NovelToon NovelToon

Penjara Suci

PS 1 - Di Balik Jendela

Pagi cerah yang tak pernah datang, kini benar-benar hanya harapan kosong milik seorang Anindya Athaya Zahran, yang tidak lain adalah diriku sendiri. Namaku begitu islami namun pada kenyataanya bertolak belakang dengan kelakuanku. Aku sadar semua yang aku lakukan hanya untuk mencari perhatian kedua orangtuaku yang terus membangga-banggakan kakakku, Mawaddatul Ulfa.

Aku hanya bisa memandang dari jendela kamar baruku. Sebuah kamar yang berpenghuni 28 orang yang sangat asing di mataku. Kini mataku terus tertuju pada Alpard milik papa yang terus melaju tanpa berhenti atau menoleh kearahku. Air matakupun menetes.

Kalian tega! Kenapa harus dibuang ke pesantren kalo udah capek ngurusin Nindy? Kenapa enggak dibunuh sekalian aja?! Biar kalian lebih puas nikmatin hidup tanpa perusuh kayak Nindy! -Bathinku terus berteriak.

Aku merasakan air mataku kembali menetes. Namun, aku buru-buru mengusapnya. Tak ada yang boleh melihat air mataku. Karena aku bukanlah gadis cengeng yang suka memamerkan air mata di hadapan orang-orang. Aku muak.

Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku, akupun menoleh. Ternyata ia seorang gadis cantik seumuran denganku. Kini pakaian kami begitu kontras, aku yang memakai baju serba ketat tanpa kerudung dan dia sebaliknya. Aku menatapnya, bertanya ada apa lewat mataku yang angkuh ini. Dia tersenyum.

“Mbak, e-e anu, apa ya? itu kenalin toh, iku apa yah? Nama aku Siti Farhana, panggilnya Farha saja,” ucapnya begitu sopan dan ramah. Suaranya begitu medok, terlihat kesulitan berbahasa Indonesia. Dia mengulurkan tangan. Aku menyilangkan tangan di dada, menilainya dari atas sampai bawah lewat mataku. Lalu memutuskan pergi, tanpa balas menjabat tangannya.

“Nindy.” kataku langsung keluar kamar. Penghuni kamar lain terlihat terkejut melihat aksiku yang memang tidak sopan, tapi aku tidak peduli. Aku ingin pergi!

***

...Flashback...

“Ya Allah, Nindy, kamu buat onar apa lagi sih, sampai-sampai kamu hampir dikeluarkan seperti ini? Kamu itu harusnya bisa contoh kakak kamu, dia nggak pernah bikin kepala Mama pusing!” kata Mama, yang selalu membandingkan aku dengan Kak Ulfa.

“Aku bukan Kak Ulfa, Mah.” kataku malas. Aku tau semua ucapanku tak akan menang melawan Mama. Sebab, tiap kali aku membantah Mama justru akan menjadi-jadi.

“Kali ini kamu sudah keterlaluan! Kelakuan kamu seperti preman. Dimana fikiran kamu sampai berkelahi sama anak laki-laki? Yang benar saja kamu! Pokoknya besok ikut mama ke pesantren!” teriak Mama. Bahunya naik turun. Aku tahu beliau marah.

“Kenapa harus masuk pesantren, Mah?” cicitku. Pesantren. Membayangkannya saja sudah membuatku ingin terjun bebas.

“Mama sudah nggak sanggup mengurus kamu, Mama nggak kuat!” teriak Mama.

Rasanya begitu menyakitkan mendengar kalimat terakhir Mama, bahkan lebih sakit dari saat beliau membandingkan aku dengan Kak Ulfa. Baiklah, aku memang susah diatur dan terus membuat masalah, namun aku memiliki alasan. Bila saja mama mau mendengarkan, rasanya ingin kukatakan kalau aku lelah hidup dalam bayang-bayang Kak Ulfa.

