Bis akhirnya memelankan lajunya, bersiap-bersiap berhenti karena sudah tiba di tempat tujuan. Bis ini membawa 20 mahasiswa dan mahasiswi yang tergabung dalam Kelompok Kerja Nyata (KKN) salah satu universitas ternama di Jawa Timur. Aku salah satunya.
Perkenalkan namaku Nala Ayu Kinanti, panggil saja Nala. Seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Sastra Inggris. Entah bagaimana nantinya, 20 orang yang dengan berbagai macam karakter dan kepribadian diharuskan bekerja sama selama satu bulan ke depan. Beruntung saja aku tipe ekstrovert, berhadapan dengan orang baru tentu bukan masalah besar bagiku.
Untuk saat ini aku mulai akrab dengan Salma, mahasiswi satu fakultas denganku. Hanya saja dia dari jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Penampilannya yang mengenakan gamis serta hijab yang lebar sejalan dengan pribadinya. Anaknya kalem, agak pendiam, tapi nyambung kalau diajak bicara.
"Na, tas kamu mana sini! Biar abang bawain!" Nah kalau ini namanya Radit, tipikal cowok buaya. Semua cewek juga diperlakukan sama seperti aku, dibuat merasa istimewa sampai melambung di atas langit lalu dihempaskan begitu saja ke dasar bumi.
Bukannya aku kenal dekat sampai tahu busuknya dia seperti apa. Nama Radit di seantero pelosok kampus memang sudah terkenal. Dan ternyata, aku satu kelompok dengan cowok ini.
"Nih sama koperku, sekalian sama punyanya Salma. Aku mau turun dulu. Bye! Ayo Salma!" segera aku menarik tangan temanku untuk meninggalkan bis.
"Kamu kok jahat banget sih Na, kasihan tahu Radit ngangkat segitu banyaknya"
"Lah, tadi dia sendiri kok yang menawarkan. Kasihan kalau ditolak" ujarku sembari cengengesan.
Selesai turun, kita semua disambut oleh Pak Karto. Salah satu perwakilan warga desa yang akan membantu kami sebulan ke depan. Kita berkumpul mendengarkan instruksi dari Pak Karto. Beberapa menit berlalu dan Pak Karto meninggalkan kita menuju kediamannya yang katanya berjarak 300 meter dari sini.
Rumah sementara yang akan kita tempati antara cewek sama cowok berdampingan. Dalam satu pagar juga. Mungkin pemiliknya dulu masih satu keluarga. Dan kalau dilihat-lihat, rumah sementara ini tampak cukup nyaman. Terdapat pohon mangga dan rambutan di samping kiri dan kanan. Pekarangannya juga lumayan luas.
Sibuk mengamati sekeliling, membuatku tidak sadar jika Pak Karto telah pulang dan teman-teman sudah mulai memasuki rumah.
"Nala!" Interupsi seseorang kepadaku.
"Eh iya?"
"Cepat masuk! Lebih cepat beres-beres lebih baik. Nanti bilangin anak-anak cewek kalau sudah selesai langsung kumpul di teras" ekhm! Kalau yang ini namanya Alif Muhammad. Ketua kelompok kami. Wajahnya mirip bule Arab, tubuh yang sempurna, wibawa yang terpancar di setiap perkataannya. Itu semua adalah turunan dari bapaknya yang tentara.
"Na?"
"Eh iya!" Haduh ini mata kok jelalatan banget sih!.
"Ini aku mau masuk ke dalam, nanti aku ngomong ke temen-temen kalau udah selesai" segera aku melenggang meninggalkan dia.
Aku berjalan menuju kamar yang masih kosong. Berhubung terdapat dua kamar tidur jadi kita dibagi menjadi dua. Yang satu kamar diisi empat anak, dan yang satunya diisi lima anak. Tentu saja aku langsung berbagi kamar dengan Salma, lalu ditambah Iren dan Tika.
"Tik, kasurmu agak geser sedikit dong! Sempit nih!" Protes Iren.
"Badan kamu aja Ren yang emang gede. Kalau aku geser-geser terus bisa nabrak pintu nih!" Haduh Tika, kalau ngomong kok suka bener. Wkwkwk.
"Badan gede begini berarti tandanya emak sama bapakku sukses mensejahterakan anaknya. Lha emang kamu Tik? Badan kurus kerempeng macam stik es krim" ya emang sih, kalau Iren sama Tika dijejerin gitu bisa bentuk formasi angka sepuluh.
"Sudahlah Ren, Tik! Cuma masalah tempat aja nggak perlu ribut. Tika, kamu bisa agak geser ke samping sedikit, nggak bakalan nabrak pintu kok. Kasihan Iren kalau kesempitan" Tika pun mengikuti perintah Salma. Memang ya, aura keibuan dari Salma itu ketara banget. Bakal jadi ibu asrama deh ini.
Jadi kita posisi tidurnya saling berhadapan. Dua di samping kanan dan dua di samping kiri dengan posisi saling beradu kaki.
"Aaaaaaa!!!!!!!" Suara teriakan terdengar dari kamar sebelah.
Ada apaan sih?
Suara cempreng bak guntur di siang bolong seperti ini. Siapa lagi kalau bukan Gea.
