, setelah bertahun-tahun meyakinkan diri akhirnya dia memiliki keberanian untuk melakukan hal tersebut.

Seluruh keluarga sudah setuju dengan hubungan mereka, dan kedua orang tua telah saling mengenal. Sehingga tak ada hambatan berarti bagi keduanya untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Ibunya bahkan begitu menyukai Silvia yang cantik, berkharisma, elegan dan memiliki karir cemerlang seperti dirinya.

Mereka merupakan partner dalam urusan pekerjaan. Aleandra yang seorang manager sedangkan Silvia adalah supervisior di sebuah perusahaan retail terbesar di Indonesia. Keduanya adalah andalan yang menjadikan bisnis pemiliknya berkembang begitu pesat sehingga bisa menguasai sebagian besar pasar di negara ini.

“Bukankah aku sudah mengatakannya kepadamu kalau aku memang tidak bisa punya anak? Sejak awal aku sudah terbuka dan aku pikir kamu mengerti.”

Aleandra tertegun. Dia masih tak habis fikir mengapa sang kekasih tetap pada pendiriannya.

“Mas, sepertinya kita tidak bisa meneruskan ini jika tidak sepakat dari awal. Aku takut ini malah meperburuk hubungan kita di masa depan. Jadi sebaiknya —”

“Tidak!” Pria itu cepat-cepat menjawab. Tidak mungkin hubungan yang sudah terjalin lebih dari lima tahun kandas hanya karena hal konyol seperti ini. Dirinya begitu mencintai Silvia dan rasanya tidak akan mungkin bisa hidup tanpanya. Sedangkan soal anak, bisa dipikirkan lagi nanti.

“Tapi, Mas … aku mengerti tujuanmu ingin berumah tangga. Untuk membangun keluarga dan meneruskan keturunan, kan? Lagipula keluargamu sudah pasti mengharapkan itu juga. Sedangkan aku tidak sepakat soal itu. Aku takut tidak bisa mendidik anak ku dan membahagiakannya kelak. Terlebih, aku takut malah akan membuatnya menderita. Hidup di zaman sekarang sangatlah sulit, Jadi sebaiknya kita ….”

Aleandra menggelengkan kepala kemudian meraih tangan Silvia. Dia menggenggamnya dengan erat dan akan berusaha meyakinkan jika itu bukanlah hal besar.

Ya, dirinya memang tau ada trauma tersendiri yang membuat sang kekasih memiliki pemahaman seperti itu. Dia tau sekali.

Silvia lahir dari keluarga berantakan dan dia dengan susah payah bangkit. Kedua orang tuanya bercerai dan masing-masing dari mereka kembali menikah dengan orang lain. Membangun keluarga baru tanpa memperhatikannya sama sekali. Dia bahkan selama bertahun-tahun harus hidup berpindah-pindah dari rumah satu ke rumah lain. Sempat tinggal bergantian dengan ibu dan ayah bersama saudara tiri, tetapi akhirnya tinggal di panti asuhan. Bukan karena mereka tak mampu, tapi karena tuntutan dari pasangan masing-masing yang tidak menghendaki kehadirannya sebagai anak bawaan. Mereka pikir, Silvia menambah beban dan membuat hubungan tidak harmonis karena sering berselisih paham dengan anak yang mereka bawa.

Hidupnya cukup sulit di masa lalu dan perempuan itu harus berjuang keras. Bahkan untuk urusan makan dan sekolah pun dia harus menunggu kemurahan hati ibu dan ayah tirinya untuk memberinya sedikit biaya. 

Dan yang lebih parah adalah ketika menginjak masuk bangku SMA, segala hal terputus begitu saja. Kedua orang tuanya menolak memberi lagi biaya dengan alasan sudah tidak sanggup sehingga dirinya harus bekerja mencari uang di usia se belia itu. Meski setelahnya Silvia berhasil dengan beasiswa hingga lulus kuliah. Tapi ketakutan soal pernikahan dan berkeluarga menjadi beban tersendiri dalam pikirannya.

“Anak bukan hal utama. Aku mencintaimu, maka segalanya akan kita jalani bersama. Bahkan tanpa keturunan pun aku rela asal itu bersamamu.” Aleandra menegaskan.