Dulu aku sempat berubah. Nilaiku begitu baik, bahkan aku mendapatkan juara 1 di kelas. Namun, semuanya tak berarti apa-apa. Di hari aku mendapatkannya tak kudapatkan kedua orang tuaku memuji. Bahkan, yang membuatku sakit adalah beliau justru menyanjung kakakku, dengan dalih semua pencapaianku merupakan buah hasil dari kerja keras kakakku. Padahal, dalam kenyataannya, tak pernah seharipun aku diajari oleh Kak Ulfa. Saat itu, dengan perasaan marah, aku menjelaskan hal tersebut kepada orangtuaku, hanya saja suaraku dianggap angin lalu. Papa hanya mengibaskan tangan, sedangkan Mama dan Kak Ulfa pura-pura tak mendengar dengan menyibukkan diri dengan hal-hal yang tak penting.

“Kalo Mama gak kuat, kenapa gak bunuh Nindy aja sekalian, Mah?” kataku, kesal.

PLAKKKK! Satu tamparan mendarat di pipiku.

Satu butir air mata turun dari mataku. Ini kali pertama aku merasakan tamparan, terlebih tamparan mama yang tak pernah main tangan kepada siapapun. Kini aku sadar, tamparan itu merupakan bukti pelepasan, untuk melepaskan sesuatu yang tak pernah dianggap berguna, juga untuk menujukkan bahwa tak ada yang mengharapkan keberadaanku sejak aku lahir.

“Maafkan Mama sayang, Mama..” kata Mama. Aku tidak mau mendengar suara Mama lagi. Aku pun berlari ke kamar. Lalu mengunci pintu.

Keesokkan harinya aku bangun pagi, mandi pagi, dan bertekad untuk pergi dari rumah. Aku sudah berfikir semalaman, tamparan itu begitu menyakiti ulu hatiku, hingga aku sadar hanya Kak Ulfa anak Mama dan Papa, bukan aku. Tadinya aku ingin mencoba bunuh diri di kamar ini namun rasanya aku tidak sudi meninggal di rumah ini. Hatiku begitu sakit, dan aku hanya butuh pergi saat aku pergi nanti, aku akan bebas melakukan hal apapun, termasuk mengakhiri hidupku dengan tenang.

Aku mengangkat tangan kananku, lalu ku amati gelang perak pemberian sahabatku dulu, aku menciumnya dalam. Dalam hidup, aku hanya memiliki satu orang yang benar-benar tulus menyayangiku dan mau mendengarkan keluh kesahku, dia adalah sahabatku, pemberi gelang perak itu.

Aku menggunakan celana jeans, dengan kaos panjang yang juga hitam. Tema bajuku kali ini hitam-hitam, aku tidak peduli. Karena hidupku juga sudah ditakdirkan kelam sejak aku dilahirkan.

Kamarku tidak memiliki jendela. Jadi untuk keluar rumah aku harus melewati pintu. Aku mengatur nafasku, lalu membuka pintu. Tepat ketika pintu dibuka, kudapati Kak Ulfa sedang berdiri di sana. Aku menabrakkan bahuku ke bahunya lalu berjalan melewatinya begitu saja,

“Nindy!” teriak Papa geram dengan kelakuanku.

Papa menarikku ke meja makan. Di sana sudah ada Mama yang kutau terus menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Kami semua makan dalam diam. Aku hanya memakan asal-asalan nasi goreng yang ada di hadapanku. Aku memang tak bisa langsung pergi begitu saja meninggalkan rumah, namun biarlah, kuanggap ini sebagai salam perpisahan.

“Hari ini, kamu, Papa antar ke pesantren.” kata Papa, membuka percakapan.

Aku hanya diam. Bukan berarti aku tidak terkejut. Jujur, dalam hati aku sangat terkejut, namun aku rasa tak ada gunanya. Lagi pula cepat atau lambat ini semua akan terjadi. Papa mengulangi kata-katanya lagi. Dan aku lagi-lagi diam, acuh tak acuh dengan kata-kata beliau, sambil terus menikmati makanan yang selalu hambar setiap tersaji di ruang makan.

“Kenapa hanya diam? Kamu tidak punya mulut?” tanya Papa dengan sarkas, nadanya begitu tinggi. Dalam hati aku ingin sekali menangis. Tapi aku masih bisa menahannya. Bagiku, rasa sakit sudah menjadi makananku sehari-hari di rumah ini, jadi untuk apa lagi aku menangis? Aku masih diam, sambil mengaduk-ngaduk nasi goreng dengan fikiran kalut.