Bukannya enggak suka sama cewek satu ini tapi memang dari awal pembekalan KKN di kampus, aku merasa dia memang tidak menyukaiku. Pernah waktu itu aku mengajak berkenalan, eh dia dengan enggak sopannya memutar bola mata kepadaku. Siapa tidak kesal coba?
"Ada apa sih Ge?" Pertanyaan Iren mewakili kami berempat selaku penghuni kamar sebelah yang merasa terganggu.
"Tuh! Itu tuh! Ada ulat bulu!" Benar saja, kulihat ada dua ulat bulu berwarna merah dan hitam berukuran besar tengah berjalan-jalan santai di lantai kamar.
Aku yang melihatnya bergidik ngeri. Tampak teman-temanku yang lain berada di depan pintu kamar dengan wajah menegang.
"Cepet panggil anak cowok buat buang itu!" Panik Sita, si cewek paling cantik menawan, dengan badan semampai aduhai.
"Halah!! Enggak perlu manggil anak cowok. Cuma beginian aja apa susahnya sih" Tika maju bagai pahlawan kesiangan, mengambil beberapa lembar tisu dan mengambil dua ulat itu dengannya.
Hebat! Ini cewek enggak ada takut-takutnya sama sekali.
"Cepet dibuang itu Tik! Ngapain masih kamu pegang-pegang!" Nah, sampai Astri si cewek muka datar, tatapan lempeng, si super pendiam seribu bahasa kini menampakkan ekspresi ketakutannya.
Ini kok aku pengen ketawa ya, masa sih ekspresi pertama yang kulihat dari Astri malah ekspresi takut dengan kontur muka enggak terkondisikan begitu? Jatuh sudah citra Ice Girl yang selama ini kamu bangun As!
"Masa sama ulat imut ini kalian takut sih?" Tika sepertinya akan bertindak jahil.
Dia mulai berjalan ke arah kita sambil menunjukkan ulat-ulat itu.
Kita yang sudah takut setengah hidup langsung lari kocar-kacir entah ke mana. Dan dengan kampretnya, si Tika malah mengejar sambil tangannya di acung-acungkan.
Pluk!!
"AAAAAAAAAAAA!!!!" Ulat itu jatuh di lengannya Puput, karena kaget dan takut si Puput melempar ulat itu ke sembarang arah dan tepat mendarat di pipi gembul Iren. Sontak saja ulat itu langsung dikibaskan dan jatuh ke lantai dan diinjak oleh Iren tak berperikehewanan.
"TIKAAAAAA!!!!!"
Setelah beres-beres, sesuai yang dikatakan Alif tadi kita semua berkumpul di teras rumah para cowok karena memang memiliki teras lebih luas.
"Loh, yang ceweknya kok cuma tujuh? Mana Iren sama Puput?" Si buaya buka suara.
"Lagi di kamar, habis kena ulat. Kasihan banget badannya bentol-bentol" Gea dengan gaya centilnya.
"Kok bisa?" Alif rupanya berminat untuk ingin tahu.
"Gara-gara Tika tuh! Ulat dibuat mainan. Jahil banget jadi orang!" Sewotku mulai kambuh. Dan dengan santainya Tika cuma nyengir kuda. Pengen aku tabok mukanya.
"Ya sudah kalau begitu. Sekarang kita bahas perihal program yang akan kita laksanakan sebulan ke depan"
Oke, jadi kita cuma mematangkan program yang sebelumnya memang sudah dibahas pada waktu pembekalan sambil mengecek kembali perlengkapan kelompok yang khawatirnya ada yang ketinggalan. Sekaligus juga sebagai ajang untuk lebih saling mengenal satu sama lain.
Teman-teman baruku ini memiliki karakter yang berbeda-beda. Mulai dari Abdul, teman satu fakultasku ini memiliki sifat sedikit tengil. Kemudian Rangga yang juga satu fakultas denganku, Rangga ini seperti Astri versi cowok. Pendiam. Dan punya tatapan tajam. Kalau mukanya tegang bin serius kaya gitu, gimana perasaan anak-anak yang dia ajar? Ingin tanya mungkin takut kali ya kalau diterkam. Hehehe.
Nah kalau yang dari tadi cuma nyender di tiang teras sambil pegang hp itu namanya Ucup, nama aslinya sih Yusuf tapi memang dari teman-temannya manggil dia Ucup, ya aku ikut-ikutan dong. Ucup ini tipikal gamers akut. Jangan dekat-dekat sama dia kalau pas dia main game. Segala jenis hewan di kebun binatang bisa keluar semua dari mulutnya.
Bikin hati istighfar terus bawaannya. Apalagi kalau sampai Salma dengar.
Beuh!
Ceramah tujuh hari tujuh malam bisa enggak kelar-kelar.
Terus nih ya, anak cowok dari Fakultas Informatika itu kaya punya panggilan khusus gitu. Ya macam Ucup tadi contohnya, terus satu lagi yaitu Nopal. Nama aslinya sih Naufal.
Sama-sama suka main hp, tapi Nopal ini beda dari Ucup. Berbanding terbalik sama panggilannya yang terkesan lucu. Nopal ini suka banget nonton film sadis-sadis gitu. Semacam film psikopat gitu lah. Jadi ya aku agak takut sih dekat-dekat sama ini cowok. Mana satu kelompokku enggak ada yang dari jurusan psikolog lagi, jadi kan enggak ada yang tahu ini cowok pribadi aslinya mencontoh psikopat apa bukan. Jadi ya aku cuma berinteraksi seperlunya, memilih dalam zona aman.
