NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Dokter Amber

Flashback

(Untuk yang belum baca 'Mendadak Menikah', baca dulu yah, biar ngerti... 😚😚😚)

*****

Amber hanya bisa terdiam setelah Demian meninggalkan kamar rawat inapnya dengan langkah yang gontai serta wajah yang kusut. Sarah sangat berarti bagi pria itu, sampai-sampai tidak berkenan melihatnya sedikit pun.

"Listen, Amber. Aku pun akan mengatakan ini kepada Sarah. Jika dia tidak ingin bersamaku hanya karena kau, aku tidak akan memaksanya kembali padaku. Jika dia menginginkan aku kembali bersamamu agar dia tenang, aku sangat rela kehilangan dia. Aku tidak punya waktu untuk sentimental kalian yang kekanakan. Kenapa kau harus menyiksa diri jika sudah tahu kita tidak bisa bersama. Dan mengapa Sarah pun harus menyiksa diri kalau memang dia mencintai aku. Kalian terlalu kekanak-kanakan...I am done with you, both."

Kalimat panjang itu terngiang-ngiang di kepala Amber. Berulang kali sampai membuat kepalanya pusing.

Demian sangat marah saat tahu kalau aku masih mengharapkannya. Lalu, apa dia dan Sarah bertengkar hanya karena aku? Aah ini pasti ulah Karen.

Amber meraih ponselnya dan menghubungi nomor sahabatnya itu. Karen adalah seorang Wedding Organizer dan Demian juga mengenalnya karena pernah diperkenalkan oleh Amber. Mereka juga sering melakukan double date sebelum Amber di mutasi ke Papua.

"Halo beb..." terdengar sapaan santai dari Karen di seberang sana.

"Ren, kemarin itu, pas lo nelpon gue, lo sadar nggak kalau Sarah dengar pembicaraan kita?"

"Emang. Gue sengaja kali nelpon di toilet. Gue tau dia ada di dalam," lagi, Karen masih menanggapi dengan santai.

"Astaga Ren!!!! Itu udah bikin mereka berantem tau nggak?? Lo gila ya??!" emosi Amber benar-benar tersulut mendengar kejujuran yang menyedihkan dari mulut sahabatnya itu. Apa yang ada di pikiran Karen sampai berbuat sejahat itu?

"Emang itu tujuannya beb. Gua kesel lihat mereka. Bisa-bisanya mereka happy di atas penderitaan lo."

"Itu bukan urusan lo, Ren! Barusan Demian datang ke gue. Lo justru bikin hubungan kita jadi makin hancur, tau??"

"Demian datangin lo? Trus lo udah jujur kalau lo emang masih cinta??"

"Karen! Close tour mouth! Nggak semua harus diucapkan. Aku dan Demian itu masa lalu. Aku menghargai rumah tangga mereka. Gue mau lo ikut sama gue, minta maaf sama Sarah!"

"Iyuhh, ogah gue. Secara gue emang sengaja pengen bikin dia hancur kok. Gue nggak suka sahabat gue hancur gara-gara mereka."

Amber semakin emosi. Karen benar-benar keterlaluan. "Oke, kalau gitu nggak usah anggap gue sahabat lo lagi. Gue nggak mau punya sahabat yang picik kayak lo!"

Amber memutuskan sambungan telepon dengan perasaan yang berkecamuk. Napasnya terengah-engah menahan marah dan air mata. Karen sudah kelewatan. Kalau sudah begini dia harus segera membereskan urusannya dengan Sarah. Dia tidak ingin menjadi benalu dalam rumah tangga orang lain. Apalagi seharusnya mereka akan melangsungkan resepsi pernikahan dalam waktu dekat.

*****

Sebenarnya Amber sakit bukan karena Demian dan Sarah. Karen memang sangat kelewatan. Karena kesibukannya sebagai Dokter Umum, Amber memang sering melewatkan jam makannya. Itulah yang membuatnya kerap kali masuk ruang rawat inap sebagai pasien.

Kali ini dia butuh waktu yang cukup lama untuk pemulihannya. Sehingga rencana untuk bertemu Sarah harus menunggu sekitar dua minggu. Dia sangat ingin menjelaskan semuanya lewat telepon, tapi menurutnya itu kurang etis untuk menyelesaikan sebuah kesalahpahaman.

Dan hari ini, dia sudah keluar dari kamar pesakitannya. Dia sudah mengirimkan pesan singkat pada Sarah untuk bertemu di sebuah kafe. Untungnya wanita baik itu mengiyakan ajakannya. Amber tahu Sarah berhati lembut.

