...“Kamu nunggu saya? Kan saya udah bilang lagi pengen sendiri?” — Gerry Anderson...
Sore itu di Berlin, di saat kota kelahiran Albert Einstein itu sedang menghadapi musim gugur, Gerry duduk sambil bersandar malas di sebuah kursi yang ada di luar restoran. Pria bermata hitam itu menatap lurus ke depan, ke arah jalanan Wilhelmstraße.
Sedikit kendaraan yang lalu lalang, para pejalan kaki yang berjalan dengan cepat dan ada begitu banyak sepeda yang melintas silih berganti di ujung matanya. Mereka semua sedang sibuk dengan rutinitas masing-masing. Sementara dirinya? Masih bergelut dengan keterpurukannya
“Ngelamun lagi?” celetuk Alessa sok kenal dan ramah sambil meletakkan secangkir espresso pesanan Gerry di atas meja.
Wanita dengan model rambut ekor kuda itu membuyarkan lamunan Gerry. Bibir tipisnya mengulum senyum ke arah pria yang sedang menatap hampa ke arah jalanan.
Gerry tertawa pelan saat mendengarkan celetukan wanita itu. Wanita Indonesia yang tanpa sengaja ia kenal karena ia pernah berbicara bahasa Indonesia melalui telfon dua bulan yang lalu. Ia membetulkan posisi duduknya yang semula bersandar malas di kursi. Kemudian, ia mengambil cangkir yang ada di depannya. Pria bermantel hitam itu menghirup aroma kopi di cangkirnya dengan sangat dalam sambil memejamkan mata sesaat.
“Malam ini … sibuk?” tanya Alessa sambil memeluk nampan kayu yang ia pegang. Ini merupakan pertanyaan yang sudah puluhan kali Alessa lemparkan kepada Gerry.
Tentu saja Gerry paham apa pertanyaan selanjutnya jika ia mengatakan tidak sibuk.
Semilir angin bertiup lembut, menyapu dedaunan kering yang berjatuhan dan memainkan rambut serta pakaian mereka.
Gerry mengangkat kedua alisnya, lalu ia melempar senyum paksa pada Alessa. “Maaf. Saya masih ingin sendiri.”
Seperti biasa, Alessa mengangguk dengan ekspresi sedih. Ia pun menghela nafas pelan sambil memasang sebuah senyuman yang menyiratkan makna, ‘tidak masalah, aku baik-baik saja’. Wanita berkulit kuning langsat dengan mata biru itu pun berbalik badan dan meninggalkan Gerry.
“Entschuldigung!”
Alessa menoleh ke arah suara yang mengatakan ‘permisi’ dalam Bahasa Jerman. Ia mengurungkan niat masuk ke dalam restoran.
“Die Rechnung, bitte!”
Mendengarkan pelanggan tersebut meminta tagihan makanannya, Alessa pun bergegas kembali melanjutkan pekerjaannya.
Alessandra Hoffner. Seorang wanita berdarah Indonesia yang kini merupakan tenaga kerja asing di Jerman. Wanita berusia 24 tahun itu ke Berlin bukan sekedar mencari uang sebagai pelayan restoran. Tapi ada seseorang yang ia susul di negara otomotif itu.
Berbeda dengan Gerry Anderson. Pria ini pergi ke Berlin karena ingin melarikan diri dari kesedihan panjangnya yang tak kunjung usai. Wanita pertama yang dulunya ingin ia ajak menikah, ternyata berselingkuh di belakangnya. Lalu, wanita kedua yang merebut seluruh hati dan cinta yang ia miliki, merupakan istri dari sahabatnya sendiri.
Awalnya, Gerry pergi ke Australia menghampiri ayahnya. Namun, selang beberapa minggu ia berada di Negara Kanguru itu, ayahnya menghembuskan nafas terakhir karena penyakit leukimia yang selama ini tak pernah ia ketahui.
Gerry mewarisi lima puluh persen dari harta warisan milik ayahnya, sedangkan lima puluh persen lagi diwarisi oleh istri muda ayahnya. Jadi, karena itulah pria patah hati ini beralih negara tujuan untuk menyembuhkan hatinya.
