NovelToon NovelToon

Menikah Kontrak

mempelai yang hilang

BAB 1 – Mempelai yang Hilang

Gedung pernikahan itu berdiri megah, bagai istana kaca yang dikepung bunga mawar putih dan anggrek bulan. Setiap sudutnya dipoles sempurna. Musik klasik mengalun lembut, menciptakan suasana sakral dan agung. Tapi di balik segala kemewahan itu, semua terasa sia-sia. Pengantin perempuan mendadak hilang. Tak ada kabar, tak ada jejak. Semua alat komunikasinya tak aktif.

Dan yang paling resah adalah seorang wanita sosialita dengan dandanan elegan: Renata. Ia berdiri di balik tirai pelaminan. Tangannya gemetar, matanya mulai berkaca-kaca, napasnya tertahan. Setiap detik terasa seperti hantaman palu yang membuat jantungnya berdetak tidak stabil dan kepalanya menjadi sakit.

"Mas seandainya kamu masih ada mungkin aku tidak serepot ini mas" gumam Renata dalam hati

Seharusnya hari ini menjadi hari kebanggaannya. Hari ketika ia, janda kuat pewaris keluarga Wijaya, menyatukan putranya, Andika, dalam ikatan suci pernikahan dengan Bianka—gadis pilihan Andika sendiri, yang sebenarnya tak begitu disukai Renata. Tapi demi kasih sayang pada sang anak, Renata menerima Bianka.

Menurunkan ego bukan perkara mudah, tapi Renata lakukan. Sayangnya, kini Bianka bahkan tak menampakkan wujud. Yang Renata sesali, mengapa ia tak menyelidiki lebih dalam siapa Bianka, siapa orangtuanya. Viona, ibu mertuanya, memberi batas waktu terlalu pendek. Ia terpaksa hanya fokus pada pesta mewah, mendatangkan pejabat negara. Presiden berhalangan hadir, tapi wakil presiden akan datang walau sebentar. Temannya, gubernur, bahkan mengganti agenda untuk menjadi saksi pernikahan Andika.

Renata lupa, ada hal yang lebih penting dari pesta dan tamu kehormatan yaitu memastikan kehadiran pengantian perempuan dan keluarganya.

Untung saja ada ide dari asistennya: untuk meningkatkan ketertarikan publik, identitas mempelai perempuan disembunyikan. Media pun hadir, ingin tahu siapa gadis beruntung yang dinikahi Andika Pratama Wijaya. Dan kini, mereka mendapat berita jauh lebih panas: "Pengantin perempuan keluarga Wijaya hilang."

Bianka tak bisa dihubungi. Telepon mati. Asisten lenyap. Gaun pengantin masih tergantung, rapi dan tak tersentuh. Tak ada satu pun keluarga Bianka yang bisa dihubungi. Padahal Andika sudah lama berpacaran dengan Bianka, meski baru memperkenalkannya ke Renata saat ultimatum pernikahan diberikan.

"Bu... paspampres sudah siap siaga. Tamu kehormatan sudah datang. Wakil Presiden sebentar lagi tiba..." bisik asistennya dengan lirih.

Renata hanya mengangguk lemah. Ingin rasanya ia berteriak. Tapi akal sehatnya menyuruhnya untuk tenang dan tidak boleh memperburuk keadaan.

Gubernur duduk tenang di kursi kehormatan. Rekan-rekan pengusaha sudah bersalaman, memuji dekorasi dan sajian katering. Semua menunggu momen penting ini dan menanti jawaban wanita mana yang beruntung menikah dengan Andika, keluarga berpengaruh mana yang bisa menjadi menantu keluarga Wijaya.

Dan mungkin mereka akan menemukan jawaban kosong karena sampai detik-detik terakhirpun pengantin perempuan tidak datang..biasanya pengantin perempuan menunggu pengantin laki-laki tapi ini sebaliknya, mungkin ini kebiasaan orang kaya.

Renata mencoba tetap tegak. Ia meneguk napas, menahan air mata. Kepalanya berputar mencari solusi

Masalah yang sebenarnya dia tidak perkirakan karena wanita mana sih yang tidak mau menjadi menantu keluarga wijaya, menjadi menantu keluarga Wijaya adalah cita-cita hampir semua wanita.

Andika berdiri tak jauh dari pelaminan. Ia tampak tenang, meski matanya kosong.

"Aku udah bilang, aku dan Bianka belum siap menikah. Dia bahkan sempat bilang ingin lari," ucap Andika pelan.

Renata menoleh cepat. "Dan kamu tak mencegahnya?!"

"Aku setuju menikah karena Ibu memaksa. Untuk menyelamatkan warisanku. Tapi apakah rumah tangga bisa dibangun di atas paksaan?"

Pertanyaan Andika mengiris hati Renata. Ia tahu ini perjudian. Tapi bukan karena ambisi. Ia hanya ingin Andika tak kehilangan hak atas perusahaan keluarga. Tak ingin putranya dicoret dari wasiat Viona—ibu Renata, wanita dingin yang mengutamakan darah ketimbang kasih.

