Suasana pagi di desa membawa kesejukan bagi siapa saja yang merasakannya. Kokok ayam jantan, embikan kambing, lenguhan sapi, dan desiran angin lembut ditambah lagi kabut tipis yang mulai memudar terkena hangatnya matahari. Siapa yang tidak betah dan nyaman dengan suasana desa seperti ini.
Tapi di balik keindahan dan keasrian suasana tersebut, ada seorang gadis yang sedang kepayahan. Badannya sudah bermandi keringat sejak pagi sekali. Dia sedang bergulat dengan pekerjaan kasarnya mencetak batu bata dan menyusunnya rapi di sebuah lio.
Ninu Agustina, nama gadis itu sudah terbiasa dengan pekerjaan kasar. Kulitnya kecoklatan, mungkin karena sering terjemur sinar matahari, rambut ikalnya diikat sembarang, wajahnya lugu tapi manis. Di usia belianya dia sudah harus berjuang untuk menafkahi ibunya yang sakit dan adiknya yang masih duduk di sekolah dasar.
Ya, 3 tahun yang lalu ayahnya meninggal karena jatuh dari pohon nangka saat dia memangkas dahan pohon itu. Waktu itu, seorang tetangga meminta bantuan ayahnya untuk memotong dahan pohon nangka miliknya karena sudah menyentuh kabel listrik. Ayah Ninu yang kerja serabutan dengan senang hati melakukannya, lumayanlah upahnya bisa buat tambah-tambah beli ikan asin buat makan. Tapi naas, belum juga dahan pohon itu lepas ayah Ninu terpeleset dan jatuh dengan posisi punggung beradu tanah dengan keras. Tidak perlu menunggu lama, dia menghembuskan nafas sebelum sempat dibawa ke puskesmas.
Ibunya yang sejak lama sudah sakit-sakitan memaksa Ninu memasang badan menjadi tulang punggung keluarga. Dia tidak mungkin harus mengandalkan adik perempuannya yang sekarang masih kelas 6 SD.
Setiap hari Ninu bergerilya bekerja dari satu rumah ke rumah lainnya, sekedar mencucikan baju, membereskan rumah, membersihkan kebun, atau apa saja yang sekiranya dapat dia lakukan. Tapi sebelum itu, setiap pagi Ninu bekerja di lio membuat batu bata sampai jam 10 pagi.
Lelah yang didapat kadang tidak sebanding dengan upah yang diterima, tapi itu tidak membuat Ninu putus asa. Hanya kadang dia merenung, akan sampai kapan dia menjalani rutinitas seperti ini. Tidak akan membawa pada perubahan hidup yang berarti. Sedangkan dia punya cita-cita ingin sekolah, ingin pandai, dan ingin hidup berkecukupan, membawa ibunya berobat, dan menyekolahkan adiknya hingga sukses.
⚘
Jam 4 pagi Ninu sudah terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap sambil mengumpulkan nyawa. Walaupun tidur di kasur yang lepek dan keras tapi lelahnya sepanjang hari membuat dia bisa tidur nyenyak setiap malam.
Setelah kesadarannya kumpul, dia bangkit dan segera menuju kamar mandi yang ada di samping rumahnya. Tidak berlama-lama di kamar mandi, Ninu segera masuk kembali, tujuannya sekarang adalah dapur. Menyalakan kompor, menanak nasi, mendidihkan air, dan mebuat bubur untuk ibunya.
Ninu menarik napas dalam ketika dia lihat beras di periuk hanya cukup untuk hari ini. Itu artinya hari ini dia harus dapat uang untuk membeli beras. Padahal tadinya kalau dia dapat uang dia ingin membelikan sepatu untuk Ima adiknya. Sudah lama Ima memakai sepatu bekas pemberian Bi Tati adik ayahnya yang tinggal di kampung sebelah, yang sekarang sudah bolong di beberapa tempat. Sungguh sudah tidak layak pakai. Tapi ya sudahlah mau bagaimana lagi urusan perut selalu bisa mengalahkan apapun.
"Teh Ninu sudah bangun?" Sapa Ima yang tiba - tiba sudah berdiri di dekat pintu dapur.
"Eh kamu sudah bangun Ma" jawab Ninu "Ke air sana terus bantu teteh nyapu" perintah Ninu.
"Iya teh" turut Ima dan langsung keluar menuju kamar mandi.