And here she is... sedang menunggu Sarah sambil menyeruput air jeruk yang di pesannya. Sebenarnya dia sedikit gugup. Image-nya sudah jelek karena ulah Karen. Dia harus berusaha meyakinkan Sarah untuk kembali pada Demian.

"Mba Amber..." Sarah tahu-tahu muncul di hadapannya dengan senyum yang sangat manis, ceria, sebagaimana Sarah biasanya. Dia cukup pintar menutupi hatinya yang sedang kacau dan terluka.

"Eh, Sar... duduk duduk..." Amber mempersilahkan. "Aku udah pesan minum duluan, nggak apa-apa ya?"

"Iya, Mba, nggak apa-apa. Mba Amber udah lama ya? Tadi macet banget, Mba."

"Enggak kok, baru aja kok. Pesen dulu, Sar," Amber menyodorkan buku menu dan Sarah menerimanya. Sebelum memulai obrolan yang cukup serius, Amber ingin memastikan perut mereka kenyang.

Sarah memanggil waiter dan memesan rice bowl simpel dan iced lemon tea. Setelah itu waiter-nya pergi dan Sarah kembali fokus ke Amber.

"Mba Amber sudah sehat?" Sarah memulai dengan senyum manisnya.

"Udah, Sar. Kau tau aku sakit?"

Sebenarnya pertanyaan klise. Sudah pasti Sarah mengetahuinya karena Karen menyinggung itu saat mereka bertelepon.

"Oh, nggg... sempat tau dari Demian..." Sarah tiba-tiba sadar kalau dia mengetahui perihal Amber sakit dari percakapan Karen di toilet. Dia mendadak merasa bodoh sendiri.

Amber tersenyum, "Sar, kau pasti mendengar obrolanku dengan Karen ya?"

"Eh? Ngg..."

"Sar, sebenarnya kau pasti udah tau kan tujuanku mengajakmu ketemuan?" tanya Amber lembut. Tidak ada nada mengintimidasi sama sekali.

Sarah mau tidak mau mengangguk kecil, "Soal Demian ya Mba?"

"Bukan soal Demian, Sar. Soal kalian berdua."

"Hmm... iya, Mba. Gimana Mba?" Sarah masih canggung. Di pikirannya Amber adalah wanita yang masih sangat mencintai suaminya. Dia sebenarnya tidak tahu harus bersikap bagaimana sekarang. Dia takut salah bicara.

"Sepertinya waktu itu Karen sudah membuat kalian salah paham. Aku meminta maaf atas namanya..."

....

"Sebenarnya aku sakit sama sekali tidak ada hubungannya dengan kau dan Demian. Mag-ku memang sudah berkali-kali kambuh dan waktu itu aku diharuskan dirawat sekitar tiga minggu. Ini juga baru banget keluar dan langsung mengajakmu ketemuan."

Sarah hanya mendengar saja, tidak tau harus menanggapi bagian mana. Dia membiarkan Amber melanjutkan kata-katanya. Sepertinya memang harus seperti itu.

"Kau dan Demian sudah baikan, kan?"

Sarah mencoba mencerna pertanyaan sederhana Amber. Dia harus jawab apa? Dia tidak ingin merusak citra rumahtangganya. Memangnya Demian sudah bilang apa saja kepada wanita itu?

"M... kita baik-baik saja kok, Mba..." Sarah berbohong. Tidak mungkin dia membeberkan kondisi rumahtangganya yang sedang kacau.

"Beneran? Aku senang kalau semisal iya. Jadi aku nggak terbeban lagi..."

"M... maksudnya, Mba?"

"Dua minggu yang lalu Demian datang. Sepertinya dia ingin mengklarifikasi apa yang kau dengar dari Karen. Demian bilang kau minta kejelasan hubungan kami. Benar begitu, Sar?"

"Mm..." Sarah menggaruk lehernya yang tidak gatal. Pertanyaan itu terlalu blak-blakan seakan menelanjangi dirinya.

"Tidak perlu sungkan, Sar. Aku tau ini menyangkut privasimu dan Demian. Tapi aku harus meluruskan kesalahpahaman ini. Aku nggak mau menjadi penyebab renggangnya rumahtangga kalian."

Waiter datang mengantar pesanan Sarah. Mereka terpaksa menjeda obrolan mereka.

"Maksud Mba Amber, gimana Mba? Justru saya yang merasa sudah menjadi penyebab renggangnya hubungan Mba dan Demian."

Amber tau Sarah sangat sungkan padanya. Hati wanita itu memang sangat lembut. Pantas saja Demian sangat jatuh cinta padanya.

"No, Sar. Aku sudah tau tentang perasaan Demian padamu sejak pertama kami bertemu. Demian sudah menjelaskan semuanya padaku kalau dia sudah punya tambatan hati dan itu sekretarisnya. Dia juga memberitahuku kalau untuk sementara kalian belum bisa bersama karena kau masih bersama kekasihmu. Tapi Demian selalu menunggumu. Aku sudah mengetahui itu bahkan saat kami akan berpacaran."