“Haaa ….” Gerry menghempaskan nafasnya dengan sangat kuat. Dua bulan sudah berlalu. Namun, gadis yang bernama Lea itu tak kunjung hilang dari pikirannya. Padahal, sudah sejauh ini ia pergi untuk menyembuhkan hati.
“Lea … pelet apa yang kamu gunakan padaku. Melupakanmu saja sampai sesulit ini.”
Gerry pun kembali menyeruput espresso yang mulai dingin di cangkirnya. Sepahit apapun kopi itu, menurutnya lebih pahit kehidupan asmara dan keluarganya. Jika ada rasa yang lebih pahit, maka seperti itulah kehidupannya.
Pria itu kembali menatap lurus ke depan. Setiap hari ia berada di sana, tapi semuanya sama saja dan tak ada yang berubah. Apa … sebaiknya ia kembali ke kehidupan kelamnya dulu? Pergi ke club malam dan mencari kesenangan di sana. Jika tidak seperti itu, sampai kapanpun ia tak akan pernah bisa terlepas dari bayangan Lea.
“Padahal … karena dia aku meninggalkan kehidupan malam itu. Tapi sekarang, karena dia juga aku kembali ke kehidupan seperti itu.”
“Aku pulang dulu ya.” Alessa kembali menyapa Gerry dengan ramah, meskipun Gerry kerap kali menolak ajakan jalannya.
Gerry mengangguk pelan tanpa ekspresi. Tak peduli wanita itu sudah selesai kerja atau ke mana tujuan selanjutnya, yang jelas sekarang ia bukanlah pria yang segampang itu mendekati wanita seperti dulu. Bukan karena ia tak bisa, hanya saja ia sudah tak lagi tertarik.
Waktupun terus berlalu. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Gerry masuk ke dalam restoran untuk membayar bil. Kemudian ia berjalan menuju ke apartemen yang hanya membutuhkan waktu 3 menit jika berjalan kaki dari restoran.
“Mau ke mana?”
Tiba-tiba suara yang tak asing kembali mengusik gendang telinganya. Gerry menoleh ke arah suara tersebut. Ia mendapati wanita pelayan restoran itu sedang duduk di kursi panjang yang ada di sisi jalan setapak.
“Pulang.” Gerry menjawab pelan, kemudian ia melirik jam di tangannya. “Kayaknya … tadi kamu udah lama pulang kerja?”
“Kok masih di sini?” imbuhnya mendadak penasaran. Karena seingat dia, saat wanita itu berpamitan padanya, langit masih sangat terang. Tapi sekarang? Langit sudah gelap.
Alessa tersenyum. Namun kali ini senyumannya terlihat tak seperti biasa. Atau mungkin karena terhalang minimnya penerangan, sehingga ia terlihat berbeda kali ini. “Bentar lagi aku pulang.”
“Oh.” Lagi-lagi Gerry mengangguk. “Saya … pulang dulu.”
Gerry pun kembali berjalan menuju ke apartemennya meninggalkan wanita tadi. Saat di apartemen, Gerry bergegas membersihkan dirinya. Kemudian ia mengenakan pakaian casual untuk ke club, malam ini. Sebelum itu, ia memanaskan lasagna di microwave sebagai alas perutnya.
Usai menghabiskan lasagna tadi, Gerry pun pergi meninggalkan apartemennya. Ia kembali melewati jalanan setapak tadi untuk ke club yang berada tak jauh dari restoran langganannya. Tiba-tiba matanya terusik oleh sosok wanita tadi.
“Masih di sini?” Gerry melirik jam di tangannya. “Jam 10 lewat?”
Pria berdagu terbelah itu pun berjalan mendekati Alessa yang masih duduk di bangku panjang tadi. “Kamu nunggu saya? Kan saya udah bilang lagi pengen sendiri?”
Gerry mulai berspekulasi sendiri, bahwa wanita itu dengan sengaja menunggunya, karena ajakannya yang sudah puluhan kali ia tolak. Ia pun mulai merasa risih dan berniat untuk mengakhiri semua itu malam ini. Yah, apalagi kalau bukan memberikan peringatan pada wanita itu?
...🌸...
...🌸...
...🌸...
...Bersambung …....
...“Mau ke apartemenku? Karena hari ini ulang tahunmu, aku akan membuatkanmu sesuatu.” — Gerry Anderson...
