Kabut tipis menyelimuti lembah saat pagi mulai merangkak naik di atas pucuk-pucuk pepohonan. Embun pagi menetes perlahan dari daun-daun pinus, menciptakan irama suara lembut yang menenangkan bagi siapapun yang mendengarnya. Liang Feng menunduk sejenak, memeriksa bekal airnya sambil menghela napas panjang. Sudah tiga hari berturut-turut ia meninggalkan desanya, menjelajahi tepian Hutan Perak demi mencari bahan ramuan bagi Nenek Li. Hari ini, ia harus kembali namun sebelum itu, ia tak menyangka akan menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar daun luchun.
Jejak tapak kaki kecil yang berserakan di tanah yang lembap berhasil menarik perhatiannya. Tak seperti bekas kaki rusa atau kijang, lekukan lekuknya tersusun tak beraturan, seperti goresan cakar halus pada akar-akar pohon. Liang Feng mendekat dan merapatkan telinganya pada desisan angin. Tak ada suara hewan buruan, hanya desiran daun yang bergesekan. Namun bau anyir darah tipis menusuk di hidungnya.
“Siapa kau…?” gumamnya lirih, menurunkan suara sekuat mungkin. Ia memetik bunga edelweiss dari ikat pinggangnya, hal itu isyarat untuk berjaga-jaga dengan bunga ini yang mampu menahan energi roh tingkat rendah dan melemahkan semacamnya.
Jejak itu kian menebal, mengarah ke sebuah semak-semak bambu yang tumbuh dengan rapat di pinggir jalan setapak. Liang Feng melangkah hati-hati, menarik tarikan napas dalam-dalam. Ketika ujung pedang bermotif naga putih menorehkan jejak di tanah, tiba-tiba batang bambu berguncang hebat, seolah ada yang tergencet di dalamnya.
“Siapa di sana?” suara Liang Feng serak, namun tegas.
Sekilas bayangan putih melesat di sela dedaunan. Sebelum sempat bereaksi, sebuah makhluk yang membuatnya takjub terlihat olehnya, makhluk itu adalah seekor rubah berwarna putih salju, tubuhnya terkoyak, bulu peraknya penuh dengan noda darah kering. Sorot matanya setengah terpejam, namun keanggunan roh kuno masih terpancar darinya.
Tanpa sadar, Liang Feng menengadah. Kabut pagi yang tadinya tipis, seakan berpendar lembut di sekeliling rubah itu yang menandakan keberadaannya bukan kebetulan. Ia membungkuk, menyimpan pedangnya dan mengambil langkah dengan hati-hati.
“Tenang, aku takkan menyakitimu.” bisiknya, sambil memanggul tas punggungnya. Ia mengeluarkan kain sutra lembut yang merupakan warisan ayahnya yang biasa digunakan Nenek Li untuk membungkus ramuan halus. “Tolong… biarkan aku membantu.”
Rubah itu mengerang dengan lemah ketika Liang Feng menggulung kain sutra dan membiarkannya melayang di udara, ia mengikatkannya perlahan pada tubuh rubah. Aroma bunga edelweiss menguar, menenangkan semangat roh. Cahaya perak memancar samar-samar dari kain sutra, mengurangi sedikit demi sedikit luka di punggung rubah itu.
“Bai Xue…” tiba-tiba nama itu terlintas di kepala Liang Feng, sejenis rubah roh yang legendaris dalam cerita rakyat. Konon, Bai Xue adalah penjaga roh hutan, makhluk yang muncul saat keseimbangan alam terancam. Namun selama berabad-abad, tidak ada satu pun yang berhasil melihatnya dengan mata telanjang, bahkan Hingga hari ini.
Rasa kasihan dan takjub bergelayut di dadanya. Dengan hati-hati, ia menepuk lembut bulu rubah yang mulai menipis akibat lukanya itu. “Bai Xue, jika memang kau pelindung hutan ini, cerita tentangmu sungguh membuatku penasaran. Tapi kenapa kau terluka parah seperti ini?”
