"Nin, bangun! Ayo, cepat kamu masak sekarang. Keburu siang, keburu calon suaminya Lisna datang!"
Hanin mengerjap. Kepalanya terasa pening. Perasaan baru sekejap ia tertidur tapi sudah dibangunkan oleh ibunya.
"Akumasih lelah, Bu," sahutnya.
Bagaimna ia tidak lelah karena semalam sepulang kerja, ia sudah ditodong oleh ibunya untuk mencuci setumpuk piring kotor didapur. Entah apa yang dilakukan Lisna di rumah ini. Kenapa adiknya itu tidak mau membantu
mengerjakan pekerjaan rumah apapun. Dan anehnya, ibunya merasa hal itu tidak salah. Bu Daning seketika melotot. Ia menarik selimut yang menutup tubuh Hanin dan menyiram wajah Hanin dengan segelas air yang ada di atas nakas.
"Bangun!" teriaknya.
Hanin kelabakan. Ia seperti bermimpi baru saja tenggelam saat ibunya menyiram air kepadanya.
"Ya Allah, Bu. Kenapa Ibu tega banget? Aku baru tidur tiga jam Bu," lirihnya dengan wajah basah.
"Jangan manja! Tiga jam itu sudah cukup buat kamu tidur. Memangnya kamu mau tidur
sampai berapa lama? Itu, bahan masakan udah siap di dapur! Udah gak bantuin belanja malah sok-sokan jadisi paling capek!"
Hanin menghela napas.
"Kenapa nggak Lisna saja sih yang Ibu suruh? Kan yang datang calon suaminya."
"Kamu ini gimana, sih? Lisna kan gak bisa masak? Dia itu calon bidan dan calon suaminya itu pengusaha. Mana bisa aku biarkan Lisna berkutat di dapur? Dia akan jadi orang kaya! Gak kayak kamu. Kamu kan udah biasa ngerjain semuanya!"
Hati Hanin sakit mendengar hinaan ibunya sendiri. Begitu lah setiap kali ia berdebat dengan ibunya. Selalu berakhir dibanding-bandingkan dengan Lisna. Lisna memang lulusan D3 kebidanan. Namun, ia nampak malas jika harus bekerja. Setiap kali membantu di
puskesmas yang ada di kampungnya, ia selalu mengeluh jijik karena harus membantu
membersihkan kotoran ibu yang melahirkan.
Hanin selalu berpikir, kalau jijik kenapa milih jadi bidan?Sedangkan ia saja hanya bekerja ditoko kelontong milik Ko Yusuf yangada di tepi jalan raya. Ia bekerja dua belas jam, mulai jam sepuluh sampai jam sepuluh malam dengan gaji delapan ratus ribu sebulan. Itusaja, ia hanya menyisakan tiga ratus ribu karena ibunya pasti akan meminta bagian lebih banyak dengan dalih bakti dan terima kasih anak pada orang tua.
"Sudah lah, cepetan ke dapur. Lagian kamu libur kan hari ini? Nanti keluarga calon suami Lisna datangnya sore. Jadi, semua masakan harus siap sebelum ashar."Bu Daning berlalu pergi
meninggalkan Hanin yang diam membisu.
"Allah, kenapa Ibu selalu saja bersikap tidak adil? Kenapa selalu Lisna? Bukankah aku juga anak Ibu?" Hanin menggumam. la mengusap sudut matanya yang berlinang.
Gadis berambut panjang dan sedikit bergelombang itu lantas bangun dan membereskan tempat tidur. Tak lupa ia menjemur bantal yang terkena siraman air ibunya. Hatinya nelangsa, karena setiap hari selalu diperlakukan layaknya seorang pembantu di rumah sendiri.
"Loh, Hanin? Kok, sudah sibuk di sini? Sudah solat?" Pak Abdul, ayah Hanin yang baru pulang dari musala bertanya. la masih mengenakan sarung, dan baju koko serta peci. la hendak mengambil minum tapi malah melihat putri sulungnya sedang mencuci sayuran.Padahal, semalam ia tahu bahwa Hanin baru tidur jam satu malam.
"Aku lagi halangan, Pak. Nggak solat," jawab Hanin seraya melempar senyum tipis.
"Kamu nggak capek, Nak? Bapak tahu kalau kamu semalam tidur jam satu."
Hanin menghela napas.
"Memangnya apa Bapak peduli? Bukannya Bapak lebih mendengarkan kata Ibu?" balasnya,
membuat wajah Pak Abdul kaget.
"Apa Ibumu yang menyuruhmu
memasak sepagi ini?" Hanin mengangguk.
Ia memindahkan sayuran yang baru dicuci ke dalam wadah. Lalu mulai merebus daging dan menyiapkan bumbu-bumbu yang akan digunakan.
"Bapak akan bicara sama ibumu."
"Silakan saja. Paling juga gak akan ada perubahan apa- apa."
Langkah Pak Abdul terhenti. Ia menatap Hanin dengan tatapan sendu. Merasa bersalah karena
tidak bisa membela putri sulungnya
itu.
"Bapak akan berusaha menasehati ibumu, Nak. Kamu yang sabar," katanya.
"Aku selalu sabar, Pak." Suara Hanin bergetar. Ia menarik napas dalam agar sesak di rongga dadanya berkurang. Sementara itu, Pak
Abdul masuk ke dalam kamar melihat sang istri sedang rebahan sambil nonton tivi.
"Buk, kenapa Ibu malah di sini?"
Bu Daning menoleh ke arah suaminya.
"Lah, emang kenapa? Kan ini kamarku juga, Pak," balasnya dengan ketus.
"Bukan begitu maksud Bapak.Tapi, seharusnya Ibu bantuin Hanin di dapur. Kan kamu yang nyuruh Hanin masak, seharusnya kamu bantuin sama Lisna juga," tukas Pak Abdul sembari meletakkan peci diatas meja "Kasihan Hanin, kalau Ibu terus- terusan begini," imbuhnya.
