Rara Delicia Prawira ditemukan saat masih bayi, terbungkus selimut tipis dan diletakkan di dalam keranjang jerami anyaman yang ditinggalkan di depan gerbang Panti Asuhan Pelita Harapan pada suatu malam yang dingin. Tak ada identitas, tak ada surat—hanya sebuah kalung liontin kecil yang tergantung di leher mungilnya, berinisial huruf R. Dari sinilah nama “Rara” diberikan oleh Ibu Ningsih, pengasuh panti, sebagai satu-satunya pengingat akan siapa dirinya.
Sejak kecil, Rara tumbuh sebagai anak yang mandiri, keras kepala, dan tidak pernah mau dikasihani. Dia tahu bahwa dunia tidak memberikan ruang bagi anak-anak seperti dirinya—anak yatim piatu yang tak diketahui asal-usulnya. Di usianya yang masih sangat muda, Rara sudah terbiasa membantu para pengurus panti mengurus anak-anak yang lebih kecil, mencuci pakaian, memasak, bahkan menjahit baju-baju donasi yang rusak agar masih bisa dipakai.
Saat menginjak usia 12 tahun, Rara mulai bekerja paruh waktu—menjadi tukang sapu di sekolah, membantu warung makan dekat panti, dan mengantar kue buatan panti ke rumah-rumah warga. Uang yang didapatkan digunakannya untuk membeli keperluan sekolah, seragam, dan buku tulis. Ia menolak belas kasih. Ia ingin membuktikan bahwa seorang anak panti juga bisa berdiri sejajar dengan anak-anak lainnya.
Meskipun hidup dalam keterbatasan, Rara selalu menunjukkan semangat juang yang luar biasa. Ia dikenal cerdas, rajin, dan punya jiwa kepemimpinan. Nilai-nilainya di sekolah selalu di atas rata-rata. Guru-guru mengaguminya, teman-teman pun menghormatinya, walau beberapa tetap memandang rendah statusnya sebagai anak panti.
Pada usia 15 tahun, ia nyaris putus sekolah karena dana panti menipis dan pekerjaannya tak cukup untuk membiayai kebutuhan SMA.
Namun, nasib Rara berubah ketika sepasang suami istri yang tampak terhormat datang ke panti dengan niat mengadopsi.
Mereka adalah Damar dan Nadine—pasangan sukses yang telah lama mendambakan anak namun belum dikaruniai keturunan.
Tanpa Rara tahu, keputusan itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya—membawanya pada luka baru yang jauh lebih dalam dari kemiskinan dan kesendirian yang pernah ia rasakan di panti.
...➰➰➰➰...
Sejak muda, Damar Prasetya sudah terbiasa hidup dalam lingkaran kemewahan. Tapi ia termasuk Anak yg mandiri walaupun ia anak tunggal dari pengusaha properti terkemuka di Jakarta, Damar dididik untuk menjadi penerus bisnis keluarganya. Ia menempuh pendidikan di luar negeri, belajar manajemen dan teknik sipil, lalu kembali ke tanah air sebagai pria berpendidikan tinggi dengan masa depan cerah.
Wajah tampan, gaya bicara tenang, dan pembawaan penuh percaya diri membuatnya mudah disukai siapa pun yang berurusan dengannya. Tapi di balik sosok luar itu, tersimpan sifat yang tegas, dingin, dan tak segan menggunakan tekanan untuk mencapai tujuannya. Karyawan yang bekerja bersamanya sering merasa terintimidasi—Damar bukan tipe atasan yang murah senyum. Ia disiplin dan kaku, namun tidak bisa disangkal bahwa di tangannya, perusahaan keluarga berkembang pesat dan menjadi salah satu raksasa di dunia properti.
Namun kehidupan Damar tidak selalu bersih. Di masa mudanya, sebelum menikah, Damar dikenal sebagai pria bujang yang gemar bermain perempuan. Pesta, mobil sport, wanita-wanita cantik—semua itu bagian dari masa lalunya. Ia pernah menjalin banyak hubungan singkat, bahkan tidak jarang melibatkan perempuan yang hanya dikenal semalam. Baginya, cinta adalah permainan, bukan komitmen.