Rahang rubah bergerak perlahan, dan suara yang lembut menggema dalam pikirannya bukan suara fisik, melainkan getaran roh atau bisa dikatakan telepati. “Kegelapan… mengikutiku. Gerbang… hampir terbuka.”
Pikiran itu memecut adrenalin Liang Feng. Ia tahu betul bahwa kabar tentang Gerbang Utama yang menghubungkan dunia manusia dan dunia roh hanyalah mitos, namun bila Bai Xue sendiri memperingatkannya, bahkan ia sendiripun tak bisa menolak.
“Ikuti aku.” ujarnya pada rubah yang berbalik berat sebelah. “Aku akan membawamu ke tempat aman. Nenek Li pasti bisa merawat luka-lukumu.”
Langkah mereka terhuyung di antara akar pohon dan semak-semak belukar. Kabut semakin menipis, memperlihatkan punggung bukit terjal di kejauhan. Setiap langkah rubah bergema pelan di tanah, namun kekuatannya semakin melemah. Liang Feng menyedot napas, menggenggam tongkat kayu putih yang biasa ia gunakan untuk meredam gangguan roh liar.
Sesaat, bayangan hitam melintas dengan Kilatan di balik pepohonan, Liang Feng melihat sosok humanoid tinggi, bersayap seperti kepingan asap pekat. Liang Feng langsung mengangkat pedang dan tongkat kayunya. Cahaya biru lembut menelusup dari Tianlong Mark yang merupakan tanda bahwa kekuatan naga legendaris dalam darahnya bangkit.
“Kau… Spirit Hunter!” Liang Feng berseru, meloncat ke samping untuk melindungi Bai Xue. Dia menancapkan pedang ke tanah, lalu membentuk simbol naga dengan tangan kirinya. Kilatan sinar hijau dan perak terpancar, menciptakan perisai berlapis-lapis di sekelilingnya.
Begitu serangan dari bidikan roh hitam itu, entah paku beracun atau serbuk bayangan terus mencoba menembus perisainya, Liang Feng mengayunkan tongkatnya ke depan. Gelombang energi menggulung, menghantam makhluk itu hingga terpental ke belakang, menusuk pohon besar di samping jalan. Suara gemeretak kayu pecah mengisi kekosongan diarea itu.
“Sial.” gerutu Liang Feng. Nafasnya mulai terengah-engah, keringat dingin menetes dari dirinya. “Bai Xue, lari!”
Bai Xue, yang seharusnya terkulai, tiba-tiba mengulur sedikit kekuatannya. Kilauan perak di bulunya menyala, menciptakan pancaran cahaya lembut yang menerobos kabut. Cahaya itu bergerak menyerupai suar burung phoenix, menyilaukan mata Spirit Hunter tadi. Tanpa pikir panjang, makhluk kegelapan itu mundur dan lenyap di antara pepohonan.
Liang Feng menahan napas. Pedangnya masih disangga di tanah, simbol naga di dadanya berdenyut secara pelan. Ia berjalan mendekati Bai Xue, mengambil kain sutra yang kini hampir merekat pada tubuh rubah itu.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya. Sekali lagi, gema pikiran Bai Xue mengalir. “Bantulah… segel… sebelum terlambat.”
Liang Feng mengangguk pelan. “Aku tidak mengerti apa maksudmu, tapi aku akan mencari Nenek Li. Dia akan tahu apa yang harus kita lakukan.”
Malam menjelang saat mereka akhirnya sampai di gubuk kayu kecil di pinggiran hutan, rumah milik Nenek Li. Lilin-lilin terapi rohani berkerlip di jendela, menunggu saat kedatangan sang murid. Liang Feng menggendong Bai Xue dengan pelan, memasuki ruangan yang beraroma wewangian ajaib.