Alessa langsung berdiri dari duduknya dengan ekspresi terkejut. Wanita dengan mantel coklat dan baju turtleneck putih itu langsung melambaikan kedua tangannya kepada Gerry.
“B—bukan. Aku—”
“Terus kenapa masih di sini?” Gerry mulai bertanya dengan intonasi penuh penekanan. Padahal, tak seharusnya ia melontarkan pertanyaan itu. Memangnya jalan dan kursi panjang itu miliknya? Jelas-jelas itu milik publik. Jadi, ia sama sekali tak berhak untuk melarang gadis itu.
"Kamu sengaja 'kan di sini biar bisa ngikutin saya? Tunggu," Gerry bertolak pinggang sambil menghela nafas kesal. "Bagaimana kamu bisa tau kalau malam ini saya akan keluar?"
"Ini peringatkan saya pertama dan terakhir—”
“Maaf. Sepertinya kamu salah paham. Aku akan pindah ke tempat lain.” Alessa mengambil tas ranselnya dan berniat beranjak pergi meninggalkan Gerry, tapi sayang lengannya di tahan paksa oleh pria itu.
“Tunggu, tunggu.” Gerry melepaskan cengkeramannya saat wanita itu berhenti bergerak dan menoleh ke arahnya. “Kamu mau melarikan diri dan tak mengakui kesalahan kamu? Hm?”
Alessa mendadak tercengang. Ia tak menjawab pertanyaan Gerry, namun hanya menggelengkan kepalanya karena saat itu ia sedang tak ingin berdebat. Apalagi dengan pria yang dua hari terakhir ini ingin sekali ia ajak berteman.
“Terus? Ngapain kamu di sini sampai jam segini? Padahal udah sejak—”
“Hari ini adalah hari peringatan kematian ibuku. Jadi ... aku nggak mau pulang cepat. Karena kalau di kamar, hanya akan membuatku menderita sendirian.”
Mendengarkan penjelasan wanita itu, seketika ekpresi tak nyaman Gerry berubah menjadi merasa bersalah. Ia menghela nafas berat sambil menyeka kasar rambutnya menggunakan satu tangan. Ia mengutuki dirinya yang sudah berprasangka buruk pada wanita malang itu. "Gerry, Gerry. Apa sih yang kamu pikirkan?!"
Entah apa yang ada di pikiran Gerry saat itu, secara spontan ia mengajak wanita itu untuk membayar rasa bersalahnya. “Mau jalan-jalan sebentar?”
Alessa kembali tercengang sesaat. Kemudian ia mengerutkan keningnya dan mendadak gugup. “Ha? Ah … oh … i—iya, boleh.”
Cukup lama mereka berjalan tanpa arah, tapi tak kunjung ada satu pun percakapan yang terjadi.
“Maaf. Tadi saya udah salah paham dan menuduh kamu seenaknya.” Gerry memulai percakapan dengan perasaan bersalah. Kali ini, ia benar-benar merasa tak sedap hati.
“Oh … nggak apa-apa. Tapi, wajar aja sih kalo kamu berfikiran seperti itu.” Alessa mengakatannya sambil menatap ke bawah, ke arah kakinya yang silih berganti berjalan satu per satu. “Aku juga minta maaf karena selama ini selalu mengusikmu. Padahal … sudah berulang kali kamu menolak ajakanku.”
Gerry tersenyum sambil mengangguk pelan. Matanya berkeliling menatap ke arah pemandangan malam di kota itu.
“Alessa.” Wanita dengan alis mata tebal itu menoleh ke arah Gerry. Ia mengulurkan tangannya ke arah pria itu. “Sepertinya kita belum kenalan dengan benar.”
Gerry menyambut uluran tangan wanita itu sambil balik menatap wanita itu. “Gerry.”
“Thanks, Gerry. Ini jalan-jalan pertama kita,” ucap Alessa sambil mengulum senyum tepat di bawah cahaya lampu jalan yang berwarna kuning itu. Menampakkan dua buah lesung pipi yang selama ini tak pernah Gerry sadari.
Sesaat, Gerry mendadak terkesima dengan senyuman yang indah itu. Entah kenapa, baru kali ini ia menyadari senyuman indah itu dilengkapi sepasang lesung pipi. Padahal, selama ini gadis itu kerap kali tersenyum padanya, walaupun ia selalu mengacuhkannya.