"Kasihan kenapa memangnya? Dia kan sudah biasa mengerjakan semua sendiri? Lagian masih untung dia masih kurawat." Jawaban Bu Daning membuat Pak Abdul diam untuk beberapa saat.
"Dia juga putrimu, Bu. Kenapa kamu gak bisa memperlakukan diaseperti anak kamu sendiri?"
Braaak!
Sontak saja Pak Abdul,membuka pintu kamarnya.
Tampak, Hanin menjatuhkan baskom berisi tempe yang baru saja diiris tipis.
"Ya Ampuuun, Haniiin!" Bu Daning bergegas turun dari ranjang dan menghampiri Hanin.
"Kamu ini gimana, sih? Itu tempe dibeli pakek uang! Malah kamu jatuhkan kayak gini. Mana bisa dimasak kalau kayak gini?"
omelnya.
"Maaf, Bu. Aku nggak sengaja. Biar aku ganti," kata Hanin, tak bersemangat. la berjongkok,
membersihkan tempe yang berserakan.
Rencananya irisan tempe itu akan dimasak sebagai Orem-Orem.Sementara Pak Abdul hanya
diam dan menatap iba putrinya. "Ayo, bapak antar, Nak. Mumpung masih pagi pasti penjual tempe dipasar masih banyak," tawarnya.
"Nggak perlu, Pak. Aku bisa berangkat sendiri, kok." Hanin mengulas senyum. Ia lantas
melangkah ke dapur dan meletakkan baskom di mejamakan. Hatinya mendadak sesak.Air matanya pun berlinang. Hanin sudah mendapatkan tiga kotak tempe. Setelahnya ia berjalan cepat menuju parkiran. Jika terlalu lama, ibunya pasti akan kembali memarahinya.
"Aduh!"
Hanin mengaduh saat seseorang menabrak bahunya."Hati- hati dong, Mas kalau jalan! Gak lihat apa kalau saya lagi bawa barang? Kalau barangnya jatuh lagi gimana? Mas mau ganti rugi?!" cecarnya pada pria berkaus hitam dan memakai celana jeans.
"Aku nggak sengaja. Lagian udah tahu kalau ramai, kenapa nggak minggir?" Bukannya minta maaf, pria itu malah seperti menantangnya.
Hanin melotot.
"Mau minggir ke mana, Mas? Kamu mau aku jalan di atas dagangan orang gitu?"
Pria berhidung mancung itu
berdecak. "Aku gak nyuruh begitu. Kamu sendiri yang bilang gitu, kan? Ah, sudahlah. Buang- buang waktu saja!" la mengibaskan tangan, lalu meninggalkan Hanin yang merasa jengkel.
"Ya Allah, tadi maksud Ibu apa, ya?" Obrolan kedua orang tuanya masih terngiang. Ia tak sengaja menguping tadi. Hanya saja waktu lewat depan kamar orang tuanya, tak sengaja ucapan ibunya membuat ia berhenti dan menguping.
"Apa benar kalau aku bukan anak ibu, ya?" Hanin kembali menggumam. Gegas ia menggeleng.
Lantas menaiki motor dan melajukannya meninggalkan pasar dan pulang.
Sesampainya di rumah, Hanin melihat ibunya menggantikan pekerjannya memotong daging ayam. Melihat itu, ada rasa haru yang menyelinap dalam hati. Ucapan yang tadi membuatnya berburuk sangka, seketika lenyap
begitu saya.
"Bu, ini tempenya." Hanin berucap.
"Ya udah, irisin lagi sana!" Hanin mengangguk. "Ibu..mau bantu aku?" tanyanya, ragu.
"Iya. Biar cepet selesai. Nanti keburu calon suaminya Lisna datang. Udah, buruan!"
Hanin mengangguk paham.
Hanin dan Bu Daning berkutat didapur hingga jam menunjukkan pukul sepuluh. Saat semua masakan hampir matang, Lisna baru keluar kamar dengan rambut berantakan khas orang bangun tidur.
"Ya Allah, kamu baru bangun,Lis?" tanya Hanin. la tak menyangka bahwa adiknya itu kuat sekali tidurnya. Biasanya paling siang, Lisna bangun jam setengah tujuh, mepet saat berangkat kerja.
"Halah, gak usah basa- basi. Udah tahu malah nanya!" Lisna menjawab ketus.
"Mulai ubah kebiasaanmu, Lis. Bentar lagi kan kamu mau nikah. Harus mulai belajar bangun pagi biar bisa ngurus dan melayani
suami," kata Hanin.
Lisna melotot. Tak terima mendengar nasehat Hanin.
"Heh, belagu banget, sih?!" ketusnya.
"Suamiku kaya raya! Dia pasti bakalan nyiapin pembantu buat ngurus rumah. Mana mau dia lihat aku kerepotan, Nin? Dia itu meratukan aku. Yang artinya, aku bakalan dilayani, bukannya
melayani!" sambungnya.
"Aku cuma memberi nasehat, Lis." Hanin menjawab lembut.
"Ngaca dulu, dong kalau mau ngasih nasehat! Lagian kamu sudah baik? Kamu udah sukses? Udah punya calon suami? Belum, kan? Kamu itu cuma kulinya Ko Yusuf, sedangkan aku ini calon bidan dan calon suamiku pengusaha. Kalau kamu? Paling cuma dapat pria miskin!" Lisna mengerucutkan bibirnya.
"Jangan kurang ajar kamu, Lisna!" bentak Hanin.
"Hentikan, Hanin! Jangan bentak Lisna!" Bu Daning menyela.
"Lagian yang dikatakan Lisna itu benar, kan? Kenapa kamu marah?"
