NovelToon NovelToon

Kapten Merlin Sang Penakluk

laporan dari warga

Dika duduk di bangku kayu reyot pangkalan ojek, bersandar lemas dengan jaket hijau lusuh yang mulai pudar warnanya. Di tangannya, layar ponsel menyala menampilkan roda keberuntungan yang terus berputar. Sekali klik. Gagal. Klik lagi. Gagal lagi. Tangannya bergetar, tapi bukan karena dingin.

Itu putaran terakhir.

Itu uang terakhir.

Itu harapan terakhir.

“Gagal.”

Teks itu muncul seperti ejekan digital. Dika menghela napas panjang. Pulsa habis. Saldo kosong. Harapan nihil.

Ia menatap kosong ke jalan. Seorang anak kecil melintas menatapnya heran, lalu berlalu. Dika terpejam sebentar. Dalam sebulan terakhir, ia menghabiskan seluruh pendapatannya untuk judi online.

Awalnya iseng. Lalu penasaran. Lalu kecanduan. Lalu kehilangan.

Tak lama, suara motor patroli terdengar mendekat. Dua polisi turun.

“Dika Wijaya?”

“Iya, Pak... kenapa?”

“Anda diamankan atas laporan keterlibatan dalam aplikasi judi online ilegal.”

Dika tak sempat melawan. Ia tak tahu harus menjelaskan apa. Ponselnya disita. Ia digelandang ke kantor, membayar denda lima juta. Seluruh tabungan ludes.

Dan saat pulang, ia hanya menemukan secarik kertas di meja makan:

"Aku dan anak pindah ke rumah ibu. Jangan cari kami."

- Istrimu

Dika roboh. Dunia runtuh. Di hari yang sama, warga di jakarta  timur mulai resah. Anak-anak remaja juga ikut bermain judi online. Beberapa nekat mencuri motor orang tua mereka untuk membeli pulsa game. Ibu-ibu mulai bisik-bisik soal toko elektronik di ujung jalan—yang katanya buka 24 jam dan selalu dipenuhi orang asing malam hari.

Pagi itu, Kapten Merlin berdiri tegak di depan papan informasi kantor polisi sektor timur. Rambutnya diikat kencang, seragamnya rapi tanpa cela, dan sorot matanya menusuk siapa pun yang berani main-main dengan hukum.

Seorang warga, Pak Rinto, datang bersama Ketua RT.

"Jadi, toko elektronik itu buka sampai tengah malam?" tanya Merlin dengan nada datar tapi serius.

"Iya, Bu Kapten," jawab Pak Rinto gugup. "Katanya sih tempat servis, tapi masa iya servis kulkas tengah malam, orang yang datang juga beda-beda terus. Rambut dicat, pakai jaket kulit, ngerokok sambil bisik-bisik. Kayak bukan pelanggan biasa."

Kapten Merlin mencatat dengan cepat. "Ada transaksi yang terlihat?"

"Enggak jelas, Bu. Tapi pernah anak saya bilang, ada yang keluar bawa plastik gede isinya kayak tumpukan uang... Kami takut, Bu. Takut anak-anak di kampung ikut-ikutan."

Ketua RT menambahkan, "Dan ini bukan cuma satu dua hari, Bu. Sudah hampir dua bulan. Makin ramai malah."

Merlin menoleh ke arah Reno yang berdiri di belakangnya, mengenakan hoodie hitam dan celana jeans, lebih mirip anak kampus daripada penyidik digital.

"Reno, kau dengar itu?"

"Jelas, Kapten. Aku bisa lacak aktivitas jaringan di area itu. Kalau mereka pakai aplikasi ilegal, sinyal servernya pasti terdeteksi. Tapi kita perlu bukti visual juga."

Merlin mengangguk. "Siapkan peralatan pengintai malam ini. Kita tidak akan menunggu ada yang mati dulu baru bertindak."

"Siap, Kapten."

Pak Rinto bertanya pelan, "Apa bisa ditutup tokonya, Bu?"

"Bisa, Pak. Tapi bukan hanya ditutup. Kita bongkar dari akarnya."

Sorot mata Merlin menatap lurus ke depan. Wajahnya tegas. Ia sudah terlalu lama melihat hukum dibungkam oleh uang. Tapi tidak kali ini.