Sarah terdiam. Benarkah demikian? Jadi Mba Amber tetap menjalin hubungan dengan Demian meskipun dia sudah tahu hati Demian tidak akan pernah ada untuknya?

"Sejujurnya aku sedikit berharap kelak dia akan luluh dan ingin mencoba serius denganku. Tapi kesibukanku sebagai dokter yang harus pindah sana sini justru membuat komunikasi kami kurang bagus. Eh, sambil makan aja, Sar..."

"I... iya, Mba..." Sarah pun mulai mengaduk-aduk rice bowl-nya. Menyendokkan sedikit nasi dan lauk, lalu memasukkan ke dalam mulutnya.

"Jadi, kemarin sepertinya Karen sudah membuatmu salah paham dan membuat kalian berdua bertengkar. Sebenarnya itu tidak perlu, Sar. Aku dan Demian sudah selesai baik-baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekarang kalian sudah bersama dan sudah seharusnya demikian. Aku sudah lama mengikhlaskan kalian berdua."

Sarah meneguk minumannya, "Ehm ... sebenarnya saya marah ke Demian, karena dia berbohong soal Mba Amber yang sudah punya kekasih di Papua."

"Oh itu..." Amber tersenyum, "Aku memakluminya Sar, dia mungkin tidak ingin kehilangan kesempatan bisa bersamamu. Not a big deal, kau tidak perlu marah karena itu."

"Tapi tetap aja, Mba, saya merasa dibohongi."

Amber menyeruput air jeruknya lagi, "Tapi Demian juga tidak sepenuhnya bohong kok, Sar..."

"Maksudnya, Mba?"

"Aku memang sedang dalam upaya rujuk dengan mantan suamiku..."

*****

Jangan lupa like, comment dan vote-nya ya readers... love you 🥰🥰

Empat tahun kemudian.

Amber menatap amplop yang terletak di atas meja kerjanya. Bisa dia tebak isinya adalah surat keputusan perihal pemindahannya ke tempat kerja yang baru. Dia sudah berada di Surabaya selama empat tahun lebih dan itu cukup lama mengingat biasanya dia dimutasi setiap satu tahun sekali.

Sedikit banyak itu cukup membantunya, karena sekarang dia benar-benar sudah melupakan kisahnya bersama Demian. Dia bahkan baru menyadari bahwa sepertinya dia tidak mencintai pria itu sepenuhnya. Dulu sepertinya dia hanya terobsesi, akan hal apa, Sarah pun sudah tidak mengerti.

Jakarta. Dia akan kembali ke ibu kota Negara ini. Kembali ke kota kelahirannya dan kediaman orangtuanya. Ke kota dimana ada Demian dan juga Sarah yang kini sudah punya anak laki-laki lucu bernama Arsen.

Ah iya, sekarang hubungan mereka sudah seperti teman dekat. Arsen memanggilnya Tante Dokter karena setiap kali Amber liburan sebentar dan mereka bertemu, Sarah selalu bilang kalau dia adalah seorang Dokter. Sarah juga sudah tidak sungkan lagi padanya. Mereka sudah seperti kakak adik sekarang. Dengan Demian? Mereka juga kembali menjadi teman layaknya sebelum pacaran dulu.

Satu-satunya hal yang ditakutkan Amber jika kembali ke kota itu adalah, mengingat masa lalu yang sudah ia kubur rapat-rapat. Cerita kelamnya sekitar delapan tahun yang lalu, sebelum dia memutuskan untuk menjadi seorang dokter dan pergi jauh dari orang-orang itu. Dia... hanya menakutkan itu.

*****

Amber kembali ke kediaman orang tuanya. Dia sengaja tidak memberitahu perihal mutasinya karena bermaksud ingin memberi kejutan pada ibunya yang sudah menginginkan itu sejak lama. Benar saja, kehadirannya yang tiba-tiba itu cukup mengejutkan kedua orangtuanya yang sedang bersantai di ruang keluarga.

"Loh? Kok bisa??" bukannya menyambut, mamanya malah bertanya kebingungan, apalagi melihat putri bungsunya itu membawa koper-koper besar yang dibawakan oleh pekerja mereka.

"Mama ini gimana sih? Bukannya dipeluk, malah ditanya kok bisa. Ya bisalah, kan ini rumah mama papa, udah pasti pulang ke sini dongg."

"Tapi koper-kopermu? Kok dibawa semua?"