Dan sekarang?

"Semua ini... akan sia-sia." Renata nyaris ambruk.

Suara Serena memecah hening: "Mbak, ke mana pengantinnya? Dari kemarin disembunyikan. Kalau aku tahu, pasti aku bantu. Sekarang, reputasi kita bisa hancur gara-gara kesombongan mbak."

"Lebih baik kamu diam atau menyingkir dari hadapanku," geram Renata.

Ia tahu, Serena tak peduli. Ia hanya ingin menertawakan kehancuran Renata. Dan alasan utama Renata menyembunyikan identitas pengantin adalah untuk mencegah sabotase dari Bagus dan Serena—dua orang yang mengincar warisan Viona untuk anak mereka sendiri.

"Tamu kehormatan tiba dalam 15 menit, Bu," ujar asisten lain panik.

Dan saat Renata hampir menyerah, sebuah kalimat menghantam hatinya:

"Bu... Nyonya Viona dalam perjalanan ke sini."

"Sepertinya ini adalah akhir dari hidupku, dan Bianka sialan itu penyebabnya" gumam Renata dalam hati untuk pertama kalinya dia seperti menemukan jalan buntu.

Renata menghela napas, menatap wajah Andika yang santai berbanding terbalik dengan dirinya yang gusar

Serena dan bagus nampak puas sebentar lagi kekacauan akan terjadi, keluarga Wijaya akan menanggung malu dan orang yang akan disalahkan adalah Renata menantu paling angkuh batu sandungan paling besar yang menghalangi bagus

Ia tak boleh gagal. Demi Andika. Renata tak gila harta, tapi ia tahu tanpa kekayaan, dirinya dan Andika terancam. Ia datang dari keluarga sederhana, sering direndahkan, tapi ia bisa menahan itu semua. Yang tak bisa ia terima adalah jika keselamatan Andika tergadai. Ia harus kaya. Harus berkuasa. Tanpa itu, hidup Andika terlalu berbahaya.

Dengan langkah pasti, Renata keluar dari ruangan menuju halaman depan gedung. Ia tak tahu ke mana harus mencari. Tapi ia tahu satu hal: ia butuh pengantin baru. Sekarang juga.

Di luar gedung yang gemerlap, di bawah panas matahari siang, seorang gadis berdiri sendiri. Jaket ojek online membalut tubuh kurusnya, sementara tangannya menggenggam ponsel retak. Amira. Matanya lelah, tapi tetap menatap lurus—seolah bertahan dari dunia yang terus menghantamnya.

Dari kejauhan, Renata menatapnya tajam. Jantungnya berdebar cepat. Ia butuh pengantin. Sekarang. Atau semuanya hancur.

"Ruben, panggil gadis itu," perintah Renata.

"Yang mana, Bu?"

"Jaket hijau. Yang kelihatan miskin tapi wajahnya bersih. Cepat!"

Tak sampai lima menit, Amira berdiri di hadapan Renata, gugup dan bingung.

"Siapa namamu?" tanya Renata dingin.

"Amira... anak Pak Budi."

"Orang tuamu?"

"Bapak di rumah sakit."

Renata mendekat. Sorot matanya tajam. "Kamu mau menikah dengan anakku. Sekarang juga."

Amira tersentak. "Bu? Nggak bisa... saya—saya punya pacar."

"Hanya enam bulan. Kamu tidak akan disentuh. Ini cuma pernikahan kontrak. Dan aku akan bayar mahal."

Amira diam. Pandangannya kosong menatap lantai ruang tunggu rumah sakit yang kusam. Suara perawat pagi tadi masih menggema di telinganya, tak henti menghantui pikirannya.

"Kalau tak segera dioperasi, nyawa ayahmu bisa terancam. Biayanya 300 juta."

"300 juta…" gumamnya pelan. Angka itu seperti palu godam yang menghantam dadanya. Ia menggigit bibir, menahan sesak yang mendadak menyeruak di dada.

Tak lama, suara seorang wanita terdengar tegas di seberang telepon. "Oke, aku akan berikan uang 300 juta. Segera ke ruang make up."

"Tapi Bu..."

"Kamu tadi sudah bilang tarifnya 300 juta dan aku setuju."

Amira menarik napas panjang. Hidup tak pernah memberinya waktu untuk bernapas lega. Di usia 27 tahun, ia belum sempat memikirkan cinta, apalagi menikah. Tapi kini, ia harus jadi pengantin demi menyelamatkan nyawa ayahnya.

"300 juta. Bapakmu akan kembali sehat... atau kamu akan melihat bapakmu meninggal hanya karena anaknya tak sanggup membiayai," ucap wanita itu dingin.