Semuanya berubah ketika ia bertemu Nadine—seorang wanita cerdas, tenang, dan berkelas. Nadine bukan perempuan yang bisa ditaklukkan dengan uang atau rayuan manis. Ia berbeda. Dan justru karena itulah Damar jatuh cinta. Untuk pertama kalinya, ia ingin lebih dari sekadar hubungan sementara.
Setelah menikah, Damar berubah… atau setidaknya, begitulah yang orang-orang lihat. Ia tampak menjadi suami idaman—setia, setia, dan lagi setia. Di mata masyarakat, Damar adalah lambang kesempurnaan: kaya, sukses, tampan, dan keluarga harmonis. Tapi seperti gunung es, sisi gelap Damar tetap tersembunyi di dalam kegelapan.
...➰➰➰➰...
Nadine Alena Maharani adalah gambaran sempurna seorang wanita berkelas. Ia dikenal anggun dalam tutur kata, tenang dalam menghadapi masalah, dan selalu menjaga martabat keluarga di mana pun berada.
Meski berasal dari keluarga kaya, Nadine tidak besar sebagai wanita manja. Ia memilih jalan sendiri—membangun karier sebagai desainer busana, mendirikan butik eksklusif yang kini dikenal kalangan sosialita papan atas. Tapi sekalipun sukses secara mandiri, Nadine tidak pernah kehilangan sikap rendah hati.
Di balik kelembutannya, Nadine punya ketegasan yang tak bisa diremehkan. Ia bukan tipe istri yang suka bersuara keras, tapi justru karena ketenangannya, banyak orang segan. Ia tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus mengambil keputusan.
Saat menikah dengan Damar, Nadine benar-benar menyerahkan diri pada peran barunya sebagai seorang istri. Ia percaya bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga, dan sebagai istri, tugasnya adalah mendampingi, mendukung, dan menjaga keharmonisan keluarga.
Ketika mereka divonis sulit memiliki anak, Nadine merasa hancur. Tapi ia tidak menunjukkan kesedihannya secara berlebihan. Ia tetap berdiri di sisi Damar, menawarkan solusi lewat program inseminasi buatan. Ia setuju untuk mengadopsi Rara sebagai ibu pengganti, tanpa tahu bahwa keputusan itulah yang akan menghancurkan semua yang selama ini ia percayai.
Tapi siapa sangka, ketaatannya justru menuntunnya pada sebuah pengkhianatan yang tidak pernah ia duga—bukan dari dunia luar, melainkan dari orang yang paling ia cintai.
Langit mendung sejak pagi. Udara terasa lembap, angin sesekali meniup pelan dedaunan yang gugur di halaman kecil. Di ujung jalan sempit yang sudah jarang dilewati orang, berdiri bangunan tua bercat putih yang mulai pudar. Plang kecil bergoyang pelan di depannya, bertuliskan Panti Asuhan Kasih Bunda dengan huruf kayu yang sebagian sudah mulai mengelupas.
Di dalam ruangan utama yang baunya campuran antara karbol dan kayu lapuk, sepasang suami istri duduk di sofa usang yang dilapisi kain bermotif bunga-bunga. Mereka duduk rapi, sikapnya formal, sesekali bertukar pandang.
Di hadapan mereka, seorang perempuan paruh baya mengenakan kerudung sederhana sedang berbicara. Suaranya tenang, tapi tatapannya penuh pertimbangan.
“Jadi, kalian benar-benar ingin mengambil anak asuh? Tapi bukan bayi, ya? Remaja?” tanya perempuan itu—Bunda Rina namanya, kepala panti yang sudah bertahun-tahun merawat anak-anak di tempat itu.
Wanita yang duduk di sebelah suaminya mengangguk pelan. Ia tampak elegan, dengan riasan tipis dan pakaian rapi yang jelas menunjukkan kelas sosialnya. Nadine, begitu dia memperkenalkan diri.
“Kami sudah pikirkan ini baik-baik, Bu,” katanya. “Kami kerja dari pagi sampai malam. Nggak mungkin ngurus bayi. Kami butuh anak yang udah bisa jaga diri sendiri.”
Pria di sebelahnya, Damar, ikut bicara. Suaranya tenang, sedikit terlalu formal, seperti sedang menjelaskan rencana kerja ke klien.