Nenek Li, sosok renta berkerudung biru tua, menoleh dengan mata sabit yang lembut namun tajam untuk meneliti siapapun yang ada disekitarnya. “Feng, kau terlambat hari ini.” gumamnya. Namun begitu melihat rubah putih di pelukan muridnya, matanya terbelalak.
“By the river…” kata Bai Xue penuh usaha. Nenek Li mengangguk mengerti. Segera ia menyiapkan ramuan perak dan sutra suci, menyalakan lilin bunga kamelia seratus helai. Asap dupa berbalut mantra mengitari tubuh Bai Xue dan memulihkan energi rohnya.
Liang Feng memejamkan mata, melepaskan beban pikirannya sejenak. “Aku menemukanmu di tepi hutan.” bisiknya pada Nenek Li. “Rasanya dunia ini… berbeda, seolah kegelapan menanti di balik pepohonan.”
Nenek Li menatap dengan tajam. “Ini baru permulaan, Feng. Gerbang Utama hampir terbuka kembali. Aku merasakan gemuruh roh kuno di kedalaman hutan. Kau terpilih untuk menjadi penjaga lintas dunia. Tugasmu akan jauh lebih berat daripada apa pun yang pernah kau bayangkan sebelumnya.”
Sejenak keheningan menyelimuti suasana. Hanya desah napas Bai Xue yang mulai tenang, diselingi detak kecil lampu-lampu lilin yang bergoyang. Liang Feng menatap rubah itu dengan tekad menggelora.
“Aku siap, Nenek Li. Demi hutan, demi Bai Xue dan juga demi keseimbangan dunia.”
Malam turun perlahan di atas pegunungan, menyelimuti gubuk kayu tua milik Nenek Li dalam keheningan yang damai. Hanya suara serangga malam dan desir angin pegunungan yang menemani Liang Feng saat ia membantu menata ramuan-ramuan obat di rak bambu. Di pangkuannya, Bai Xue, rubah berekor perak, berbaring tenang, matanya setengah terpejam.
Namun ketenangan itu terbelah oleh suara dentuman keras, pintu gubuk dihantam dengan kekuatan yang cukup besar hingga berderak. Liang Feng tersentak, nyaris menjatuhkan botol ramuan di tangannya. Bai Xue langsung mengangkat kepala dan menggeram pelan, bulu-bulunya menegang, menandakan adanya bahaya yang mendekat.
“Siapa di luar sana?” seru Nenek Li, suaranya datar dan tegas. Meski tubuhnya sudah renta, tak ada sedikit pun getaran ketakutan dalam suaranya.
Pintu terbuka dengan paksa, dan dari balik kegelapan malam, muncul bayangan hitam yang menyeramkan. Mata merah menyala menatap dari balik jubah bayangan, diikuti barisan makhluk tinggi berwujud asap kelabu, masing-masing membawa tombak kristal ungu.
Para Pemburu Roh telah tiba.
Liang Feng berdiri dan melangkah maju, berdiri di depan Nenek Li dengan tubuhnya sebagai perisai. Tangan kanannya mencengkeram pedang bermotif naga putih, sementara tangan kirinya menggenggam tongkat kayu putih, alat penyalur kekuatan Tianlong Mark yang diwarisi sejak lahir.
“Pergi dari sini!” teriaknya. “Tempat ini bukan untuk kalian!”
Salah satu Pemburu melangkah maju. Suaranya seperti gesekan logam kasar. “Serahkan roh rubah itu. Jika tidak, kau dan wanita tua itu akan merasakan penderitaan yang tak berakhir.”
Nenek Li tetap berdiri tenang. Ia menjulurkan tangan, jari keriputnya menyentuh nampan perak yang berisi cawan-cawan kecil berisi cairan biru kehijauan. “Ramuan ini bukan untukmu. Ini penjaga keseimbangan antara roh dan manusia. Pergilah.”