Amira menghela nafas panjang "baiklah Bu"

Renata tersenyum hari ini dia terselamatkan dari rasa malu

gadis dipangkalan ojek

Amira nyaris tak bisa bernapas saat tangannya ditarik paksa oleh seorang wanita berbaju hitam rapi, menuju lorong panjang menuju ruang make up. Jaket ojek online-nya masih melekat di tubuhnya, dan helmnya belum sempat ia lepas sejak tiba. Sepanjang perjalanan, orang-orang memandangnya dengan tatapan bingung dan jijik—apa yang dilakukan tukang ojek di pesta sekelas keluarga Wijaya?

Pintu ruang make up dibuka lebar. Udara dingin dari AC menyerbu kulit putih Amira yang masih basah oleh peluh perjalanan. Seorang Make Up Artist profesional menghampiri, alisnya langsung terangkat saat melihat penampilan Amira.

“Kamu serius? Satu jam lagi akad, dan kamu baru kasih aku... ini?” serunya pada Renata, yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi kaku.

“Kalau kamu gagal,” kata Renata datar, “maka kamu tidak akan bekerja lagi di Jakarta.”

Sang MUA langsung bungkam. Ia tahu reputasi Renata Wijaya bukan main-main. Ia menatap Amira lagi, mencoba melihat kemungkinan di balik wajah polos dan rambut acak-acakan itu.

Amira hanya duduk dengan gemetar. Ia memandangi wajahnya sendiri di cermin—kusam, letih, namun matanya menyimpan keteguhan yang bahkan tak ia sadari sebelumnya. Dalam waktu sejam, ia harus menikah dengan lelaki asing. Wajahnya saja ia tidak tahu.

“Nama kamu siapa?” tanya sang MUA sambil mulai membersihkan wajahnya.

“Amira,” jawabnya lirih. “Saya tukang ojek.”

MUA hanya mengangguk singkat, mulai bekerja dengan cepat. "Kamu punya tulang wajah yang bagus. Hidungmu mancung alami. Kulitmu putih bersih, ini bakal gampang ditata."

Amira diam saja. Kepalanya penuh suara. Tadi pagi ia hanya berpikir untuk antar makanan, lalu jenguk ayahnya yang sakit. Tapi sekarang… ia akan jadi pengantin pura-pura demi menyelamatkan ayah yang koma di ICU.

Di luar, Renata mondar-mandir di koridor. Napasnya pendek-pendek. Asistennya datang dengan wajah panik.

“Bu, Serina nanya-nanya soal pengantin. Katanya, kalau pengantin belum siap, dia punya alternatif.”

Renata mencelos. Serina, kakak iparnya yang licik, pasti ingin menyingkirkan dia dari keluarga Wijaya selamanya. Pernikahan ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah tiket untuk mempertahankan kekuasaan.

“Suruh dia tutup mulut. Jangan biarkan dia dekati ballroom.”

Di dalam ballroom, Andika duduk di sofa pelaminan, masih dengan wajah datar. Para tamu mulai risau. Gubernur sudah datang. Beberapa menteri mulai berbisik-bisik. Namun Andika tetap santai, seolah semuanya bukan urusannya. Menikah atau tidak, tak lagi penting. Ia hanya ingin tahu di mana Bianka berada.

Namun di balik ketenangan itu, hatinya cemas. Ia tak pernah suka skenario gila ini. Tapi demi ibunya, demi warisan, ia duduk di sana.

Di ruang make up, sang MUA terdiam. Tangannya berhenti sejenak saat ia menyapukan highlighter terakhir.

“Astaga….”

“Kenapa?” tanya asistennya panik.

“Dia cantik. Bukan cantik biasa. Ini—ini seperti lihat ratu Eropa di depan mata.”

Amira menoleh perlahan ke arah cermin. Gaun putih satin membungkus tubuhnya dengan elegan. Rambutnya ditata klasik, dengan aksesori bunga kecil menghiasi sanggulnya. Bibir merah muda dan mata tajam itu membuatnya terlihat seperti pengantin kerajaan

Ia sendiri hampir tak mengenali dirinya. Ia yang tiap hari pakai jaket hijau dan celana jeans belel, kini berdiri seperti seseorang dari dunia lain.

Tiba-tiba pintu terbuka. Renata masuk dengan langkah cepat, wajahnya nyaris pucat. Tapi begitu matanya menangkap Amira, ia berhenti

“Ya Tuhan…”

Renata menatap gadis itu tak percaya. Sejenak, ia merasa waktu berhenti. Amira bukan lagi tukang ojek dari pangkalan kecil. Ia kini bagaikan putri aristokrat dari Italia.

Amira berdiri perlahan, menatap Renata dengan sorot yang jauh lebih mantap. “Saya siap.”

Renata hampir menangis. “Kamu luar biasa.”

Salah satu staf masuk tergopoh-gopoh. “Bu! Nyonya Viona sudah datang. Beliau bertanya di mana calon menantunya. Dan… paspampres bilang Wapres tiba dalam sepuluh menit!”

