NovelToon NovelToon

ISTRI GEMUK CEO DINGIN

SKANDAL BESAR KELUARGA VELASCO

Mateo terbangun dengan kepala berat dan tubuh terasa pegal. Ruangan kantornya masih remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu meja. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa aneh lebih hangat, lebih sempit.

Lalu ia menoleh ke samping.

Dan dunia seakan berhenti berputar.

Seorang gadis muda tertidur di sampingnya. Tanpa busana. Rambutnya kusut, kulitnya pucat, dan tubuhnya terbalut sebagian selimut yang juga menutupi pinggang Mateo. Ia tidak mengenal wajah itu. Bukan rekan kerja dekat, apalagi salah satu dari wanita-wanita yang biasa ia bawa ke pesta.

Mateo langsung terduduk panik, menarik selimut ke tubuhnya. “Apa-apaan ini?!”

Gadis itu menggeliat pelan, membuka mata perlahan. Saat menyadari situasinya, ia langsung membeku. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar. Dengan cepat ia menarik selimut ke dadanya, menunduk dalam-dalam.

“S-saya… saya tidak tahu kenapa saya ada di sini,” katanya pelan, nyaris berbisik. “Saya tidak ingat apa pun. Maaf, Tuan…”

Mateo menyipitkan mata. “Siapa kamu?”

“Saya Livia Hartanto. Pegawai officer girls di lantai dua. Semalam saya diminta mengantarkan dokumen ke sini. Saat saya masuk, Anda sedang tertidur, dan… saya tidak tahu bagaimana bisa berakhir seperti ini…”

Klik.

Suara itu pelan, tapi cukup tajam untuk membuat bulu kuduk meremang.

Mateo langsung menoleh ke arah pintu sedikit terbuka. Di balik celahnya, cahaya lorong menyelinap masuk. Bayangan seseorang tampak mundur cepat, lalu menghilang di balik dinding.

“Seseorang memotret kita,” gumam Mateo. Rahangnya menegang. Ia melompat dari tempat tidur dan berlari ke pintu, tapi sudah terlambat. Lorong kosong. Siapa pun itu sudah kabur.

Belum sempat ia memikirkan langkah selanjutnya, ponselnya berbunyi. Notifikasi masuk bertubi-tubi.

[Berita Viral] CEO Mateo Velasco Tertangkap Skandal Seks di Kantor Sendiri!

[BREAKING] Pegawai Rendahan Terlibat Skandal dengan CEO Ganteng Velasco Group!

[Eksklusif] Foto Telanjang Mateo dan Pegawai Wanita Gemuk Bocor ke Media!

Mateo menatap layar ponselnya, matanya semakin gelap. Livia menatap ponselnya sendiri dengan tangan gemetar, bibirnya bergetar saat membaca isi berita yang membuat jantungnya nyaris berhenti.

“Saya… saya tidak tahu ini semua kenapa bisa terjadi… Sumpah, saya tidak berniat apa-apa, Tuan,” katanya sambil menunduk. “Tolong percayalah…”

Mateo tidak menjawab. Tatapannya kosong. Dunia yang ia bangun bertahun-tahun runtuh hanya dalam semalam.

Dan pagi itu, tanpa mereka sadari, hidup keduanya akan berubah selamanya.

Mateo duduk di balik meja kantornya, kedua tangan mengepal di atas permukaan kayu. Di hadapannya, berdiri dua orang yang sudah sejak kecil mengatur arah hidupnya. Don Marsel Velasco, ayahnya yang tegas dan berwibawa, serta Ariana, sang ibu, yang kini menangis sambil memegangi tisu namun masih sempat menatap tajam ke arah satu sosok lainnya di ruangan itu.

Livia duduk dengan tangan di pangkuan, bahunya sedikit membungkuk, wajahnya tertunduk menahan malu dan ketakutan. Ia tahu tempat ini bukan dunianya. Ruangan besar berlapis marmer itu terlalu mewah untuk dirinya yang hanya pegawai kecil. Terlebih lagi, semua mata seolah menyalahkannya.

"Aku bersumpah tidak melakukan apa pun, Papa," ucap Mateo dengan suara keras, bernada marah. "Aku bahkan tidak tahu kenapa dia bisa ada di sana waktu aku bangun!"