"Oh iya, iuran makan sama keperluan yang lainnya jangan lupa! Enggak iuran bakal enggak dapat jatah makan!"
Wehh!! Rere sudah menunjukkan taringbya. Cocok banget lah jadi bendahara, orang galaknya enggak ketulungan kaya gitu.
"Bu bendahara kok sadis banget sih. Kalau enggak makan entar mati dong, kalau mati entar pada rindu" recehnya Wahyu kumat nih. Kita yang dengar cuma bisa menyorakinya. Cowok dari FEB ini hobi banget nge receh, katanya dia ingin membuat semua merasa bahagia meski sesaat.
"Nih aku iuran sekarang juga" kata Rendi sambil mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya.
Di antara yang lain, aku lebih dulu kenal Rendi. Iya lah, karena teman masa kecil dulu. Dari TK sampai SMA bareng terus. Eh ternyata waktu kuliah satu kampus juga. Bedanya dia memilih jurusan Ilmu Komputer. Lebih sesuai sama passionnya kata dia.
Bisa dikatakan Rendi ini semacam anak sultan lah. Keluarganya kaya banget!
Pernah dulu waktu kelas dua SMP, dia dapat juara dua. Girangnya enggak ketulungan, sampai-sampai mau nraktir sate kesukaanku. Tentu saja kusambut dengan senang hati.
Eh ternyata!
Waktu mau bayar dia lupa bawa uang!!! Jelas panik dong, aku juga enggak bawa uang. Dan tau enggak dia terus ngapain?
Dia otak-atik dompetnya terus bilang ke abang tukang satenya.
"Bang, pakai kartu kredit bisa nggak?" Aku pengen pingsan saat itu juga.
Dan karena itu pula aku mulai berpikir. Rendi beneran juara dua?
"Nah gitu dong!" Naluri bendahara mungkin, lihat uang matanya langsung berbinar. Kayak lampu 100 watt bersinar di balik matanya.
Hehehe.
"Oh ya, piket kebersihan bisa kalian lihat nanti di grup WhatsApp. Kalau masak biar fleksibel aja deh, cewek-cewek aja yang ngatur gimana enaknya" kita manggut-manggut mendengar kata Bayu. Sekeretaris kelompok kita.
Awalnya sih bukan Bayu yang menjadi sekretaris. Waktu pembentukan kepengurusan itu kita memilih Rangga. Eh si Rangga yang memang kelihatannya keberatan dia masang tatapan tajam andalannya itu. Sorot mata yang seolah-olah pengen makan orang itu sukses membuat kita meneguk ludah sendiri. Ngeri.
Dan dilakukanlah pemilihan ulang. Tiba-tiba Bayu dengan santainya angkat tangan mengajukan diri. Jadilah dia yang menjadi sekretarisnya.
Bayu ini memiliki hobi menulis. Katanya nge-fan banget sama Pidi baiq. Penulis novel Dilan itu. Dan pengen jadi penulis hebat sepertinya.
Nah, yang dari awal sampai akhir kegiatan tangannya pegang tripod lengkap sama kameranya itu namanya Indra. Dia seorang Youtuber. meskipun aku enggak tahu channel Youtube nya apa, katanya sih dia lumayan terkenal dan punya bayak subcriber. Tahu lah ya kalau cowok ganteng pegang gitar terus cover lagu-lagu gitu pasti banyak peminatnya. Karena itu juga dia terpilih jadi sie dokumentasi selama kegiatan.
Dan satu lagi, cowok yang duduk di sebelah kiri Alif namanya Fahmi. Nah cowok ini mahasiswa terpintar se-FK. Kalau kata teman yang sudah dekat sama dia, katanya Fahmi memang sudah pintar dari kecil. Juara satu terus coy! Enak gitu kalau satu kelompok ada yang bisa diandalkan otaknya. Kalau butuh ide tinggal tanya saja. Gampang!
Bapaknya juga punya rumah sakit sendiri, lumayan besar lah. Dan pastinya si Fahmi ini bakal menduduki kursi kebesaran CEO di rumah sakit itu. Keren banget punya teman CEO, semoga biar nular gitu suksesnya. Amiin.
Sampai sore kita pun memilih untuk kembali ke kamar masing-masing. Meski ada beberapa yang masih bertahan di teras buat ngobrol-ngobrol santai biasa.
Karena memang aku sudah lelah banget dari perjalanan dua jam tadi, mending istirahat aja.
Kalau Gea? Udah pasti masih disitu. Dari tadi aja nempel-nempel terus sama Radit. Kaya anak ayam takut kehilangan emaknya aja.
Dasar!
Ini perut kok enggak lihat kondisi dan situasi sih kalau mau lapar. Padahal masih enak-enaknya tidur. Jalan-jalan di Paris jadi ketunda deh!. Malas menghidupkan lampu kamar, kuambil ponselku dan meghidupkan fitur senter.
Aku obrak-abrik lagi isi tas yang sudah kususun rapi tadi. Peduli amat sama tas yang berantakan!, yang terpenting sekarang harus menemukan makanan. Naasnya aku Cuma menemukan dua bungkus roti sisa tadi di bis.