Amira memejamkan mata sejenak. Ia tahu ia tidak bisa mundur. Ia tidak tahu siapa pria yang akan jadi ‘suaminya’, tapi ia tahu ia harus selesaikan ini. Untuk ayahnya.

Renata menatap Amira dalam-dalam. “Jangan takut. Mainkan peranmu. Semua akan selesai dalam waktu enam bulan.”

Amira mengangguk. “Saya akan lakukan yang terbaik, Bu.”

Renata tersenyum kecil, lalu mengatur kerudung ringan yang melingkar di kepala Amira. Lalu ia berbisik, “Mulai hari ini, kamu bukan tukang ojek. Kamu adalah pengantin keluarga Wijaya.”

Dan saat Amira melangkah keluar dari ruang make up, semua orang yang melihatnya terpaku. Para asisten, fotografer, bahkan tim protokoler yang sudah panik, berhenti bernapas sejenak.

“Siapa dia?” bisik seorang staf.

“Dia calon istri Andika Wijaya,” jawab Renata penuh percaya diri. “Dan dia lebih dari cukup.”Langkah kaki berwibawa terdengar di lorong menuju ruang rias. Derap sepatu hak tinggi yang mantap dan bergema seperti genderang peringatan. Semua orang otomatis menepi. Viona Wijaya, matriark keluarga, akhirnya tiba.

Renata membalikkan badan dan hampir menjatuhkan clipboard-nya saat melihat sosok elegan berpakaian kebaya biru laut itu berjalan ke arahnya. Wajah Viona seperti diukir dari batu—dingin, anggun, dan menyimpan kekuasaan di balik setiap kerutan usia.

"Renata," suara itu tenang, tapi tajam.

Renata menelan ludah, lalu segera menyambut. "Mama Viona... selamat datang."

"Aku dengar calon menantu keluarga kita belum juga muncul di hadapan para tamu," ujar Viona sambil menatap tajam ke arah ruang make up yang pintunya baru saja tertutup.

"Mohon maaf, sedikit keterlambatan teknis," jawab Renata gugup, keringat mulai muncul di pelipisnya.

Viona mendekat, lalu menatap langsung ke mata menantunya. “Siapa gadis itu? Dari keluarga mana dia berasal? Aku tak dapat informasi apapun soal silsilahnya.”

Renata terdiam. Otaknya berputar cepat. Ia tak bisa menyebut nama Amira dengan embel-embel latar belakang murahan, tapi juga tak bisa berbohong terlalu jauh. Ia tahu Viona membenci manipulasi.

Akhirnya, dengan napas pendek, Renata menjawab pelan, “Dia... anak panti asuhan, Mama.”

Hening sejenak. Viona tidak bereaksi. Renata ingin menampar dirinya sendiri karena spontanitas bodohnya barusan. Tapi apa lagi yang bisa ia katakan? Itu satu-satunya kalimat yang terasa netral dan tidak membuat Amira tampak... mencurigakan.

Viona tetap diam. Matanya menyipit, membaca setiap kerutan gugup di wajah Renata. Hati Renata nyaris copot. Ia membayangkan Viona akan berteriak, membatalkan pernikahan, dan tentu saja dia pasti akan didepak dari keluarga Wijaya dan yang paling dia khawatirkan adalah nasib Andika.

Pintu ruang make up terbuka.

Amira melangkah keluar dengan langkah perlahan. Anggun. Tenang. Tubuhnya dibalut gaun putih panjang yang menonjolkan warna kulit putih pucatnya seperti mutiara. Tatapan matanya lurus ke depan, walau ia jelas canggung dengan segala sorotan yang tertuju padanya.

Viona menoleh. Matanya menangkap sosok Amira—bukan dari pakaian atau riasannya, tapi dari sesuatu di matanya. Ketulusan. Ketakutan yang tak disembunyikan. Dan... keberanian.

Renata menahan napas.

Viona melangkah maju. Tak ada senyum. Tak ada sambutan. Ia berdiri di hadapan Amira, menatapnya dari atas ke bawah. Semua yang berada di koridor seketika membeku.

Amira menunduk, tubuhnya menegang.

Renata ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Ia tahu, satu kata salah saja bisa menghancurkan segalanya.

Lalu—tanpa peringatan—Viona membuka tangannya dan memeluk Amira.

Dekapan itu hangat. Tegas. Melindungi.

Amira membeku. Renata hampir terjatuh karena syok. Bahkan para staf di sekitar mereka saling pandang tak percaya.

Kemudian Viona berkata, dengan suara tenang namun cukup keras hingga semua mendengar:

"Jangan khawatir, Nak. Aku tidak pernah membedakan kasta manusia. Asal kau tidak berkhianat pada keluarga ini, aku akan menerimamu sepenuhnya."

Air mata nyaris mengalir dari mata Renata. Ia menutup mulutnya, menahan isak haru yang nyaris pecah.

Amira mengangguk perlahan. “Terima kasih, Bu…”

Viona tersenyum samar. “Kau cantik. Dan kuat. Aku harap Andika cukup pintar untuk tidak menyia-nyiakanmu.”