Salah satu Pemburu mengayunkan tombaknya. Energi hitam meledak dari ujungnya, menghantam dinding gubuk dan mengguncangkan seluruh bangunan. Liang Feng segera membentuk simbol naga di udara dengan pedangnya. Cahaya hijau bercampur perak memancar membentuk perisai melengkung di depannya.
“Tianlong Mark!” serunya. Suaranya bergema seperti raungan naga kuno.
Energi hitam itu terpental, pecah menjadi serpihan bayangan yang menghilang di udara. Para Pemburu mundur satu langkah. Mereka tidak menyangka bahwa seorang manusia biasa bisa memantulkan serangan roh mereka.
Dari sisi gubuk, Bai Xue bangkit dan berdiri. Bulu ekornya yang perak berpendar lembut. Meski masih lemah, ia mengambil posisi bertahan, seolah ingin membalas kebaikan Liang Feng yang telah menyelamatkannya.
Seorang Pemburu berbisik pada rekannya. “Dia menggunakan kekuatan pelindung kuno... Kita butuh Sutra Pembelenggu Arwah.”
Namun sebelum mantra itu bisa dibacakan, Liang Feng menyerang lebih dahulu. Ia menanamkan pedang ke tanah, memejamkan mata, dan memusatkan seluruh kekuatan Tianlong Mark ke dalam tulang punggungnya. Sisik halus muncul di lengannya, auranya menyala hijau-perak, berkilauan dalam kegelapan.
Suara gemuruh terdengar pelan, merambat dari tanah dan membuat pohon-pohon di sekitar berderit. Liang Feng membuka mata dan melompat ke depan, mengayunkan pedang. Gelombang energi berbentuk naga menerjang ke arah para Pemburu.
Sutra Pembelenggu Arwah yang baru saja disentuhkan ke lantai langsung hancur terbelah. Para Pemburu terseret ke belakang, beberapa terjatuh dan mengerang kesakitan.
Nenek Li tak tinggal diam. Ia mengambil ramuan kedua dan menggambar lingkaran mantra di udara dengan jari telunjuknya. Cahaya biru berbentuk kelopak sakura mengelilingi gubuk, menciptakan dinding pertahanan dari serangan energi jahat.
Bai Xue memejamkan mata, menghimpun sisa kekuatannya. Dengan sekali kibasan ekornya, ia memancarkan energi kesucian yang menyembuhkan luka-luka roh dan menenangkan atmosfer sekitarnya. Meskipun tubuhnya lemah, ia tidak menyerah.
Tiba-tiba, salah satu Pemburu yang tersudut berteriak, “Formasi Bayangan!” Dalam hitungan detik, sembilan bayangan lain muncul dari balik pepohonan, mengepung gubuk dari tiga sisi.
Liang Feng menoleh ke arah Nenek Li. Ia tahu, mereka tak bisa bertahan lama di tempat ini.
“Bai Xue!” panggilnya. “Bawa kami ke ruang bawah tanah! Ramuan suci harus dilindungi!”
Bai Xue mengangguk dan melesat ke sudut ruangan. Dengan cakarnya, ia menyentuh lantai kayu, membuka celah rahasia yang mengarah ke tangga batu.
Liang Feng menyarungkan pedang dan mengambil tongkat kayu putihnya. “Nenek, ayo! Aku akan menahan mereka!”
Nenek Li mengangguk, mengambil nampan perak berisi ramuan, dan turun lebih dulu bersama Bai Xue. Liang Feng menyusul setelah memastikan pintu rahasia tertutup kembali.
Di atas, para Pemburu menghantam pintu gubuk dengan kekuatan penuh. Kabut ungu mulai merembes masuk melalui celah kayu, membawa hawa dingin dan aura kematian. Lilin satu per satu padam, dan api di tungku hampir mati. Suasana berubah kelam, seperti berada di ambang dunia roh dan dunia manusia.