Malam itu, misi dimulai.

Toko elektronik di ujung jalan itu bukan hanya tempat servis—ia adalah pintu masuk ke dunia gelap yang telah menghancurkan hidup banyak orang. Termasuk Dika.

Malam hari. Sebuah mobil hitam tanpa tanda resmi berhenti di seberang toko elektronik "Sinar Abadi". Lampu tokonya terang, tapi kaca bagian dalam disamarkan stiker buram. Di dalam, bayangan orang mondar-mandir.

Di dalam mobil, Kapten Merlin memasang earpiece-nya. Ia melirik ke layar kecil yang dibawa Reno—menampilkan visual CCTV hasil rekaman drone kecil yang mereka lepas siang tadi.

Merlin:

“Jumlahnya?”

Reno:

"Enam orang. Chen duduk di meja utama, dua anak buahnya jaga pintu belakang. Tiga lainnya kayak sedang transaksi, kelihatannya mereka bawa uang tunai."

Merlin:

“Senjata?”

Reno:

"Nggak kelihatan. Tapi bisa saja di bawah meja. Kita harus cepat."

Merlin mengangguk. Ia buka jaketnya, menampakkan rompi anti-peluru dan pistol Glock di pinggang.

Merlin:

"Ini bukan cuma razia biasa. Kalau mereka coba kabur, jangan beri ruang."

Reno:

"Siap, Kapten."

Merlin memberi isyarat dengan tangan. Dua anggota tim khusus yang ikut dalam mobil lain mulai bergerak dari gang samping.

 

Di dalam toko

Chen sedang berbicara dengan seorang lelaki berjaket kulit.

Chen:

“Kalau mau main besar, minimal lima juta. Aplikasi kita pakai server luar, aman, nggak bisa dilacak. Lo tinggal pasang, duduk, menang.”

Lelaki:

"Dan kalau kalah?"

Chen:

"Masalah lo, bukan gue."

Tiba-tiba, pintu depan didobrak. “POLISI! TANGAN DI ATAS KEPALA!”

Orang-orang di dalam panik. Salah satu anak buah Chen hendak kabur lewat pintu belakang—tapi sudah disambut oleh dua anggota polisi yang menodong senjata.

Chen (teriak):

“SIAPA KALIAN?! ADA MANDAT?!”

Merlin (masuk, mengangkat lencana):

“Kapten Merlin. Dan aku tidak butuh mandat untuk memberantas sampah seperti kamu. Tangan di atas kepala sekarang sebelum aku paksa.”

Chen memukul meja dan berusaha menggapai sesuatu di bawah. Reno dengan cepat menendang meja, membuat Chen terjatuh.

Reno:

"Main licik ya, Bang Chen?"

Chen (menggertak):

“Kalian nggak tahu siapa backing gue... Kalian semua bakal kena.”

Merlin (mendekat, menatap tajam):

"Aku justru penasaran siapa backing kamu. Jadi ngomong lah. Di kantor."

 

Beberapa jam kemudian, Chen dan lima orang lainnya digelandang masuk mobil tahanan. Toko disegel. Komputer dan barang elektronik disita.

Di dalam mobil, Merlin duduk diam sambil menatap layar ponsel. Ada sesuatu yang mengganggunya.

Merlin:

"Terasa terlalu mudah."

Reno:

“Ya, kayak mereka nggak panik. Seolah tahu ini cuma sementara.”

Merlin (gumam):

“Atau... memang ada yang akan bantu mereka bebas...”

Langit sore berwarna abu-abu. Dika duduk di bangku taman kecil dekat rumah kontrakan barunya. Jaket ojek online-nya tergantung di setang motor. Ia menatap anak-anak yang bermain bola, tersenyum kecil—senyum getir yang menyembunyikan luka dalam.

Sudah tiga bulan sejak ia bercerai.

"Aku salah," gumamnya pelan.

Dulu, ia berpikir hidup bisa lebih mudah lewat jalan pintas. Sekali menang di judi online, uang langsung masuk. Tapi yang masuk cepat juga keluar cepat. Lalu rusak. Lalu hancur.

Kini, Dika memilih jalan lain.