BRAKKK! Papa melemparkan nasi gorengku ke lantai.

Aku hanya menatap nasi goreng itu dengan tatapan nanar, kini nasi goreng itu sama seperti hatiku, hancur berantakan. Aku masih diam. Aku tau Papa marah. Dan ini juga hal yang pertama kali Papa lakukan padaku. Ternyata Papa juga sudah berubah sama seperti Mama. Lengkaplah sudah.

Aku tersenyum miris dalam hati.

Aku masih diam. Tak ada yang dapat aku sampaikan. Kulirik Kak Ulfa sekilas, dia diam saja di tempatnya. Sungguh, di saat-saat seperti ini aku sangat iri kepada teman-temanku yang terus menceritakan kebaikan kakak-kakaknya yang selalu membelanya bahkan ketika temanku itu melakukan sebuah kesalahan. Aku memiliki kakak, namun aku tak pernah merasa memilikinya.

“Ayo kita ke pesantren sekarang! Papa sudah benar-benar muak melihat tingkahmu.” kata Papa. Kali ini beliau menyeretku keluar. Mama dan kakakku mengikuti kami dari belakang. Aku sempat melirik kakakku yang sedang mencari perhatian kepada mamaku untuk menenangkan beliau yang sedang menangis.

Lagi-lagi aku tersenyum miris. Aku memang tidak jadi kabur, tak juga bunuh diri. Tapi kalau di pesantren nanti, aku yakin, aku bisa dengan mudah mengakhiri hidup.

Sudah 10 jam mobil melaju. Selama perjalanan, tak ada yang membuka suara. Papa dan Mama yang duduk di depan bungkam, Kak Ulfa yang berada di bangku tengah pun bungkam, dan aku yang duduk dibelakang juga melakukan hal yang sama.

Aku melirik gelang perak di tangan kananku lagi. Meski tak tau akan dibawa ke pesantren mana, selama bisa bersama gelang ini, aku tak apa. Bersama gelang ini aku selalu berasa dilindungi. Lama-lama aku ingin cepat sampai dan cepat mengakhiri hidup.

Tak lama kemudian kami semua sampai di halaman sebuah Masjid. Dari spanduk yang terpampang dikanan dan kiri jalan, aku tahu nama pesantren ini adalah Al-Hikmah. Dari percakapan Papa dan Mama, kami akan mendatangi Sang Kyai pemilik sekaligus pengurus pondok pesantren ini. Setelah keluar dari mobil, Mama memakaikanku kerudung asal-asalan. Aku masih diam, tak peduli.

Kemudian, kamipun masuk ke rumah Sang Kyai. Ternyata ini adalah salah satu prosedur untuk masuk pesantren, yakni penyerahan calon santri kepada Sang Kyai. Setelah acara penyerahan aku kepada Sang Kyai. Beliau menyuruh asisten memanggil santri putri untuk mengantarkanku ke kamar pondok putri. Aku masih diam. Diam seribu bahasa. Di kamar, Mama mengenalkan namaku ‘Nindy’ karena aku masih diam. Setelah itu kedua orang tua dan kakakku dengan kejam meninggalkanku. Di sini. Di tempat asing. Benar-benar asing.

PS 2 - Salah Sasaran

“Mbak, tunggu, anu, iku, Mbak kan belum tau daerah sini, nanti bisa nyasar,” kata Farha, dia mengikutiku. Aku hanya diam. Dalam hati aku membenarkan ucapannya, namun aku tak mau punya teman. Karena akan menghambat aksiku.

“Gue gak pikun dan gue masih punya mulut buat tanya.” kataku, ketus.

Farha berlari ke kamarnya, mungkin dia menangis tapi ntahlah aku tidak begitu peduli. Toh itu bukan urusanku. Saat aku hendak menuruni anak tangga terakhir, sebuah tangan mencekalku. Saat menoleh kudapati Farha lagi, dia menyodorkanku atasan mukena yang aku yakin miliknya. Aku mengamati Farha sekilas, kini ia menggunakan mukena berenda cokelat.

“Maksudnya apa nih? Lo nyuruh gue salat, Hah?!” teriakku, di depannya. Dia beringsut sedikit, lalu menyodorkan mukena itu lagi.