“Lalu bagaimana dengan keluargamu? Kelak kita akan dipandandang rendah karena tidak mau punya anak, karena mungkin saja bagi mereka hal itu sangat penting.”

“Aku yang akan bicara. Lagipula papa dan mama cukup terbuka. Jadi sepertinya bukan hal yang sulit untuk memberi mereka pengertian.”

“Kamu yakin, Mas?”

“Ya.”

Silvia tersenyum. Sejak dulu Aleandra memang semanis itu. Tak ada lelaki sebaik dia yang bisa menerima diri apa adanya. Segala hal selalu menjadi alasan baginya untuk tetap tinggal dan membersamainya menjalani hidup. Maka, tak ada lagi yang dia pikirkan selain menerima pinangan pria itu. Dengan segala keyakinan bahwa hidupnya akan semakin baik dan membahagiakan.

Kemudian setelah segala pembicaraan panjang lebar dan penjelasan mendetail pada keluarga, dilangsungkanlah pernikahan itu dalam suasana membahagiakan. Terutama keluarga Aleandra paham dan menyerahkan segala keputusan pada mereka tentang apapun yang akan dijalani. Termasuk pilihan hidup berbeda Silvia untuk rumah tangganya. Meski pada awalnya sempat ditentang, tapi dirinya bisa membuat keluarganya menerima hal itu. Tapi tak apa, karena semua orang pantas bahagia dengan caranya sendiri, bukan?

***

Kedua mata Aleandra terbuka setelah merasakan guncangan pada tubuhnya, dan sosok pria paruh baya yang merupakan sopir orang tuanya lah yang mendominasi pandangan saat dia tersadar. Rupanya rasa lelah lahir batin membuatnya tertidur selama dalam perjalanan, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah villa yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai sekarang.

“Sudah sampai, Mas.” Pak Pardi mengeluarkan koper dari bagasi sementara Aleandra bangkit sambil mengusap wajahnya.

Matahari sudah condong ke barat tanda sore menjelang. Dan suasana di tempat itu terasa cukup sepi.

Aleandra menatap bangunan bertingkat dua tersebut. Rumah besar bergaya eropa yang terletak di perbukitan di Bandung Barat. Berdiri sendiri di antara perkebunan sayur dan hutan pinus, yang udaranya terasa sejuk cenderung dingin. Tapi dari sini terlihat jelas kota Bandung di bawahnya yang jaraknya tidak terlalu jauh.

“Nggak jauh beda dengan di Kertosari, Pak. Cuma disini nggak ada kebun teh. Kenapa sih mama sukanya beli aset di gunung?” Dia misuh-misuh karena villa milik ibunya tersebut berada di pelosok, bukan kota seperti keinginannya.

“Namanya juga villa, Mas. Ya di gunung lah. Kalau di kota ya komplek.” Pak Pardi melenggang mendahuluinya masuk ke dalam.

“Maksudnya rumah yang di kota gitu lho, bukan di kampung seperti ini.”

“Gunung, Mas.”

“Iya, sama aja. Gunungnya ada di kampung.”

“Kata ibu biar pikiran tenang.”

Aleandra mendengus. Kembali dia menatap ruangan luas dengan langit-langit yang tinggi. Satu tangga sepertinya mengarah ke lantai dua di mana kamarnya berada, dan jendela-jendela besar menghiasi sehingga tempat itu terlihat megah.

“Art mungkin datangnya besok pagi, Mas. Tapi tadi dia sudah beres-beres. Saya lihat semuanya bersih, jadi Mas bisa langsung istirahat.” Pak Pardi meletakkan koper-koper di dekat lemari. “Bajunya mau saya yang bereskan, Mas?” tawarnya setelah dia selesai.

“Nggak usah, biar si mbak saja besok. Kasihan Bapak cape nganterin saya.”

“Ya nggak apa-apa, kan sudah biasa.”

“Besok saja.”

“Ya sudah kalau begitu. Mas mau makan atau gimana? Biar saya pesankan nanti sama si mbak nya.”