Ia rutin ke masjid. Salat lima waktu. Kadang bantu bersih-bersih mushola. Ia sudah hapus semua aplikasi judi. Ponselnya kini hanya berisi aplikasi ojek, Al-Qur’an digital, dan aplikasi tahlil.

Tapi luka itu masih menganga.

Beberapa hari lalu, ia tanpa sengaja melihat mantan istrinya... bersama pria lain. Berseragam PNS. Menggandeng tangan anak mereka. Tertawa.

Dika hanya menunduk. Tak berani menyapa. Tak sanggup.

Di kamar kontrakannya malam itu, ia menulis di buku kecil:

> “Mungkin bukan di sini tempatku bangkit. Mungkin aku harus pergi. Mulai dari nol di tempat baru.”

Ia menatap kalender.

"Jakarta. Mungkin di sana aku bisa jadi orang baru. Nggak dikenal siapa-siapa, nggak dihina masa lalu..."

Ia menatap cermin.

Wajahnya masih sama. Tapi matanya... kini lebih tenang. Ada bekas luka, tapi juga ada tekad.

"Ya, lebih baik aku pergi saja ke Jakarta."

Dan pada malam yang sama...

Di sisi lain kota, Kapten Merlin baru saja menggiring Chen masuk ke mobil tahanan, tak tahu bahwa tak lama lagi... nasib Dika akan bersinggungan dengan konspirasi besar yang mengintai.

bukti hilang

Perjalanan ke Jakarta hanya butuh enam jam dengan motor, tapi bagi Dika, rasanya seperti menempuh jarak seumur hidup.

Ia memacu motornya menyusuri jalan lintas dengan perasaan yang bercampur aduk. Angin malam menyentuh wajahnya—dingin, namun juga menenangkan. Sesekali ia berhenti di pinggir jalan untuk istirahat dan meneguk air mineral dari botol plastik.

"Mungkin di kota ini, nggak ada yang tahu masa lalu gue..." gumamnya lirih.

Saat matahari mulai naik dari ufuk timur, Dika akhirnya sampai di Jakarta. Kabut pagi pelan-pelan tersapu keramaian jalan raya. Gedung tinggi menjulang, klakson bersahutan, dan orang-orang yang tampak terburu-buru. Jakarta seperti punya detaknya sendiri—cepat, padat, tak peduli siapa yang datang.

Dika memilih rumah kos sederhana di gang sempit, tak jauh dari sebuah kantor polisi besar. Ia tak tahu, kantor itulah tempat Kapten Merlin dan Reno bekerja. Kebetulan? Atau takdir yang menyusun ulang puzzle hidupnya?

Keesokan harinya, Dika pergi ke kantor cabang ojek online tempatnya dulu terdaftar. Ia menyerahkan KTP, surat motor, dan dokumen lainnya untuk proses reaktivasi.

Petugas administrasi tersenyum ramah.

"Aplikasi akan aktif dalam satu jam. Akun Anda sudah terverifikasi kembali, Mas Dika."

Dika:

“Terima kasih, Mbak. Semoga lancar ke depannya.”

Setelah itu, Dika memarkir motornya di area parkir ojek online. Ia duduk sejenak di bawah pohon, membuka ponselnya. Aplikasi ojek sudah bisa digunakan. Notifikasi orderan belum ada, tapi ia tersenyum tipis.

“Bismillah... hidup baru.”

Namun di tempat lain, hanya beberapa blok dari kosannya, Kapten Merlin tengah berdebat dengan atasannya soal kasus Chen, dan Reno sedang menganalisis data server judi online yang tampak kosong—seperti sudah dibersihkan.

Tak satu pun dari mereka tahu… bahwa benang merah konspirasi akan kembali menjerat seseorang yang hanya ingin hidup tenang.

Seseorang bernama Dika.

Pagi itu kantor polisi mendadak gaduh. Beberapa petugas mondar-mandir di koridor, wajah mereka tegang. Kapten Merlin baru saja tiba saat seorang staf IT berlari menghampirinya.

Staf IT (panik):

“Kapten! Anda harus lihat ini sekarang!”

Merlin:

“Apa lagi pagi-pagi begini?”