Amira hanya bisa mengangguk lagi, masih tak percaya pelukan hangat itu benar-benar nyata.

Renata akhirnya bisa bernapas. Untuk pertama kalinya sejak rencana gila ini dimulai, ia merasa sedikit yakin. Amira… mungkin benar-benar bisa jadi bagian dari keluarga ini.

Dan sekarang—tinggal satu langkah terakhir: menghadapi pernikahan yang tinggal hitungan menit.

Akad Penuh Kepalsuan

Derap langkah berirama diiringi suara kilat kamera dan bisik-bisik penuh tanda tanya. Di ujung karpet merah yang dibentangkan dari pintu masuk hingga ke pelaminan berhias kaligrafi emas dan bunga melati putih, seorang wanita bergaun putih elegan berjalan pelan. Wajahnya tertutup cadar tipis, menambah aura misteri yang membius semua mata yang memandang. Setiap laDerap langkah berirama diiringi suara kilat kamera dan bisik-bisik penuh tanda tanya. Di ujung karpet merah yang dibentangkan dari pintu masuk hingga ke pelaminan berhias kaligrafi emas dan bunga melati putih, seorang wanita bergaun putih elegan berjalan pelan. Wajahnya tertutup cadar tipis, menambah aura misteri yang membius semua mata yang memandang. Setiap langkahnya diiringi dua orang yang tampak seperti keluarga terpandang—seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu dan seorang wanita berkerudung elegan dengan bros berlian menyala di bahunya.

Wartawan berlomba-lomba membidik sosok itu. “Siapa dia? Apa ini pengantin aslinya? Kenapa tertutup cadar?” bisik salah satu jurnalis.

Ruben berdiri tak jauh dari panggung utama, tersenyum penuh rasa lega. Ide gilanya—menyulap dua staf profesional menjadi “keluarga” si pengantin dadakan—berhasil menciptakan ilusi sempurna. Kini publik melihat sosok elegan dan berkelas, bukan gadis ojol yang tadi siang nyaris tumbang di halaman gedung.

Renata berdiri di samping pelaminan, menahan haru. Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia ingin memeluk Ruben. “Kau benar-benar penyelamatku,” gumamnya dalam hati.

Amira berjalan dengan langkah tegap, anggun, menapaki karpet merah menuju pelaminan megah dengan lampu kristal menggantung dan nuansa putih-keemasan di setiap sudut. Tapi di balik cadarnya, wajahnya pucat. Jantungnya berdetak kencang. Ia bahkan belum tahu rupa laki-laki yang akan menjadi suaminya.

Di sisi pelaminan, Andika duduk bersandar, menatap lurus ke depan. Wajahnya dingin dan tajam.

"Dari mana Ibu menemukan perempuan ini? Dan bagaimana aku harus menjelaskan ini pada Bianka kalau dia muncul?"

Ia merasa seperti pion dalam permainan besar yang tidak pernah ia inginkan. Akad ini hanyalah formalitas. Sandaran nama. Benteng warisan.

Bagus yang duduk di barisan tamu VIP mencibir diam-diam. Gagal sudah rencananya menggagalkan pernikahan. “Sialan... dia tetap berhasil,” gumamnya.

Serena mendengus pelan. Ia yakin, pengantin ini pasti jelek. Ia bahkan sempat menyuruh anak buahnya menyelidik—katanya Renata menyuruh ojol masuk ke ruang make up. Ia mengira gadis itu hanya pengantar makanan. Dan Serena sudah menyiapkan kalimat sindiran dan cibiran pedas jika wajah mempelai terlihat.

Tapi saat sang pengantin duduk di sisi Andika di atas pelaminan megah yang bertabur bunga dan kaligrafi Allah-Muhammad, suasana langsung berubah. Semua tamu terdiam. Kilatan kamera terus menyala. Suasana hening berubah menjadi penuh decak kagum.

Amira tetap tenang. Meski di dalam hati, ia gemetar. Satu-satunya yang membuatnya diam dan tegak hanyalah bayangan wajah ayahnya—dan suara dokter pagi tadi: “Kita tak bisa tunggu lama. Harus segera operasi.”

Dan kini, di sinilah ia. Duduk di pelaminan, bersanding dengan pria asing yang tak tersenyum sedikit pun padanya.

Suasana memanas dalam keheningan sakral saat penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) naik ke atas pelaminan. Lelaki paruh baya berkopiah hitam itu membawa map berisi dokumen penting. Di hadapannya, Andika dan Amira duduk berjajar, sementara para saksi dari pihak keluarga duduk tak jauh dari mereka.

Renata berdiri tak jauh, tangannya dingin menggenggam kipas kecil yang dari tadi tak digunakan. Matanya terus mengawasi Amira—takut gadis itu tiba-tiba lari atau membatalkan semuanya. Tapi Amira duduk tenang. Dingin, seperti batu. Padahal hatinya menjerit.