Memang sih aku cuma bawa sedikit makanan karena kupikir aku bisa membeli banyak ketika sampai di tempat KKN. Enggak nambah berat tas juga sih alasannya. Tapi perkiraanku salah. Perutku sudah lapar sekarang. Dan kayanya enggak bisa ditahan sampai besok. Dengan sangat memprihatinkan kulahap dua bungkus roti itu. Yang penting bisa mengganjal lapar. Pikirku.
Puk!
Ada yang memukul bahuku dari
belakang dan sukses membuatku tersedak karena kaget. Buru-buru kucari botol air minumku.
”Apaan sih?” kutatap tajam wajah Iren. Meski seharusnya yang kesal itu dia karena aku sudah menganggu tidurnya. Biarin aja lah. Toh dia juga sudah buat aku tersedak makananku sendiri.
“Kamu itu berisik! Kupikir ada kucing yang menyelinap masuk kamar. Ternyata kamu!. Ngapain sih?”
“Lagi makan lah Ren. Masa iya lagi jaga lilin” raut muka kesalku tiba-tiba hilang sejak terlintas sesuatu di otakku.
Menurut pendapatku, orang yang memiliki badan terlewat subur macam Iren ini pasti punya banyak stok makanan. Coba masang muka memelas ah!
“Tiba-tiba lapar Ren. Eh, pas nyari makanan di tas ternyata sisa dua roti” lalu kutengok dia sedang mencari sesuatu di dalam tasnya.
“Nih makan!” dia menyerahkan sekantong kresek hitam yang berisi makanan padaku.
Benar kan! Iren pasti punya banyak cadangan makanan. Buktinya dia ngasihnya satu kantong kresek hitam penuh. Ada keripik, biskuit, wafer, sama beberapa lembar roti tawar berlapis selai yang siap makan.
Iren baik hati deh!
“Totalnya empat puluh ribu!”
WHAT??!!!
Kutarik lagi kata-kata hatiku yang bilang dia baik hati.
Melihat mukaku yang kaget bercampur kesal yang entahlah bagaimana bentuknya. Dia langsung ketawa puas tapi dengan suara yang lirih.
“Bercanda kali Na! Udah sana lanjutin makannya. Tapi jangan berisik! Aku mau lanjut tidur lagi” sedetik kemudian dia sudah berada pada posisi tidurnya. Enggak butuh waktu lama dia sudah tertidur lengkap dengan dengkuran halusnya.
“Uhuk-uhuk! Ekhm!” ternyata makan banyak biskuit buat aku tersedak yang kesekian kalinya. Dan sialnya minumanku sudah habis. Terpaksa aku berjalan gontai ke dapur untuk minum.
Sayup-sayup aku mendengar suara seperti orang yang sedang muntah-muntah. Kuhampiri saja kamar mandi yang memang terletak bersebelahan dengan dapur.
“Ya ampun Astri!, kamu ngapain muntah-muntah kaya gini?” kupijat tengkuk lehernya supaya muntahannya keluar semua dan membuat dia merasa lebih baik.
Meski jijik juga sih awalnya.
“Masih mabuk perjalanan mungkin” katanya setelah menuntaskan segala isi yang ada di perutnya.
“Kasihan banget kamu As!, sampai pucat gitu mukanya” dia manggut-manggut membenarkan.
“Emmm.. kotak P3K tadi kutaruh dimana ya?” gumamku pada diriku sendiri.
Dengan gaya menggaruk-garuk kepala yang enggak gatal. Mencoba mengingat letak barang itu.
Memang sudah menjadi kebiasaan buruk bagiku untuk mudah lupa dengan beberapa hal. Paling kesal kalau sampai lupa sesuatu yang penting, lalu berakhir dengan ceramah yang dilontarkan oleh temanku atau orang yang bersangkutan denganku.
Masih muda tapi pelupa.
Dasar aku!!!
“Tadi kan kamu taruh di lemari dekat ruang tamu Na” oh iya! Kutepuk dahiku pelan. Iya lah, kalau keras-keras nanti sakit.
“Yasudah, aku ambil minyak kayu putih dulu ya biar enakan badannya” tawarku
“Nggak perlu. Biar aku ambil sendiri, kamu lanjut tidur aja”
Kupikir-pikir sebentar. “Oke deh kalau gitu, cepat sembuh ya As!” dan dia menjawabnya dengan anggukan kepala ditambah seikit senyuman.
Ingat! Se-di-kit.
Namanya juga Astri, si wajah minim ekspresi yang habis transmigrasi dari kutub selatan ke Jawa Timur.
Minggu yang cerah menemani kita yang lagi sibuk di dapur. Sibuk ngomong sih lebih tepatnya. Masih membagi tugas. Salma yang pakai gamis ala rumahan, ada yang masih pakai piyama tidurnya, adalagi si Gea sama Sita yang pakai hot pants memamerkan paha mulusnya. Sedang aku seperti biasa, celana training sama atasan kaos warna pink dengan gambar huruf-huruf Korea. Meski enggak tahu artinya juga sih. Yang penting berbau Korea pasti aku suka.
Berhubung Salma yang jadi ketua Sie Konsumsi, kita iya-iya aja nurut apa kata dia. Hari pertama ini kita memang mengisi persediaan dapur, jadi belanjanya di pasar. Lebih murah. Kalau buat besok dan seterusnya bisa belanja ke tukang sayur keliling.