“Iku, Mbak, kalo di sini, keluar pondok harus pakai mukena.” cicitnya.

“Kalo gue gak mau?” tanyaku dengan ketusnya.

“Mbak, ndak boleh keluar pondok.” kata Farha lagi. Rupanya berargumen denganku menambah lancar bahasa Indonesianya.

“Gue gak peduli! Gue mau keluar awas! Minggir!” kataku, melewati Farha.

“Pakai kerudung ini, Mbak.” kata Farha, menyerah memberikan mukena itu.

“Oke, gue akan pake kerudung ini tapi elo gak boleh ikutin gue, kalo lo tetap ikutin gue, gue bakal pergi tanpa kerudung.” kataku. Aku menerimanya, karena merasa sedikit kasihan padanya. Aku memakainya asal-asalan karena aku tidak tau cara memakainya. Melihat kerudung itu, aku teringat sekolah dan teman-temanku di sekolah. Dulu saat di sekolah, aku tidak pernah memakai kerudung di hari Jumat sebagaimana mestinya, aku hanya memakainya saat ada Guru BK yang lewat, karena beliau begitu killer dan suka menjambak siswi muslim yang tak memakai kerudung di hari Jumat. Itupun aku hanya memakainya asal.

Aku langsung melengos pergi. Meninggalkan Farha yang masih terdiam di sana. Malam sudah datang. Aku tak tahu harus kemana. Meski begitu aku tetap ingin pergi kemanapun asalkan bisa lenyap dari dunia ini, dunia yang egois, dunia yang hanya mementingkan satu hati tanpa memperdulikan hati yang lain.

“Apa lo liat-liat?” bentakku pada beberapa santri yang mengamatiku dari atas sampai bawah. Menilai penampilanku. Tapi aku tak peduli. Aku langsung pergi.

***

Baru beberapa langkah menjauhi pondok, aku mendengar pengumuman menggunakan bahasa Arab yang tidak aku mengerti dan diakhiri dengan bahasa Jawa yang tak bisa juga aku mengerti. Sekarang aku bingung. Beginilah bila kita tidak memiliki tujuan yang jelas. Saat sedang bingung tiba-tiba aku melihat santri putri berlarian memakai atasan mukena berenda. Mereka membawa peralatan sholat, Al-Qur'an, dan buku bersampul tulisan Arab.

Aku bersembunyi di balik pohon, aku tau bersembunyi di balik pohon mangga itu tidak baik karena pasti ada penghuni di atas sana yang sedang mengamati. Ketika kewarasanku mulai kembali terjaga, aku justru berfikir bila Si Penghuni benar-benar melakukan hal yang tidak-tidak, aku akan bersyukur, dan meminta ia untuk sekalian membunuhku. Namun, sayangnya aku tak mendengar apapun dari atas pepohonan. Mungkin karena arena ini tempat suci, jadi mereka tak berniat berada di sini.

Setelah tak ada santri lagi yang lewat aku keluar dari tempat persembunyianku. Batinku mengatakan bahwa ini merupakan saat yang tepat untuk memulai aksi bunuh diri. Lalu, sebuah ide terlintas di benakku. Aku memandangi pondok pesantren itu lalu menimbang apakah 4 lantai dapat menghantarkanku ke akhirat. Ketika kurasa cukup berpotensi, akupun langsung mengendap-endap masuk ke dalam pondok karena kuyakin tidak semua santri berada di Masjid. Akhirnya, aku berhasil sampai di lantai paling atas.

“Sial! Kenapa lantai paling atas harus dijeruji sih? Trus gue lompat dari mana coba?” kataku geram.

Akupun turun lagi, kembali ke bawah pohon mangga dengan perasaan kesal setengah mati. Lalu kembali berpikir sambal mengacak kepalaku frustasi, “Apa gue lompat dari lantai 4 aja?” tanyaku pada diri sendiri.

“Lantai 4 cuman buat kamu masuk rumah sakit.” kata suara bariton, mengejutkan.

Aku langsung membalikkan tubuhku. Mencari sosok laki-laki bersuara bariton. Ntah mengapa disaat seperti ini aku berharap pemilik suara bariton itu merupakan pemuda tampan yang siap membantuku. Mataku menangkap sesosok bersarung hijau, baju koko putih, dan berpeci hitam yang semakin menjauh. Jika dilihat dari perawakannya yang tinggi dan kulitnya yang putih, sepertinya dia memang tampan.