Amber memeluk mamanya yang masih kebingungan itu. Mereka cipika-cipiki sebentar. "Mulai besok aku ditugaskan di Rumah Sakit Cakrawala, Mam."

"Serius??? Aaaaaa ... akhirnya anak mama pulang ke rumah!!!" baru deh mamanya histeris dan memeluk Amber dengan antusias. Wanita paruh baya itu memeluk putrinya erat-erat saking terlalu bahagia.

"Papa nggak dipeluk nih?" pria berwajah keras yang masih duduk di sofa itu sedikit menyindir. Wajahnya ditekuk karena Amber seperti melupakan dirinya.

"Papaa ... jangan ngambek dong. Ini dipeluk," Amber berganti memeluk papanya. Dia meringkuk di pelukan pria itu seperti anak kecil yang rindu pelukan hangat seorang ayah. Ya, Amber memang sangat merindukan orangtuanya. Setelah delapan tahun pindah sana sini, akhirnya dia akan menetap di kota dimana orangtuanya berada. Meskipun dia belum tahu persis berapa lama dia akan ditugaskan di sini sebelum akhirnya nanti akan dimutasi lagi.

"Kamu serius ditempatkan di Rumah Sakit Cakrawala, Sayang? Itu kan Rumah Sakit yang cukup besar. Swasta lagi. Biasanya kau kebagian yang punya pemerintah," mamanya kini duduk di sebelah sofa suaminya.

"Iya, Mam. Aku juga nggak ngerti kenapa bisa. Aku cuma mengikuti surat perintah. Katanya di sana lagi kekurangan dokter umum yang kompeten," Amber beranjak dari pelukan papanya dan bergerak ke arah kopernya. Mengeluarkan oleh-oleh yang ia bawa dari Surabaya dan meletakkannya di atas meja.

"Kerjanya mulai besok banget? Kamu nggak istirahat dulu?"

"Mama kayak nggak tau aja gimana papa dulu. Memangnya papa pernah istirahat?" Amber mendelik sambil membuka satu kotak kue dan mencomot isinya. Dulu papanya memang berprofesi sebagai dokter juga. Tapi karena satu hal, pria itu berhenti bertugas dan sekarang sibuk mengurus bisnis properti miliknya.

"Iya sih, tapi kamu pasti capek. Ya sudah, sekarang istirahat dulu aja. Untuk sementara tidur di kamar tamu dulu, sebelum kamarmu selesai dibersihkan si bibi."

"Siap, Nyonya. Ya sudah, aku naik dulu ya Ma, Pa... nanti bangunin kalau mau makan malam ya Mam. Daahhhh..." Amber masih mengunyah kue dalam mulutnya saat berpamitan untuk naik ke lantai dua.

Sepeninggal Amber, kedua orangtuanya saling bertatapan. Wajah khawatir keduanya tidak bisa disembunyikan. Tanpa saling berbicara pun mereka sama-sama tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka masing-masing.

"Papa mengerti apa yang ada di pikiran mama sekarang?" Diana, mama Amber berbisik kecil. Khawatir Amber masih bisa mendengar pembicaraan mereka.

"Iya, Ma. Mudah-mudahan ketakutan kita tidak terjadi," Frans menimpali sama pelannya.

*****

Amber memilih untuk langsung tidur dan meninggalkan barang-barangnya di bawah. Dia tahu mamanya pasti akan menyuruh pegawai mereka untuk membawanya ke kamarnya yang sedang dibereskan Bi Santi. Amber memang kelelahan karena flight-nya tadi hanya berjarak satu jam dari tugas terakhirnya.

Namun hampir saja matanya berhasil terlelap, ponselnya mendadak berbunyi dan Amber berjanji akan mengutuk si penelepon.

"Woyyy!! Udah di Jakarta lo??"

"Aah Rennnnn! Awas lo ya! Gue udah mau tidur lo ganggu aja!"

Iya, itu Karen. Mereka sudah kembali akur setelah dulu Amber benar-benar tidak ingin berhubungan dengan sahabatnya itu selama berbulan-bulan, sampai akhirnya Karen mau meminta maaf pada Demian dengan kesadarannya sendiri.

"Hehehe, sori beb, gue excited banget habisnya. Gua bakalan punya temen lagi buat diajak clubbing," jawab Karen dari seberang.

"Your Wish, Beb. Besok aja gue udah mulai kerja tau? Padahal baru nyampek juga. Pengen istirahat tapi lo malah ganggu."

"Hahaha, oke oke. Gue cuma mau mastiin lo udah nyampek. Besok gue main ke er-es tempat lo kerja deh. Kemarin lo bilang er-es apa? Gue lupa."

"Cakrawala, Beb ..."

"Cakrawala? Serius lo?"