Sementara itu, Viona duduk anggun di barisan depan. Ia menatap Amira tajam, penuh selidik. Tapi tak ada satu pun emosi negatif yang terpancar dari wanita tua itu. Ia hanya diam.

Penghulu memulai prosesi akad.

“Karena wali nasab dari mempelai wanita tidak hadir dan tidak dapat dihubungi, serta berdasarkan surat pernyataan dari pihak keluarga bahwa ia berasal dari panti asuhan, maka saya selaku wali hakim, atas nama negara dan agama, akan menikahkan saudari Amira binti—” penghulu sempat ragu, lalu membaca nama sesuai dokumen, “—binti tidak diketahui, dengan saudara Andika Pratama bin Adrian Wijaya.”

Beberapa tamu mulai saling berbisik. Tapi penghulu tetap tenang.

“Saudara Andika Pratama bin Adrian Wijaya,” ucap penghulu lantang, “saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Amira, yang walinya saya wakili sebagai wali hakim, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang tunai seratus juta rupiah dibayar tunai.”

Andika menarik napas, lalu menjawab tanpa ragu, “Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti tidak diketahui, yang walinya diwakilkan oleh wali hakim, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”

“SAH!” seru para saksi serempak.

Ruang pernikahan yang mewah dan berhiaskan lampu kristal itu sontak hening sejenak, sebelum kemudian disambut dengan tepuk tangan para tamu yang menahan keheranan. Meski semuanya berjalan cepat dan penuh tanda tanya, prosesi itu berlangsung sempurna di hadapan hukum dan agama.

Renata menutup wajah dengan tangan, tak kuat menahan air mata. Antara lega, syukur, dan takut akan konsekuensi ke depan. Tapi satu hal yang pasti: ia berhasil menyelamatkan keluarganya—untuk hari ini.

Di sisi lain, Andika tak memandang Amira sedikit pun. Ia masih berpikir tentang Bianka. Ia tahu ini hanya drama. Tapi hatinya tetap terasa perih.

Dan Amira?

Ia duduk diam, seperti boneka. Bahkan senyum tak sanggup ia hadirkan. Tapi di dalam hatinya, suara sang ayah terus bergaung. “Kalau tak segera dioperasi, Bapak bisa...”

Tangannya gemetar di balik cadar. Pernikahan itu sah. Tapi apakah ia sanggup menjalani kebohongan ini selama enam bulan?

Penghulu meletakkan mapnya, lalu menatap Amira yang masih duduk tenang di sisi Andika.

"Saudari Amira," ujarnya sopan, "sebelum kami lanjutkan pencatatan, mohon untuk membuka cadar. Sebagai bagian dari administrasi resmi, wajah mempelai perempuan harus terlihat jelas dan didokumentasikan."

Ruangan seketika sunyi. Semua mata tertuju pada sosok berselendang lembut berwarna gading di pelaminan. Amira menunduk sejenak, tangannya gemetar. Ia menatap Renata di kejauhan yang hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dengan gerakan perlahan, Amira mengangkat cadarnya. Dan sesaat kemudian—semua terdiam.

Sorotan lampu menggantung jatuh di wajahnya. Kulit putihnya bersinar lembut, mata cokelat bening itu menyiratkan kekuatan dan luka yang tersembunyi dalam diam. Alis yang tegas, bibir tipis yang kaku karena ketegangan. Tapi semua menyatu sempurna—bukan seperti pengantin darurat, tapi seperti putri raja yang memang ditakdirkan duduk di sana.

Bisikan mulai terdengar. Kamera-kamera media yang sejak tadi mencari celah langsung membidik wajahnya. Beberapa tamu undangan sempat menahan napas.

Serina yang berdiri agak jauh spontan mencibir, “Cantik sih… tapi jangan-jangan hasil operasi. Ojol bisa berubah secepat itu? Ini pasti permainan sulap Renata.” Ia melangkah ke depan, bersiap membuka aib yang telah disiapkannya.

Tapi sebelum ia sempat bicara, terdengar suara cepat dari salah satu penyambut tamu yang berlari kecil ke arah depan.

"Bu! Wapres sudah tiba. Iringannya baru masuk halaman!"

Kegemparan langsung berganti arah. Para tamu yang tadinya fokus pada wajah Amira kini berdiri, bersiap menyambut tamu paling terhormat hari itu. Viona segera berdiri, berjalan dengan anggun menuju pintu utama. Renata, dengan langkah cepat dan gugup, menyusul di belakangnya. Gubernur pun ikut menyambut, menyusun senyum resmi khas acara kenegaraan.

Serina mengernyit—rencananya untuk mempermalukan Renata tertunda. Sorotan mata publik kini tak lagi tertuju pada pengantin. Mereka semua sibuk menyambut sang Wakil Presiden, sang simbol kehormatan negara.