Mereka bergegas menuju ruang penyimpanan bukti digital. Di sana, Reno sudah berdiri di depan layar komputer, wajahnya pucat.

Reno:

“Semua file kita soal kasus Chen... hilang.”

Merlin (terkejut):

“Apa maksudmu hilang? Itu di server utama!”

Reno:

“Dan backup-nya juga. Bahkan CCTV di ruang penyimpanan mati selama empat jam tadi malam.”

Merlin:

“Empat jam? Siapa yang punya akses masuk ke ruangan ini semalam?”

Reno (mengetik cepat):

“Log masuk... tidak ada. Seperti ada yang hapus semuanya dari sistem. Bahkan jejak log pun dibersihkan.”

Merlin (mengeraskan suara):

“Ini bukan kerjaan amatir. Ini kerjaan orang dalam.”

Seorang perwira senior masuk dengan langkah tergesa.

Perwira:

“Kami baru dapat surat dari atasan. Karena kurangnya bukti kuat, tersangka Chen dan anak buahnya akan dibebaskan hari ini.”

Merlin (membelalak):

“Apa?! Baru dua hari ditahan! Kita punya cukup bukti—”

Perwira (memotong):

“Bukti itu sekarang tidak ada, Kapten. Dan saya sarankan Anda berhenti menekan pimpinan soal ini. Jangan membuat masalah lebih besar.”

Setelah perwira itu pergi, Reno mengepalkan tangan.

Reno:

“Gila. Ada yang main besar di sini. Mereka bersih, cepat, dan tahu sistem kita luar dalam.”

Merlin (menatap kosong ke layar):

“Kita baru menyentuh permukaannya... dan mereka sudah memukul balik.”

Reno mematikan layar komputer.

Reno:

“Aku akan salin cache lokal terakhir dari laptop investigasiku. Masih ada harapan.”

Merlin (menghela napas):

“Lakukan diam-diam. Jangan biarkan siapa pun tahu. Mulai sekarang... kita main di bawah tanah.”

Sudah seminggu Dika tinggal di Jakarta. Sejak hari pertama aplikasinya aktif kembali, orderan tak pernah sepi.

Pagi-pagi, ia sudah mendapat penumpang pertama. Belum sempat mematikan mesin, orderan kedua masuk. Begitu terus, seperti tak ada jeda. Hari-harinya penuh dengan klakson, panas jalanan, dan suara Google Maps yang kadang bikin bingung.

Tapi bagi Dika, itu semua adalah berkah.

Dika (dalam hati, sambil menyetir):

“Alhamdulillah... kalau kayak gini terus, sebulan lagi bisa nyicil motor baru.”

Ia mulai menabung lagi. Bahkan kadang menyumbang ke kotak amal masjid dekat kosnya.

Namun, ada satu hal yang sedikit aneh. Banyak dari penumpangnya tidak terlihat seperti penumpang biasa. Ada yang pakai hoodie gelap, wajah tertutup masker dan topi. Beberapa bahkan hanya minta diantar ke lokasi-lokasi terpencil dan langsung turun tanpa banyak bicara.

Suatu malam, Dika berhenti di warung kopi kecil dekat kantor ojek online. Ia membuka aplikasi untuk melihat riwayat orderan.

Dika (berbisik):

“Nama penggunanya aneh-aneh... ‘Xylo’, ‘K7-Pro’, ‘MaskOne’? Ini bukan nama asli, kan?”

Ia mulai curiga. Tapi bayaran mereka selalu tunai, dan selalu lebih dari tarif aplikasi. Kadang diselipkan tip besar.

“Jangan mikir aneh-aneh, Dik,” gumamnya. “Kerja aja, cari duit.”

Namun tanpa ia sadari, setiap titik tujuan penumpangnya perlahan membentuk pola di peta. Seperti jaringan.

Dan salah satu titik itu... tak jauh dari toko elektronik yang dulu digerebek Kapten Merlin.

Chen berjalan santai keluar dari pintu tahanan. Kemejanya rapi, senyum tipis mengembang di wajahnya. Di luar, sebuah mobil hitam sudah menunggunya. Tapi sebelum ia naik, Kapten Merlin berdiri menghadang langkahnya.