Amber mengira Karen sama terkejut seperti mama dan papanya karena itu Rumah Sakit Swasta. Rumah Sakit besar dan memang terkenal sangat bagus di kota ini. Dokter umum seperti Amber memang jarang sekali mendapat kesempatan untuk bekerja di tempat yang se-bagus itu. Amber bisa mengerti.

"Iya, Beb, i know. Lo pasti kaget kan karena nggak biasanya gue ditempatkan di Rumah Sakit swasta gitu?"

Karen terdiam sebentar, tidak yakin ingin melanjutkan kalimatnya karena takut ini akan menyakiti Amber. Tapi masak Amber tidak tahu sama sekali?

"No no ... faktanya lo nggak tau isi kepala gue, Beb. Lo yakin mau kerja di sana?"

"I have no choice, gue ditempatkan di sana, Beb. Bukan gue yang pilih. Kenapa memangnya???"

"Itu kan Rumah Sakit bokapnya mantan suami lo."

DEG!!!

Amber langsung terduduk dari posisinya yang sebelumnya sudah rebahan. Matanya membulat sempurna. Apa kata Karen tadi???

"Serius lo, Ren??????"

"Yaelah, lo dimutasi kagak pernah browsing-browsing dulu gitu soal tempat kerja baru lo? Coba aja search di Go*gle. Cakrawala itu punya siapa..."

Amber berdebar hebat. Tangannya pun langsung bergerak cepat mencari aplikasi berselancar bernama Go*gle di ponselnya, setelah dia mematikan sambungan teleponnya dengan paksa. Kalau Karen benar, matilah dia.

*****

Amber tidak bisa bersemangat lagi. Tubuhnya lunglai sepanjang sisa hari. Benar sekali, Rumah Sakit yang akan ia datangi besok sebagai lahan baru tempatnya mencari nafkah adalah milik mantan mertuanya, Fransisco Ellordi. Apa yang harus dia lakukan?

Amber termenung menebak-nebak kenapa dia harus dimutasikan ke sana. Apakah ada yang menyabotase pihak pembuat keputusan itu? Ah, impossible. Keluarga mantan suaminya mana mungkin boro-boro masih mengingatnya, setelah delapan tahun berlalu. Apalagi di kunyuk Chris, mantan suaminya itu. Mana mungkin dia masih mengingat Amber kan?

"Sayang?" Diana mengurai lamunan Amber yang ia lakukan di meja makan. Diana dan Frans sudah memperhatikannya sejak tadi.

"Eh, iya Mam..." Amber tersenyum kecut. Lalu dia mengaduk-aduk kwetiau di hadapannya dengan sikap hidup segan mati tak mau.

"Kamu kenapa, Sayang? Bukannya tadi siang sudah puas tidurnya?"

"Ngg... Mam... aku mau tanya sesuatu..."

"Tanya apa?"

"Mama sama Papa tau kalau Cakrawala itu punya Om Fransisco?"

Diana dan Frans tertegun seketika. Tentu saja mereka tau. Itu sebabnya tadi mereka cukup heran saat Amber memberitahu mereka dengan gampang perihal pemindahannya ke Rumah Sakit bergengsi itu. Mereka yakin Amber belum tahu dan itu cukup meresahkan. Dan benar saja, entah bagaimana putri mereka akhirnya tahu dan dia jadi seloyo ini.

"Iya sayang, Papa dan Mama tau. Makanya tadi siang kami sedikit kaget pas kamu bilang dipindah ke sana. Apa kamu sebelumnya benar-benar nggak tau, Nak?" Diana bertanya lembut dan Amber hanya menjawab dengan gelengan.

"Ini juga taunya karena tadi teleponan sama Karen, Mam. Jadi, aku harus gimana ya Mam? Pa? Aku takut jadinya..."

Diana dan Frans saling bertatapan lagi. See? This is not good for their daughter.

"Kamu nggak bisa mengajukan pindah lagi? Atau itu sudah keputusan final?" Frans ikut bertanya.

"Kalau belum final, tiket penerbangan ke Jakarta nggak akan dikeluarin sama perusahaan, Pa..."

"Hmm..." Frans membenarkan posisi kacamatanya dan bertopang dagu. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang.

"Kalau besok kamu nggak datang, konsekuensinya apa?" lanjut Diana lagi.

"Mam, kalau yang itu bisa tanya ke Papa deh. Apa konsekuensi seorang Dokter yang mengabaikan surat tugas."

Mereka bertiga lalu hening untuk beberapa saat. Seakan kebuntuan serempak mendatangi pikiran mereka.

"Ya sudahlah. Kita tinggal berdoa saja supaya Om Fransisco tidak ada di sana. Dia hanya pemilik Rumah Sakit itu kan? Dia mana mungkin stay di sana sepanjang hari. Iya kan? Ya, sepertinya memang begitu..."