“Hei! Lo bisa ngomong pakai bahasa Indonesia?” teriakku. Aku begitu senang, terlebih ketika ia berbicara tak ada kesan medhok dalam bahasannya, itu artinya kemungkinan besar dia dari Jakarta.

Sejak aku sampai di sini, semua orang tidak menggunakan bahasa Indonesia, hanya Sang Kyai, Farha, dan Pemuda itu. Selainnya menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Arab yang tak kumengerti artinya. Dari segi bahasa saja aku merasa seperti dibuang ke sebuah planet macam planet mars yang mau tak mau membuatku semakin sendirian dan kesepian. Sungguh penjara yang lebih penjara dari penjara.

Meski kupanggil berkali-kali, ia tetap tidak menoleh. Aku menghentak-hentakkan kaki kesal. Ternyata aku memang ditakdirkan untuk sendirian. Lihatlah, dia begitu sombong dan tak tahu tata karma. Melihatnya menjauh, aku semakin kesal. Aku mengambil sepatu hak tinggi/high heels sebelah kanan milikku, lalu melemparkan ke arah pemuda itu yang sebentar lagi berbelok ke sebuah gang.

PLETAKKK!

Sial! Lemparanku meleset begitu saja. –Umpatku dalam hati.

“Aduh!” ringis seseorang. Ternyata sepatuku mengenai orang lain. Dia seorang santri perempuan yang juga memakai mukena berenda ungu, ia berjongkok sambil memegangi kepalanya. Aku yakin, high heels-ku pasti mengenai kepalanya. Dia tidak sendiri, ia ditemani santri putri yang juga menggunakan mukena namun berenda merah.

Kabur-enggak, kabur-enggak, kabur-enggak.. Duh, gimana ya? Kabur gak ya? -batinku.

Namun, hatiku membisikkan kalimat jahat untuk menghampiri kedua santri tersebut, ntah untuk menertawakannya atau untuk mengomelinya atas kegagalanku memberikan pelajaran kepada Pemuda Sombong itu. Aku menghampirinya, lalu menyilangkan tangan di dada. Si Renda Merah menatapku tajam, aku balas menatapnya tak kalah tajam. Lalu ia mulai mengamati pakaianku dari atas sampai bawah lalu tersenyum sinis.

“Ngapain lo senyum-senyum? Mau gue antar ke rumah sakit jiwa?” kataku.

Si Renda Merah mendekatiku. Sambil berbicara menggunakan bahasa Jawa yang tak sedikitpun aku mengerti.

“Ngomong gih sana sama tembok!” seruku. Sambal hendak berlalu meninggalkannya. Namun, tiba-tiba dia mencekal lenganku. Ia menarikku ke arah temannya yang sedang terisak.

“Minta maaf, Mbak!” perintahnya, dengan aksen medhok-nya.

“Punya hak apa lo suruh gue minta maaf? Lagi pula, di sini, pihak yang dirugikan itu gue. Coba, kalo gak ada kalian pasti gue bisa kasih pelajaran ke cowok tengik itu!” kataku, tersulut emosi.

“Aku pengurus, Mbak.” kata Si Renda Merah, dari tatapannya kutau ia marah.

“Trus kalo lo pengurus gue harus tunduk sama lo? Helo! Lo bukan Tuhan.” kataku.

“Apa susahnya minta maaf sih, Mbak?” tanya Si Renda Merah.

“Gue gak salah!” kataku, membentaknya. Tak kusangka Si Renda Merah kembali mencekal tanganku. Mungkin ia kira aku lemah. Untuk membuktikan bahwa aku tidak selemah yang difikirkannya akupun menghempaskannya dengan kasar. Namun, ia tidak menyerah. Kali ini dengan kekuatannya yang lebih besar, ia membawaku ke sebuah rumah yang merupakan tempat pertama kali aku kunjungi di sini, Rumah Kyai.