Don Marsel menatap tajam ke arah putranya, rahangnya mengeras. "Tapi fotonya sudah tersebar, Mateo. Reputasi kita jadi bahan ejekan. Dan kamu berharap aku percaya semua ini hanya 'kebetulan'?"

Ariana memalingkan wajahnya ke arah Livia. "Kau pasti yang menjebak putraku, kan? Ngaku, gadis miskin!" bentaknya sambil menunjuk, suaranya tinggi dan bergetar karena amarah.

Livia mengangkat wajahnya perlahan, matanya berkaca-kaca tapi ia tetap berusaha tenang. "Saya bersumpah… saya hanya disuruh untuk membawa dokumen ke ruangan Pak Mateo. Saya meletakkannya di meja, lalu… saya tidak ingat apa pun setelah itu," ujarnya pelan, nyaris berbisik.

"Omong kosong!" Ariana kembali menjerit. "Kau pasti sudah rencanakan ini! Kau pikir ini dongeng? Tidur dengan pewaris Velasco lalu hidup mewah selamanya?"

Livia menunduk lagi, kali ini benar-benar ingin menghilang dari tempat itu. Tangannya gemetar, jantungnya berdebar terlalu kencang. Ia ingin menangis, tapi tak mau terlihat lemah di depan mereka.

Mateo menoleh ke ibunya. “Cukup, Ma! Jangan seperti itu.”

“Cukup? Kamu pikir kamu masih bisa pilih-pilih, Mateo? Kamu pikir wanita seperti ini pantas untuk jadi bagian keluarga kita?” suara Ariana nyaring, penuh jijik.

Livia memejamkan mata. Ia ingin menjelaskan, ingin membela diri, tapi apapun yang ia katakan rasanya hanya akan menjadi bahan olokan. Ia hanyalah Livia Hartanto, anak pegawai laundry dan pegawai kecil yang tak punya siapa-siapa.

Dan kini, ia terjebak dalam badai yang bahkan tak ia ciptakan.

Saat ketegangan di ruangan masih mengambang, Don Marsel berdiri dan tanpa sengaja menoleh ke arah lemari nakas di pojok ruangan. Pintu kecilnya terbuka sedikit, dan dari sela-sela kayu itu, terlihat leher botol kaca yang familiar.

Tatapan Don langsung tajam. Ia melangkah cepat ke arah nakas, membuka pintu lemari dengan kasar. Sebuah botol minuman keras nyaris habis isinya masih tersisa seperempat. Ia mengangkat botol itu dan menatap putranya dengan sorot kecewa yang tajam.

“Kau sepertinya mengabaikan ucapan Papa, Mateo.” Suaranya rendah namun penuh tekanan. “Sudah Papa bilang… jangan pernah membawa atau meminum minuman keras di dalam kantor.”

Mateo menghela napas berat, mencoba berbicara, tapi suaranya tercekat. Ia bahkan lupa kalau minuman itu masih ada di sana, menambah bukti yang memberatkannya.

Don menggenggam botol itu lebih erat, tatapannya mengeras. “Dan ini akibatnya.” Ia menunjuk ke arah Livia yang duduk dengan tangan terlipat di atas pangkuan, tubuhnya tampak kaku dan gemetar. “Karena kelalaianmu, kau memperkosa gadis ini.”

“Papa!” Mateo langsung berdiri, matanya membelalak, terkejut dan marah. “Aku tidak melakukan itu! Aku tidak ingat apa pun! Aku tidak menyentuh dia, aku—”

“Jangan coba bohongi aku, Mateo.” Suara Don makin meninggi. “Kau minum di dalam kantor. Tentu saja kamu tidak ingat apa pun. Tapi dia ingat. Gadis ini kehilangan keperawanannya karena ulahmu!” Don melemparkan kata-kata itu seolah-olah melemparkan batu besar ke wajah Mateo.

Livia, yang sejak tadi tertunduk, mengangkat wajahnya perlahan. Air mata mengalir di pipinya, dan matanya terpejam sejenak, merasakan sakit yang lebih dalam daripada fisik. Ia tidak ingin mengungkapkan ini di depan orang-orang yang bahkan tidak menganggapnya lebih dari seorang pegawai rendahan. Tapi setiap detik terasa seperti siksaan. Setiap kata yang keluar dari bibir Don Marsel adalah bayangan nyata dari apa yang telah terjadi malam itu.