Amber berucap seraya tersenyum, seperti ingin memberikan ketenangan bagi kedua orangtuanya. Meskipun sebenarnya dia sendiri juga sangat butuh ditenangkan, mengingat peluangnya untuk bertemu mantan suaminya pasti ada, sekalipun itu peluang kecil.

*****

Jangan lupa like, comment dan vote-nya ya readers... love you 🥰🥰

Help me!

Positive mind and positive thoughts. Itulah yang menjadi prinsip Amber pagi ini. Jika dia tidak mungkin menghindar dari tugas, dia hanya perlu banyak-banyak berdoa supaya dia tidak bertemu dengan siapa pun dari masa lalunya di Cakrawala Hospital.

Dia hanya perlu sangat sibuk di hari pertamanya agar dia tidak punya waktu untuk bersantai memikirkan ketakutannya. Ya, dia hanya dokter umum biasa. Tidak mungkin keberadaannya akan diketahui si empunya perusahaan kan?

Amber turun dari mobilnya yang sudah terparkir di area parkir umum. Dia menatap gedung megah tinggi di hadapannya. Kemegahan itu mengingatkannya kembali pada mantan mertuanya yang sangat kaya. Fransisco Ellordi adalah pengusaha yang cukup terkenal di kota besar ini. Kekayaannya itu membuat anak sematawayangnya, Chris Ellordi menjadi salah satu anak pengusaha blasteran Indo-Amerika yang banyak diidolakan masyarakat awam. Kebayang nggak sih punya suami kayak bule gitu, trus kaya raya?

Tapi sayangnya para fans-nya itu tidak tau bagaimana childish-nya pria bernama panjang Christofan Ellordi itu. Dia sama sekali tidak pantas disebut sebagai pria. Amber sangat beruntung bisa terlepas darinya setelah tiga tahun menjalani rumahtangga yang kacau karena sikap kekanak-kanakan pria itu.

Ah, sudahlah... Amber tidak ingin mengingatnya lagi. Dia berharap tidak akan pernah bertemu pria itu lagi.

*****

Kedatangan Amber tidak terlalu menarik perhatian. Dia hanya mendapat sejumlah sapaan selamat datang dan selamat bergabung dari rekan-rekan kerjanya. Berhubung dia adah dokter umum, dia ditempatkan di lantai dasar bersama dokter dan perawat umum lainnya. Ruangannya juga berada di lantai yang sama dan honestly dia takjub dengan ruang kerjanya.

Ini sih lux banget. Nggak salah gue dapat fasilitas ruangan begini? Dia bergumam memuji dalam hati. Sempat ingin bertanya kepada kepala dokter yang tadi menyambutnya, tapi pria berambut putih itu sudah pergi entah kemana.

Dia meletakkan tasnya dan duduk di kursi empuk yang dia taksir pasti brand mahal punya, dengan kualitas terbaik. Ah, mantan mertuanya itu kan memang kaya raya, wajar saja semua fasilitas kelas satu seperti ini. Kalau pakai yang biasa-biasa aja kan bisa dipertanyakan kekayaannya.

"Hmm..." dia memejamkan kedua matanya sebentar. Aroma ruangan itu pun berhasil membuatnya rileks. Lumayan baik untuk membangun mood positif sebelum lima belas menit lagi dia mulai patroli, menyapa pasien-pasien yang akan menjadi tanggung jawabnya.

Setelah puas dengan ruangannya, Amber pun beranjak menuju ruangan kepala dokter umum yang tadi. Dia akan diantar berkenalan ke pasien yang menjadi tanggungjawabnya dalam waktu dekat. Amber kembali membangun afirmasi positif dalam dirinya bahwa dia pasti bisa bonding dengan pasiennya dan bisa menjadi dokter yang akan menolong mereka menuju kesembuhan.

"Nona Amber, pasien anda ada di lantai delapan, kamar VVIP. Mari saya antar ke sana."

Hah?? Kok bisa? Pasiennya adalah pasien VVIP? Nggak salah? Dia kan dokter baru, masak langsung dikasih pegang pasien high class??

"Maaf, Dok. Saya nggak salah dengar, Dok? Pasien VVIP?" tanyanya memastikan.

"Iya. Kenapa? Anda nggak mau tangani?" Dokter bernama Wicaksono itu melirik sebentar sambil membereskan meja kerjanya.

"Bukan begitu, Dok. Saya hanya takut ada kekeliruan. Saya kan masih dokter baru, belum pantas menangani pasien yang ada di kelas VVIP. Tapi jika kebijakan Rumah Sakit sudah demikian, saya akan melakukan tugas dan tanggung jawab saya dengan baik," Amber segera menjelaskan maksudnya sebelum Dokter Wicaksono menilainya tidak profesional.