Chen (senyum licik):

“Ah, Kapten Merlin. Tak kusangka kau masih sempat mengantar. Terima kasih atas ‘keramahan’ di dalam.”

Merlin (dingin):

“Kau bebas, tapi jangan merasa menang, Chen.”

Chen:

“Bebas adalah bebas. Sistem bekerja dengan baik, bukan?”

Merlin (mendekat, suara rendah):

“Aku tahu kau bersalah. Dan aku tahu kau nggak kerja sendirian.”

Chen (berdeham, lalu tertawa kecil):

“Kapten... kalau Anda punya bukti, silakan tangkap saya lagi. Tapi selama tidak ada, saya hanya warga biasa. Sama seperti tukang nasi goreng di ujung jalan.”

Merlin (mata tajam menusuk):

“Jangan pikir karena kau dibebaskan, aku akan berhenti. Orang-orang yang melindungi mu mungkin bisa menghapus file, menonaktifkan CCTV... tapi mereka nggak bisa hapus tekadku.”

Chen (memainkan kancing bajunya):

“Hati-hati, Kapten. Terlalu keras mengejar kebenaran bisa membuatmu tergelincir ke jurang.”

Merlin (berbisik tajam):

“Kau yang harus hati-hati, Chen. Setiap langkahmu ku pantau. Satu kesalahan kecil, dan kau akan ku habisi—secara hukum.”

Chen (menatap tajam, lalu tertawa pelan):

“Semoga hidup panjang, Kapten. Dunia ini... kadang tidak ramah pada orang yang terlalu jujur.”

Chen menaiki mobilnya dan pergi. Merlin menatap ke arah mobil itu sampai menghilang di tikungan.

Merlin (berbisik):

“Permainan belum selesai.”

Langit mulai menggelap. Gerimis kecil menggantung di udara Jakarta. Kapten Merlin duduk di ruang istirahat kantor polisi, matanya menatap kosong ke arah meja penuh berkas kosong. Hari itu seperti mimpi buruk—Chen bebas karena "tidak cukup bukti", dan semua CCTV serta server cadangan lenyap begitu saja.

Ia membuka aplikasi ojek online di ponselnya. Bukan untuk pulang, hanya untuk sekadar... memesan makan malam. Dia memilih mie goreng dan es kopi.

Beberapa menit kemudian, Reno masuk membawa laptop dan duduk di seberangnya.

Reno:

“Buk Merlin, ngapain bengong sendirian di sini?”

Merlin (menarik napas panjang):

“Beli makan, Ren. Tapi bukan buat kenyang... lebih ke... pengalihan stres.”

Reno (senyum tipis):

“Kalau lapar karena stres, kita cocok. Aku juga belum makan. Tapi jangan bilang kamu pesan pakai aplikasi ojek ya?”

Merlin:

“Kenapa emang?”

Reno:

“Yaa... abang-abangnya bisa dengar kita ngomongin rahasia negara, siapa tahu dia agen rahasia juga.”

Merlin (tertawa pelan):

“Kalau dia agen rahasia, dia pasti udah capek lihat muka kita di layar sistem.”

Mereka terdiam sejenak, lalu Reno menyalakan laptopnya.

Reno:

“Buk, aku punya potongan data cache dari laptop investigasi. Ada IP address yang nyambung ke internal server. Tapi uniknya... IP itu muncul dari dalam kantor polisi.”

Merlin (serius):

“Jadi benar. Ada yang bermain dari dalam.”

Reno:

“Dan bukan orang sembarangan. Dia tahu sistem kita, tahu kapan CCTV mati, tahu lokasi penyimpanan fisik dan cloud.”

Tak lama kemudian, makanan datang. Seorang pengantar ojek online menyerahkan plastik kresek berisi makanan ke petugas jaga. Merlin menerimanya sambil mengangguk singkat.

Merlin (pelan):

“Kita jalankan ini diam-diam, Ren. Hanya kita berdua... dan Tuhan yang tahu.”

Reno (tersenyum, lalu menyuap mie):

“Kita mulai dari sini, Buk. Biarin mereka pikir kita sudah menyerah.”

Sore itu, langit Jakarta mulai mendung. Angin berhembus pelan, membawa aroma hujan yang sebentar lagi turun. Di sebuah pangkalan ojek online sederhana di pinggiran Jakarta Selatan, beberapa driver duduk sambil menyeruput kopi dan mengobrol ringan.