Alessa melepaskan tangannya karena menyadari Gerry tak kunjung menyudahi jabatan tangan mereka. Tentu hal tersebut membuat Gerry tersadar dari lamunannya. Ia pun langsung menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku mantel hitamnya.
“Aku pulang dulu ya.” Alessa mengatakan hal tersebut karena tanpa sadar, mereka berjalan ke arah U-bahn Station, atau lebih dikenal sebagai stasiun kereta bawah tanah.
“Hm.” Gerry mengiyakan ucapan Alessa. “Sekali lagi, maafkan saya.”
“Justru sebaliknya. Kalau bukan karena kejadian tadi, mungkin aku nggak akan pernah menemukan hari di mana kita berjalan seperti tadi.” Alessa tersenyum sumringah, menampilkan hampir semua giginya yang rapi itu.
Malam itu, Gerry mendadak mengurungkan niatnya untuk datang ke club malam. Entah kenapa, ia merasa bahwa ia tak membutuhkan kesenangan fana itu. Entah karena senyuman yang indah sepaket dengan lesung pipi itu, atau memang suasana hatinya yang mendadak berubah.
...🌸 ...
Hari demi hari telah berlalu. Tanpa terasa, sudah dua minggu hubungan pertemanan Gerry dan Alessa terjalin. Alessa yang masih seperti biasa memulai menyapa Gerry lebih dulu, kini disambut hangat oleh Gerry. Pria itu sudah tak lagi mengacuhkan wanita pemilik mata biru itu.
“Espresso double shot. Dan …,” Alessa meletakkan pesanan Gerry seperti biasa. Tapi, hari ini berbeda. Ia menambahkan sebuah slice cake coklat dengan sebuah strawberri di atasnya. “Strawberry slice cake.”
Gerry menatap Alessa dengan mimik wajah heran dan bertanya-tanya. Sepertinya ia tak memesan dessert itu. Tapi kenapa Alessa meletakkan cake itu ke atas mejanya?
“Aku nggak mesan ini.” Gerry menunjuk cake yang ada di mejanya.
“Hari ini ulang tahunku. Jadi, aku yang mentraktirmu cake ini.” Lagi-lagi Alessa tersenyum dan menampilkan sepasang lesung pipi serta giginya. Sepasang mata biru miliknya terlihat sedang bahagia.
“Ah! Ulang tahun?” Gerry membulatkan mata dan mulutnya. Ia terkejut dan langsung mengucapkan selamat pada wanita itu sambil tersenyum. Kali ini senyuman lepas tanpa beban. “Happy birthday.”
“Entschuldigung!”
Belum sempat Alessa menjawab ucapan pria itu, ada seorang pelanggan yang memanggilnya. Ia pun menoleh ke arah suara itu dan bergegas menghampirinya.
“Ein Kaffee mit Milch, bitte?” (Satu kopi dengan susu)
“OK. Heiß oder kalt?” (Panas atau dingin)
“Heiß, bitte!” (Panas)
Usai mengingat pesanan pelanggan tersebut, Alessa pun bergegas melanjutkan pekerjaannya.
Gerry terus menoleh ke arah dalam restoran, menanti Alessa keluar dan berharap bisa lanjut mengobrol dengannya. Tapi sayang, ia melihat wanita itu sangat sibuk hari ini, sampai-sampai mereka tak sempat mengobrol seperti biasanya. Sehingga ia pun memutuskan menunggu wanita itu sampai melupakan waktu.
Tepat pada pukul 17.00, Alessa akhirnya keluar dari restoran dengan mengenakan mantel coklatnya dan baju turtleneck berwarna cream. Ia menyandang tas hitam untuk kembali ke rumah. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Gerry sedang berdiri tepat di depannya saat ini.
“Mau ke apartemenku?”
Alessa terperangah saat mendengarkan ucapan pria itu. “Ha?”
“Karena hari ini ulang tahunmu, aku akan membuatkanmu sesuatu.” Gerry mengatakannya dengan gamblang tanpa basa basi. Ini pertama kalinya ia memberikan ajakan pada seseorang sejak ia berada di Berlin.
...🌸...
...🌸...
...🌸...
...Bersambung .......