Bibir Hanin mengatup rapat.Tatapan matanya berubah nanar.
"Bu ... kenapa Ibu selalu begini? Aku ini anak Ibu, kan?" tanyanya lirih. Bu Daning bergeming.
"Kenapa Ibu diam saja? Aku anak Ibu kan? Kalau aku anak Ibu, kenapa Ibu selalu tidak adil padaku,
Bu?" Lisna mencebik melihat silkap kakaknya.
"Halah, gak usah drama, deh! Lagian emang kamu nggak patut dihargai. Lah orang kamu aja gak bisa menghargai Ibu sama Bapak!" tukasnya.
"Menghargai bagaimana yang kamu maksud, hah? Aku setiap hariyang mengerjakan pekerjaan rumah di saat kalian santai- santai! Aku yang nyuci baju kalian, aku yang memasak untuk kalian. Lalu, apa itu masih dinamakan gak
menghargai?" Hanin menatap tajam Lisna.
Lisna mencebik. "Lah kamu gak bisa kan membuat Bapak dan Ibu bangga? Memang kamu bisa ngasih uang banyak buat mereka?
Pekerjaanmu saja cuma kuli di toko kelontong. Hiih, nggak banget!"
"Memang kenapa? Pekerjaanku
halal!"
"Sudah hentikan! Kalian ini apa- apaan, sih? Jangan membuat kepalaku pusing!" teriak Bu
Daning.
"Lisna, cepat kamu mandi dan segera bersiap- siap!" titahnya. Lisna melengos pada Hanin. la berjalan ke kamar mandi tanpa menghiraukan pekerjaan dapur yang masih menggunung.
"Jangan ambil hati ucapan adikmu, Nin!" celetuk Bu Daning. Hanin bergeming.
"Apa aku nggak boleh bahagia, Bu?" tanyanya, pelan. Gerakan tangan Bu Daning yang sedang mengiris buah semangka terhenti sesaat, lalu ia
lanjutkan sambil membalas,
"Maksudmu apa?"
"Sampai sekarang aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang sama dari Ibu. Lisna dikuliahkan, tapi aku cuma sampai SMA dan diwajibkan bekerja untuk bantuin kuliah Lisna. Sekarangpun, aku masih harus menomor satukan Lisna ketimbang diriku sendiri." Hanin menghela napas panjang usai mengatakannya.
"Jangan bicara ngalor ngidul gak jelas! Kamu kan anak sulung.Sudah sewajarnya membantu ekonomi keluarga. Dan sudah semestinya kamu mengalah pada adikmu. Jangan cengeng, Nin!"
Hanin tak membalas ucapan ibunya.
"Ibu belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Pertanyaan yang mana?"
"Aku ini anak Ibu apa bukan?"
Bu Daning menghela napas."Kalau kamu bukan anakku. Lalu anak siapa? Kenapa harus menanyakan hal yang tidak masuk akal? Sudahlah, jangan kayak anak kecil kamu itu!"
Hanin terdiam. "Aku hanya penasaran saja. Kenapa sikap Ibu beda sama aku," tukasnya.
Bu Daning menatap Hanin."Sudah, kamu pergi ke kamarmu. Istirahatlah dulu, nanti sore kembali bantuin."
"Aku cuci piring dan perkakas kotornya dulu."
"Terserah. Yang penting aku udah nyuruh kamu istirahat! Jadi, jangan merasa seperti si paling tersakiti kalau ngadu sama bapakmu!" kata Bu Daning dengan ketus.
"Iya, Bu..."
Lisna keluar dari kamar mandi yang memang bersebelahan dengan dapur. Diliriknya sang Kakak yang duduk di kursi jongkok sedang menggosok wajan dan perkakas masak kotor lainnya.
"Mirip banget kayak babu kamu, Nin, tukasnya.
Hanin tersenyum tipis mendengar hinaan Lisna. Jika ditanggapi, adiknya itu akan semakin bersemangat untuk menghinanya. Jadi, lebih baik ia diamkan saja. Sementara Lisna merasa kesal karena Hanin tak menanggapi ucapannya.
"Kamu budeg, ya?" Hanin masih diam, dan terus menggosok pantat panci yang hitam. Ibunya akan marah jika pantat panci itu masih hitam. Merasa diabaikan, Lisna pun muntab. la menendang wadah sabun yang digunakan untuk
mencuci piring sampai tumpah dan isinya habis.
"APA MAUMU, LIS!" Hanin sontak berteriak dan berdiri. Melotot tajam ke arah Lisna.
Seketika, nyali Lisna menciut melihat tatapan yang tak pernah ditunjukkan Hanin.
"Aku mencoba mengalah karena kamu adikku. Aku diam karena aku tidak mau bertengkar denganmu. Tapi, kenapa kamu selalu mencari gara-gara denganku, hah? Maumu itu apa!"
Hanin merasa sangat lelah, sejak subuh sudah berkutat didapur sampai sesiang ini. Bukannya
membantu atau setidaknya diam, Lisna malah mencari gara- gara terus menerus.
Lisna melotot. "Berani kamu sekarang?" sahutnya dengan bibir bergetar. la menoleh ke arah sang
Ibu yang seperti tak mau membelanya.
"Aku ini kakakmu! Sudah seharusnya kamu yang hormat sama aku!" teriak Hanin.
Lisna menggigit bibirnya. "Ibu, lihat si Hanin!" adunya pada ibunya. Hanin tersenyum sinis. Selalu saja jika kalah berdebat Lisna akan mengadu dan merengek pada ibunya. Dan pada akhirnya, ia yang harus mengalah.
"Bela saja anak kesayangan Ibu ini. Seperti biasa, aku akan mengalah jika Ibu yang minta,"tukas Hanin.
