Langit pagi di Desa Bunga Matahari selalu dipenuhi warna keemasan. Embun pagi masih menempel di kelopak bunga matahari yang membentang sejauh mata memandang. Namun, bagi Chen Huang, keindahan itu adalah pengingat bahwa hari kerja keras telah dimulai.
Dengan cangkul di bahu, Chen Huang berjalan di belakang ayahnya. Tubuhnya kurus, tangannya kasar, namun langkahnya mantap. Di ladang, dia bekerja hingga matahari tepat di atas kepala, mencangkul tanah kering, memetik hasil panen, dan mengangkat karung-karung berisi jagung ke pundaknya. Setiap butir keringat yang jatuh adalah harga kecil yang harus dia bayar untuk impiannya.
“Huang'er, jangan lupa makan siang. Jangan memaksakan dirimu terlalu keras,” ujar ibunya yang datang membawa bekal sederhana: nasi, sedikit sayur, dan sepotong kecil tahu.
Chen Huang tersenyum sambil menyeka keringat. “Ibu, kalau aku tidak bekerja keras sekarang, bagaimana kita bisa memperbaiki hidup kita? Ini jalan satu-satunya.”
Senyum ibunya pudar sesaat. Dia tahu putranya benar, tapi melihat Chen Huang tumbuh begitu cepat di usia yang masih muda membuat hatinya perih.
Saat malam tiba, Desa Bunga Matahari berubah sunyi. Di rumah-rumah sederhana, lampu minyak menjadi satu-satunya sumber cahaya. Di rumah kecil milik keluarga Chen Huang, suara halus pena di atas kertas menggantikan keheningan.
Chen Huang duduk di meja kayu kecil, membaca buku tua yang lusuh. Perpustakaan desa hanya memiliki sedikit koleksi buku beladiri, tetapi itu cukup untuknya. Buku itu penuh dengan gambar-gambar ilustrasi gerakan dan kata-kata bijak tentang filosofi kehidupan.
“Keberanian tanpa kebijaksanaan adalah pedang tumpul.”
Chen Huang membaca kalimat itu berulang-ulang, seolah mencoba menggali maknanya lebih dalam. Setelah selesai membaca, dia berdiri di halaman rumahnya, mencoba menirukan gerakan sederhana dari buku. Angin malam yang dingin menerpa kulitnya, namun Chen Huang tetap fokus.
Dia memutar tubuh, mengayunkan tinju, dan melangkah maju. Gerakannya kikuk, namun setiap malam, dia mengulanginya tanpa henti. Sesekali, dia berhenti untuk menatap langit yang dipenuhi bintang.
“Gunung Tianlong,” gumamnya sambil memandang bayangan puncak gunung di kejauhan. “Aku akan berdiri di sana suatu hari nanti.”
...
Namun, kehidupan Chen Huang di desa tidak hanya penuh kerja keras. Seringkali, teman-teman seusianya mengejek dan mempermalukannya. Wu Rong, anak kaya yang sombong, adalah yang paling sering mengganggu Chen Huang.
Suatu hari, saat Chen Huang membawa sekantong hasil panen ke pasar, Wu Rong dan gengnya sengaja menjegalnya. Karung berat yang dibawa Chen Huang jatuh ke tanah, menghamburkan isi sayurannya.
“Hah! Anak buruh tani sepertimu bermimpi masuk Akademi Xin? Jangan bercanda!” Wu Rong tertawa keras, diikuti teman-temannya.
Chen Huang bangkit dengan tenang, memunguti sayurannya yang berserakan sambil berkata dengan suara datar, “Kita lihat saja nanti, Wu Rong. Jangan terlalu cepat meremehkan orang lain.”
Tawa Wu Rong terhenti, merasa tersindir. Namun, ia tidak berkata apa-apa lagi dan pergi meninggalkan Chen Huang.
...
Malam hari pun tiba, dan kini di halaman rumahnya, Chen Huang berdiri tegak, tubuhnya diterangi remang cahaya bulan. Dengan napas yang teratur, ia mengayunkan tangan sesuai dengan gerakan dasar yang ada di buku beladiri tua yang ia pelajari.