Pak Jaka, salah satu ojek senior, baru saja kembali dari mengantarkan pesanan makanan ke kantor polisi. Ia duduk di bangku kayu panjang, disambut oleh Dika dan Rendi, dua driver yang lebih muda.

Pak Jaka (menarik napas panjang):

"Baru aja ngantar makanan ke kantor polisi. Yang pesen si Buk Merlin sama anak angkatnya... Reno."

Rendi (penasaran):

"Serius, Pak? Buk Merlin yang legendaris itu?"

Pak Jaka (mengangguk):

"Iya. Tapi aneh, bro. Jaringan judi online udah ditangkap, bukti lengkap, tapi... dilepas juga. Katanya nggak cukup bukti."

Dika (menoleh):

"Siapa itu Buk Merlin, Pak?"

Pak Jaka (menatap Dika):

"Itu intelijen kebanggaan Jakarta. Polisi wanita, jago strategi, banyak kasus besar bisa dia ungkap. Tapi kali ini... kayaknya ada permainan politik di dalam."

Rendi (menyela sambil tertawa):

"Udahlah, Pak. Nggak usah mikirin yang berat-berat. Yang penting sekarang akun kita gacor!"

Rendi (menoleh ke Dika):

"Betul nggak, Mas Dika?"

Dika hanya tersenyum tipis. Ia tidak menjawab. Dalam pikirannya, nama “Buk Merlin” dan cerita tentang jaringan judi online terasa terlalu dekat dengan masa lalunya. Luka itu belum sepenuhnya sembuh.

Tiba-tiba, ponsel mereka serempak berbunyi. Notifikasi orderan masuk bersamaan.

Pak Jaka (mengangkat helm):

"Orderan nih! Udah sore, waktunya cari rezeki."

Mereka bertiga bangkit dari bangku pangkalan dan melaju ke arah masing-masing, menyusuri jalanan Jakarta yang mulai basah oleh hujan gerimis.

Di dalam hati, Dika bertanya-tanya:

Apakah ini semua kebetulan... atau takdir mulai mempertemukan dengan masa lalu yang belum selesai?

skorsing dan tekanan

Pagi itu langit Jakarta muram. Awan kelabu menggantung berat di atas markas besar kepolisian kota. Kapten Merlin berdiri tegap di ruang sidang internal, berhadapan langsung dengan Komandan zen—atasan tertinggi di divisi kriminal khusus.

Di belakang Komandan Heru, duduk tiga perwira senior lain sebagai panel. Wajah mereka tegang, sebagian terlihat enggan menatap Merlin langsung.

Komandan zen(nada tajam):

"Kapten Merlin, Anda bertanggung jawab penuh atas gagalnya pengamanan bukti kasus Chen. Semua bukti menghilang dalam pengawasan Anda!"

Merlin (tenang namun tegas):

"Saya tidak sendiri dalam kasus ini. Dan saya yakin—sangat yakin—ada orang dalam yang membersihkan semua jejak."

Perwira 1:

"Itu hanya dugaan. Tanpa bukti, Anda sedang menyalahkan institusi."

Merlin (menatap panel):

"Bukan institusi yang saya salahkan. Tapi individu yang menggunakan institusi sebagai tameng."

Komandan Zen menggebrak meja.

Komandan zen:

"Cukup! Anda bukan jaksa! Bukan pula pengadilan! Anda hanya seorang kapten yang sekarang sedang diselidiki!"

Keheningan sejenak menyelimuti ruangan.

Komandan zen(dingin):

"Mulai hari ini, Anda diskors selama tiga bulan. Serahkan semua akses, senjata, dan identitas dinas. Anda bukan bagian dari penyelidikan ini lagi."

Merlin diam sejenak. Ia menggenggam lencana dan pistol dinasnya. Dengan tenang, ia meletakkannya di atas meja.

Merlin (pelan):

"Jika saya harus keluar dari dalam untuk membongkar ini… maka saya akan melakukannya."

Komandan Zen tak menjawab. Tatapan matanya dingin.