“Jadi… saya… saya benar-benar kehilangan itu karena dia?” suara Livia hampir tak terdengar, nyaris terhisap dalam kesunyian ruangan.

Ariana, yang sejak tadi menangis, berbalik dan menatap Livia dengan penuh kebencian. “Kau ingin hidup mewah, kan? Inilah akibatnya! Kau pikir dengan tidur dengan putraku, semuanya akan berakhir bahagia? Kau hanya menjebaknya, gadis bodoh!” Ariana menangis histeris, hampir tidak bisa menerima kenyataan ini.

Livia memeluk diri sendiri, menahan sesak di dadanya. Suasana semakin mencekam, dan ia bisa merasakan tatapan tajam dari Mateo. Mateo yang sudah sangat marah, kini terlihat tak berdaya, bingung, dan cemas. Tatapannya beralih dari ibunya ke Livia, tidak tahu bagaimana menjelaskan semuanya. Namun, kebenaran terasa sangat jelas dan tak bisa disangkal.

Don Marsel menatap putranya dengan tajam. “Inilah akibat dari kelalaianmu, Mateo. Dan ini bukan hanya soal kita, ini soal keluarga, soal nama baik kita. Dan satu-satunya cara untuk menutup semua ini adalah…”

Ia berhenti sejenak, memandang Livia yang kini menunduk dalam-dalam, merasakan airmata yang tak bisa ia tahan.

“Kalian harus menikah.”

HARI PERTAMA SETELAH MENIKAH

Dan kini, Livia dan Mateo duduk berdampingan di pelaminan. Pernikahan itu digelar secara sederhana di aula kecil milik keluarga Velasco. Tak ada musik, tak ada pesta mewah, bahkan tamu undangan pun hanya segelintir semuanya dari pihak keluarga Mateo.

Livia mengenakan gaun putih sederhana, wajahnya dirias tipis, namun sorot matanya kosong. Ia tidak tersenyum. Tidak juga bersedih. Ia hanya diam, seolah tubuhnya hadir tapi jiwanya tertinggal di tempat lain.

Tak satu pun keluarganya hadir. Ibunya yang paling ingin melihatnya menikah dilarang datang. Bahkan ketika Livia memohon lewat telepon, suara dingin dari asistennya Mateo menjawab tegas bahwa "hanya keluarga besar Velasco yang diperbolehkan hadir demi menjaga nama baik."

Dan Livia mengerti, ia tak pernah dianggap keluarga.

Mateo duduk di sampingnya dengan jas hitam rapi, ekspresinya datar. Tidak ada kehangatan dalam pandangannya pada mempelai wanita di sampingnya. Pernikahan ini bukan hasil cinta, bukan pula keinginan. Ini hanya cara untuk menambal reputasi, menutup mulut media, dan menyelamatkan nama keluarga.

Begitu foto pernikahan mereka mulai disebar oleh pihak keluarga Velasco, tentu dengan narasi indah yang penuh rekayasa berita skandal yang sebelumnya menghebohkan publik pun perlahan mulai mereda.

Sorotan media bergeser, komentar netizen mengendur, dan berita ‘CEO muda menikahi karyawan’ kini dikemas sebagai kisah cinta yang mengharukan oleh tim humas keluarga.

Namun tak ada yang tahu, bahwa di balik pelaminan mewah itu, dua orang sedang memulai hidup baru dalam keterpaksaan dan luka yang belum sembuh.

Dan pernikahan ini… hanyalah awal dari cerita yang jauh lebih rumit.

Malam telah larut. Angin malam berhembus pelan dari celah jendela kecil kamar pembantu di lantai bawah rumah keluarga Velasco. Di atas ranjang sempit berseprai polos, Livia terbaring menyamping, menatap dinding kosong di hadapannya. Gaun pengantinnya sudah disimpan dalam lemari tua, dan tubuhnya dibalut piyama pinjaman yang bahkan sedikit kebesaran.