“Kami akan sekolahkan dia di tempat bagus. Kasih tempat tinggal yang layak, fasilitas lengkap. Hidupnya pasti jauh lebih baik dari sini. Tapi… kami nggak mau terlalu ribet dengan proses legal. Cukup jadi keluarga asuh aja, nggak usah sampai adopsi resmi.”
Bunda Rina mengangguk pelan, lalu menghela napas. “Dan kalian nggak ingin… ya, membangun hubungan emosional dengannya?”
Nadine tertawa kecil. “Kami bukan tipe orang tua yang bisa selalu ada di rumah. Hidup kami sibuk. Tapi kami bisa pastikan dia nggak kekurangan apapun. Itu udah cukup, kan?”
Hening sebentar. Bunda Rina lalu berdiri sambil menepuk lututnya.
“Kalau begitu, mari ikut saya. Ada satu anak yang mungkin cocok. Dia pendiam, nggak banyak tingkah, pinter. Umurnya lima belas. Sudah cukup mandiri, seperti yang kalian cari.”
...➰➰➰➰...
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, seorang gadis remaja resmi tinggal di sebuah rumah mewah di kawasan elit kota. Bangunannya tinggi, bercat abu-abu muda, pagar besi hitam membentang di depan. Semua tampak rapi dan bersih, seperti katalog perumahan mahal.
Kamarnya luas, ber-AC, kasurnya empuk, lemari besar mengisi salah satu sisi, meja belajar di bawah jendela yang menghadap taman kecil. Semuanya terlihat sempurna. Tapi hening.
Ia jarang keluar kamar, kecuali kalau dipanggil. Waktu luangnya ia habiskan membaca atau menulis sesuatu di buku catatannya. Kadang ia duduk lama menatap langit-langit, mendengarkan jam dinding berdetak. Sepi sekali.
Sampai suatu pagi, terdengar ketukan pelan di pintu.
“Masuk,” katanya tanpa menoleh.
Seorang ART masuk membawa seragam sekolah baru dan sepasang sepatu putih yang masih dalam kotaknya.
“Nona Nadine minta kamu siap-siap. Hari ini kamu mulai sekolah. Mobilnya udah nunggu di depan,” ucapnya datar.
Gadis itu hanya mengangguk. “Oke,” katanya pelan. Wajahnya tetap datar. Nggak kelihatan senang, nggak juga sedih.
...➰➰➰➰...
Di lantai bawah, Nadine dan Damar sedang duduk di meja makan, menyelesaikan sarapan cepat. Dua koper besar berdiri rapi di dekat pintu. Mereka akan pergi—lagi. Entah untuk urusan kerja atau liburan, tidak ada yang tahu pasti.
“Rumah ini udah kamu kenal, kan?” kata Nadine sambil menyisip kopi. “Ada beberapa peraturan. Jangan bawa teman ke rumah, jangan cari masalah di sekolah. Fokus aja sama sekolah kamu.”
Damar menambahkan tanpa melihat ke arah gadis itu, “Kita nggak suka anak manja. Kamu bukan anak kandung kami, tapi kamu juga bukan pembantu. Jadi cukup bersikap biasa aja. Jangan ikut campur urusan rumah. Tutup telinga, tutup mata. Itu aja.”
Gadis itu hanya mengangguk. “Baik, Pak… Bu.”
Sebelum mereka pergi, Damar sempat menatapnya sejenak. “Kalau nanti kami butuh sesuatu dari kamu… kami harap kamu ingat semua yang udah kami kasih. Dan tahu diri.”
Setelah itu, pintu rumah tertutup. Suara mesin mobil menjauh, lalu lenyap.
Dan rumah itu kembali sunyi. Seperti biasa.
Di situlah hidup barunya dimulai. Rumah besar, kamar nyaman, sekolah bergengsi, tapi… semuanya terasa asing. Banyak hal yang bisa ia dapat, tapi sedikit sekali yang benar-benar bisa ia rasakan.
Ia hidup di tengah fasilitas, tapi jauh dari kehangatan.