Merlin melangkah keluar dari ruang sidang. Di koridor, Reno sudah menunggu dengan wajah cemas.

Reno:

"Buk... skorsing? Serius?"

Merlin (mengangguk):

"Resmi. Aku ‘libur’ sekarang. Tapi bukan berarti kita berhenti."

Reno:

"Mau ke mana sekarang?"

Merlin menatap langit yang mendung di luar jendela kaca.

Merlin:

"Ke tempat yang tidak diawasi. Kita tetap jalan. Tapi mulai sekarang... kita main di luar sistem."

Di pangkalan ojek, Dika duduk bersila sambil menghitung receh dan lembaran ribuan yang masih bau bensin.

Rendi, teman satu pangkalan, duduk di sebelahnya sambil ngudud.

Rendi (tersenyum nakal):

"Mau kawin lagi ya, Mas? Wajahmu bahagia amat hari ini."

Sebelum Dika menjawab, Pak Jaka—ojek senior yang rambutnya sudah dipenuhi uban—langsung menyela.

Pak Jaka (menggeleng):

"Hus, anak muda. Sok tau aja. Belum juga punya istri udah ngomong kawin lagi."

Rendi tertawa.

"Gimana kalau kita cari hiburan dulu, Mas? Wanita malam, misalnya? Biar nggak stres ngojek terus."

Dika menghela napas panjang. Ia menatap langit yang mulai gelap.

Dika (pelan):

"Kalau untuk maksiat... aku udah capek. Maunya sih cari istri yang solehah. Yang bisa diajak hidup susah bareng."

Pak Jaka ikut mengangguk serius.

"Nah, itu baru omongan laki-laki. Kamu, Ren, pikirannya maksiat mulu. Mending uang ditabung buat nikah, bukan buat syahwat."

Sebelum diskusi bertambah dalam, HP Dika berbunyi—notifikasi dari aplikasi ojek.

Dika:

"Nah, ada orderan, doain lancar ya!"

---

Beberapa menit kemudian, di tengah perjalanan menuju toko elektronik di Jalan Rawa Timur, motor Dika tiba-tiba mogok. Mesinnya mati seperti kehilangan tenaga. Dika turun dan coba mengutak-atik sebentar.

Dika (kesal):

"Duh... bukan waktu yang tepat mogoknya, nih."

Ia segera menelpon Rendi.

Rendi (di seberang):

"Santai aja, Mas. Aku ke situ sekarang."

Tak sampai lima belas menit, Rendi datang membawa peralatan seadanya. Setelah periksa sebentar, ia tersenyum.

Rendi:

"Cuma busi aja, Mas. Longgar."

Dika (leganya bukan main):

"Syukurlah, kirain ada yang serius."

Saat Rendi memasang kembali busi, Dika memperhatikan lingkungan sekitar. Matanya tertumbuk pada kantor polisi di ujung gang.

Dika (bergumam):

"Kok kayak ada yang aneh, ya..."

Rendi:

"Apanya?"

Dika:

"Ah, bukan urusanku."

---

Dika kembali melanjutkan perjalanannya. Tujuan: Toko Elektronik Mega Jaya—tempat yang sama yang pernah dirazia polisi saat penggerebekan kasus judi online.

Tapi ada yang janggal.

Toko itu tertutup rapat, tapi banyak orang lalu lalang di depan dan sekitarannya. Beberapa memakai jaket gelap, sebagian terlihat mencurigakan.

Dika (dalam hati):

"Aneh… toko tutup, tapi rame. Siapa yang mereka tunggu? Atau... lagi ada 'transaksi'?"

Namun, ia menepis pikirannya.

Dika:

"Ah, bukan urusan gue. Yang penting pesanan sampai."

Di sebuah warung kopi dekat kantor, Reno duduk sendirian. Di depannya, dua gelas kopi sudah dingin. Satu untuk dirinya, satu lagi seharusnya untuk Merlin—tapi wanita itu tak kunjung datang.

Ia menatap layar ponselnya. Ada pesan singkat dari Merlin beberapa jam lalu:

> “Aku diskors. Jangan kontak dulu. Hati-hati, Ren.”