Ia tidak menangis. Sudah terlalu lelah untuk menangis. Ia hanya diam, meresapi kesepian yang memeluk tubuhnya. Livia tidak pernah berharap untuk hidup mewah. Ia tahu persis, pernikahan ini bukan tentang cinta, bukan juga tentang dirinya. Ini semua tentang menyelamatkan harga diri keluarga Velasco tentang reputasi yang harus dijaga, tentang skandal yang harus dibungkam.

Sementara itu, di sisi kota yang berbeda, gemerlap lampu dan dentuman musik menggema di dalam club malam mewah milik Justin, sahabat dekat Mateo. Asap rokok mengepul, gelas-gelas berisi minuman keras berjejer di meja, dan tawa palsu memenuhi udara.

Mateo duduk dengan tubuh disandarkan ke sofa kulit, satu tangan menggenggam botol bir, sedangkan pandangannya kosong menatap layar ponsel yang menampilkan foto pernikahannya dengan Livia. Foto itu kini tersebar di internet, dilihat ribuan pasang mata.

“Kau tidak ingin melakukan malam pertama dengan istrimu, Mateo?” tanya Nathan, sahabatnya yang lain, terkekeh sambil menyodorkan ponselnya ke Mateo.

Mateo hanya menghela napas kasar, lalu menenggak minumannya sebelum menjawab, “Tidak sudi. Melihat wajahnya saja aku sudah ingin meludah.”

Justin tertawa sambil menggeleng pelan. “Kau terlihat terpaksa, bung. Bukan pengantin yang bahagia.”

Mateo mendengus sinis. “Karena memang aku terpaksa. Aku dipaksa menikahi gadis yang bahkan tak pantas untuk duduk di meja makan keluarga kami.”

Nathan menyeringai, “Tapi kini dia istrimu, sah secara hukum.”

“Di atas kertas, iya.” Mata Mateo menyipit penuh muak. “Tapi jangan berharap aku akan menyentuhnya.”

Sementara itu, di kamar kecil dan dingin, Livia akhirnya memejamkan mata, berusaha keras menenangkan pikirannya yang riuh oleh suara hinaan, tatapan sinis, dan luka yang belum sembuh.

Ia sadar, malam ini hanyalah awal dari neraka panjang yang harus ia jalani dalam ikatan yang tak pernah ia inginkan.

Keesokan paginya, cahaya matahari baru saja merayap masuk lewat celah jendela kamar kecil itu. Udara masih dingin dan sunyi, namun keheningan itu mendadak pecah saat cipratan air dingin mengguyur tubuh Livia yang sedang tertidur.

"Aaah!" Livia tersentak bangun, tubuhnya langsung menggigil. Piyama yang dikenakannya basah kuyup, menempel ketat di kulitnya. Ia terbatuk pelan, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

Matanya membelalak saat melihat sosok pria berdiri di depannya Mateo. Dengan kaus oblong tipis dan celana santai, otot-otot lengannya yang kekar terlihat jelas, lengkap dengan tato-tato hitam yang menghiasi kedua lengannya, membuat sosoknya semakin mendominasi ruangan kecil itu.

"Bangun kau, wanita jalang," hardiknya dingin. "Kau kira bisa enak-enakan tidur di rumahku, seperti ini?"

Livia masih berusaha duduk tegak, tubuhnya masih gemetar. “S-Saya… saya hanya tidur, Pak…”

“Berhenti bicara seolah kau gadis polos,” gumam Mateo sinis, melipat tangan di dada. “Setelah apa yang kau lakukan, kau pikir bisa nyaman hidup di rumah keluarga Velasco? Salah besar.”

Livia menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memerah. Tapi ia tidak membalas. Ia tahu, membela diri hanya akan membuatnya semakin dibenci.

Mateo mendekat, menatapnya dari atas dengan mata penuh kemarahan. “Kau di sini hanya karena nama baik keluargaku. Bukan karena aku menginginkanmu. Jadi jangan berharap perlakuan istimewa. Kau bukan istri, kau hanya aib yang harus disembunyikan.”

Livia menunduk dalam-dalam. Kata-kata itu menampar hatinya lebih keras dari air dingin yang membasahi tubuhnya barusan. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang nyaris tumpah.