Empat tahun telah berlalu sejak Rara pertama kali dipindahkan dari panti asuhan ke rumah megah yang terlalu dingin untuk disebut rumah. Kini usianya delapan belas, duduk di kelas akhir SMA internasional, dengan prestasi yang cukup membanggakan—meski tak pernah benar-benar membuat orangtua angkatnya tersenyum bangga.
Hidupnya cukup, tapi tak pernah utuh. Segalanya diberikan, tapi tak ada yang benar-benar mendekap. Ia tumbuh seperti tanaman yang disiram otomatis—tanpa sentuhan, tanpa suara.
Sore itu, Rara baru saja melepas sepatu di ambang pintu ketika ART rumah memanggilnya pelan.
"Nona Nadine dan Tuan Damar ingin bicara di ruang tamu. Sekarang."
Rara mengangguk. Napasnya sedikit berat. Jarang-jarang mereka memanggilnya dengan cara seperti ini. Ia melangkah ke ruang tamu—dan mendapati mereka duduk berdampingan, dengan raut serius. Sesuatu terasa... tidak biasa.
"Duduklah, Rara," kata Nadine, tajam tapi tetap dengan nada elegan.
Rara duduk perlahan, merapatkan tangannya di pangkuan. "Ada apa, Bu?"
Nadine menyilangkan kaki, lalu menatapnya dalam-dalam. "Kau sudah cukup besar untuk memahami sesuatu yang penting. Dan sebagai anak yang kami rawat selama empat tahun, kami rasa... kau siap untuk membalas budi."
Rara menatap mereka dengan bingung. "Maksud Ibu?"
"Dulu, saat kami membawamu dari panti, kami bilang kau akan hidup dengan layak, sekolah, makan enak, tempat tidur nyaman. Semua sudah kami berikan, bukan?"
"Iya, Bu. aku sangat bersyukur..."
"Bagus." Nadine menyandarkan tubuh, lalu melirik Damar yang hanya diam mendengarkan. "Tapi semua itu bukan tanpa tujuan, Rara. Aku dan Damar sudah bertahun-tahun mencoba memiliki anak. Kami lelah. Kami tak bisa lagi mengandalkan tubuhku."
Rara menatapnya, pelan-pelan mulai menangkap arah pembicaraan itu.
" Dan kami yakin... kau bisa jadi jawabannya. Kami ingin kau menjadi ibu pengganti."
Rara terpaku. "Ibu pengganti?"
"Inseminasi buatan. Tanpa hubungan fisik. Semua medis. Aman. Profesional," Nadine menjelaskan seolah menjual sebuah produk. "Kami sudah menghubungi klinik terpercaya. Dokternya sudah siap. Kau hanya perlu menjalani prosesnya... dan mengandung anak kami."
"Tidak..." Rara menggeleng, tubuhnya mulai gemetar. "Aku...aku masih sekolah, Bu... aku—"
"Justru karena kau masih muda, tubuhmu sehat dan kuat. Itu yang membuatmu sempurna untuk ini."
Nadine mencondongkan tubuhnya. Suaranya lebih rendah, tapi lebih menusuk.
"Rara, kami tidak sedang meminta. Ini adalah bentuk nyata dari membalas budi. Hidup yang kau nikmati sekarang... semua itu ada harganya. Dan ini saatnya kau bayar."
Damar akhirnya berbicara, pelan, tanpa emosi. "Kau tetap bisa sekolah. Kami akan pastikan semua berjalan baik. Ini hanya sembilan bulan."
Rara memejamkan mata. Dadanya sesak. Kata-kata mereka berdengung di kepalanya. Inseminasi. Ibu pengganti. Balas budi.
Tak ada yang terasa seperti keluarga dalam kalimat-kalimat itu. Yang ada hanya transaksi... yang sejak awal ternyata belum selesai.
Rara masih menunduk. Kepalanya penuh. Tangannya dingin.
Nadine berdiri dari duduknya, lalu berjalan pelan ke arah Rara. Ia duduk di sebelah gadis itu, nadanya berubah lebih halus tapi tetap terasa tajam di ujung.
"Ra, aku tahu ini berat. Tapi hidup itu memang nggak selalu tentang apa yang kita mau, kan?" katanya sambil menyentuh bahu Rara sekilas.