PS 3 - Pengaduan

Si Renda merah benar-benar membawaku ke rumah Abah Kyai. Rumah yang pertama kali kudatangi saat dipasrahkan oleh kedua orang tuaku. Aku tak mengerti arti pemasrahan itu. Karena interpretasiku sangatlah banyak, dari mulai sebuah simbol pengasingan, penitipan, melenyapkan, dan pembuangan.

Memikirkan itu membuatku betul-betul sakit hati. Kini aku kembali menatap Si Renda Merah. Sepertinya dia akan mengadukanku. Sebuah upaya yang sangat menyebalkan. Mengapa dia harus mengadu? Bukankah kita bisa selesaikan masalah tadi sendiri? Kami bisa berkelahi, saling jambak rambut dan saling melontar sumpah serapah. namun lihatlah. Dia lebih memilih jalan cupu. dengan mengadukanku.

Aku memandangnya sinis.

“As-salamu ‘alaikum, Umi.” salam, Si Renda Merah. Nada suaranya beda betul dengan saat berbicara padaku. Kali ini di sopan-sopankan. Sungguh, aku jadi muak melihat dia yang sok disopan-sopankan atau diumut-imutkan atau apalah itu.

“Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh. ” jawab Umi. Aku tahu beliau Istri Kyai, karena tadi saat pertemuan keluarga beliau ada. Beliau mengamatiku lalu tersenyum lembut. Ntahlah, pokoknya berbeda sekali dengan semua orang yang kujumpai di pondok ini yang terus melihatku dengan tatapan seakan bilang ‘Dih, baju apaan tuh?’.

Melihat senyuman Umi yang begitu tulus, aku tersenyum tipis. Namun, aku buru-buru memalingkan wajahku karena takut terlihat. Tujuanku ke sini bukanlah untuk menjadi anak baik, namun tujuanku adalah mengakhiri hidup secepat mungkin. Diam-diam, jauh di dalam sana, aku teringat Mama. Ah, tidak, anggap saja aku tak pernah mengatakannya.

Si Renda Merah kini sedang mengadu menggunakan bahasa Jawa kepada Umi. Dari lama bicaranya, aku tebak dia mulai menceritakan semuanya. Dan dari caranya memeragakan beberapa gerakan aku jadi semakin yakin dia sedang membuatku bersalah di mata Umi. Aku mengusap telingaku panas. Tak lama kemudian Si Renda Merah berpamitan pada Umi dan keluar, aku buru-buru mengikutinya dari belakang.

“Nindy, tetap di sini, ya.” kata Umi. Langkahku otomatis terhenti. Beliau mengisyaratkan aku untuk duduk di sampingnya. Aku hanya menggauk tengkukku yang tidak gatal sama sekali, perasaanku tak enak.

“Apa Nindy tahu apa kesalahan yang baru aja Nindy buat?” tanya Umi lembut. Aku hanya mengangguk. Lalu beliau kembali berkata, “Jangan diulangi lagi, ya.”

“Maaf, tapi Nindy nggak mau janji, Umi.” kataku.

“Umi tahu Nindy anak baik.” kata Umi lagi, kali ini beliau memelukku.

“Enggak sebaik itu, Umi.” Ntah mengapa kalimat ini terucap begitu saja.

Umi tersenyum. “Nindy, belum salat Isya kan? Yuk, sholat bersama Umi.” kata Umi sambil bangkit berdiri. Mau tak mau aku mengikutinya. Beliau menyiapkan mukenah untuk kami. Lalu kami ke kamar mandi.

Sesampainya di kamar mandi yang cukup luas itu aku hanya menggaruk tengkukku yang tak gatal, sudah lama sekali aku tidak salat juga wudu. Jadi, aku lupa urutan gerakan wudu.

Aduh mati gue! Ini muka dulu baru kumur-kumur apa kuping dulu ya? -Batinku.

“Ikuti gerakan, Umi, ya.” kata Umi. Beliau mengambil wudu di keran air persis di sampingku. Kamar mandi ini kebetulan memiliki 3 keran air. Akupun mengikuti gerakan Umi.

Setelah selesai wudu. Umi mengajariku sholat. Setelahnya, kamipun sholat dengan Umi sebagai imam. Selesai sholat Umi memakaikanku jilbab. Aku diam saja, meski di dalam hati aku memikirkan nasib rambutku. Aku berani bertaruh jika setiap hari aku memakai kerudung atau mukena, rambutku yang rutin perawatan ini pasti akan rusak.