Sementara itu, Amira menarik napas dalam. Sesaat, sorot lampu itu bukan lagi tentang siapa dirinya. Tapi tentang siapa yang sedang datang.

Andika menoleh pelan ke arahnya. Untuk pertama kalinya sejak mereka duduk berdampingan, ia benar-benar menatap Amira. Mata itu... wajah itu... memang cantik. Bahkan lebih anggun dari yang ia bayangkan. Tapi...

"Maaf," bisik Andika dingin, "Kamu bukan Bianka."

Amira tak menjawab. Ia hanya menunduk, menyembunyikan luka yang terasa seperti pisau dingin di dada. Dan pernikahan yang barusan diuc

apkan itu terasa lebih hampa dari ruang pesta mewah yang dipenuhi senyum pura-pura.

ngkahnya diiringi dua orang yang tampak seperti keluarga terpandang—seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu dan seorang wanita berkerudung elegan dengan bros berlian menyala di bahunya.

Wartawan berlomba-lomba membidik sosok itu. “Siapa dia? Apa ini pengantin aslinya? Kenapa tertutup cadar?” bisik salah satu jurnalis.

Ruben berdiri tak jauh dari panggung utama, tersenyum penuh rasa lega. Ide gilanya—menyulap dua staf profesional menjadi “keluarga” si pengantin dadakan—berhasil menciptakan ilusi sempurna. Kini publik melihat sosok elegan dan berkelas, bukan gadis ojol yang tadi siang nyaris tumbang di halaman gedung.

Renata berdiri di samping pelaminan, menahan haru. Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia ingin memeluk Ruben. “Kau benar-benar penyelamatku,” gumamnya dalam hati.

Amira berjalan dengan langkah tegap, anggun, menapaki karpet merah menuju pelaminan megah dengan lampu kristal menggantung dan nuansa putih-keemasan di setiap sudut. Tapi di balik cadarnya, wajahnya pucat. Jantungnya berdetak kencang. Ia bahkan belum tahu rupa laki-laki yang akan menjadi suaminya.

Di sisi pelaminan, Andika duduk bersandar, menatap lurus ke depan. Wajahnya dingin dan tajam.

"Dari mana Ibu menemukan perempuan ini? Dan bagaimana aku harus menjelaskan ini pada Bianka kalau dia muncul?"

Ia merasa seperti pion dalam permainan besar yang tidak pernah ia inginkan. Akad ini hanyalah formalitas. Sandaran nama. Benteng warisan.

Bagus yang duduk di barisan tamu VIP mencibir diam-diam. Gagal sudah rencananya menggagalkan pernikahan. “Sialan... dia tetap berhasil,” gumamnya.

Serena mendengus pelan. Ia yakin, pengantin ini pasti jelek. Ia bahkan sempat menyuruh anak buahnya menyelidik—katanya Renata menyuruh ojol masuk ke ruang make up. Ia mengira gadis itu hanya pengantar makanan. Dan Serena sudah menyiapkan kalimat sindiran dan cibiran pedas jika wajah mempelai terlihat.

Tapi saat sang pengantin duduk di sisi Andika di atas pelaminan megah yang bertabur bunga dan kaligrafi Allah-Muhammad, suasana langsung berubah. Semua tamu terdiam. Kilatan kamera terus menyala. Suasana hening berubah menjadi penuh decak kagum.

Amira tetap tenang. Meski di dalam hati, ia gemetar. Satu-satunya yang membuatnya diam dan tegak hanyalah bayangan wajah ayahnya—dan suara dokter pagi tadi: “Kita tak bisa tunggu lama. Harus segera operasi.”

Dan kini, di sinilah ia. Duduk di pelaminan, bersanding dengan pria asing yang tak tersenyum sedikit pun padanya.

Suasana memanas dalam keheningan sakral saat penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) naik ke atas pelaminan. Lelaki paruh baya berkopiah hitam itu membawa map berisi dokumen penting. Di hadapannya, Andika dan Amira duduk berjajar, sementara para saksi dari pihak keluarga duduk tak jauh dari mereka.

Renata berdiri tak jauh, tangannya dingin menggenggam kipas kecil yang dari tadi tak digunakan. Matanya terus mengawasi Amira—takut gadis itu tiba-tiba lari atau membatalkan semuanya. Tapi Amira duduk tenang. Dingin, seperti batu. Padahal hatinya menjerit.

Sementara itu, Viona duduk anggun di barisan depan. Ia menatap Amira tajam, penuh selidik. Tapi tak ada satu pun emosi negatif yang terpancar dari wanita tua itu. Ia hanya diam.

Penghulu memulai prosesi akad.

“Karena wali nasab dari mempelai wanita tidak hadir dan tidak dapat dihubungi, serta berdasarkan surat pernyataan dari pihak keluarga bahwa ia berasal dari panti asuhan, maka saya selaku wali hakim, atas nama negara dan agama, akan menikahkan saudari Amira binti—” penghulu sempat ragu, lalu membaca nama sesuai dokumen, “—binti tidak diketahui, dengan saudara Andika Pratama bin Adrian Wijaya.”