“Langkah maju, tekuk lutut, ayunkan tangan seperti ini…” gumamnya pelan, mengikuti ilustrasi yang telah ia hafal.
Keringat mengalir di pelipisnya, meskipun udara malam cukup dingin. Setiap gerakan terasa kaku, namun ia terus mengulanginya. Tangannya mulai terasa sakit, tetapi Chen Huang tahu, rasa sakit adalah bagian dari proses.
Chen Huang tinggal di Benua Dong, sebuah benua yang terkenal dengan para praktisi beladirinya yang luar biasa. Di antara semua benua di dunia, Dong adalah yang terbesar ketiga, dengan lanskap yang sangat beragam. Dari pegunungan yang menjulang tinggi, hutan yang dipenuhi kabut spiritual, hingga kota-kota besar yang dipadati sekte dan klan, setiap sudut benua ini menyimpan kekuatan yang sulit dibayangkan oleh orang biasa.
Benua Dong adalah rumah bagi puluhan klan besar dan ratusan sekte yang tersebar dari wilayah barat hingga timur. Setiap klan memiliki warisan teknik dan rahasia keluarga, sementara sekte-sekte, baik kecil maupun besar, berlomba-lomba menarik para murid berbakat untuk memperkuat nama mereka.
Di dunia ini, kekuatan seorang praktisi beladiri diukur melalui tingkatan ranah:
Ranah Penguatan Tulang: Dasar dari semua kekuatan. Di ranah ini, tubuh diperkuat dari dalam, tulang menjadi lebih keras dan fleksibel.
Ranah Penguatan Tubuh: Setelah tulang diperkuat, tubuh secara keseluruhan mulai ditempa hingga menjadi jauh lebih kuat daripada manusia biasa.
Ranah Pengumpulan Energi: Mulai mengumpulkan energi spiritual dari alam. Para praktisi di tahap ini sudah bisa menggunakan teknik sederhana.
Ranah Pemurnian Energi: Memurnikan energi spiritual yang telah dikumpulkan, memungkinkan mereka terbang menggunakan senjata yang dialiri energi tersebut.
5.Ranah Penguasa Energi: Para praktisi di tahap ini memiliki kendali penuh atas energi spiritual mereka.
Ranah Master: Dikenal sebagai pilar dunia beladiri.
Ranah Grandmaster: Sosok yang memiliki pengaruh besar, seringkali menjadi pemimpin sekte atau klan besar.
Ranah Kaisar: Individu legendaris yang kekuatannya mampu menghapus sebuah benua.
Ranah Keabadian: Tingkatan tertinggi, tempat para praktisi melampaui batas kemanusiaan dan mendekati esensi keabadian.
Setiap ranah dibagi menjadi tiga tahap: Awal, Menengah, dan Puncak.
Chen Huang menutup bukunya dan menghela napas panjang. “Ranah Penguatan Tulang saja belum aku capai. Jalan masih panjang,” gumamnya sambil menatap langit berbintang.
Namun, di balik keluhan kecil itu, ada api yang berkobar di matanya. Setiap malam ia berlatih adalah satu langkah kecil menuju mimpinya. Dia tidak peduli seberapa sulit jalannya, karena dia tahu, hanya dengan tekad dan usaha, dia bisa menantang dunia beladiri yang penuh dengan raksasa ini.
Pagi pun tiba, Chen Huang, seperti biasa, membawa cangkulnya menuju kebun di sisi barat desa. Namun langkahnya melambat ketika mendengar bisikan-bisikan dari beberapa petani yang berkumpul di tepi jalan. Wajah mereka tegang, dan bisik-bisik mereka terdengar penuh kecemasan.
“Aku mendengar harta karun itu benar-benar ada…” ujar seorang pria tua dengan suara bergetar.
“Tapi bagaimana bisa? Bukankah itu hanya mitos?” balas yang lain, meskipun nadanya terdengar kurang yakin.