Sekira jam 5 semua urusan dapur sudah beres. Ninu segera menghampiri ibunya yang terbaring di tempat tidur kayu di kamarnya.
"Bu, ibu sudah bangun?" Tanya Ninu ketika melihat ibunya yang sudah membuka mata.
"Ninu..." suara lemah ibunya menyapa "ibu mau ke air nak"
"Ayo bu Ninu bantu"
"Maaf ya ibu selalu merepotkanmu dan Ima" suara sedih ibunya tak membuat Ninu menghentikan gerakannya memapah ibu ke pancuran
"Tidak apa- apa bu, sudah kewajiban Ninu" jawabnya lembut.
Kembali dari kamar mandi, Ninu mendudukkan ibunya di kursi kayu depan meja makan. Melap tubuh ibunya dengan air hangat, menyisir rambut dan mengikatnya, kemudian dia menyiapkan bubur dan goreng tahu untuk sarapan ibu, sedangkan untuk Ima sarapan nasi dan goreng tahu.
Mereka sudah terbiasa sarapan sebelum jam 6 pagi karena Ninu harus berangkat ke lio jam 6 begitu juga Ima. Jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh harus ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 30 - 40 menit. Ibu akan sendiri di rumah sampai Ima pulang sekitar jam 12 siang. Setelah itu Ima bertanggung jawab untuk menemani dan mengurus ibu, sedangkan Ninu akan pulang sore hari setelah bekerja di beberapa tempat. Biasanya Ninu akan pulang dengan wajah lelah tapi sumringah, apalagi kalau banyak yang nyuruh dia kerja otomatis akan lumayan juga uang yang didapatnya.
Begitulah rutinitas yang dilakukan Ninu dan Ima setiap hari. Lelah memang tapi tidak bisa protes. Memang inilah jalan hidup yang harus dilaluinya. Sampai kapan? Sampai mereka berani keluar dari zona itu.
⚘
"Bu Ninu berangkat ke lio ya" kata Ninu sambil menyentuh tangan ibunya. "Ima nanti sebelum berangkat jangan lupa bawa ibu duduk di bale terus kunci pintu dapur ya"
"Iya teh, siap" jawab Ima semangat sambil nyengir. Ninu tersenyum melihat adik semata wayangnya itu. Tak terlukiskan rasa sayangnya pada Ima dan ibu yang membuatnya mau melakukan kerja kasar demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.
⚘⚘⚘⚘
Hai readers jumpa lagi dengan karyaku sebagai pengganti dari cerita terdahulu.
Selamat menikmati. Ditunggu supportnya 😍🙏
Setelah selesai dengan pekerjaan di lio, kini Ninu sedang berjalan menuju rumah bu Komar. Kemarin ketika dia sedang berjalan pulang setelah menyelesaikan pekerjaan terakhirnya Ninu bertemu dengan bu Komar. Dia bilang butuh bantuan Nina untuk bantu-bantu masak karena anaknya yang kuliah di Bandung akan pulang. Bu Komar berencana mengadakan acara makan-makan dengan keluarga besarnya. Tentu saja tawaran itu disambut gembira oleh Ninu karena itu artinya dia akan dapat upah dan makanan gratis untuk ibu dan adiknya.
“Hei.. kamu Ninu ya?” tiba-tiba ada suara menyapanya. Ninu yang sedari tadi fokus berjalan dan membayangkan makanan segera celingukan mencari sumber suara.
“Kok sekarang kamu beda banget” lanjut suara itu
“Eh,, kamu Agis? Waah…kamu tambah cantik aja Gis “ jawab Ninu setelah tahu siapa yang menyapanya.
“Iya dong, orang kota” seru Agis sambil bergaya “Kamu kok tambah item aja Nin?” matanya menyelidik menyusuri wajah Ninu yang sedikit berkeringat.
“Jangan gitu Gis, aku kan kerja serabutan sekarang. Sejak ayahku meninggal” jawab Ninu sedih.
“Oh ya? Aku gakk tau ayahmu sudah meninggal. Aku turut berduka ya Nin. Kapan itu?” nada terkejut tampak sekali dari kata-kata Agis.
“Kamu kelamaan sih di kota, gak inget pulang ke kampung” jawab Ninu mencoba melupakan kesedihan yang tiba-tiba muncul mengingat ayahnya.
“Ya… aku mau apa sering-sering pulang ke sini Nin, aku kan sudah kerja tetap di kota dan orangtuaku sudah kubawa pindah juga” jelas Agis.