Bu Daning membuang napas panjang. "Lisna, hentikan. Jangan membuat Hanin kesal. Kamu harus ingat, kalau tidak ada Hanin, semua masakan ini tidak akan jadi," katanya.
Hanin menatap ibunya, heran.'Hah? Ibu belain aku?' batinnya. Lisna sendiri menghentakkan kaki. "Ibu mulai membela si dekil ini, ya?!" teriaknya.
Bu Daning mencengkeram pisau di tangannya. "Lisna! Sudah!"teriaknya. Lisna terlonjak, tak menyangka bahwa ibunya membentaknya didepan Hanin.
"Ibu ...." Lisna melengos, lalu menghentakkan kakinya layaknya anak kecil yang marah karena permintaannya tak dituruti. la masuk ke dalam kamar, membanting pintu dengan keras sampai terdengar hingga keluar rumah.
"Ada apa, sih, Bu? Kenapa Lisna marah-marah begitu? Pintu sampek dibanting- banting,"
kata Pak Abdul yang seketika ke dapur setelah mendengar pintu yang ditutup keras.
"Biasa, Lisna lagi marah," sahut Bu Daning. Ia kembali menyelesaikan pekerjaannya.
"Habis bertengkar sama Hanin?" tebak Pak Abdul sambil menatap Hanin yang sudah kembali mencuci piring.
"Iya ...," jawab Bu Daning.
"Gitu kalau anak selalu kamu manja, Bu. Dia pasti merasa aman karena kamu selalu membelanya."
"Kalau Bapak nggak tahu apa-apa, mending diam saja deh! Jangan bikin aku tambah capek!"
Ucapan Bu Daning membuat Pak Abdul meneguk ludahnya. "Bapak kan ngomong baik-baik, Bu."
"Udahlah, mending Bapak pergi saja, jangan di sini. Aku muak!"
Hanin mencengkeram spons yang ada di genggamannya. la membuang napas panjang. Setiap hari, setiap waktu selalu saja ia mendengar perdebatan antara Bapak dan ibunya. Dan perdebatan itu selalu dimenangkan oleh Bu Daning karena Pak Abdul akan lebih memilih untuk mengalah.
Lisna berdiri di depan cermin kamarnya yang besar. Bibir mungilnya dilapisi lipstik merah muda, serasi dengan gaun kebaya modern yang melekat sempurna ditubuh rampingnya. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi aksen melati kecil di sisi kanan. Sudah dua jam ia berkutat dengan penampilan, memastikan semuanya
sempurna. Lantas, setelah memastikan penampilannya sempurna, ia keluar kamar melewati ruang keluarga yang sudah ditata rapi.
Dipojok ruangan, Hanin duduk dengan gamis sederhana berwarna pastel. Ia tidak memakai make-up tebal seperti adiknya, hanya bedak tipis yang membuat wajahnya terlihat berseri alami. Namun, meskipun sederhana, aura lembut Hanin tetap memikat, sesuatu yang sering kali tidak disadari Lisna.
"Bagaimana? Aku terlihat lebih cantik dari biasanya, kan, Nin?" tanya Lisna dengan nada menyindir sambil mematut diri. Ia melirik Hanin dengan tatapan sinis dan meremehkan. Rasa kesalnya belum hilang. Namun, karena sebentar lagi calon suaminya akan datang,maka ia harus bisa mengontrol diri.
"Tentu saja. Tidak semua orang seberuntung aku. Sudah cantik, punya calon suami kaya raya pula."Lisna mengajukan pertanyaan, tapi ia pula yang menjawabnya.
Hanin mengangguk pelan. Ia tidak menggubris sindiran itu, sudah terlalu sering mendengarnya. Baginya, hari iniadalah hari bahagia untuk adiknya, bukan ajang untuk membalas perkataan. Ia sendiri sudah lelah karena seharian bekerja di dapur.
"Bagaimana penampilanku? Apakah terlihat seperti calon menantu dari keluarga terpandang?" Lisna berbalik, memamerkan gaun merah yang begitu indah.
"Iya, Lis. Kamu cantik," jawab Hanin datar.
Lisna mendengkus. Ia ingin mendengar lebih dari itu, mungkin sedikit pujian yang lebih tulus. Namun, respons datar Hanin membuatnya yakin kakaknya itu hanya iri.
Setelah beberapa saat, suara klakson mobil mewah terdengar dari depan rumah. Lisna bergegas menuju jendela, membuka tirai sedikit untuk mengintip. Sebuah sedan hitam berkilauan berhenti dihalaman, diikuti oleh SUV besar.
"Mereka datang!" seru Lisna, wajahnya berseri- seri. Di balik sikap Lisna itu, Hanin hanya tersenyum kecil. Ia senang melihat kebahagiaan adiknya. Namun, iajuga tidak bisa mengabaikan rasa kesal yang selalu muncul setiap kali Lisna meremehkannya.
"Jangan berdiri saja di situ, Mbak. Ini bukan acara kamu," sindir Lisna sambil melangkah keluar untuk menyambut calon suaminya.
Hanin menghela napas panjang. Sambil menunduk, ia melangkah ke ruang tamu, mempersiapkan diri untuk menyambut tamu yang akan datang.
Bu Daning sudah berdiri didepan pintu dengan senyum lebar.la mengenakan batik coklat yang seragam dengan Pak Abdul. Wajahnya berbinar penuh semangat. Hari ini, calon besan yang ia banggakan mengunjungi rumahnya untuk pertama kalinya.
"Pak, kamu jangan sampai bicara ngawur loh, ya. Jaga harkat dan martabat kita," bisik Bu Daning
pada suaminya.
"Iya, Bu. Lagian siapa juga yang mau ngomong ngawur? Ada -ada saja kamu ini."
"Lisna, cepat ke sini!" panggil Bu Daning, melirik putrinya yang berdiri gugup di dekat tangga.Lisna bergegas ke arah ibunya. la melangkah dengan penuh percaya diri, walaupun hatinya sedikit berdebar.