Chen Huang berhenti sejenak, memandang mereka. “Maaf, Paman Li, apa yang sedang kalian bicarakan?” tanyanya sopan.
Pria tua yang dipanggil Paman Li menoleh dan menghela napas berat. “Chen Huang, ada desas-desus yang beredar sejak fajar tadi. Konon, di hutan di belakang bukit dekat desa ini, ada sebuah harta karun yang terkubur. Katanya, itu peninggalan seorang praktisi legendaris dari zaman dahulu.”
Chen Huang mengernyit. Harta karun? Praktisi legendaris? Desas-desus semacam ini bukan hal baru, tetapi melihat ketegangan di wajah para petani membuatnya berpikir bahwa kali ini berbeda.
“Apa kalian percaya itu benar?” tanya Chen Huang dengan nada skeptis.
Paman Li menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, tetapi beberapa orang mengatakan mereka melihat cahaya aneh di malam hari dari arah hutan. Jika itu benar… Desa Bunga Matahari mungkin berada dalam bahaya besar.”
Chen Huang melanjutkan langkahnya ke kebun, tetapi pikirannya dipenuhi dengan desas-desus tadi. Ia tahu, Benua Dong adalah tempat para pendekar besar dan praktisi beladiri berkumpul. Harta karun seperti ini, jika benar adanya, akan menarik perhatian banyak pihak, termasuk para sekte besar dan klan-klan kuat.
“Harta karun… Medan pertempuran… Desa kita…” gumam Chen Huang sambil mencangkul tanah dengan lebih keras dari biasanya.
Dia mencoba mengalihkan pikirannya, tetapi tidak bisa. Dalam benaknya, ia bisa membayangkan para praktisi beladiri berdatangan dengan senjata-senjata tajam, saling bertarung di ladang yang selama ini menjadi tempat hidupnya. Bunga matahari yang indah akan layu oleh darah, dan desa kecilnya mungkin tidak akan bertahan.
Saat matahari semakin tinggi, berita tentang harta karun menyebar ke seluruh desa. Para petani berkumpul di balai desa, membicarakan apa yang harus dilakukan. Beberapa ingin pergi ke hutan untuk memastikan kebenaran desas-desus itu, tetapi mayoritas memilih untuk menunggu dan berharap itu hanyalah rumor.
Chen Huang ikut mendengar diskusi mereka, tetapi tidak berbicara banyak. Dia lebih memilih untuk memperhatikan dan menyusun rencana dalam pikirannya.
“Mereka bilang cahaya itu berasal dari gua di balik hutan,” kata salah satu pria desa dengan suara cemas. “Kalau para praktisi mendengar tentang ini, mereka pasti datang.”
“Dan saat mereka datang, kita akan berada di tengah-tengah pertempuran mereka,” tambah yang lain.
Suasana semakin tegang. Desa kecil yang biasanya damai kini diliputi oleh ketakutan dan ketidakpastian.
...
Seminggu setelah desas-desus harta karun tersebar, Desa Bunga Matahari yang biasanya damai berubah menjadi pusat perhatian. Praktisi beladiri dari berbagai wilayah mulai berdatangan. Mereka berasal dari sekte-sekte besar hingga klan-klan terkenal. Desa kecil ini kini menjadi panggung untuk pertempuran para ahli yang memperebutkan harta karun legendaris, Pedang Petir Fenglei.
Langit yang cerah tiba-tiba menjadi gelap ketika seorang pria dengan rambut hitam panjang dan jubah putih mewah melayang di udara di atas pedangnya, diikuti oleh puluhan pengikutnya. Qing Wuyou, salah satu ahli dari Klan Qing, salah satu klan terbesar di Benua Dong, menatap ke arah hutan di ujung desa dengan tatapan penuh keyakinan.
“Akhirnya,” ujarnya dengan suara rendah, namun menggema di sekeliling. “Pedang Petir Fenglei… akan menjadi milik Klan Qing.”