“Nggak usah, Pak. Nanti saja saya order online. Di sini bisa, kan?”

“Oh, bisa bisa. Kampung-kampung begini juga deket kok ke kota. Tinggal turun. Semuanya juga serba online. Terus ke tempat kerja Mas juga nggak jauh-jauh amat lah, tinggal belok kiri, lurus dikit, sampai deh.”

“Ya ya ya, baiklah.” Aleandra menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Lalu tanpa menunggu lama dia segera terlelap. Sepertinya rasa lelah belum mereda sehingga dengan mudah dia kembali tertidur.

“Ckckck. Mas Ale, Mas Ale.” Pak Pardi berdecak sambil menggelengkan kepala, kemudian dia keluar dari kamar sang majikan.

*

*

Like nya dong yang kenceng.

Eh, ritualnya masih sama nggak sih? Komen vote dan gift. Aku lupa, hahahaha.

Seorang Janda

🌸

🌸

“Besok jadi, kan kerja nya?” Seorang perempuan paruh baya lagi-lagi bertanya kepada menantunya yang tengah fokus menyusui anak balita berumur satu tahun.

Dialah Asyla Ningrum yang bahkan baru saja kembali setelah menyelesaikan pekerjaannya membersihkan sebuah villa di bukit tak jauh dari tempat tinggal mereka.

Asyla tak langsung menjawab. Dia tetap menatap wajah sang putra yang hampir saja terlelap dalam buaian dengan mulut masih menyesap kuat air kehidupan yang berasal dari dalam tubuhnya.

“Syla!!” bentak Maysaroh yang lagi-lagi dibuat kesal karena ulah sang menantu yang lambat kali ini.

“Umm … memangnya harus besok, Mbu?” Dengan terpaksa Asyla mendongak, dan didapatinya wajah masam sang mertua, seperti biasa.

“Memangnya mau kapan lagi? Kata pak Pardi majikannya sudah sampai. Kamu mau mengelak?”

Perempuan 23 tahun itu terdiam.

“Atau … kamu bersedia menikah dengan juragan Somad? Nggak apa-apa, itu lebih bagus. Tawarannya masih berlaku.”

Mata Asyla membulat sempurna. Lagi-lagi kalimat itu sang mertua ucapkan meski sudah berkali-kali dia menolak. Tapi tetap saja, apapun jawabannya dia tak mampu membuat ibu dari mendiang suaminya itu mengurungkan niatnya untuk menjodohkannya dengan orang terkaya di kampung tersebut.

“Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau kerja, tapi setidaknya berusahalah untuk tetap membayar hutang bekas lahiranmu. Masih ingat kan berapa jumlahnya? Operasi Tirta itu mahal!” Lagi, Maysaroh mengingatkan soal uang dan segala macamnya yang membuat Asyla kembali dilanda kebingungan.

“Sudahlah, kan sudah Ambu bilang agar semuanya lebih mudah untuk kita. Menikah saja dengan juragan Somad, dia masih menunggu kamu.”

“Dan jadi istri ke empat, Mbu?” jawab Asyla, takut-takut.

Dia memang adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh Jaka, suaminya. Dan karena wasiat almarhum, Asyla masih menetap bersama keluarganya. Alasannya, karena dia tidak punya siapa-siapa.

Ayahnya meninggal di perantauan saat dirinya masih dalam kandungan, sedangkan ibunya wafat di usianya yang ke 12 tahun. Dan selama itu pula dirinya hidup susah sebatang kara.

Sanak saudara tidak ada yang mampu merawat, lalu ketika usianya menginjak 18 tahun bertemulah dengan Jaka, yang menikahinya tak lama setelah itu.

Sang suami yang kala itu berprofesi sebagai sopir truk muatan batu memberanikan diri untuk meminangnya, lalu memboyong Asyla ke rumah keluarganya tak lama setelah mereka resmi menikah.

Selama kurang lebih empat tahun membina rumah tangga, akhirnya mereka dikaruniai anak. Namun sayang, di usia kandungan ke empat bulan Jaka mengalami kecelakaan. 