“Terus, sekarang kamu ada keperluan apa pulang?” tanya Ninu penasaran.
“hei… Dinda anak bu Komar itu kan teman kita Nin. Kamu tau, dia akan bertunangan besok dengan atasanku” jawab Agis.
Oh… aku baru tau kalau Dinda akan bertunangan, dapat bos pula, gumam Ninu.
“Kamu buru-buru gak Nin? Kita minum es dawet dulu yuk di warungnya mang Toha” ajak Agis
“Gak buru-buru sih. Tapi…” ragu Ninu melanjutkan ucapannya.
“Tapi apa? tapi gak punya uang? Tenang aja aku yang bayar” Agis menyeringai mengerti maksud Ninu.
⚘
“Sekarang kamu kerja dimana?” tanya Ninu setelah mereka duduk di bangku panjang depan gerobak es dawet mang Toha.
“Aku kerja di pabrik sepatu Nin, di bagian produksi. Lumayanlah ijazah SMA ku berguna. Walaupun cuma pegawai biasa tapi aku bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Asal jangan boros dan rajin lembur” jawab Agis “Kalau kamu bagaimana, apa yang kamu lakukan sekarang?”
“Sejak ayah meninggal aku berhenti sekolah Gis. Aku kerja di lio milik pak haji Mansur dari jam 6 pagi sampai jam 10. Setelah itu aku kerja serabutan. Nyuci baju, jemur padi, bersihin kebon atau yang lainnya” jawab Ninu pelan. Tidak ada kebanggaan dalam suaranya.
“Pantes kamu sekarang jadi item. Dan …bauu” bisik Agis lalu terkekeh.
Nina mencubit tangan Agis “Kamu tuh …”
“Kenapa kamu gak nikah aja Nin, biar gak cape sendiri?”
“Nikah sama siapa? gak ada yang mau. Kalaupun ada paling tukang kebo, gak akan membawa perubahan. Bakalan tetap susah” jawab Ninu menghela nafas panjang.
Agis yang mendengarkan merenung sejenak. Ada rasa kasihan melihat keadaan temannya ini. Dulu waktu sama-sama sekolah Ninu adalah anak yang cukup pintar dan ceria. Tapi sekarang dia seperti menua sebelum waktunya.
“Bagaimana kalau ikut aku kerja di kota?” tanya Agis bersemangat.
“Kerja apa? aku kan cuma tamatan SMP” jawab Ninu.
“Nanti aku cari informasi lowongan kerja buat kamu. Tapi kamu harus mau dulu. Jangan sampai aku cape-cape cari lowongan kerja eh kamunya gak mau, kan percuma”
“Kerja di kota banyak macamnya Nin, asal kita mau dan rajin apapun bisa jadi uang. Contohnya aku, sambil kerja aku juga jualan pulsa, ibuku bikin gorengan yang aku titipkan di kantin pabrik. Lumayanlah buat nambah-nambah penghasilan” terang Agis. “Pengeluaran juga bisa kita tekan asal mau hidup sederhana” tambahnya.
Ninu mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
⚘
Sejak pertemuannya dengan Agis hati Ninu mulai bimbang. Memang sudah lama dia merasa jenuh dengan kehidupannya yang monoton, dan menurutnya tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun. Sudah 3 tahun dia banting tulang bekerja dari pagi sampai sore dengan penghasilan yang pas-pasan. Dia ingin berubah, ingin hidup lebih baik. Apalagi kalau melihat ibunya yang lemah dan adiknya yang harus hidup serba kekurangan. Belum lagi kalau Ninu bercermin memandang wajah dan tubuhnya, dia tidak seperti gadis remaja berusia 19 tahun, tapi lebih mirip seperti wanita dewasa yang penuh beban dan tekanan. Sangat beda dengan Agis yang lebih segar dan ceria.
⚘
Malam itu Ninu tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus mengembara menggambarkan banyak skenario manis bila dia bekerja di kota. Semua cerita Agis terngiang kembali di telinganya dan tergambar dalam khayalannya. Bagaimana dia akan mendapat gaji bulanan, mengirimkannya ke kampung untuk memenuhi kebutuhan ibu dan Ima, lalu dia juga akan mengerjakan hal lain untuk menambah penghasilan. Ima akan sekolah sampai SMA bahkan kalau bisa sampai kuliah. Ninu membayangkan Ima diwisuda, menggunakan toga sambil memegang ijazahnya tertawa ceria, berfoto bersama dirinya dan ibu yang sudah sehat karena sudah berobat ke dokter yang bagus di kota. Ninu tersenyum sendiri. Bahagia walau hanya dengan khayalan.