“Yang belanja anak dua, Gea sama Nala. Kalian yang pergi ke pasar ya. Nanti ajak dua anak cowok buat belanja yang berat-berat”
Aku sih nurut-nurut aja mau disuruh kemana pun. Tapi yakin nih aku sama Gea?
Lihat mukaku saja bawaanya kaya pengen makan orang gitu. Jutek banget.
Tapi ya sudahlah!
“Re, mana duitnya?” kataku, sambil mengambil dua tas belanjaan dan memberikan yang satunya ke Gea.
Rere kemudian mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya.
Kita berempat bergegas keluar rumah dan menjumpai beberapa anak laki-laki yang tengah membersihkan halaman. Ada lagi yang tengah bersantai, ataupun yang lagi lari-lari kecil keliling rumah.
“Rendi! Ikut kita ke pasar yuk!” Rendi yang memang cuma duduk-duduk santai menuruti kataku. “Sama ajak satu anak cowok lagi” ucapku.
“Woy! Ada yang mau ikut ke pasar nggak nih?”
“Aku aja! Aku!” Indra teriak-teriak dari dalam rumah berlari ke arah kita.
“Yaudah ayo berangkat!” kataku semangat.
“Eh. Bentar! Tungguin bentar, jangan ditinggal dulu!” ini lagi. Mau kemana sih Indra balik lagi ke rumah?
Dua menit kita menunggu, dia sudah keluar dengan membawa kamera lengkap dengan tripodnya.
Dasar Indra! Setiap saat, setiap waktu, pasti enggak bisa lepas dari nge-vlog. Mau isi konten di Youtube katanya. Entar dikasih judul “Cowok ganteng pergi ke pasar”
Dasar narsis!
Kita berhenti sebentar di rumahnya Pak Karto, meminjam sepeda motornya untuk nanti dikendarai oleh Indra dan Rendi. Untuk mengangkut beras dan kawan-kawannya yang berat.
Dan kampretnya, itu dua anak malah ninggalin kita berdua naik sepeda motor. Enggak setia kawan banget!
Jarak antara rumah dan pasar sekitar tiga kilometer, dan jarak dari rumah ke jalan besar untuk naik kendaraan umum sekitar satu kilometer. Kebayang enggak tuh capeknya?!
Ketika sampai di pasar, mereka dengan tampang tak berdosanya malah cengar-cengir nongkrong di parkiran pasar. Apalagi si Indra, sudah sibuk dengan kameranya.
“Hai guys! Sekarang aku mau belanja ke pasar nih, nemenin emak-emak tercinta!” terus kameranya mengarah ke aku dan Gea. “Say hi dong!”
Dan Gea pun mulai beraksi. Dari yang pose sok manis, sok keren, sampai sok imut yang jatuhnya buat eneg.
Kameranya kini beralih ke wajahku. Segera kuangkat tas belanjaan yang kupegang untuk menutupi wajahku.
“Udah ah! Sekarang langsung belanja. Keburu siang. Panas!” kubuka ponselku, membuka note yang berisi daftar belanjaan karya Salma, dan melihatkannya ke anak-anak.
“Ini daftar belanjaan kita. Khusus Rendi sama Indra belanja yang berat-berat, nanti aku sama Gea belanja bumbu-bumbu sama sayur” ucapku mengatur posisi.
Aku membagikan uang ke anak cowok buat belanja dan mengancam mereka untuk tidak menghabiskan uang itu untuk keperluan mereka. Awas aja kalau sampai ketahuan!
Selama berbelanja aku dan Gea berbincang seperlunya. Bertanya kemana kios yang akan dituju, berdebat nama bumbu antara jahe dan lengkuas yang ternyata jawabannya adalah kencur. Mempermalukan diri kita sendiri pada akhirnya.
“Ge, aku mau ke toilet nih! Titip belanjaannya ya!” kataku lalu menyerahkan tas berisi belanjaan padanya dan langsung lari mencari toilet umum.
Selesai dengan urusan panggilan alam, kembali ke tempat semula.
Deng!
Kok Gea enggak ada di tempat tadi?
Masa iya di ninggalin aku gitu aja? Kejam banget.
Tak putus asa, aku pun mencari ke bagian lain pasar. Bukannya ketemu, malah tambah tersesat. Mau balik lagi ke tempat awal enggak bisa. Sudah lupa jalannya. Aku rogoh saku celanaku.
Sial.
Ponselku tertinggal di tas belanjaan! Terus bagaimana ini???
Lima belas menit berlalu kakiku pegal untuk berdiri. Aku memilih menepi di samping kios yang berjualan makanan tradisonal. Aku berjongkok, mengusap air mataku yang perlahan turun. Traumaku kembali lagi. Bukannya sekali, dua kali, aku tersesat di tempat umum seperti ini. Sudah berulang kali bahkan. Membuat takutku semakin menjadi.
Bapak-bapak pemilik kios mungkin kasihan melihatku. Dia menghampiriku sambil memberi jajan. Kue lapis dan kue cucur.
“Mbaknya kenapa? Kok nangis?”
Sumpah! Aku malu banget harus nangis di depan umum kaya gini. Tapi apa boleh buat? Masa iya aku mau tenang-tenang saja padahal kondisiku tidak baik-baik saja.
“Terima kasih pak. Saya cuma tersesat dan pisah sama temen saya. Jadi nangis deh ini, takut nggak bisa pulang” aku tersenyum. Lalu menertawakan diri sendiri.