Saat itu truk yang penuh dengan muatan batu yang harus diantarnya ke sebuah desa tetangga mengalami kecelakaan, yakni tertimpa material dari tebing jalan yang dilewati. 

Hujan turun sangat lebat saat itu tetapi Jaka nekat mengantar barang pesanan karena sudah terlambat dari waktu yang dijanjikan sebelumnya. Belum lagi karena ingin membahagiakan sang istri yang saat itu hamil muda dengam segala drama ngidamnya.

Sayang, malang tak dapat ditolak. Ternyata, itulah waktu di mana ajal menjemput setelah truk yang tertimpa material longsoran itu terguling dan masuk jurang tepat satu setengah tahun yang lalu.

“Memang apa masalahnya kalau kamu jadi istri ke empat? Laki-laki itu biasa, apalagi seperti juragan Somad yang hartanya banyak. Hidupmu nggak akan susah dan tanah yang Ambu gadai untuk biaya operasi waktu itu bisa kembali.”

Asyla memejamkan matanya erat-erat. Rasanya sakit sekali saat masalah itu diungkit lagi. Padahal soal biaya memang sudah jadi kewajiban mertuanya karena anak mereka sudah meninggal. Apalagi dirinya yang ditahan untuk tetap berada di sana meski sudah berkali-kali mengatakan ingin pergi.

“Sudah, kalau tidak mau bekerja lebih baik menikah saja dengan juragan Somad. Hidupmu bakalan enak.”

“Tapi, Ambu —”

“Ambu sudah capek! Biarpun di kampung begini, biaya hidup tidak murah, kamu tau? Apalagi Tirta semakin besar, sudah pasti butuh biaya yang banyak. Dari mana kamu mau dapat uang?”

Asyla mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Rasanya ingin sekali melawan tapi dirinya tak berdaya. Sanak saudara tidak punya, tempat pelarian pun tidak ada. Kalaupun dirinya memilih untuk pergi, lantas dimanakah dirinya akan tinggal? Belum lagi Tirta yang baru berusia satu tahun, sudah pasti dirinya akan mengalami kesulitan. Kasihan balita itu.

“Pak Pardi menelpon lagi, Mbu.” Ahmad, kakak pertama Jaka masuk ke dalam rumah sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. “Katanya besok Syla harus ke villa jam enam. Majikannya sudah datang.”

“Ambu tau, sudah bilang juga sama Syla. Tapi sepertinya dia nggak akan pergi soalnya mau menerima lamaran —”

“Iya, Kang. Tolong bilang sama pak Pardi kalau saya akan ada di sana sebelum jam enam.” Tiba-tiba saja Asyla menjawab.

“Beneran?” Ahmad sedikit tidak percaya.

“I-iya.”

“Padahal bener kata Ambu, sebaiknya kamu menikah saja dengan juragan Somad daripada harus capek-capek kerja dengan gaji kecil.” Pria itu menyeringai.

“Nggak tau nih, dia plin plan bener jadi orang. Tadi bilangnya tidak mau kerja di villa, sekarang mau. Pusing Ambu dengar nya.”

“Ya kalau misalnya nggak nikah dengan juragan Somad pun, Ahmad masih mau terima Syla kok, Mbu.” Dengan tatapan melecehkan pria yang usianya dua tahun lebih tua dari Jaka itu berujar.

“Naik ranjang gitu maksudnya?” Ambu merespon.

“Iya. Nggak apa-apa, kan nggak dilarang agama.” 

Tentu saja tidak apa-apa karena dia melihat adik iparnya itu sungguh menggoda. Menjanda di usia yang masih sangat muda memang menjadi daya tarik tersendiri bagi lelaki seperti dirinya. Asyla seperti bunga yang tengah mekar sempurna.

Dia tak terlalu tinggi, tidak terlalu pendek juga. Tidak kurus juga tidak gemuk. Posturnya rata-rata seperti perempuam desa kebanyakan. Bahkan cenderung menarik di mata lelaki manapun. Sebab itulah sampai juragan Somad yang dikenal banyak istrinya itu tertarik juga untuk meminangnya.

“Enak aja!” Maysaroh menepuk pundak putranya. “Bukan masalah dilarang agama, tapi bagaimana dengan Sri?”