Tidak lama setelah itu, seorang wanita muda dengan kecantikan luar biasa muncul dari arah berlawanan. Jubah putihnya berkilauan, dan simbol bunga teratai di dadanya menunjukkan asalnya: Sekte Teratai Putih, sekte yang terkenal akan keanggunan namun mematikan. Ia datang bersama beberapa muridnya, menatap tajam ke arah Qing Wuyou.
“Klan Qing sepertinya terlalu percaya diri,” ujarnya lembut namun penuh ejekan. “Pedang Petir Fenglei adalah warisan dunia beladiri, bukan milik satu klan saja.”
Di sekeliling mereka, puluhan praktisi beladiri lainnya dari berbagai sekte kecil hingga individu yang tidak terikat oleh kelompok manapun mulai berkumpul, masing-masing siap merebut harta karun yang disebut-sebut memiliki kekuatan luar biasa itu.
Tanpa banyak basa-basi, langit di atas Desa Bunga Matahari berubah menjadi medan pertempuran. Teknik-teknik beladiri yang luar biasa diluncurkan. Cahaya terang, kilat, dan dentuman keras menggema di udara.
“Langkah Kilat Surga!” Qing Wuyou meluncurkan tekniknya, menciptakan petir yang membelah udara, mengarah ke para pesaingnya.
Wanita dari Sekte Teratai Putih membalas dengan gerakan anggun, “Layar Seribu Teratai!” Ratusan bayangan bunga teratai muncul di udara, menghentikan petir yang melesat.
DUAR!
Ledakan dahsyat mengguncang tanah desa. Para praktisi lain tidak mau kalah, meluncurkan teknik masing-masing, dan segera area sekitar desa berubah menjadi medan tempur yang mengerikan.
Di tengah kekacauan itu, Chen Huang bersama orang tuanya dan penduduk desa lainnya berusaha melarikan diri. Mereka berbondong-bondong menuju ke luar desa, menghindari efek dari pertempuran yang semakin memanas.
“Cepat, Huang’er!” seru ibu Chen Huang, menarik tangannya. “Kita harus pergi sebelum semuanya semakin buruk!”
Namun, meskipun mereka sudah mencoba menjauh, efek dari pertempuran tidak dapat dihindari. Sebuah gelombang energi besar meledak di kejauhan, dan angin kencang yang membawa pecahan tanah menghantam kerumunan penduduk desa.
DUAR!
Chen Huang berusaha melindungi kedua orang tuanya, tetapi gelombang energi menghantam mereka bertiga dengan keras. Ibu dan ayahnya terlempar ke tanah, terluka parah. Wajah Chen Huang berubah panik.
“Ibu! Ayah!” teriaknya sambil berlutut di samping mereka. Darah mengalir dari dahi ayahnya, sementara ibunya terbatuk dengan napas yang berat.
“Jangan khawatir, Huang’er,” ujar ayahnya dengan suara lemah. “Selamatkan dirimu…”
Namun Chen Huang menggenggam tangan mereka erat. “Aku tidak akan meninggalkan kalian! Kita keluar dari sini bersama-sama!”
Chen Huang berusaha keras membawa kedua orang tuanya ke tempat yang lebih aman, meskipun tubuhnya sendiri mulai lelah. Penduduk desa lain yang masih bisa bergerak mencoba membantu, tetapi banyak yang terluka akibat pertempuran di atas desa.
Sementara itu, pertarungan para praktisi di langit semakin intens. Cahaya terang dari teknik mereka menyinari malam, sementara suara ledakan terus bergema, menghancurkan ladang dan rumah-rumah. Desa Bunga Matahari yang indah kini dipenuhi asap dan kehancuran.
Chen Huang menatap ke langit dengan kemarahan yang mendalam. Baginya, para praktisi itu adalah simbol kekuatan yang ingin ia miliki, tetapi mereka juga adalah ancaman yang merusak.
“Suatu hari nanti…” gumamnya dengan tekad di mata. “Aku akan menjadi cukup kuat untuk melindungi mereka yang aku cintai dan juga membalaskan semua ini.”