Setelah berbincang sebentar dengan bapak-bapak tadi, aku memilih kembali menyusuri pasar dan bertanya-tanya arah jalan keluar pasar.
Aku hanya bisa bernapas lega sebentar setelah bisa keluar dari pasar. Kini aku harus berpikir lebih keras lagi untuk menghapal jalan pulang. Daripada berputar-putar mencari jalan pulang dengan angkutan umum yang jelas akan menguras uang, aku memilih untuk berjalan kaki.
Lelah berjalan, aku menghampiri mas-mas penjual es doger. Beli satu mangkok lalu melahapnya di depan ruko yang sedang tutup.
Lalu aku melihat sepasang kaki berhenti di hadapanku. Aku mendongak ke atas. Dan terpampanglah wajah seorang Radit.
“Darimana aja sih Na? Semua orang panik nyari kamu tau nggak? Ditelpon nggak diangkat-angkat, kita pikir kamu hilang tau?!”
Tes.
Air mataku kembali menetes.
Nih orang kok jahat banget sih? Bukannya nenangin malah bentak-bentak.
Dia pikir aku tersesat itu kemauanku gitu?!
Padahal jelas-jelas aku yang ditinggal disini. Kalau enggak mau repot nyari aku ya gak usah ikut! Enggak perlu pakai bentak-bentak segala!
Kekesalanku hanya dapat kuutarakan dalam hati. enggak bisa buat ngomong karena aku masih nangis sesenggukan.
“Hei Na! Kok nangis? Maaf kalau aku buat kamu nangis” aku tepis tangannya kasar yang hendak menggenggam jemariku.
“Beneran Na, aku nggak niat buat bentak kamu. Aku cuma khawatir” kulihat gurat kejujuran di matanya. Tapi ya aku tetap saja kesal sama dia.
Kuhapus jejak air mataku sebentar, lalu memalingkan muka darinya dan beralih pada es dogerku yang masih sisa setengah. Mubadzir kalau disia-siakan. Ditengah-tengah asiknya makan es doger, aku merasakan tangan si Radit menacak rambutku.
Lah. Sejak kapan dia duduk di sampingku?
Kupelototi wajahnya yang membuatnya menghentikan aksi tangannya itu.
“Pulang” kataku setelah mengembalikan mangkok dan membayarnya di mas-mas tadi.
“Bentar, aku telpon yang lain dulu” dia merogoh saku celananya dan mengambil ponsel berlogo apel tergigit ulat itu.
Tak berselang lama setelah dia menelpon, tampak Rendi dan Alif yang menaiki sepeda motor mengahampiri kita. Aku enggak percaya, si ketua pemikat hati ikut turun tangan juga. Tapi sedikit kecewa juga sih. Kenapa yang nemuin aku malah Radit, bukannya Alif aja.
“Nala, aku minta maaf ya. Beneran deh aku nggak tau kalau kamu masih di dalam pasar. Tadi aku sama Indra disuruh pulang duluan sama Gea. Setelah itu nggak tau deh kenapa yang balik cuma mereka bertiga” hmmm... macam sudah direncanakan.
“Yaudahlah gak apa-apa, yang penting sekarang aku mau pulang” aku segera beranjak pergi bertepatan dari angkutan umum yang terlihat mulai mendekat.
“Bareng sama aku aja Na!” ini nggak salah dengar kan? Radit sama Alif kompak banget.
“Makasih. Aku sama Rendi aja” tanpa minta persetujuan darinya, aku menarik tangan Rendi untuk segera naik angkutan umum yang barusan datang. Meninggalkan mereka berdua yang masih terdiam di sana.
Ternyata kasus tersesatnya aku tadi pagi masih dibahas sampai sekarang. Alif mengusutnya sampai tuntas. Hingga sore ini, aku dan Gea didudukkan bersama. Di ruang tamu. Berasa kaya mau di BK.
“Gea, bisa jelaskan kenapa kamu tadi dengan sengaja meninggalkan Nala?” gayanya Alif sudah seperti detektif saja.
“Nala tuh lama banget ke toiletnya, anak-anak di grup juga udah nyuruh buat cepet-cepet pulang. Jadi ya aku suruh aja si Indra sama Rendi pulang duluan. Terus aku pulang sendiri naik angkot. Kupikir dia juga pasti hapal sama jalan pulang, eh taunya kesasar”
WHAT!?
Jadi sepuluh menit itu lama? Alibinya nggak cocok banget.
Yahh, daripada memperpanjang masalah yang nantinya makin memperkeruh suasana, aku memilih menyudahi masalah ini. Lagipun aku sudah pulang dan dalam keadaan selamat juga.
"Sudahlah Lif, orang akunya juga sudah di sini. Yaudah aku mau ke kamar dulu, capek" setelah berkata demikian, aku beranjak menuju kamarku. Berbaring sebentar dengan earphone yang menyumpal kedua telingaku.
Hari ini sungguh melelahkan!
Hari pertama menjalankan program kerja. Aku, Salma, Abdul dan Rangga sudah bersiap-siap. Abdul sama Rangga yang kompak mengenakan atasan batik berwarna coklat dengan bawahan celana bahan berwarna hitam, sedangkan Salma dengan batik berwarna ungu muda dengan rok hitam panjang dan lebar, jangan lupa juga dengan kerudung yang menjuntai sampai perutnya. Dan aku dengan batik berwarna biru langit dan rok span hitam panjang dan rambut panjangku yang kuurai begitu saja.