Rara tetap diam. Matanya menatap lantai.
"Kami udah kasih kamu segalanya. Sekolah bagus, rumah nyaman, fasilitas yang orang lain cuma bisa mimpiin. Kami nggak pernah nyuruh kamu kerja, nggak pernah bentak kamu, nggak pernah siksa kamu." Nadine menarik napas. "Sekarang cuma satu permintaan kami. Satu. Bantu kami punya anak."
Rara menoleh pelan. "Tapi kenapa aku? Kenapa bukan orang lain?"
Damar menjawab dari kursinya tanpa menoleh. "Karena kami percaya kamu. Kamu anak baik. Nggak neko-neko. Dan... kamu bagian dari keluarga ini, meskipun secara hukum nggak ada ikatan."
Nadine menyambung cepat, "Lagipula, kalau bukan kamu, kami harus bayar perempuan lain puluhan bahkan ratusan juta. Dan kami nggak mau anak kami tumbuh dari orang asing. kami sudah mengenal kamu."
"Tapi aku belum siap hamil," suara Rara mulai bergetar.
Nadine menatapnya. "Kamu nggak perlu ngurus bayi itu setelah lahir. Kamu nggak akan jadi ibunya. Kamu cuma bantu kami... nitipin dia di rahimmu sebentar. Sembilan bulan, Rara. Setelah itu, hidupmu balik lagi seperti semula."
" Kalau gitu apa aku boleh mengajukan syarat?"
" Katakanlah, kau ingin apa?" Jawab Nadine.
" Izinkan aku besok malam untuk pergi ke pesta temen ku di hotel."
" Of course tak masalah sayang." Kata Nadine lagi.
" Kalau gitu aku pamit tidur dulu selamat malam." Kata Rara berlalu pergi.
...➰➰➰➰...
Hari itu langit cerah, matahari nggak terlalu panas, dan di halaman sekolah, suara tawa anak-anak menggema di mana-mana. Istirahat jam kedua selalu jadi waktu paling rame. Lonceng baru aja bunyi, dan anak-anak udah nyebar ke mana-mana: ada yang ke kantin, ada yang duduk di tangga sambil makan bekal, ada juga yang sibuk gosip di bawah pohon mangga tua yang jadi tempat nongkrong legendaris di SMA Arunika.
Di salah satu bangku panjang dekat taman belakang, empat cewek duduk melingkar. Ada Naya, si cerewet dan paling update gosip. Lila, yang kalem tapi doyan ketawa. Tata, cewek tomboy yang nggak pernah lepas dari headphone. Dan tentu aja, Rara—si paling pendiam di antara mereka.
Naya lagi semangat banget cerita tentang cowok kakak kelas yang katanya baru jadian sama anak kelas X.
"Astaga, sumpah ya, Kak Aryo tuh baru aja jadian minggu kemarin! Padahal baru minggu lalu juga deketin si Caca. Cowok tuh emang... ya gitu, ganti-ganti terus!" kata Naya, mulutnya nggak berhenti ngoceh sambil sesekali nyeruput es teh dari gelas plastik.
"Fix, playboy beneran. Tapi tetep aja, yang ditaksir se-angkatan juga banyak, tuh," Lila nyeletuk sambil cekikikan.
"Aku sih tim Kak Rino," Tata ikutan nimbrung. "Nggak terlalu ganteng, tapi kalem, pinter, nggak neko-neko."
"Heh, Kak Rino tuh kayak bapak-bapak! Gayanya sopan banget," Naya nimpal sambil ngakak. "Tapi ya emang sih, aman buat diseriusin."
Ketiganya ketawa bareng. Tapi dari tadi, cuma satu orang yang nggak ikutan ketawa. Rara. Pandangannya kosong, matanya mengarah ke arah taman, tapi jelas bukan itu yang dia lihat.
Tata ngelirik pelan. "Ra..."
Nggak ada respons.
"Rara," ulangnya sambil nyenggol pelan bahu temennya itu.
"Hah?" Rara kaget sedikit, langsung senyum kecil. "Hehe, iya, kenapa?"
"Kamu ngelamun banget sih," kata Lila sambil mengerutkan kening. "Dari tadi kita pada heboh ngomongin cowok, kamu diem aja. Tumben. Biasanya juga paling nggak nyimak sambil senyum."