Di luar, pintu mobil sudah terbuka, dan seorang pria paruh baya turun dengan setelan jas rapi. Di belakangnya, seorang wanita anggun dengan tas tangan yang terlihat mahal mengikutinya, diringi seorang pria muda yang tinggi dan tampan.
"Selamat datang, Pak Herman, Bu Lila," sapa Bu Daning sambil menjabat tangan mereka dengan hangat.
"Terima kasih, Bu Daning dan Pak Abdul," balas Pak Herman sambil tersenyum. la memandang
rumah sederhana itu dengan pandangan penuh pemahaman.
Lisna berdiri di samping ibunya, menundukkan kepala dengan sopan. Matanya melirik kearah pria muda di belakang, calon suaminya, Arya. Jantungnya berdegup kencang saat pria itu tersenyum tipis ke arahnya.
"Kami sudah mendengar banyak tentang keluarga Anda," ujar Bu Lila. "Lisna memang gadis yang beruntung." Lisna tersipu.
Pujian itu membuatnya merasa melambung. Namun, di sisi lain, Hanin yang berdiri di belakang mereka hanya diam. la mengamati setiap gerak-gerik dengan mata yang sendu meski bibirnya tersenyum.
Makan siang berlangsung meriah. Bu Daning memimpin pembicaraan dengan semangat,
membicarakan betapa bangganya ia pada Lisna.
"Lisna ini anak yang rajin, pintar, dan tentu saja cantik. Arya pasti tidak salah memilih. Apalagi, Lisna ini kan bidan," ucap Bu Daning membanggakan putrinya, sesekali melirik calon menantunya.
"Ya, kami sangat terkesan dengan Lisna. Semoga hubungan ini membawa berkah untuk kedua keluarga," timpal Pak Herman.Namun, di balik pembicaraan itu,Bu Lila terus memperhatikan Hanin. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuat Hanin merasa tidak nyaman.
"Anda punya anak lain, ya? Siapa namanya?" tanya Bu Lila tiba-tiba. "Saya tidak pernah tahu kalau Lisna punya saudara."
"Oh, ini Hanin, anak pertama saya," jawab Bu Daning. Wajahnya sedikit kaku saat menyebut nama Hanin, seolah ingin memperjelas bahwa peran Hanin dalam acara ini hanyalah pelengkap.
Hanin tersenyum sopan. la mengangguk pelan sambil memperkenalkan diri. Namun, Bu Lila tidak melanjutkan percakapan. Matanya kembali tertuju pada Lisna. Meskipun acara berjalan lancar, Hanin merasakan kejanggalan yang tidak bisa diabaikan. Sesekali, ia melihat Lisna melemparkan tatapan penuh kemenangan ke arahnya, seolah ingin menunjukkan bahwa ia telah memenangkan perlombaan yang sebenarnya tidak pernah Hanin ikuti.
Di dalam hati Hanin, ia hanya berdoa semoga kebahagiaan Lisna benar- benar tulus dan bertahan lama. Karena ia tahu, dunia tidak selalu seindah gaun yang bersolek.
"Jadi, kita sudah bisa menentukan tanggal pernikahan, kan?" tanya Bu Daning.
"Iya. Tapi, kita bisa melangsungkan pernikahan setelah Arya menyelesaikan kuliahnya.Nanggung, kan kalau kuliahnya harus tertunda?" kata Bu Lila seraya menyomot sepotong buah semangka.
Bu Daning mengangguk. "Iya, tentu saja. Jangan sampai Nak Arya putus kuliah. Iya, kan, Pak?" tanyanya pada Pak Abdul yang lebih banyak diam.
"Iya, Bu. Nanti soal pernikahan bisa dilaksanakan setelah Nak Arya wisuda. Yang penting anak- anak kita ini sudah diikat dalam lamaran," kata Pak Abdul.
Pak Herman manggut-manggut. "Oh, ya. Lalu, itu anak sulung kalian? Apa belum menikah?"
Hanin semakin tetunduk. Jari-jemarinya mencengkeram lutut untuk mengeyahkan rasa gugupnya.
"Emmmn... iya, Pak. Hanin ini belum menikah. Belum ketemu sama jodohnya," sahut Bu Daning seraya tersenyum sungkan.
"Wah, sayang sekali. Ngomong-ngomong kalau nikahnya keduluan sama adiknya, bisa jadi perawan tua, loh. Susah ketemu jodoh," tukas Bu Lila. Suaranya lembut tapi entah mengapa terdengar seperti hinaan yang menyakitkan bagi
Hanin.
"Maaf, Bu. Tapi, soal jodoh saya tidak terlalu risau, karena saya percaya kalau Allah akan mempertemukan saya sama calon saya di saat yang tepat," ujar Hanin dengan senyum di bibirnya.
Bu Lila berdecih, lantas tertawa pelan. "Kalau cuma pasrah ya mana ketemu? Oh, ya, kamu kerja apa?Apa sama kayak Lisna, seorang bidan?"
Hanin menggigit bibir bawahnya. "Saya cuma penjaga toko kelontong milik Ko Yusuf," jawabnya dengan suara pelan.
Kedua mata Bu Lila membelalak. "Hah, benarkah? Kok, bisa? Memangnya kamu nggak kuliah dulu? Atau kamu memangtidak mau punya kerjaan mapan?"
Hanin menghela napas. "Saya."
"Ehm! Bu Lila, Hanin dulu tidak kuliah karena dia memilih bekerjauntuk membantu ekonomi keluarga," sela Pak Abdul. "Kami sudah meminta dia kuliah tapi, dia menolak. Katanya, dia ingin agar Lisna sukses, makanya dia bantu buat nambah biaya kuliah Lisna," paparnya.