Chen Huang berhasil menyeret tubuh orang tuanya ke tempat yang lebih aman, sebuah gubuk kecil di pinggiran desa yang hampir runtuh akibat getaran pertempuran. Keringat bercucuran di wajahnya, nafasnya memburu, dan tangannya gemetar saat ia menurunkan tubuh ibunya dengan hati-hati. Ayahnya terbaring lemah di samping.
"Ibu… Ayah… bertahanlah. Aku akan mencari bantuan!" serunya, suaranya dipenuhi keputusasaan.
Namun, ibunya, dengan senyum lembut yang tampak penuh rasa sakit, menggelengkan kepalanya. "Huang'er… tidak perlu… Ibu dan Ayah sudah… cukup… melihatmu tumbuh sejauh ini…" suaranya melemah, tetapi masih berusaha terdengar tenang.
"Tidak! Jangan bicara seperti itu!" Chen Huang menggenggam tangan ibunya erat. "Kalian akan baik-baik saja! Aku… aku akan menemukan tabib, aku bersumpah!"
Ayahnya, dengan napas yang berat, mencoba mengangkat tangan untuk menyentuh bahu Chen Huang. "Huang'er… dunia ini… memang kejam… Kau harus menjadi kuat… lebih kuat dari siapa pun… untuk bertahan…"
Kata-kata terakhir itu mengiris hati Chen Huang seperti belati. Ia mengguncang tubuh ayahnya, mencoba membangunkannya, tetapi pandangan ayahnya perlahan menjadi kosong.
"Tidak… Tidak! Ayah! Ayah!!" teriak Chen Huang, tetapi tidak ada jawaban.
Ia berbalik ke arah ibunya, tetapi hanya mendapati senyumnya yang lembut dan air mata yang mengalir di pipi wanita itu sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya.
"Ibu… Jangan tinggalkan aku… Ibu!!!"
Chen Huang jatuh berlutut di antara tubuh kedua orang tuanya. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi tanah yang dingin. Ia menggenggam tangan mereka, yang kini terasa begitu dingin.
“Kenapa…” gumamnya dengan suara bergetar. “Kenapa surga begitu kejam? Apa yang telah kami lakukan sehingga pantas menerima ini?!”
Ia memandang ke langit, yang dipenuhi kilatan cahaya dari pertempuran para praktisi beladiri. Mereka yang memiliki kekuatan besar, mereka yang seharusnya melindungi, justru menjadi penyebab kehancuran.
Marah, sedih, dan frustasi bercampur menjadi satu. Ia memukul tanah dengan sekuat tenaga, darah mengalir dari buku-buku jarinya.
“Aku benci kalian semua!” teriaknya kepada dunia yang tidak pernah peduli. “Aku benci kekuatan kalian yang hanya membawa kehancuran! Jika ini takdir yang diberikan surga… maka aku akan menentangnya!”
Malam itu, Chen Huang duduk sendirian di samping tubuh kedua orang tuanya, memeluk mereka hingga fajar tiba. Air matanya telah mengering, digantikan oleh tatapan kosong yang penuh dengan kebencian terhadap kelemahannya sendiri.
“Jika aku kuat… Jika aku memiliki kekuatan seperti mereka… Ayah dan Ibu pasti masih hidup…” gumamnya pelan, namun setiap kata mengandung tekad yang tajam.
Ia mengubur kedua orang tuanya di bawah pohon bunga matahari terbesar di desa, tempat yang selama ini menjadi favorit keluarganya. Setelah menancapkan batu sederhana sebagai penanda, ia bersumpah di hadapan makam mereka.
“Aku bersumpah… Aku akan menjadi kuat. Aku akan melampaui siapa pun di dunia ini. Dan aku akan memastikan tidak ada orang lain yang bisa merenggut nyawa orang-orang yang aku cintai lagi.”
...
Desa Bunga Matahari telah berubah menjadi tempat yang sunyi dan menyeramkan. Rumah-rumah yang dulunya dipenuhi tawa kini hanya menyisakan reruntuhan. Bunga-bunga matahari yang pernah menjadi kebanggaan desa layu tanpa perawatan, seolah ikut berduka atas kehancuran yang terjadi.