Di bawah tanah, Liang Feng dan Nenek Li mencapai ruang rahasia. Dinding-dinding batu dihiasi rak kayu penuh botol ramuan. Di tengahnya, terdapat meja batu memancarkan cahaya biru lembut.
“Cepat, campurkan bunga aren, air embun purnama, dan darah roh rubah,” kata Nenek Li sambil membuka tutup botol. Suaranya tegas meski terburu-buru.
Liang Feng mengambil bunga aren beraroma manis, menuangkan air embun purnama dari botol kristal, dan meneteskan setetes darah putih dari ampul yang disimpan dengan hati-hati. Ia mengaduk campuran itu dengan tongkat kayu putih. Cairan itu memendar, berubah warna menjadi biru keperakan yang indah dan kuat.
“Sekarang,” ujar Nenek Li. “Ucapkan mantra pelindung tertua: ‘Naga Jingga, perisai jiwa, kunci cahaya dalam kegelapan!’”
Liang Feng menarik napas dalam-dalam dan melafalkan mantra dengan penuh keyakinan. Kilatan cahaya keluar dari mangkuk ramuan, membentuk kubah pelindung yang melingkupi seluruh lorong bawah tanah. Suara retakan batu terdengar di atas, namun cahaya itu menahan segalanya.
Di atas, para Pemburu mulai kebingungan. Energi yang tadinya meluap kini terhenti. Kabut ungu mulai surut, dan bara api di tungku menyala kembali dengan cahaya keemasan. Lilin-lilin pun menyala, menerangi ruangan yang hampir hancur.
Dan lalu... semuanya hening.
Tak ada lagi suara langkah kaki. Tak ada teriakan. Gubuk hanya bergetar sekali, lalu berhenti. Kabut malam menghilang, menyisakan keheningan yang mencekam dan magis.
Di bawah, Liang Feng menjatuhkan dirinya ke lantai batu, napasnya terengah. Nenek Li menepuk punggungnya dengan lembut. “Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik, Feng. Tianlong Mark dan ramuan suci ini kini akan menjaga gubuk ini.”
Di atas, Bai Xue kembali memancarkan cahaya peraknya. Retakan-retakan di kayu mulai tertutup, gubuk perlahan memperbaiki dirinya dengan sihir pelindung yang ditanam oleh Nenek Li bertahun-tahun lalu.
Liang Feng menatap ke arah tangga batu. “Ini baru awal,” bisiknya. “Para Pemburu Roh belum menyerah. Aku harus lebih kuat, demi Nenek Li, demi Bai Xue, dan demi keseimbangan dunia ini.”
Dan di luar sana, dalam gelapnya hutan, sepasang mata merah kembali memantau dari kejauhan. Tekad mereka belum padam. Perburuan baru saja dimulai.
Liang Feng terjaga sebelum warna jingga fajar menyentuh cakrawala. Dadanya naik turun cepat, sisa ketegangan dari peristiwa malam sebelumnya masih melekat. Mimpi-mimpi penuh bayangan Spirit Hunters dan tatapan dingin dari roh-roh jahat membuat tidurnya tak sepenuhnya tenang.
Di sampingnya, Bai Xue masih terbaring, tubuh mungilnya yang berselimut bulu putih perak tampak damai di atas kain sutra pemberian Nenek Li. Namun Liang Feng tahu ketenangan ini hanya sesaat.
"Nenek Li bilang kita tak bisa tinggal lebih lama," bisiknya pelan, sembari menunduk mengambil tas punggung dari sudut gubuk. Tangannya menepuk lembut kepala Bai Xue. “Ayo, kita harus pergi sebelum para pemburu roh sadar kalau tempat ini sudah dilindungi.”
Di luar gubuk, lingkaran pelindung yang diritualkan semalam masih memancarkan cahaya biru. Denyut lembut dari lingkaran itu menandakan sihir perlindungan masih aktif, namun hanya akan bertahan sampai senja. Liang Feng tak ingin mengambil risiko.