..."Ajarin bercinta? Butuh FWB? Friend with Benefits? Butuh sesuatu yang dapat mengeluarkan hormon endorfin? Baiklah. Aku adalah orang yang tepat untuk semua itu." — Gerry Anderson...
"Wah ... aku gugup, karena ini pertama kalinya aku ke tempat pria," gumam Alessa sambil matanya berkeliling menatap isi dari apartemen Gerry.
Gerry tertawa kecil sambil membuka mantel hitamnya. Ia pun menggantungkan mantel hitamnya ke kayu yang berada di dekat pintu.
"Anggap rumah sendiri. Aku akan masak dulu, jadi—"
"Kamu bisa masak? Wah ... pria idaman banget," celetuk Alessa tanpa sadar dengan ucapannya.
Mendengarkan ucapan Alessa yang asal nyeplos itu, seketika Gerry mendelik. Ia dibuat senyam senyum sendiri pada kalimat 'pria idaman'. Tapi sesaat kemudian, senyum itu pudar dari wajahnya.
"Pria idaman ya?" Gerry bergumam sambil berjalan ke dapur mininya. "Sayangnya, sudah dua kali lamaran pria idaman ini gagal."
Mendengarkan respon Gerry, membuat Alessa penasaran dan mendadak ingin tahu lebih dalam, seperti apa lamarannya yang gagal itu? Padahal, jika ia perhatikan dengan seksama, tak ada satu pun yang kurang dari pria itu.
"Jadi, seperti apa cerita dua lamaran yang gagal itu?" Alessa bersandar tepat di meja dapur sambil bersilang tangan ke dada. Ia mulai memasang telinga dengan wajah yang serius.
Entah kenapa, Gerry menceritakan semua kisah sedih dan pahitnya kepada Alessa tanpa sungkan. Padahal, jika dipikir-pikir lagi, tak pernah sekalipun ia bercerita panjang lebar seperti itu.
Kedua orang itu larut dalam kisah panjang yang tak berujung bahagia. Sampai-sampai, tanpa sadar mereka telah selesai makan, dan kini sedang duduk bersebelahan di sofa sambil memegang mug.
"Ternyata ... itu yang selalu membuatmu melamun setiap hari." Alessa menatap dalam ke arah mug yang berisikan kopi susu instan hangat yang tersisa setengah gelas itu. "Maaf karena aku kembali mengorek luka lama itu."
Gerry terdiam membisu. Karena cerita tadi, membuat ia terhanyut oleh kenangan masa lalu yang sulit untuk dilupakan itu. Tatapan nelangsanya membuat Alessa memutar otak agar bisa mencairkan suasana. Hingga tanpa Alessa sadari, guyonan yang keluar dari mulutnya mendadak menjadi petaka panjang buatnya.
"Ketimbang jadi sadboy, mending ajari aku caranya bercinta." Alessa mengatakannya sambil mencebik, kemudian ia tertawa kikuk.
"Dasar bodoh!" Alessa menepuk bibirnya sambil berteriak dalam hati. "Apa yang kau katakan barusan Alessa?!!!"
Gerry tersentak mendengarkan guyonan Alessa yang berbahaya itu. Bisa-bisanya wanita itu dengan gamblang berbicara pada pria hidung belang sepertinya? Yah, walaupun ia sudah insaf dan berubah, tapi tak menutup kemungkinan bahwa kegilaan masa lalunya dapat kembali lagi. "Ber ... cinta?"
Alessa cengengesan dan ingin menarik kembali kata-kata itu dari mulutnya, tapi sayang kalimat itu sudah dicerna mentah-mentah oleh Gerry! Ia mendadak gelagapan dan berusaha mencari topik yang semakin membuat ia terjerumus ke dalam kegilaan Gerry kedepannya.
"Maksudku, ajari aku bagaimana caranya menggaet bule-bule di luar sana. Karena terkadang aku berfikiran untuk mengajak mereka menjadi partner FWB-ku." Alessa mendadak cengengesan dan tertawa gugup. "A-aku bosan. Hehehe. Lagi pula aku butuh sesuatu yang menyenangkan."
"FWB? Friend with benefits?" Gerry mengerutkan keningnya dengan seribu satu pertanyaan di kepalanya. Ternyata wanita yang terlihat polos itu, diam-diam nakal dan memiliki pikiran kotor seperti itu.