Tinggal berangkat ke Sekolah Dasar dimana tempat kita mengabdi selama dua puluh hari ke depannya. Selama perjalanan banyak penduduk setempat yang menyapa. Bahkan tidak segan-segan menawarkan kami untuk mampir ke rumahnya.
Ada juga yang secara gamblang menyapa Rangga dengan genitnya. Tapi Rangga tetap pada cueknya. Aku sedikit tertawa juga melihat raut muka kesal mbak-mbak yang tadi menggoda Rangga.
Sorry mbak. Raja kutub tidak semudah itu dicairkan. Hohoho..
"Rangga" aku memanggilnya pelan karena kutahu dia pasti sudah mendengarnya.
"Hmmm" gitu doang?
"Kamu tuh jadi orang jangan dingin-dingin amat kenapa? Kasian tahu sama murid-murid yang mau kamu ajar. Masa iya guru sama tembok nggak ada bedanya. Datar" aku mengungkapkan unek-unek yang mengganjal sejak awal bertemu dengannya.
"Udah dari cetakan awal begitu kali Na" kelakar dari Abdul membuahkan tawa kita bertiga, kecuali Rangga tentunya. Si empunya nama sudah mengeluarkan jurus andalannya.
Tatapan dingin menggetarkan.
Kita berempat sampai di tempat tujuan setelah perjalanan satu kilometer yang tidak terasa karena Abdul yang mengeluarkan candaan receh tak bermutunya, tapi berhasil membuat kita tertawa. Isinya sudah pasti tentang Rangga, meski diselingi dengan godaan ke Salma. Membuat rona wajahnya memerah karena malu.
Beberapa guru menyambut kita antusias. Dengar-dengar dari Pak Karto, kita adalah kelompok KKN pertama yang mengabdi di desa ini. Jadi maklum kalau hampir semua warga desa menyambut kita dengan suka cita sampai dengan suka cinta. Wkwkwk.
Pak Mahmud selaku kepala sekolah memperkenalkan kita pada guru-guru yang mengajar di sini. Terdapat delapan guru, berasal dari berbagai kalangan usia.
Kalau yang paling tua namanya Pak Yayang, umurnya sekitar lima puluh lima tahunan. Mengaku memiliki banyak kekasih karena hampir semua orang memanggilnya "Yang". Ya jelas kali pak, masa manggilnya "Yay". Dasar, kelakuan berondong tua.
Nah, guru yang paling muda disini namanya Mbak Ida. Lulusan tahun kemarin, jadi masih muda lah ya. Dua tingkatan di atas kita. Dia anaknya Pak Mahmud, ceritanya sih dipaksa jadi guru di sini. Padahal Mbak Ida punya cita-cita mengejar pendidikan strata dua di luar kota nan jauh sana.
Tapi dilarang oleh bapaknya, katanya cukup mengejar S1 saja lalu kembali mengabdi di desa. Kalau dipikir-pikir benar juga alasan Pak Mahmud. Kalau anak muda seperti Mbak Ida semuanya pergi dari desa, maka kualitas sumber daya manusia di sini juga akan menurun.
Jadi kita berempat diantar oleh Mbak Ida untuk berkeliling sekolahan. Dari tadi aku lirik, ketara banget Mbak Ida menaruh hati pada Rangga. Kalau ibarat di sinetron-sinetron alay, pasti akan keluar gambar hati dari kedua mata Mbak Ida tiap bicara atau melihat Rangga. Kedua bola matanya sampai berbinar-binar begitu. Aku akui, pesona raja kutub memang tak dapat disembunyikan.
"Terus sekarang gimana perasaan Mbak Ida setelah dipaksa ngajar di sini?" rasa kepoku mulai kambuh.
"Ya begitulah. Seiring berjalannya waktu mulai nyaman juga ngajar anak-anak kecil. Emang pada dasarnya aku dari dulu udah suka sama anak kecil jadi ya cepat menyesuaikan diri"
"Salut deh sama Mbak Ida! Semoga mendapat berkah karena mengikuti perintah orang tua" kita semua mengaminkan apa yang Salma ucapkan.
Sekarang sampailah kita di ruang kelas. Kalau dilihat-lihat sekolahannya sama seperti SD pada umumnya, tidak seburuk yang terlintas di pikiranku. Aku pikir sekolah yang akan kuajar akan tampak seperti sekolah pada daerah pelosok yang sering kulihat di tv. Atap bocor, berlantai tanah, bangku-bangku yang mulai keropos termakan usia, dan berbagai kerusakan lainnya.
Padahal di sini tidak seperti itu.
Kondisi bangunan cukup bagus, tidak ada atap yang bolong ataupun bangku yang tidak layak. Paling-paling hanya coretan-coretan di meja dan di dinding hasil karya kreatif tangan para murid di sini. Lantainya pun keramik berwarna putih. Bahkan di sini terdapat kantin kecil supaya anak-anak tidak jajan sembarangan di luar.