Beberapa tamu mulai saling berbisik. Tapi penghulu tetap tenang.

“Saudara Andika Pratama bin Adrian Wijaya,” ucap penghulu lantang, “saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Amira, yang walinya saya wakili sebagai wali hakim, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang tunai seratus juta rupiah dibayar tunai.”

Andika menarik napas, lalu menjawab tanpa ragu, “Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti tidak diketahui, yang walinya diwakilkan oleh wali hakim, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”

“SAH!” seru para saksi serempak.

Ruang pernikahan yang mewah dan berhiaskan lampu kristal itu sontak hening sejenak, sebelum kemudian disambut dengan tepuk tangan para tamu yang menahan keheranan. Meski semuanya berjalan cepat dan penuh tanda tanya, prosesi itu berlangsung sempurna di hadapan hukum dan agama.

Renata menutup wajah dengan tangan, tak kuat menahan air mata. Antara lega, syukur, dan takut akan konsekuensi ke depan. Tapi satu hal yang pasti: ia berhasil menyelamatkan keluarganya—untuk hari ini.

Di sisi lain, Andika tak memandang Amira sedikit pun. Ia masih berpikir tentang Bianka. Ia tahu ini hanya drama. Tapi hatinya tetap terasa perih.

Dan Amira?

Ia duduk diam, seperti boneka. Bahkan senyum tak sanggup ia hadirkan. Tapi di dalam hatinya, suara sang ayah terus bergaung. “Kalau tak segera dioperasi, Bapak bisa...”

Tangannya gemetar di balik cadar. Pernikahan itu sah. Tapi apakah ia sanggup menjalani kebohongan ini selama enam bulan?

Penghulu meletakkan mapnya, lalu menatap Amira yang masih duduk tenang di sisi Andika.

"Saudari Amira," ujarnya sopan, "sebelum kami lanjutkan pencatatan, mohon untuk membuka cadar. Sebagai bagian dari administrasi resmi, wajah mempelai perempuan harus terlihat jelas dan didokumentasikan."

Ruangan seketika sunyi. Semua mata tertuju pada sosok berselendang lembut berwarna gading di pelaminan. Amira menunduk sejenak, tangannya gemetar. Ia menatap Renata di kejauhan yang hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dengan gerakan perlahan, Amira mengangkat cadarnya. Dan sesaat kemudian—semua terdiam.

Sorotan lampu menggantung jatuh di wajahnya. Kulit putihnya bersinar lembut, mata cokelat bening itu menyiratkan kekuatan dan luka yang tersembunyi dalam diam. Alis yang tegas, bibir tipis yang kaku karena ketegangan. Tapi semua menyatu sempurna—bukan seperti pengantin darurat, tapi seperti putri raja yang memang ditakdirkan duduk di sana.

Bisikan mulai terdengar. Kamera-kamera media yang sejak tadi mencari celah langsung membidik wajahnya. Beberapa tamu undangan sempat menahan napas.

Serina yang berdiri agak jauh spontan mencibir, “Cantik sih… tapi jangan-jangan hasil operasi. Ojol bisa berubah secepat itu? Ini pasti permainan sulap Renata.” Ia melangkah ke depan, bersiap membuka aib yang telah disiapkannya.

Tapi sebelum ia sempat bicara, terdengar suara cepat dari salah satu penyambut tamu yang berlari kecil ke arah depan.

"Bu! Wapres sudah tiba. Iringannya baru masuk halaman!"

Kegemparan langsung berganti arah. Para tamu yang tadinya fokus pada wajah Amira kini berdiri, bersiap menyambut tamu paling terhormat hari itu. Viona segera berdiri, berjalan dengan anggun menuju pintu utama. Renata, dengan langkah cepat dan gugup, menyusul di belakangnya. Gubernur pun ikut menyambut, menyusun senyum resmi khas acara kenegaraan.

Serina mengernyit—rencananya untuk mempermalukan Renata tertunda. Sorotan mata publik kini tak lagi tertuju pada pengantin. Mereka semua sibuk menyambut sang Wakil Presiden, sang simbol kehormatan negara.

Sementara itu, Amira menarik napas dalam. Sesaat, sorot lampu itu bukan lagi tentang siapa dirinya. Tapi tentang siapa yang sedang datang.

Andika menoleh pelan ke arahnya. Untuk pertama kalinya sejak mereka duduk berdampingan, ia benar-benar menatap Amira. Mata itu... wajah itu... memang cantik. Bahkan lebih anggun dari yang ia bayangkan. Tapi...

"Maaf," bisik Andika dingin, "Kamu bukan Bianka."

Amira tak menjawab. Ia hanya menunduk, menyembunyikan luka yang terasa seperti pisau dingin di dada. Dan pernikahan yang barusan diuc

apkan itu terasa lebih hampa dari ruang pesta mewah yang dipenuhi senyum pura-pura.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!