"Siapa sih yang nggak tau FWB? Lagi pula, kita pasti butuh sesuatu yang menyenangkan di hidup yang membosankan ini, bukan?" ucap Alessa sambil tertawa kikuk.
Alessa terus mengutuki dirinya yang asal berbicara tentang FWB yang mengartikan partner bercinta? Bisa-bisa Gerry memandangnya sebagai perempuan nakal. Jangankan bercinta, pacaran saja ia tak pernah karena terlalu sibuk dengan kehidupannya yang sulit itu. "Entah sejak kapan, tiba-tiba aku memikirkan sesuatu untuk mengeluarkan hormon endorfin di tubuhku."
Hai, Alessa ... Alessa. Apa lagi yang kau bicarakan? Hormon endorfin? Haduh! Haduh! Si paling endorfin! Geram Alessa dalam hati.
Alessa mengatakan semua yang ada di kepalanya. Benar, ia memang sering mencari sesuatu yang dapat membuatnya bahagia. Salah satunya berteman dengan pria maskulin yang terus menyita perhatiannya akhir-akhir ini. Tapi, bukan seperti ini niat awalnya.
"Lupakan." Alessa langsung bangkit dari duduknya. Kemudian ia berjalan menuju ke dapur.
Sementara itu, Gerry bergegas menyusuli Alessa ke dapur dengan langkah yang cepat.
"Q" rutuk Alessa dalam hati. Ia meletakkan mug tadi ke tempat cuci piring.
Gerry mengunci tubuh Alessa dari belakang. Ia meletakkan kedua tangannya di meja dapur, tepat di sisi kiri dan kanan tubuh wanita itu, membuat Alessa terkunci dan tak bisa ke melarikan diri.
"Apa maksud ucapanmu tadi?" Suara Gerry terdengar dingin dan membuat Alessa bergidik.
Wanita itu dapat merasakan aura dingin yang dipancarkan oleh pria itu. Seperti ....
"Alessa." Suara bariton Gerry cukup mengusik gendang telinga Alessa, membuat wanita itu memutar kepalanya ke belakang untuk menatap ke arah Gerry.
Seketika Alessa membulatkan matanya dengan sempurna saat Gerry tiba-tiba melumat habis bibirnya tanpa ampun. Sejak kapan jarak antara dirinya dan pria itu menjadi sangat dekat? Sampai-sampai kini ia dapat merasakan tubuhnya terjepit di antara meja dapur dan tubuh kekar itu.
Alessa kehabisan nafas! Menyadari hal itu, Gerry pun menjeda permainan bibir yang sudah lama tak ia rasakan itu. Mata hitamnya menatap lekat ke dalam mata biru milik Alessa.
Alessa membalikkan badannya sambil mendorong tubuh Gerry secara perlahan. Otaknya masih belum bekerja karena kaget dengan perlakuan spontan Gerry. "Ger ... tadi itu ...."
"Ajarin bercinta? Butuh FWB? Friend with Benefits? Butuh sesuatu yang dapat mengeluarkan hormon endorfin?" Gerry mengembalikan semua ucapan yang keluar dari mulut Alessa tadi. Kemudian dengan penuh penekanan, ia mengatakannya dengan sangat lantang dan jelas.
"Baiklah. Aku adalah orang yang tepat untuk semua itu."
"Kamu tak akan menyesal jika aku yang menjadi tutormu. Karena jam terbangku sudah sangat banyak."
Bak disambar petir di siang bolong, Alessa benar-benar kaget dengan apa yang dikatakan oleh Gerry. Pria seperti kulkas dua pintu yang selama dua bulan itu dia ajak berteman, kini menunjukkan seperti apa aslinya dirinya. Padahal, mereka baru berteman 2 minggu.
"Gila! Ini benar-benar gila!" pikir Alessa saat itu. Satu sisi, ia sangat menikmati lembut dan hangatnya bibir pria itu saat berciuman tadi, sampai-sampai terbersit di hatinya ingin merasakan lagi ciuman itu. Tapi, apa dia gila? Apa yang akan pria itu pikirkan tentangnya nanti?
...🌸...
...🌸...
...🌸...
...Bersambung .......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!