Aku harus mewujudkan impian ini, gumamnya dalam hati Aku tidak bisa begini terus. Akan sampai kapan. Tidak akan ada akhirnya jika aku tidak berani.
Ninu menjatuhkan diri di atas kasur lepeknya, matanya belum terpejam. Dia sedang memikirkan cara agar bisa pergi ke kota, tapi ibu dan Ima aman. Dia ingin meninggalkan mereka dalam keadaan tenang. Tapi bagaimana caranya?
Ima belum cukup dewasa untuk menjaga dan mengurus ibu dan dirinya sendiri. Malah jadi pusing, Ninu menggoyang-goyangkan kepalanya. Kenapa Tuhan memberikan hidup yang berat ini, dan mengapa ayahnya membiarkannya menanggung semua ini sendiri.
⚘
Sudah beberapa hari ini Ninu pulang lebih cepat. Setelah dari lio hanya ada satu saja pekerjaan tambahan sehingga baru saja pukul dua siang dia sudah ada di rumah. Tentu saja itu ada sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya dia bisa mengurus ibu lebih lama, mengobrol dengan ibu dan Ima. Tapi sisi buruknya penghasilannya jadi berkurang.
“Kamu kenapa melamun Nin?” tanya ibu membuyarkan lamunannya.
“Ah gak apa-apa bu” jawabnya
“Beberapa hari ini kamu lebih sering pulang cepat, apa tidak ada yang nyuruh kamu kerja nak?” tanya ibu lagi
“Iya bu, setelah dari lio Ninu cuma nyuci di rumah bu Darti. Kemarin juga hanya ngebersihin kebonnya pak Timin” jawab Ninu menghela nafas
“Sabar ya Nin, mungkin sekarang rejeki kita cuma segitu. Mudah-mudahan nanti banyak lagi yang nyuruh kamu kerja” hibur ibu mengusap punggung Ninu.
“Iya bu” Ninu tertunduk.
⚘⚘⚘⚘
Tinggalkan jejak like dan komen yaaa.....
"Kamu gak berangkat sekolah Ma?” tanya Ninu masuk ke kamar adiknya “Ini sudah hampir jam 6 lho” lanjutnya.
“Ima gak enak badan teh,” jawab Ima.
“Kamu kenapa?” Ninu mengulurkan tangannya memegang dahi Ima “Kamu panas Ma!” Ninu memegang badan Ima. Badannya juga panas. “Teteh ambilkan minum ya,” lanjutnya khawatir.
Aduh bagaimana aku berangkat ke lio kalau Ima sakit, gumam Ninu. Dia tidak mungkin meninggalkan ibu dan Ima dalam keadaan sakit.
Ninu masuk kembali ke kamar adiknya sambil membawa segelas air putih. “Minumlah!” katanya lembut.
Ima bangun dan meminum air yang diberikan kakaknya. “Teteh gak kerja?” tanyanya
Ninu diam saja sambil menatap adiknya. Hatinya galau.
“Teteh kalau mau berangkat kerja kerja saja, Ima gak kenapa-napa kok,” suara Ima pelan.
“Hari ini teteh libur aja, biar bisa jagain ibu sama kamu,” jawab Ninu “Sudah jangan banyak ngomong, tidur aja lagi. Nanti teteh belikan obat di warung,” lanjutnya.
Ima nurut, dia membaringkan kembali badannya. Dia menatap Ninu yang pergi keluar kamar. Dia tahu keadaan keluarganya, perjuangan kakaknya, dan itu membuat matanya menangis. Kasian teteh, bisiknya.
⚘
Setelah dua hari akhirnya Ima membaik dan Ninu sudah bekerja kembali. Hari ini sepulang dari lio dia akan membantu bibinya di kampung sebelah untuk menjemur padi.
“Assalamualaikum bi,” sapa Ninu ketika melihat bibinya sedang meratakan gabah di atas lantai semen.
“Waalaikumsalam, eh… Ninu, sini Nin!” jawab bi Tati melambaikan tangannya. “Bagaimana kabar ibu dan adikmu? Sehat?” imbuhnya.