Chen Huang, setelah mengubur kedua orang tuanya, mendirikan sebuah gubuk sederhana di pinggir desa, menggunakan kayu dan puing-puing rumah yang tersisa. Meski rasa kehilangan dan kesepian terus menghantuinya, ia memutuskan untuk tetap tinggal.
“Di sinilah aku akan bertahan. Di sinilah aku akan memulai segalanya,” gumamnya, menatap langit yang hanya diterangi sinar bulan.
Ia menghabiskan hari-harinya dengan bertahan hidup, berburu di hutan sekitar, dan malamnya diisi dengan mempelajari gerakan dasar ilmu bela diri dari buku-buku usang yang ia temukan di perpustakaan kecil desa.
Namun malam itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Chen Huang hampir terlelap ketika suara teriakan memecah keheningan malam.
“Kakek! Kakek Jin! Di mana kau?!”
Suara itu berasal dari seorang gadis. Chen Huang segera bangkit, mengambil tongkat kayu yang biasa ia gunakan untuk berjaga, dan berjalan keluar dari gubuknya. Di bawah sinar bulan, ia melihat seorang gadis muda berdiri di reruntuhan tengah desa. Wajahnya cantik, dengan rambut panjang yang tergerai. Ia terlihat kebingungan, memanggil-manggil seseorang dengan nada putus asa.
“Kakek! Kakek Jin! Tolong jawab aku!”
Chen Huang berjalan mendekat, dan gadis itu langsung menoleh dengan wajah penuh harap.
“Kau siapa?” tanya Chen Huang, suaranya dingin namun tidak berniat mengancam.
“Aku… aku mencari kakekku, Kakek Jin,” jawab gadis itu cepat. “Kau melihatnya? Dia tinggal di sini, di desa ini…”
Chen Huang membeku mendengar nama itu. Ia mengenal Kakek Jin—orang tua yang ramah dan sering memberikan nasihat bijak kepada anak-anak desa, termasuk dirinya. Namun, Chen Huang juga tahu bahwa Kakek Jin kemungkinan besar tidak selamat dari ledakan besar yang menghancurkan desa seminggu lalu.
Chen Huang menatap gadis itu, yang kini menunggu jawaban dengan cemas. Ia tidak tahu bagaimana menyampaikan kebenaran yang menyakitkan.
“Aku… aku kenal Kakek Jin,” ujar Chen Huang akhirnya, suaranya lirih. “Dia… dia ada di desa saat pertempuran itu terjadi. Ledakan besar… menghancurkan segalanya. Aku tidak tahu apakah dia bisa selamat.”
Wajah gadis itu berubah pucat. Ia mundur selangkah, hampir kehilangan keseimbangan. “Tidak… tidak mungkin… Kakek Jin… Dia tidak mungkin…”
Melihat gadis itu hampir jatuh, Chen Huang buru-buru menahan bahunya. “Tenang. Aku tidak mengatakan ini untuk membuatmu putus asa. Tapi… kau harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.”
Gadis itu menutup wajahnya dengan tangan, air matanya mulai mengalir. “Kakek adalah satu-satunya keluargaku… Jika dia tidak ada lagi… Aku benar-benar sendirian…”
Chen Huang terdiam, hatinya ikut terasa berat melihat kesedihan gadis itu. Ia tahu betul rasa kehilangan yang mendalam, karena baru saja mengalaminya sendiri.
“Jika kau mau,” kata Chen Huang akhirnya, mencoba menawarkan sedikit penghiburan, “kau bisa tinggal di sini untuk malam ini. Aku punya gubuk kecil di pinggir desa. Setidaknya, kau bisa istirahat dan kita cari cara untuk memastikan keberadaan Kakek Jin besok.”
Gadis itu menatapnya dengan mata basah, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih…”
Chen Huang memimpin gadis itu ke gubuknya, mencoba memberinya sedikit kenyamanan di tengah kehancuran dan kesedihan yang mereka alami bersama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!