Ia menatap sekali lagi ke dalam gubuk kecil itu. Nenek Li masih terlelap di sudut, tubuh renta itu bersandar pada tumpukan bantal tua. Liang Feng menggenggam seruling peraknya, lalu melangkah keluar. Di belakangnya, Bai Xue menyusul dengan langkah ringan namun sigap.
Udara pagi di pinggiran Hutan Perak begitu menggigit. Kabut menggantung tipis di udara, menyelimuti deretan batang pinus tinggi dan menciptakan bayang-bayang aneh yang seakan hidup. Liang Feng menyusuri jalan setapak sempit yang tertutup akar-akar tua. Bai Xue berjalan di sisi kirinya, telinganya bergerak-gerak, hidungnya mengendus udara, waspada terhadap kehadiran makhluk asing.
“Ke arah utara,” bisik Bai Xue dalam benak Liang Feng. “Tempat dua pohon pinus bersilangan seperti gerbang.”
Liang Feng mengangguk. Pandangannya menelusuri jalan hutan hingga ia melihatnya, dua pohon pinus besar yang tumbuh miring, bersilangan sempurna seperti palang gerbang alami. Ia menunduk, memungut daun halfmoon dari tanah, lalu menaburkannya perlahan. Aroma khas dari daun itu menguap di udara, membuka jalan spiritual yang tersembunyi di antara kabut.
Suara ranting patah, desiran dedaunan, dan langkah ringan menyatu menjadi irama pelarian mereka. Sesekali, roh-roh kecil bermata biru keperakan berkelebat di balik semak, memperhatikan Bai Xue. Makhluk-makhluk itu menghormati keberadaan rubah suci dan memberi jalan.
Namun langkah mereka terhenti ketika Liang Feng menemukan celah tanah yang agak lapang. Di ujung celah tersebut, berdiri sebuah prasasti batu, tingginya seukuran manusia dewasa. Ukiran di permukaannya terbagi dua: sisi kiri menunjukkan naga yang mengangkasa, sementara sisi kanan menggambarkan rubah yang melompat di antara awan.
Di antara keduanya, sebuah palang batu rendah menutupi pintu setinggi pinggang.
Bai Xue menghentikan langkah, matanya menatap serius. “Ini… lorong rahasia para pertapa. Hanya bisa dibuka jika roh penjaga sejati hadir.”
Liang Feng mendekat, meraba palang batu itu. Ia mengeluarkan pedang tipisnya dan mulai membersihkan lumut yang menutupi tiga titik penting: mata naga, ekor rubah, dan lambang bulan sabit di tengah. Setelah membersihkan dengan hati-hati, ia menekan ketiga simbol tersebut secara berurutan.
Getaran halus merambat di tanah. Palang batu bergerak, bergetar perlahan dan menyingkir ke samping, menyingkap celah sempit yang menurun ke bawah tanah.
“Lorongnya kecil, tapi harus kita lalui,” ucap Liang Feng. Ia menyelipkan serulingnya ke sabuk, lalu mengeluarkan obor kecil, obor yang diracik khusus oleh Nenek Li, berisi ramuan asap biru dari akar langka.
“Aku akan menuntun jalan,” sahut Bai Xue. Ujung ekornya menyentuh obor, dan cahaya biru menyalakan lorong itu dengan aura perlindungan yang lembut. Asapnya memancarkan bau menenangkan yang menyingkirkan roh-roh jahat.
Mereka mulai menuruni lorong rahasia. Dinding batu basah berkelok-kelok, dipenuhi pahatan kuno, gambar manusia yang bersujud di hadapan naga, roh yang memayungi pertapa, dan penganugerahan Tianlong Mark. Liang Feng menyentuh salah satu pahatan. Ada denyut energi di balik batu itu, seperti peninggalan perasaan hormat dari para pendahulu.