“Alhamdulillah bi,” jawab Ninu tersenyum tipis.
“Syukurlah… sudah lama bibi tidak bertemu dengan ibumu. Bagaimana penyakitnya, apa sudah membaik?”
“Begitulah bi, kadang kumat,” jawab Ninu enggan.
Mereka mengobrol sambil mulai memindahkan padi dari karung ke atas lantai semen lalu meratakannya.
Bi Tati adalah adik ayah Ninu. Walaupun suami bi Tati kerja serabutan juga seperti ayah Ninu tapi mereka hidup lebih baik karena dia punya sawah dan kebun yang digarap sendiri bersama suaminya. Kalau musim panen begini biasanya Ninu mendapat jatah beras dari bi Tati walaupun tidak banyak.
“Bi…” suara Ninu ragu-ragu.
“Ya, ada apa Nin?” tanya bi Tati.
“Ehm…”
“Ada masalah?”
“Ah… tidak jadi bi.”
“Eh…kenapa tidak jadi? Ngomong aja ke bibi, ada apa?”
Ninu terdiam ragu.
“Ninu ingin pergi ke kota bi. Pengen kerja di sana,” suara Ninu hampir tidak terdengar, membuat bi Tati menghentikan aktivitasnya dan menatap Ninu
“Maksudnya?”
“Ninu ingin bekerja di kota bi,” suaranya lebih jelas sekarang.
“Lantas ibu dan adikmu bagaimana?” tanya bi Tati “Lagian gak mudah Nin untuk dapat pekerjaan di kota. Kamu sekolah aja cuma sampai SMP. Mau kerja apa di kota dengan ijasahmu itu? Hidup di kota itu keras Nin, persaingan tinggi dan rasa kekeluargaannya kurang. Apa kamu sanggup?” tanya bi Tati bertubi-tubi.
“Pamanmu dan mendiang ayahmu sering bekerja di kota jadi kuli bangunan, mereka tau bagaimana kerasnya hidup di sana,” imbuhnya.
“Tapi Ninu tidak bisa terus-menerus begini bi. Ninu ingin menyekolahkan Ima sampai sukses. Ninu juga ingin bawa ibu berobat biar bisa sembuh,” isak Ninu.
Bi Tati berjalan mendekati Ninu, merangkul bahunya sambil berkata “Bibi ngerti Nin, tapi kamu harus memikirkan itu masak-masak. Jangan sampai menyesal nantinya.”
“Apa bibi mau membantu Ninu?” mata Ninu menatap penuh harapan.
“Apa yang bisa bibi lakukan?” tanya bi Tati.
“Kalau Ninu nanti kerja di kota, apa bibi bisa sekali-kali nengokin ibu dan Ima?” kembali suara Ninu penuh harap pada bibinya.
“Inshaallah Nin, itu bukan hal yang sulit,” jawab bi Tati tersenyum, membuat hati Ninu lega, "Terima kasih ya bi. Ninu senang mendengarnya,” senyum Ninu menghiasi wajahnya.
Walaupun hanya sebuah janji dan belum pasti kapan dia akan berangkat ke kota, tapi jawaban bibinya membuat hatinya tenang.
⚘
“Ninu…..kamu ditanyain Agis tuh!” suara Dinda membuyarkan fokus Ninu yang sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya. Ya, hari ini sepulang dari lio Ninu kerja di rumah bu Komar.
“Eh… Neng Dinda bikin kaget aja,” jawab Ninu tersenyum.
“Makanya jangan ngelamun kalau lagi kerja,” Dinda terkekeh.
“Barusan Neng Dinda bilang apa?”
“Kamu ditanyain Agis,” jawab Dinda “Katanya kamu mau ikut Agis kerja di kota ya?”
“Kok Neng Dinda tau?”
“Taulah, kan Agis cerita. Kata Agis, kamu mau gak kerja di toko sepatu, mumpung lagi ada yang butuh pegawai tuh.”
“Kapan Agis bilang begitu Neng?”
“Dari kemarin dia udah ngasih tau. Barusan kan telponan sama aku, dia ngomong lagi tuh,” jawab Dinda “Mau gak?” desak Dinda.
Ninu terdiam. Harus bagaimana? Mendadak seperti ini? Apa ibu akan mengijinkannya? Apa Ima bisa ditinggal sendiri? Banyak sekali pertanyaan di kepala Ninu.