Bu Daning dan Lisna menatap Pak Abdul dengan tatapan marah. Bisa -bisanya lelaki paruh baya itu
menjawab begitu.
"Oh... begitu." Bu Lila manggut- manggut. "Sayang sekali, ya. Kamu berkorban buat adikmu tapi hidupmu kini menderita. Palingan nanti kamu ketemu jodoh juga gak jauh- jauh dari kerjaanmu
sekarang,' sahutnya.
"Bu, sudah. Hentikan! Kita disini buat membahas hubungan Arya dan Lisna. Bukan untuk membahas jodoh Hanin," tegur Pak Herman.
Bu Daning menghela napas panjang usai keluarga Arya pulang.la lega karena pernikahan Lisna dan Arya sudah jelas akan terlaksana meski belum pasti tanggal berlangsungnya kapan. Namun, sontak ia menoleh ke arah Hanin yang berdiri di sampingnya.
"Puas kamu?" ucapnya dengan mata memicing.
"Maksud Ibu apa?" Hanin menatap dengan pandangan penuh tanya.
"Kamu udah buat kami malu, Hanin!" kata Bu Daning dengan penuh penekanan di kata 'malu' yang ia ucapkan. Lantas, ia berlalu begitu saja ke dalam rumah.
Hanin menatap Pak Abdul."Memangnya aku buat malu apa sih, Pak? Kenapa lagi- lagi aku yang disalahkan?" tanyanya.
"Ayo, masuk, Nak! Kita bicara didalam. Nggak enak dilihat sama tetangga." Pak Abdul merangkul pundak Hanin dan mengajak putrinya itu masuk. Tak enak bicara di depan rumah apalagi para tetangga sedang berkumpul sambil sesekali menatap mereka. Hanin mengangguk. la manut saat Pak Abdul menggiringnya masuk ke rumah.
Saat pintu ditutup, Lisna seketika mendorong tubuhnya hingga ia jatuh terduduk di sofa. "Dasar perawan tua! Makanya segera cari calon suami biar gak malu- maluin!"
"Lisna, jaga sikapmu! Hanin ini kakakmu! Hormati dia, Lisna," tegur Pak Abdul.
Entah untuk yang ke sekian kalinya. Lisna hanya mencebik mendengarnya. Hanin memejamkan mata.
"Kalian malu hanya karena mendengar ucapan ibunya Arya tadi?" tanyanya, ia membuang napas panjang.
"Sayang sekali, ya. Kamu mendapat calon suami dari keluarga terpandang dan kaya. Tapi, sayangnya mereka minim adab dan etika. Mereka tidak tahu cara menghargai orang lain bahkan, tak segan menghina oranglain," tambah Hanin yang kian membuat Lisna meradang.
"Halah sok- sokan kamu, Nin! Lagian yang mereka katakan bener, kok! Kamu kan memang cuma pekerja rendahan. Dah gitu gak laku- laku!" Lisna memang mudah tersulut emosi, ia menunjuk - nunjuk wajah Hanin dengan sangat tidak sopan.
"Kamu lupa dari mana uang kuliahmu berasal?" tekan Hanin, ia maju selangkah hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dari wajah Lisna.
"Uang kuliahmu itu didapat dari pegawai rendahan ini, Lis. Kamu harus ingat itu! Apa kamu tidak ingat semua itu?!" tukasnya.
Wajah Lisna nampak semakin menujukkan ketidak sukaan. Ia berdecih.
"Halah, berapa sih uang yang kamu berikan buat uang kuliahku? Bakalan tak balikin! Bilang aja kalau kamu gak ikhlas, Nin! Cuma uang kuliah aja
diungkit- ungkit!" la menghentakkan kaki, berjalan menuju kamarnya dan ...
Braaak!
Pintu ditutup dengan sangat keras. Begitulah Lisna. Hatinya sudah sekeras batu. la seolah lupa bagaimana perjuangan Hanin dalam membantu biaya kuliahnya.
Di saat semua temannya memajakan diri dengan skincare dan kebutuhan lain, Hanin malah sibuk membantu biaya kuliah Lisna.
Lisna kini sudah berhasil jadi bidan, meski hanya asisten saja. Wajahnya cantik dan glowing karena rajin pakai skincare, uang gajinya pun dipegang sendiri tanpa dibagi pada Ibu dan Bapak. Berbeda
dengan Hanin yang masih saja diwajibkan memberi sebagaian gaji untuk ibunya.
"Nanti kalau Lisna sudah jadi bidan, dia pasti bakalan gantiin tugas kamu menafkahi ibu, Hanin. Lisna akan mencarikan pekerjaan di klinik atau puskesmas agar bisa mengangkat derajatmu nanti. Juga sebagai balas budi karena kamu mau bantu kuliahnya," kata Bu Daning waktu Lisna hendak daftar kuliah, dulu.
Orang tuanya bahkan rela menjual sepetak sawah untuk membayar uang masuk kuliah
kebidanan yang tak murah. Semua mereka lakukan agar anak kesayangan mereka bisa menggapai cita- cita. Berbeda dengannya yang kini hanya hidup dalam kerasnya sendiri. Sebab, janji yang diberikan ibunya dulu, menguap begitu saja. Entah lupa atau sengaja terlupakan.
"Nak... kamu istirahat saja. Biar bapak yang membereskan semua ini," kata Pak Abdul seraya menyentuh bahu Hanin.
Lamunan Hanin seketika buyar. la menoleh ke arah pria yang sikapnya begitu lembut. Namun, juga takut pada sosok sang istri.
"Pak?" panggilnya.
"Iya, ada apa?" Pak Abdul menatap dengan wajah lelah. Hanin menoleh ke belakang. Melihat situasi di mana tak ada sosok Bu Daning di dekat mereka. Ibunya itu mungkin sedang beristirahat karena lelah. Atau mungkin juga marah padanya sama seperti Lisna.