“Konon, pertapa zaman dulu memakai lorong ini untuk menghindar dari badai kegelapan,” gumamnya lirih.
Namun suasana tenang itu berubah saat bau anyir memenuhi udara. Liang Feng menghentikan langkah, matanya menyipit. Di ujung lorong, bayangan hitam melintas secepat kilat. Detak jantungnya meningkat. Ia mengangkat obor lebih tinggi.
“Hati-hati,” bisiknya.
Bai Xue merendahkan tubuhnya. Bulu-bulunya bersinar perak terang, menyebar cahaya yang menembus gelap lorong. Mereka melangkah lebih cepat hingga menemukan ruang kecil yang lantainya terbuat dari batu bundar.
Di tengah ruangan itu berdiri sebuah altar sederhana, tumpukan koin perunggu, gulungan mantra, dan dupa yang sudah padam. Dinding ruangan dihiasi dengan tiga lingkaran: naga, rubah, dan sosok penari berbentuk manusia.
“Ini tempat persembahan para pertapa,” ujar Bai Xue. “Mereka meninggalkan niat baik di sini agar roh jahat tak mengikut.”
Liang Feng berlutut, memungut salah satu koin. Permukaannya sudah mulai aus, namun lambang bulan sabit masih terlihat samar. “Ramalan Jiwa Bumi Tua,” gumamnya. “Nenek Li pernah berkata… koin ini adalah penanda jalan menuju gerbang berikutnya.”
Tiba-tiba tanah bergetar. Debu beterbangan dari langit-langit. Liang Feng berdiri sigap, tangan siap menggenggam pedang. “Apa itu? Langkah kaki... besar?”
Bai Xue mendesah. Ia menempelkan dahinya ke altar. Seketika, cahaya perak meledak lembut dari tubuhnya, menjalar ke dinding ruangan. Pilar-pilar batu di sudut menyala satu per satu, memunculkan celah rahasia di sisi kiri ruangan.
“Ke sana! Cepat!” serunya.
Tanpa ragu, mereka berlari menembus terowongan kecil yang terbuka. Di belakang mereka, suara dengungan rendah dan getaran berat mengikuti. Akar-akar di dinding ikut bergetar. Liang Feng yakin entitas di belakang mereka terlalu besar untuk masuk lorong kecil itu. Dan benar saja, suara itu berhenti, terhalang pintu batu yang menutup otomatis di belakang mereka.
Mereka tiba di ruang yang lebih luas. Dindingnya berkilau memantulkan cahaya lembut dari kristal-kristal perak yang tertanam di batu. Aliran udara segar dan aroma balsam alami memenuhi ruangan.
“Ini… inti Hutan Perak,” ucap Bai Xue, matanya berbinar.
Liang Feng mendekati batu terbesar di tengah ruangan. Ia meletakkan koin perunggu di sebuah lekukan berbentuk bulan sabit di dasar batu. Saat koin menyentuh lekukan itu, batu tersebut bergetar pelan, lalu membuka celah baru. Dari celah itu, cahaya perak memancar, memperlihatkan lorong panjang menuju bagian terdalam hutan.
“Lorong ini akan membawa kita ke jantung Hutan Perak,” ucap Liang Feng. “Di sana… aku yakin kita akan menemukan Sumber Roh yang bisa memperkuatmu, Bai Xue. Dan juga... kekuatan untuk menutup Gerbang Utama.”
Bai Xue menatap Liang Feng. Kilau harapan dan keberanian terpancar di mata peraknya. “Aku siap,” jawabnya.
Dengan langkah mantap, mereka menuruni lorong baru itu, meninggalkan dunia permukaan di belakang. Di kedalaman Hutan Perak, nasib mereka dan masa depan dunia akan ditentukan dengan cahaya, keberanian, dan tekad untuk menghadapi kegelapan yang akan datang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!