“Ish…malah ngelamun!” seru Dinda.
“Maaf Neng…” Ninu menunduk.
“Kalau mau, nanti aku bilangin ke Agis. Kalau kamu gak mau ya aku bilangin juga sih hehe…” suara Dinda selalu penuh keceriaan “Banyak lho orang yang cari kerja, bukan cuma kamu aja, jadi harus cepat. Kalau mau bilang mau kalau gak ya gak, jangan berlama-lama.”
“Mau neng, bilangin ke Agis saya mau,” spontan jawaban Ninu membuat dia kaget sendiri, tapi tidak ingin meralatnya.
“Oke, nanti aku bilangin ke Agis ya… dadah…” Dinda berlalu masuk ke dalam rumah, sementara Ninu berdiri mematung memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ada rasa khawatir menghinggapi hatinya, tapi ada sebersit rasa bahagia dan harapan di sana.
⚘
“Bu, ibu sudah makan?” tanya Ninu.
Malam ini Ninu bertekad akan memberitahu ibu tentang rencananya untuk ikut Agis bekerja di kota. Kalau ibu tidak menginjinkan, dia akan berusaha menjelaskan alasan dan impiannya. Ninu sangat berharap ibu bisa memahami keinginannya.
“Sudah Nin, tadi disiapin sama Ima,” jawab ibu “Kamu kayak ada masalah Nin,” selidik ibu.
“Ah gak ada bu, masalah apa,” elak Ninu.
“Tapi wajahmu itu kayak ada yang mau diomongin,” ibu masih penasaran.
“Bu…” perlahan suara Ninu, "Ibu tau tidak, Ninu selalu memimpikan kita bisa hidup bahagia, ibu sehat, Ima sekolah tinggi dan punya pekerjaan yang baik, tidak seperti Ninu, bu!” suara Ninu tegas, menunjukkan isi hatinya yang mantap.
“Kamu ngomong apa sih, ibu sudah sehat. Ima juga sedang sekolah," jawab ibu menghela nafas “Kamu cape ya Nin?” kemudian ibu menatap Ninu dengan mata sendu “Maafkan kami ya nak, menjadi beban di pundakmu membuat kamu harus kerja keras,” mata ibu mulai berkaca-kaca membuat mata Ninu juga ikut berkaca-kaca.
“Kenapa ibu minta maaf, ibu gak salah. Ninu gak keberatan kok kerja seperti ini,” jawab Ninu “Justru Ninu merasa bersalah karena belum bisa membahagiakan ibu dan Ima.”
“Bu, Ninu ingin punya pekerjaan yang lebih baik dari sekedar membuat bata, mencuci baju dan membersihkan kebon. Ninu ingin punya gaji yang besar supaya bisa bawa ibu berobat dan bisa buat bayar sekolah Ima,” Ninu sudah tidak bisa lagi menahan air matanya.
“Bu… ijinkan Ninu kerja di kota ya,” pintanya memelas, membuat ibu membulatkan mata.
“Kamu mau pergi ke kota? Dengan siapa? Kerja apa?” pertanyaan ibu beruntun.
“Iya bu, Ninu mau ikut kerja sama Agis, kakak kelas Ninu waktu SMP,” jawab Ninu “kata Agis ada lowongan kerja jadi pelayan di toko sepatu.”
“Agis? Agis anaknya pak Syarif bukan? Bukannya mereka sudah tidak tinggal di sini Nin?” tanya ibu lagi.
“Iya bu, mereka sudah pindah ke kota. Ninu ketemu Agis waktu Dinda tunangan beberapa minggu yang lalu,” jawab Ninu, “Agis nawarin Ninu untuk kerja di kota bu. Katanya kita bisa mendapat penghasilan bukan hanya dari satu pekerjaan saja, asal mau dan rajin juga hemat kita bisa punya uang banyak,” ucap Ninu bersemangat.
“Nah, kebetulan sekarang lagi ada lowongan kerja di toko sepatu dan Agis menawarkannya ke Ninu,” lanjut Ninu “Bu… ijinkan Ninu pergi ke kota, ya!”
“Ninu ingin hidup kita menjadi lebih baik bu, tidak begini terus,” pintanya penuh harap.
Ibu hanya diam mendengarkan. Hatinya penuh sesak dengan segala perasaan.
⚘⚘⚘⚘
Happy reading semuanya....
😍😍😍😍😍😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!