Dalam hati, Livia tahu... neraka yang sebenarnya baru saja dimulai.

Mateo melangkah menjauh dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Suara langkah kakinya menggema di lorong sempit itu. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan kamar, ia berhenti di ambang pintu.

Tanpa menoleh, suaranya terdengar dingin dan penuh perintah.

“Tidak usah drama, cepat bangun dan buatkan sarapan untukku. Aku tidak suka menunggu.”

Livia masih terdiam di atas ranjang, tubuhnya basah dan menggigil. Namun sebelum ia sempat bangkit, suara Mateo kembali terdengar kali ini lebih tajam.

“Dan satu lagi.” Ia menoleh, menatapnya tajam dari balik bahunya. “Telepon ibumu… dan bilang padanya untuk jangan pernah menghubungi asisten keluargaku lagi. Wanita tua itu sungguh mengganggu.”

Livia membeku. Napasnya tercekat. Hatinya terasa diremas.

Mateo memandangnya untuk sesaat, lalu pergi begitu saja tanpa rasa bersalah, meninggalkan Livia yang kini duduk kaku di ranjang, dengan tubuh basah dan hati yang jauh lebih dingin dari air yang mengguyurnya tadi.

Ia tahu, di rumah ini... dia bukan istri. Hanya tahanan.

Livia mengusap air dari wajahnya, menggigit bibir untuk menahan isak yang nyaris pecah. Ia bangkit perlahan dari ranjang sempitnya, mengganti pakaian secepat mungkin lalu menuju dapur di area utama rumah keluarga Velasco.

Suasana dapur begitu mewah dan bersih, kontras dengan tempat tidur kecilnya tadi. Tak ada seorang pun di sana pagi itu, kecuali seorang chef paruh baya yang sudah mengenalnya sejak awal bekerja.

Tanpa banyak bicara, Livia menghampiri sang chef dan dengan suara lirih ia berkata, “Tolong... bantu saya siapkan menu sarapan untuk Tuan Muda Mateo. Saya tidak ingin membuatnya marah.”

Chef itu menatapnya sesaat, kasihan namun tak berani ikut campur. Ia menyerahkan selembar catatan kecil.

“Ini menunya. Tuan Muda hanya makan sarapan vegetarian. Jangan terlalu asin, jangan terlalu berminyak. Semua harus segar dan hangat saat disajikan,” jelasnya singkat.

Livia mengangguk cepat. “Baik, saya akan usahakan semampu saya.”

Tanpa menunda, Livia mulai memotong sayuran, menumis dengan hati-hati, dan meracik menu vegetarian sesuai daftar. Tangannya sempat gemetar, namun ia mencoba tetap fokus. Berkali-kali ia mencicipi dan memperbaiki bumbunya agar sempurna. Ia tahu, satu kesalahan kecil saja bisa menjadi alasan Mateo untuk kembali menghinanya atau lebih parah lagi membuangnya.

Saat matahari mulai merangkak naik, hidangan sederhana namun rapi itu akhirnya selesai. Livia menyajikannya di meja makan utama dengan hati-hati, lalu berdiri di samping meja menunduk, menunggu.

Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Mateo muncul dari lorong, mengenakan kemeja putih tipis dengan beberapa kancing terlepas di bagian atas, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi.

Ia menatap meja tanpa ekspresi, lalu melirik Livia yang berdiri kaku di ujung ruangan.

"Kalau rasanya tidak sesuai, kau akan tahu akibatnya,” ucapnya dingin sebelum duduk.

Livia hanya menunduk lebih dalam. Dalam hati ia berdoa, semoga pagi ini berlalu tanpa teriakan, tanpa caci maki, dan tanpa luka baru.

SENYUMAN PALSU DI KUMPUL KELUARGA

Mateo belum menelan suapan pertamanya ketika ekspresinya langsung berubah. Ia menyemburkan makanan itu ke atas piring dengan kasar, lalu membanting sendoknya ke meja hingga mengeluarkan suara nyaring.

Livia yang berdiri di sisi meja tersentak, tubuhnya tegang mendengar suara benturan logam itu. Ia memandang Mateo dengan mata membesar, tidak mengerti apa yang salah.