Hanya satu yang kurang di sini. Yaitu tenaga pengajar yang minim. Kata Pak Karto, di sini memang pemuda dan pemudinya memilih berhenti bersekolah setelah lulus SMA bahkan SMP. Itu pun mereka langsung merantau ke luar kota dengan harapan mencari penghidupan yang lebih baik. Walau tidak sedikit juga yang memilih menikah lalu membantu orang tuanya di perkebunan.
Sangat sedikit memang yang meneruskan pendidikannya ke jenjang perkuliahan, itu pun hanya anak orang-orang tertentu.
Sesuai jadwal yang ada, aku dan Rangga memasuki ruangan kelas tiga sedangkan Salma dan Abdul memasuki ruangan kelas lima.
Dimulai dengan perkenalan terlebih dahulu.
"Assalamu'alaikum adek-adek!"
"Wa'alaikumsalam!" Mereka menjawab salamku dengan semangat.
"Sebelumnya perkenalkan, nama kakak Nala Ayu Kinanti panggil saja Kak Nala. Dan di samping Kak Nala ini..." aku mengkode Rangga dengan mengkedip-kedipkan sebelah mataku.
Berharap dia menangkap maksudku untuk memperkenalkan dirinya sendiri.
Padahal dalam hati aku sudah ketar-ketir sendiri. Bagaimana kalau Rangga dengan enaknya cuma bilang "Saya Kak Rangga" kan enggak banget. Aku sudah berdoa dalam hati supaya si raja kutub ini sedikit melelehkan es-nya. Seenggaknya biar terlihat ramah begitu di depan anak-anak.
"Halo semuanya! Perkenalkan nama kakak adalah Kak Rangga. Selama beberapa hari ke depan Kak Rangga dan Kak Nala akan membantu mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris. Kita berharap adik-adik dapat meningkatkan kemampuan berbahasa inggris. Siap pintar Bahasa Inggris?!"
"Siaapp!!!"
Jder!!!
Bagai disambar petir di siang bolong.
Ini benar Rangga kan?
Kok jadi berbeda seratus delapan puluh derajat gini?
Mana mukanya jadi ekspresif lagi. Beda banget sama kesehariannya yang kaya es batu. Oohh aku tahu, jadi perubahan ini cuma buat anak-anak.
Baguslah! Jadi mereka enggak merasa takut kalau belajar bareng Rangga.
Selama pelajaran aku mendapati seorang siswi yang menantapku terang-terangan sambil senyum-senyum. Oke, aku biarkan terlebih dahulu.
Bahkan sampai istirahat pun dia masih begitu!
Aku jadi mikir, apa ada yang aneh dengan penampilanku?
"Rangga!"
"Hmm!" Dia masih memasukkan buku-bukunya dalam tas.
"Rangga ih! Lihat sini dulu!"
"Apa?" Akhirnya dia menoleh.
"Ada yang aneh sama penampilanku?" Dia meneliti dari tas ke bawah.
"Enggak"
"Atau mukaku ada coretan spidolnya?"
"Enggak"
Terus apa dong?!
Karena penasaran, kuhampiri saja anak itu. Dia tampak akan memakan bekalnya. Ketika tahu aku menghampiri mejanya, dia kelihatan girang banget.
"Hai!"
"Hai kak!!"
"Kak Nala boleh tahu enggak siapa nama kamu?" Tanyaku setelah duduk di kursi kosong sebelah tempat duduknya.
"Tiara kak!" Oohh jadi ini yang namanua Tiara. Anak Pak Kades yang sempat diceritakan oleh Mbak Ida sebelum masuk tadi.
"Wahh! Namanya bagus! Tiara setiap hari bawa bekal ya?" Kataku untuk basa-basi.
"Iya. Soalnya kata ibu, Tiara enggak boleh jajan sembarangan" aku mengangguk paham.
"Oh iya, Kak Nala mau tanya. Dari tadi Tiara natap Kak Nala terus ya?"
"Iya!" Nah kan!. Berarti dari tadi aku enggak merasa ke-PD an. Memang faktanya seperti itu.
"Kenapa?" Tanyaku. Lalu dia mengisyaratkan lewat gerakan tangannya agar aku lebih mendekat. Ternyata dia membisikkan sesuatu.
"Soalnya Kak Nala cantik!"
Blush.
Dipuji terang-terangan gini bisa buat pipiku langsung merona.
"Terima kasih!" Ucapku. Dia membalas dengan senyuman ceria.
"Emm.. Kak! Tiara boleh manggil Kak Nala dengan panggilan Kakak cantik apa tidak?"
Ha?!
Seriusan mau manggil begitu?
Pasti malu aku kalau sampai ada yang dengar. Nanti dikira narsis lagi. Tapi kalau ditolak takutnya nanti dia sedih.
"Iya boleh" terpaksa deh bolehin.
"Yey!!!" Tanpa aba-aba dia langsung memeluk dan mencium pipiku. Aku pun melakukan hal yang sama.
Dan isitirahat siang ini aku dipaksa makan bersama Tiara. Padahal aku sudah menolak, tapi dia tetap memaksa. Malah air matanya sudah ada di pelupuk mata gitu. Kan gawat kalau dia sampai menangis. Jadilah sekarang aku suap-suapan dengan Tiara.
Baru hari pertama merasakan jadi guru sudah seperti ini. Pasti akan banyak lagi kejadian yang akan kuhadapi, karakter berbeda dari setiap murid, juga tingkah-tingkah mereka jika aku menjadi guru sungguhan nanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!