Reno mengumpat pelan. Ia masih tak percaya. Merlin? Diskors? Karena tidak profesional? Itu tuduhan konyol. Ia tahu betul siapa Merlin. Wanita itu memang keras kepala, tapi punya nyali dan integritas lebih dari separuh isi kantor.

Reno (dalam hati):

"Ini bukan soal prosedur... ini pasti soal siapa yang dia sentuh."

Ia membuka kembali berkas-berkas digital yang ia simpan diam-diam dari hasil investigasi bersama Merlin. Ada nama-nama tersamarkan. Beberapa nomor rekening yang terhubung ke jaringan judi. Dan satu hal yang paling membuat bulu kuduknya merinding: nama seorang pejabat tinggi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika—inisialnya "F.S."

Reno menatap layar.

"F.S... Kau siapa sebenarnya?"

---

Beberapa jam kemudian, Reno bertemu dengan Bang Ijul, informan dari dalam jaringan bawah tanah.

Ijul (dengan suara pelan):

"Kau masih mainin kasus itu, Ren? Yang bikin Merlin kena skors?"

Reno:

"Lo tahu siapa yang main belakang?"

Ijul tertawa kecil.

"Gue cuma tahu ini, Bang: ada nama besar yang takut dibongkar. Pejabat yang punya saham di salah satu situs judi online yang digerebek. Katanya dia backup beberapa orang dari dalam kepolisian juga."

Reno:

"Jadi mereka sengaja jatuhin Merlin..."

Ijul:

"Biar kasusnya mandek. Satu orang idealis hilang, tinggal ganti sama orang yang bisa diajak kerja sama."

Reno mengangguk pelan. Aroma busuk itu makin terasa kuat.

Reno (dalam hati):

"Kalau Merlin disingkirkan, giliran gue selanjutnya. Tapi gue nggak bakal tinggal diam."

---

Malamnya, Reno menyusup masuk ke ruang arsip digital kantor. Ia tahu risikonya. Tapi ini satu-satunya cara membongkar siapa yang ada di balik permainan ini.

Di balik layar komputer tua itu, ia menemukan sebuah file terenkripsi—dengan nama proyek:

“Silent Operation - FS”

Reno memandangi layar laptopnya. Semua data sudah tersusun rapi: nama-nama tersamarkan, aliran dana, dan koneksi ke jaringan judi online yang menyebar seperti gurita. Ia menatap dalam-dalam dokumen itu, lalu menarik napas panjang.

Reno (dalam hati):

"Sudah fix. Ini saatnya."

Ia membuka ponsel, mengetik pesan di WhatsApp:

> "Buk, aku tunggu di café kopi tempat biasa duduk. Ada yang mau ku bahas. Penting."

Setelah menekan kirim, Reno hanya menatap layar ponselnya—menunggu dua centang biru yang tak kunjung muncul. Tapi ia yakin, Merlin pasti membaca pesan itu cepat atau lambat.

---

Di tempat lain...

Merlin sedang duduk di sebuah kamar kos sederhana, jauh dari hiruk pikuk kota. Ia menyamar, mengganti kartu ponsel, dan menyembunyikan jejaknya dari siapapun yang mungkin mengawasinya.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Reno masuk.

Ia tersenyum tipis, lalu mengetik balasan:

> "Oke, setengah jam lagi aku sampai. Jangan bawa laptop, cukup flashdisk. Kita harus cepat."

---

Di café kopi tempat biasa...

Reno menunggu dengan secangkir espresso. Pandangannya tajam ke arah jalan. Sesekali ia melihat ke pintu masuk. Sampai akhirnya, Merlin muncul dengan hoodie gelap dan tas kecil di bahu.

Merlin:

"Cepat, Ren. Ceritakan dari awal. Aku rasa waktuku nggak banyak."

Reno menyerahkan flashdisk kecil.

"Semua ada di sini, Buk. Nama-nama yang kita curigai... dan satu yang paling atas: FS. Dia dalangnya."

Merlin menatap benda kecil itu seolah itu kunci dari semua kekacauan.

Merlin:

"Kalau ini benar... maka bukan cuma aku dan kamu yang terancam, Ren. Tapi semua yang terlibat dalam penyelidikan ini."

Reno mengangguk.

"Makanya kita harus nyebarin datanya sebelum mereka sempat tutup mulut kita."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!