"Kenapa Bapak selalu mengalah pada Ibu?"
Wajah Pak Abdul nampak kaget selama beberapa detik. Namun, seulas senyum ia berikan pada putrinya itu. "Ibu itu wanita yang sudah memberikan kehidupan sama kamu dan Lisna.
Pengorbanannya tidak main- main, Nak. Mana mungkin Bapak bersikap keras pada tulang rusuk Bapak sendiri? Yang ada tulang rusuk Bapak akan bengkok dan patah kalau diperlakukan kasar" jelasnya terdengar begitu bijak ditelinga Hanin.
Pak Abdul kembali menyentuh pundak Hanin. "Bapak selalu berdoa untukmu, Nak. Agar kamu diberikan jodoh yang baik, dan yang benar- benar mencintaimu.Tapi, jangan sampai kamu merendahkan harga diri suamimu nanti, semarah apa pun kamu," pesannya.
Hanin bergeming menatap sendu di kedua mata Pak Abdul.
"Maafin aku, ya, Pak. Aku selalu berpikir jelek tentang Ibu ataupun Bapak," ucapnya lirih.
"Iya, tidak masalah. Apa yang kamu rasakan itu manusiawi. Bapak paham, dan bapak yang seharusnya minta maaf sama kamu karena tidak bisa membelamu saat ibumu selalu memojokkan kamu. Maaf..."
Hanin tersenyum. Kedua matanya memanas mendengar ucapan tulus dari sang Ayah. la pun
memeluk Pak Abdul, cinta pertama saat ia lahir ke dunia sampai saatini.
"Aku bantuin beberes, Pak.Mana mungkin aku biarin Bapak beres- beres sendiri," kata Hanin usai melepas pelukannya.
"Sudah, tidak usah. Kamu istirahat saja. Bapak tahu kamu lelah karena sejak subuh sudah masak."
Hanin tak merespons. la bergerak ke kamar untuk berganti baju. Ia menggulung asal
rambutnya, lalu keluar lagi dan membereskan piring- piring kotor yang ada di ruang tamu.
Pak Abdul yang melihat, menatap Hanin dengan perasaan haru. Setiap langkah Hanin selalu terucap doa terbaik untuk putrinya itu. Tak apa lama menemukan jodoh, asal jodoh putrinya benar-benar bisa meratukan dan menerima dengan tulus.
...****************...
Pagi ini, Hanin izin tidak masuk kerja karena tubuhnya terasa remuk. Ia sangat lelah karena bekerja keras kemarin. Tak hanya lelah secara fisik, tapi juga secara batin.
"Loh, kamu gak kerja, Nin?" Bu Daning terkejut melihat Hanin baru keluar kamar. Dilihatnya jam dinding yang sudah menujukkan angka delapan.
"Enggak, Bu. Aku izin libur. Badanku pegel semua," sahut Hanin seraya duduk di kursi meja makan. Ia menuang air putih dalam gelas dan meneguknya hingga tandas. Bu Daning tak menanggapi. la ingin protes tapi paham bahwa Hanin memang kelelahan.
"Terus, ini kamu baru bangun?" Bu Daning hendak marah. Namun, urung setelah mendengar jawaban Hanin.
"Tadi aku bangun Subuh buat ngagetin semua lauk ini, Bu. Setelah itu tidur lagi."
"Ohh...." Bu Daning melanjutkan sarapannya.
Hanin mengambil piring menyendok nasi dan lauk, lalu ikut sarapan. "Bapak ke mana, Bu?"
"Katanya ke rumah Pak Faisal.
Dua minggu lagi anaknya mau nikah. Bapakmu disuruh rewang di sana," jawab Bu Daning.
"Ohh...."
"Kalau kamu nanti disuruh rewang, jangan ikut. Tolak saja ya Nin," pinta Bu Daning yang membuat kunyahan di mulut Hanin terhenti sesaat. Hanin menelan makanannya, lalu mendorongnya dengan meneguk air putih.
"Kenapa, Bu? Aku gak enak sama Bu Indah sama Pak Faisal. Mereka selama ini baik sama aku dan keluarga ini."
"Ibu nggak mau kalau kamu malah buat malu, Nin. Mereka nanti yang ada di sana pasti bakalan banding- bandingin kamu sama anak- anak mereka yang udah punya pasangan. Mending kamu alasan ke mana atau ke mana gitu."
Hanin membuang napas panjang. "Aku udah biasa denger semua itu, Bu. Ibu tenang saja. Aku gak bakalan buat Ibu atau Bapak malu."
Bu Daning mencebik. "Susah banget, sih kamu kalau dibilangin?"
"Bu, memangnya kenapa? Aku ini bukan pelaku zina, bukan maling, bukan penjahat. Aku cuma belum menikah. Kenapa Ibu harus malu. Lagian umurku juga masih dua puluh tiga. Kenapa seolah-olah aku ini lebih dari seorang penjahat?" cecar Hanin. "Apa karena yang nikah duluan Lisna?"tebaknya.
"Itu kamu tahu. Kamu jelas paham, kalau di kampung ini, dilangkahi adik saat nikah itu aib,
Hanin. Kamu bikin ibu malu karena setiap ibu keluar pasti para tetangga bakalan nanyain dan bilang kalau kamu itu perawan tua, kata Bu Daning.
"Biarin saja. Aku udah kebal. Nanti kalau anak Pak Faisal nikah aku bakalan datang meski cuma datang ngasih amplop doang."
Bu Daning mencebik. "Yasudah lah, terserah kamu. Aku udah ingetin kamu. kamu memang dasarnya bebal."
"Iya, makasih, Bu."
"Nanti, saya ke rumah Pak Abdul, ya. Mau minta tolong sama Bu Daning dan Hanin buat ikut
bantu- bantu di sini," kata Bu Indah pada Pak Abdul.