"Iya, kenapa, Ra? Lo lagi mikirin siapa?" goda Naya. "Jangan-jangan... ada cowok baru yang lagi deketin lo, nih."
Rara senyum sekilas, lalu geleng pelan. "Nggak... aku cuma kepikiran orang tua aja sih."
"Lah? Maksudnya?" tanya Tata penasaran.
"Iya, mereka lagi di luar kota kan, kerja. Udah beberapa hari nggak pulang, jadi ya... kangen aja."
"Ohhh..." kata Naya. "Kirain kenapa. Emang lo anak rumahan banget sih, Ra."
"Iya juga, ya," Lila nambahin. "Tapi wajar sih, rumah lo gede, sepi pula. Kalau orang tua sering keluar kota, lo pasti suka ngerasa sendiri ya?"
Rara cuma angguk pelan. Senyumnya tipis, tapi matanya tetap kosong. Mereka nggak tau. Mereka pikir dia anak tunggal dari keluarga kaya raya yang hangat dan bahagia. Mereka nggak pernah tahu kalau semua itu cuma topeng.
Dan Rara juga nggak berniat ngebuka itu. Karena dia tahu, sekalinya dia cerita... dia nggak akan bisa berhenti.
Naya ngecek HP-nya sekilas, terus senyum lebar. "Eh, by the way... lo pada dapet undangan juga gak dari Rizka?"
Lila langsung angkat alis. "Hah? Rizka? Rizka yang anak kelas kita itu?"
"Iya, dia. Rizka-Rizka yang itu. Yang bahasa jaksel ala glamor itu,Dia ngundang kita ke pestanya malam ini!"
Tata melotot. "Serius? Gue juga dapet sih. Tapi kayak... random banget gak sih?"
"Banget," jawab Naya sambil cekikikan. "Kayak, kita kan gak seberapa deket ya? Tiba-tiba aja dia ngajakin ke pesta ulang tahun. Tapi pas gue liat lokasinya... di Hotel Grand Mavira, boookk. Itu tempatnya biasanya buat acara pernikahan, gala dinner, yang kayak acara perusahaan gitu!"
"Astaga... ulang tahun apaan tuh kayak konferensi nasional," celetuk Tata.
Lila nyengir. "Bisa jadi emang keluarganya tajir abis. Tapi tetep aja, vibe-nya bukan kayak sweet seventeen anak sekolah biasa sih. Agak niat banget."
Rara duduk di seberang mereka, cuma nyimak sambil sesekali ngunyah pelan. Matanya keliatan kayak fokus, tapi kalau diperhatiin, jelas pikirannya lagi ke tempat lain.
Tiba-tiba Tata nyeletuk, "Ra, lo ikut gak nanti malem?"
Rara sedikit kaget, terus cepet-cepet senyum tipis. "Hah? Oh... iya. Kayaknya ikut deh."
"Ikut ya! Seruuuu. Biar rame," timpal Naya. "Kalau lo gak dibolehin nyokap bokap lo, bilang aja kita kerja kelompok. Nanti biar gue yang ngomong langsung. Tenang, aman!"
Rara nyengir dikit. "Enggak kok. Gue dibolehin. Gak masalah."
"Oh yaudah, makin enak. Berarti kita berangkat bareng ya. Jemput-jemputan kayak biasa," kata Lila semangat.
Rara langsung geleng pelan. "Gak usah deh. Gue bawa mobil sendiri aja. Sama sopir."
"Hah? Yakin? Enakan ramean loh. Kita sekalian karaoke-an di mobil," goda Tata sambil nyenggol lengan Rara.
"Gak papa. Gue sekalian pulangnya juga gak langsung. Mau pulang di luar aja."
Naya ngelirik Lila dan Tata, terus angkat bahu. "Yaudah deh, yang penting lo dateng. Kita ketemuan jam tujuh ya, depan lobi hotel."
"Oke," jawab Rara singkat.
Dan obrolan pun lanjut lagi, mereka mulai gosipin kira-kira siapa aja yang bakal dateng, ada cowok-cowok dari kelas sebelah gak, dan dresscode-nya gimana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!