"Good. Ikut saya sekarang."

Amber mengikuti Dokter Wicaksono keluar dari ruangan, lalu masuk ke lift yang akan membawa mereka ke lantai delapan gedung ini.

"Kalau boleh tau, pasiennya sakit apa ya, Dok?" Amber bertanya sambil menunggu lift sampai di lantai delapan.

"Bagaimana kalau nanti Dokter Amber saja yang lihat langsung kondisi pasiennya dan memberitahu saya?"

Amber mengerutkan keningnya. Apa dia sedang diuji???

"Oh, begitu. Siap Dok," Amber tidak bisa mengelak dengan kata-kata apapun. Kredibilitasnya sebagai Dokter sedang dipertaruhkan. Dia harus banyak berdoa supaya pasiennya tidak rewel, sehingga dia bisa melihat gejala-gejalanya dengan baik.

Tingg!!!

Suara berdenting itu membuat jantung Sarah tiba-tiba berdegup kencang. Pasien VVIP itu biasanya orang dari kalangan pejabat, pengusaha, pokoknya orang kaya raya. Biasanya sebagian besar dari mereka punya karakter jutek, keras kepala dan apa-apa pasti mengandalkan uang. Ingin cepat sembuh tapi suka bandel kalau dilarang ini itu, dengan alasan harusnya dokter bisa lakuin apa saja karena sudah dibayar mahal. Huffttt...

Seumur-umur menjadi dokter umum, Amber jarang sekali berhubungan dengan pasien high class. Lebih tepatnya dia yang menolak meskipun lahannya cukup basah, alias banyak duitnya. Dia lebih mementingkan kesehatan jantungnya daripada kesehatan kantongnya. Karena pada dasarnya tujuannya ingin menjadi seorang dokter adalah bisa bermanfaat untuk semua orang, bukan hanya demi uang semata.

"Silahkan masuk, Dokter..." Dokter Wicaksono membuka pintu kamar tersebut setelah ketukannya mendapat sahutan dari dalam.

Amber pun melangkah masuk, tapi hanya tiga langkah. Setelah itu dia menunggu Dokter Wicaksono untuk masuk juga dan menutup pintu kamar.

Amber sempat melihat calon pasiennya sekilas. Orang itu sedang duduk di atas brankar sambil membaca koran yang menutupi seluruh wajah dan tubuhnya jika dilihat dari tempat wanita itu berdiri. Dari bentuk otot tangannya, orang itu adalah laki-laki.

"Selamat pagi Tuan, Dokter Amber sudah di sini..."

"Baik, Dokter. Anda bisa keluar. Biarkan Dokter Amber tinggal di sini."

"Baik. Permisi, Tuan," Dokter Wicaksono memberi hormat lalu melempar senyum kecilnya pada Amber. Amber yang kebingungan karena disuruh tinggal, sementara Dokter itu disuruh keluar.

Sepeninggal Dokter Wicaksono, Amber masih belum punya firasat apa-apa. Pria di atas kasur itu malah masih asyik dengan korannya. Amber merasa benar-benar sedang diuji dan dia memutuskan untuk bersabar. Cakrawala Hospital adalah rumah sakit bergengsi. Pasien umumnya saja mungkin sudah dari kalangan menengah ke atas, apalagi yang VVIP. Dia harus menjaga sikap agar tidak dipecat di hari pertama kerjanya.

"Apa kabar, Dokter Amber?" tanya suara itu dari balik korannya. Dia menanyakan kabar? Memangnya mereka pernah bertemu sebelumnya??

"Kabar saya baik, Pak. Oh iya, Pak, saya harus segera memeriksa Bapak. Apa bisa kita lakukan sekarang?"

"Oke, come here..."

Amber sama sekali tidak takut. Dia melangkahkan kakinya dengan percaya diri mendekati brankar itu. Tangannya sudah bersiap dengan stetoskop yang menggantung di lehernya sebelum tiba-tiba pria itu menurunkan korannya dan membuat Amber terkejut setengah mati.

Seperti gerakan slow motion, pria itu melipat koran yang sedari tadi ia pegang, lalu melemparkan pandangannya pada Amber yang kini sudah berdiri di dekat kasurnya.

"Kau??!!!!!" Amber membulatkan matanya seakan tidak percaya. Bagaimana mungkin dia tidak mengenali suara itu sejak tadi??

"Halo, mantan istriku?" pria yang tidak lain adalah Chris itu tersenyum penuh kemenangan melihat wajah pucat Amber. Kedua bola mata wanita itu bahkan hampir keluar saking terkejut melihatnya.