"Oh, iya, Bu Indah. Emm.. saya sampaikan saja gimana? Biar Bu Indah gak repot-repot ke rumah saya," tawar Pak Abdul, merasa tak enak hati.
"Kalau seperti itu malah saya yang sungkan."
"Benar, Pak Abdul. Nanti kalau waktu luang saya sama istri saya akan berkunjung ke rumah Pak Abdul," timpal Pak Faisal yang mendengar obrolan istrinya dan Pak Abdul.
"Beneran tidak usah, Bu, Pak. Nanti saya sampaikan saja. Pernikahan Amel kan sudah dekat. Kalian pasti repot," tolak Pak Abdul."Saya pastikan kalau istri dan anak saya pasti datang buat rewang disini," ucapnya meyakinkan.
Pak Faisal dan Bu Indah saling pandang. Bu Indah lantas mengambil dua kilo gula dan dua liter minyak dalam tas plastik. "Ini berikan pada Bu Daning, ya. Terimakasih banyak," ucapnya.
"MasyaAllah. Kalian baik sekali. Terima kasih, Pak, Bu." Pak Abdul mengangguk sungkan.
"Sama- sama. Oh, ya. Aku dengar kalau putrimu, siapa itu ...Lisna, katanya sudah dilamar ya?" tanya Pak Faisal. Kabar lamaran antara Lisna dan Arya memang sudah menyebar. Sebab, saat keluarga Arya datang dengan mobil saat itu para tetangga berkumpul didepan rumah Pak Abdul untuk melihat.
"Iya, Pak. Alhamdulillah, Lisna sudah dilamar."
"Oh, kapan pernikahannya digelar, Pak Abdul?" Kali ini Bu Indah bertanya.
"Emm... masih belum ditentukan, Bu Indah. Keluarga calon suami Lisna masih mau kalau
anaknya menyelesaikan kuliahnya dulu katanya."
"Wah, kok begitu? Padahal kan menikah itu tidak memberatkan kuliah. Bisa, kok, sudah menikah tapi kuliah. Kenapa Pak Abdul tidak menegaskan pada calon besan Pak Abdul? Bukan kenapa- napa, dan bukan mau ikut campur. Saya cuma cemas, karena zaman sekarang itu beda. Anak muda mudi jika dibiarkan menjalin hubungan tanpa kejelasan bisa menimbulkan halyang tidak diinginkan." Pak Abdul bergeming.
Wajahnya nampak bingung. Ia kemarin sempat ingin berkata demikian. Namun, tak sampai hati.
"Bu, sudahlah, jangan membuat Pak Abdul kepikiran. Kita doakan saja supaya Lisna dan calon suaminya bahagia," kata Pak Faisal. Ia merasa tak enak hati melihat ekspresi Pak Abdul.
"Saya juga doakan supaya Hanin segera dapat jodoh. Dia gadis yang baik dan rajin," imbuhnya.
Pak Abdul tersenyum. "Amiin,
terima kasih banyak, Pak. Kalau begitu, saya pamit pulang. Assalamu' alaikum," salamnya.
"Wa' alaikum salam," sahut Pak Faisal dan Bu Indah bersamaan.
"Jadi, kita semua disuruh rewang? Termasuk Hanin juga?" Bu Daning melempar tanya pada
suaminya saat mereka ada di dalam kamar.
"Iya, Bu. Kita bertiga."
"Bertiga?" Kening Bu Daning berkerut.
"Maksudnya Lisna enggak disuruh?"
"Iya. Pak Faisal dan Bu Indah tahu kalau Lisna pasti sibuk di puskesmas. Makanya mereka gak nyuruh Lisna."
"Ya bagus. Lisna mana mau rewang sama orang- orang," cibir Bu Daning. "Tapi, kalau Hanin yang
rewang, aku juga malas sebenernya."
"Jangan dengerin omongan orang, Bu. Berpura- pura tuli saja saat orang- orang menghina kita."
Bu Daning mendengkus. Sayangnya aku gak bisa, Pak! Aku bukan kamu yang bisa seenaknya diinjak- injak." Usai mengatakan hal itu, ia bangun dan keluar kamar mencari keberadaan Hanin.
Namun, setelah dipanggil beberapa kali, tak ada sahutan dari Hanin. "Ke mana, sih, anak itu!" gumamnya seraya berkacak pinggang.
"Dia masih keluar sama Santi,Bu. Katanya mau ke pasar," kata Pak Abdul.
Bu Daning hanya mendengkus kesal.
"Nin, kamu mau beli apa?" Santi melempar tanya seraya melihat- lihat aneka aksesoris yang terpajang di toko yang mereka datangi.
"Nggak beli apa- apa aku, San. Cuma lihat- lihat aja." Santi mencebik.
"Uangmu habis buat acara lamaran Lisna kemarin,kan?"
Hanin hanya tersenyum tipis. la ingin membeli sesuatu. Namun, rasanya sayang sekali, mengingat uangnya tinggal lima puluh ribu saja. Hanin memutuskan keluar dari toko dan melihat- lihat barang di toko yang lain. Ia menatap takjub pada sebuah gelang perak berhias bentuk love.
"Indahnya .."
Braaaak!
"Aaah!"
Hanin terkejut saat tiba- tiba ada orang yang menabraknya. Ia meringis memegang bahunya yang nyeri. Orang yang menabraknya itu sampai jatuh terjerembab.
"Kembalikan!" teriak seorang pria dengan ekspresi datar tapi terlihat menyeramkan.
Hanin yang masih syok, melihat pria bertubuh tinggi mengulurkan tangan seperti meminta sesuatu. Tapi, tunggu...
Hanin ingat wajah pria itu. Pria itu adalah pria yang sama yang ia temui di pasar tempo hari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!