“Mulai besok kamu sholatnya di sini ya sama Umi.” kata Umi.

Mendengar kalimat itu aku segera ingin pergi dari sana. Jadi, aku bangkit berdiri lalu berpamitan, “Umi, Nindy pulang dulu. Bye Umi!” kataku. Langsung keluar.

“Tunggu!” sergah Umi. Saat aku menoleh, Umi memberiku isyarat untuk mendekat, akupun mendekati beliau lagi. Beliaupun berkata, “Bukan begitu cara berpamitan, cium tangan Umi terlebih dahulu lalu ucapkan As-salamu ‘alaikum bukan bye, ya.” kata Umi lagi. Lagi-lagi aku mengangguk.

Aku mencium tangan Umi, lalu berkata, “Salam, eh assalamu’alaikum.”

“Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh.” jawab Umi, sambil tersenyum. Aku membalas senyum Umi sekilas, lalu pergi.

Setelah keluar dari Rumah Umi, aku mengerutkan kening mendapati sepasang high heels-ku sudah terparkir rapi di depan Rumah Umi. Sepertinya Si Renda Merah yang meletakkannya. Aku mengangat bahu, memakainya, lalu berjalan menjauhi Rumah Umi. Namun di pertigaan aku bingung. Kini, di hadapanku terpampang 3 pondok yang bentuk dan warnanya sama persis.

“Aduh, kenapa harus sesial ini si hidup gue?” kataku sambil memijit pelipisku.

“Arah jam 1.” suara itu lagi. Aku langsung berbalik, mencari keberadaan pemuda itu, namun tak ada siapapun. Aku pasti sudah gila. Tapi biarlah, akan aku ikuti suara aneh itu.

Aku mengarahkan kakiku, ternyata suara terkutuk itu menujukkan tempat yang benar. Ternyata, meski terkutuk, ia tetap berguna. Kukatakan betul karena dari dalam pondok Farha berlari ke arahku dengan raut khawatir.

“Ya Allah, Mbak, Mbak itu dari mana saja?” tanya Farha.

“Gue nyasar tadi, udah ah, anterin gue ke kamar, gue ngantuk!” kataku.

“Eh, anu Mbak, tapi masih ada satu kali ngaji lagi, Mbak” kata Farha takut-takut.

“Gue gak peduli.” Kataku langsung menerobos masuk. Mau tak mau Farha mengantarkanku ke kamar.

Sesampainya di kamar, sejenak aku mengamati tikar yang di atasnya diberikan bantal. Aku tebak ini adalah tempat tidurku. Untuk memastikan aku menoleh ke arah Farha, dia mengangguk mengerti. Seketika dadaku sesak, aku mulai membayangkan Kak Ulfa yang sedang tidur nyenyak di atas tempat tidur mewahnya. Membandingkan keadaan kami membuat kepalaku semakin pusing.

Di kamar, beberapa anak yang juga bersiap pergi mengaji mengajakku berbicara. Namun aku hanya bisa berkata, “Pergi! Gue mau tidur!”

Bukannya pergi, santri bernama Farha ini malah menghampiriku. Aku jadi kesal setengah mati, "Gue bilang pergi ya pergi! Lo punya kuping gak sih?"

"Tap-tapi..." Dia mencoba mengatakan sesuatu.

"Gue bilang pergi." kataku penuh penekanan.

Akhirnya diapun menurut dan pergi. Mengapa sulit betul menyuruhnya pergi? Padahal bila saja dia mau pergi saat kulontarkan seruan kalimat pergi pertama kali, dia tak perlu mendengar bentakan ku dan aku tak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengusirnya. Dasar aneh.

Aku tau aku tak tahu diri karena aku yang mengajak Farha masuk ke kamar namun aku pula yang menyuruhnya lekas pergi. Namun, biarlah demikian. Aku benar-benar tidak memperdulikan perasaannya. Meski ada terbesit sedikit rasa bersalah di dalam sana tapi aku mencoba membuatku biasa saja. Mungkin sikap yang seperti inilah yang membuatku bertahan hingga saat ini. Bisa ku katakan kearogananku merupakan sebuah betuk pertahanan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!