"Kau?! Jangan bilang ini semua sabotasemu??!" tanya Amber dengan sedikit penekanan. Benar kan firasatnya? Mutasinya kali ini sepertinya ada sabotase. Mana pernah dia dipindahkan ke RS Swasta.

"Kalau iya kenapa? Kau tidak suka?" Chris meletakkan koran tersebut di atas nakas lalu mengambil posisi tidur dengan kedua tangan dijadikan bantal kepalanya. Amber yakin seratus persen pria itu tidak sedang sakit.

"Jelas. Kau merusak citraku sebagai seorang Dokter. Aku tidak bersedia ditempatkan di sini, asal kau tau," jawaban ketus Amber jelas-jelas menunjukkan kekesalannya karena Chris dan mungkin keluarganya sudah seenak hati mengatur karirnya sebagai Dokter. Bagaimana mungkin mereka tega melakukan itu? Tujuannya apa?

"Tapi kau di sini sekarang dan kontrak kerjamu sudah diperpanjang selama lima tahun ke depan. Mau kabur?"

Amber tidak bersedia membalas tatapan Chris yang diakuinya sedikit berbeda dari Chris yang dulu. Pria itu sudah menjadi lebih dewasa dari wujud dan penampilannya. Tapi sifatnya masih tetap kekanak-kanakan bukan?

"Terserahlah. Yang pasti aku tidak bersedia bekerja di lantai ini. Aku akan menangani lantai satu saja."

"Sayangnya keputusan itu ada di tanganku, Nona. Aku direkturnya. Oh iya, Nona atau Nyonya? Secara hukum kau masih istri sah ku."

"Bodoh amat. Aku keluar."

Pergelangan tangannya tahu-tahu dicekal oleh pria bertubuh kekar itu. Amber tidak bisa menghindari sekarang dia sudah berada di atas tubuh Chris.

"Apaan sih?! Lepas!!!"

"Masih keras kepala seperti dulu?" Chris menekan tubuh Amber lebih kuat lagi.

"Apa urusanmu, ba*gsat! Lepas!"

"Wow, delapan tahun melanglang buana ternyata membuatmu sedikit lebih berani. Good girl."

"Lepas!!" Amber memberontak. Sekarang pria itu memeluknya dengan intens dan mulai mencium puncak kepalanya. Darah Amber mendidih dan ingin marah. Dia seperti mendapat pelecehan seksual.

"Iya, sebentar lagi dilepas. Tapi ingat, tugasmu di kamar ini. Kalau kau tidak datang sesuai prosedur jam kerjamu, aku akan memecatmu," setelah itu Chris benar-benar melepaskan Amber. Tidak ada berapa detik wanita itu langsung melesat kabur dari ruangan sialan itu.

*****

Amber menghempas pintu ruangannya dan menguncinya sebanyak dua kali. Dia harus menenangkan diri dan dia khawatir Chris akan mengikutinya.

"Sialan! Kenapa bisa ketemu lagi?? Oh Tuhan! Bagaimana caranya aku bisa profesional jika pasiennya adalah dia??" nafas Amber naik turun tidak beraturan. Tangannya gemetar, juga kakinya bahkan sekujur tubuhnya.

Chris Ellordi. Entah bagaimana sekarang pria itu menjadi pemegang kekuasaan di Cakrawala Hospital. Entah bagaimana pula dia bisa mengatur pemindahan Amber ke rumah sakit itu. Jelas sekali semuanya sudah di setting sedemikian rupa. Amber saja yang tidak sadar.

Amber bergidik saat dia tiba-tiba membayangkan kalau selama ini ternyata Chris masih memantaunya. Buktinya pria itu tahu dia sudah delapan tahun menjadi dokter dan pindah tugas ke sana sini. Jangan-jangan Chris selalu memata-matainya? Tapi untuk apa? Bukannya si kunyuk itu setuju-setuju saja saat Amber minta cerai dulu??

"God God God, help me! Aku harus bagaimana?" Amber menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Mencoba mengatur pernapasan agar paniknya berkurang.

Amber perlu teman curhat! Sekarang!

Dia mengambil ponsel dan men-dial nomor Karen. Entah memang kebetulan sedang santai, teleponnya langsung tersambung dan Karen mengangkatnya.

"Gimana, Beb? Udah mulai kerja?"

"Ren, gawat!!!!!"

"Apa? Kenapa? Lo ketemu mantan mertua lo???"

"Enggak, Ren. Lebih gawat dari itu. Gue ketemu Chris. Dia dirut Cakrawala Reeennnnnn!!!! Mati gueeeeeeeeee..."

******

Jangan lupa like, comment dan vote-nya ya readers... love you 🥰🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!