“Sri? Kan dia di Saudi, Mbu. Pulangnya masih lama, masih dua taun lagi.”

“Tetap saja. Masa kamu mau nikah lagi? Sama adik ipar lagi?”

“Ya nggak apa-apa, sebelum dia pulang kan.”

“Nggak! Lebih baik Syla nikah dengan juragan Somad dari pada sama kamu.”

“Lho, kenapa? Kan sama-sama dipoligami.”

“Iya, tapi bedanya juragan Somad kaya dan kamu kere. Kerja aja ngandelin Sri yang harus jadi tkw.”

“Lho, bagus kan. Sri yang cari uang, Syla yang ngurus Ahmad.” Pria itu berkelakar. Tapi pandangannya masih dia tujukan kepala Asyla. Semakin cantik saja adik iparnya itu meski penampilannya biasa-biasa saja.

Orang yang dimaksud tampak bergidik. Mendengar hal itu seperti dihadapkan pada hal paling mengerikan. Dan dirinya ingin segera keluar dari situasi tersebut. Tapi bagaimana?

Bekerja di villa dari pagi hingga sore dia harus meninggalkan Tirta, tapi jika tidak bekerja dirinya dihadapkan dengan lamaran juragan Somad dan kakak iparnya yang mes+m. Semuanya pilihan sulit, dsn Asyla tidak mau berada di situasi seperti itu.

“Bagaimana, Syla? Mau terima tawaran yang mana?” tanya Ahmad kepadanya.

“Um ….”

“Nikah dengan akang saja, nggak apa-apa nggak banyak uang, tapi kamu punya suami. Kasihan Tirta ….”

Asyla menggelengkan kepala.

“Mau terima lamaran juragan Somad?” Kini Maysaroh yang bertanya.

“Nggak, Ambu. Saya … mau kerja di villa saja.” Perempuan itu menjawab.

“Kata pak Pardi di sana gajinya kecil. Cuma sejuta setengah. Memangnya kamu mau?”

“Nggak apa-apa, Ambu.”

“Terus gimana kebun jeruk yang harus ditebus sama juragan Somad?”

“Insya Allah Syla akan cicil. Tapi minta waktu.”

“Cicil berapa lama? Gaji satu setengah juta butuh berapa lama? Dua puluh juta itu banyak!”

“Semampunya Syla, Ambu. Nggak apa-apa, nanti gaji Syla dikasih Ambu semua. Asalkan jangan terima lamaran juragan Somad.”

Maysaroh terdiam.

“Tapi kamu nggak bisa bawa Tirta.”

“Nggak apa-apa, Syla titip sama Ambu.”

“Merepotkan saja kamu ini. Sudah bawa sial sampai suamimu meninggal, lahiran harus dioperasi, dan sekarang titip Tirta sama Ambu.”

“Ampun, Ambu. Maafkan Syla. Tapi Syla mohon. Syla janji akan berusaha dapatkan uang itu agar kebun bisa ditebus lagi.”

“Bener, ya? Itu harta satu-satunya peninggalan abah. Ambu nggak mau jatuh ke orang lain!!”

“Iya, Ambu.”

“Semua gaji kasih ke ambu. Sekalian kalau Dapat bonus atau apapun dari majikan kamu!!”

Asyla menganggukkan kepala. Saat ini tidak ada jalan baginya untuk menyelamatkan diri selain ini. 

“Ya sudah, awas besok jangan terlambat.” Maysaroh meninggalkan ruang tengah, sedangkan Ahmad yang masih berada di sana malah mendekat.

“Beneran kamu nggak mau nikah sama akang?” Dengan nada mengejek dia berbicara.

“Maaf, Kang. Nggak mungkin saya menyakiti teh Sari. Kasihan dia jauh-jauh kerja di Arab demi Akang dan anaknya.”

“Huu …. bakalan rugi kamu!!” ucap pria itu yang juga segera berlalu.

"Kang Jaka, Sampai kapan Syla harus bertahan di sini?" batinnya menjerit penuh rasa sakit.

 🌸

🌸

Duh 🤭🤭🤭

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!