"Ini makanan apa, sialan?!" teriak Mateo dengan nada penuh amarah. "Kau ingin meracuniku, hah?!"

Livia mundur selangkah, hampir menangis. Napasnya mulai berat, namun ia menahan suaranya agar tidak pecah. “S-Saya sudah melakukan semuanya sesuai dengan resep yang chef Anda berikan... Saya tidak menambahkan apa pun…”

Mateo berdiri, matanya menyala tajam. Dalam beberapa langkah ia sudah berada tepat di hadapan Livia. Tanpa peringatan, tangannya mencengkeram pipi chubby milik gadis itu, menekan keras hingga kulitnya memerah.

“Kau tahu kesalahanmu, Livia?” desisnya dingin, penuh tekanan. “Kesalahanmu adalah menambahkan penyedap rasa ke dalam makananku. Apa kau tidak bisa membaca?! Sudah kubilang aku alergi pada MSG!”

Livia menggeleng cepat, panik. “Saya… saya tidak tahu, saya hanya mengikuti—”

“Diam!” bentak Mateo sebelum menghempaskan wajah Livia ke samping. Tubuh gadis itu terhuyung, nyaris terjatuh jika saja ia tidak berpegangan pada sisi meja.

Matanya panas, tapi ia tetap berusaha menahan air mata. Bukan karena rasa sakit di pipinya… tapi karena harga dirinya terasa diremukkan tanpa sisa.

Mateo menarik napas kasar, lalu kembali duduk dengan kasar di kursinya. Ia menatap piring makanannya seakan itu racun. “Sana. Pergi dari hadapanku. Sebelum aku benar-benar kehilangan kendali dan melemparkan piring ini ke wajahmu.”

Tanpa berkata-kata, Livia membungkuk pelan dan melangkah mundur. Langkahnya berat, namun ia tahu... tidak ada tempat untuk marah, tidak ada ruang untuk membela diri.

Di rumah ini, suara Livia hanya akan menjadi gema yang tak pernah ingin didengar.

Livia terbaring di ranjang sempitnya, masih mengenakan pakaian yang basah sebagian karena cipratan air pagi tadi. Pipinya yang tadi dicengkeram Mateo terasa perih, meninggalkan jejak kemerahan yang memudar perlahan, namun rasa sakitnya tak sebanding dengan luka di dalam hatinya.

Tangis itu akhirnya pecah. Tak bisa ditahan lagi.

Ia memeluk guling kecil miliknya, menggigit ujungnya sambil mencoba meredam suara isakan. Tapi dadanya terasa sesak. Sesak karena rasa takut, sesak karena dihina, dan sesak karena dirinya tak tahu berapa lama lagi harus bertahan dalam neraka ini.

“Apa salahku…?” gumamnya lirih di antara isak. “Aku tidak pernah meminta untuk dinikahi…”

Air mata terus mengalir membasahi pipinya. Livia menggenggam kuat guling di pelukannya, seolah hanya itu satu-satunya pelindung yang ia miliki di rumah megah ini. Rumah yang dingin, asing, dan penuh kemarahan.

Ia memejamkan mata, berharap saat membuka nanti semuanya hanya mimpi buruk… tapi ia tahu, ini nyata. Ini adalah awal dari kehidupan barunya sebuah kehidupan tanpa cinta, tanpa perlindungan… hanya demi menutupi aib bagi keluarga kaya raya yang bahkan tak menganggapnya manusia.

Matahari mulai condong ke barat, menyisakan panas yang menyengat dari langit yang tak lagi biru. Di halaman belakang rumah megah keluarga Velasco, Livia berdiri dengan sapu dan sekop di tangannya ia menatap lapangan golf pribadi yang luas dan hampir tak berujung.

Keringat mengalir di pelipisnya, membasahi kerudung tipis yang menutupi rambutnya. Tangannya yang lembut dulu kini mulai lecet, punggungnya nyeri, namun tak ada yang peduli.

Tugasnya hari ini: membersihkan lapangan golf. Sendirian.

Jika orang luar melihatnya tinggal di rumah keluarga Velasco, mungkin mereka akan mengira Livia menjalani kehidupan mewah bak putri bangsawan. Tapi kenyataannya? Ia tak ubahnya seperti pembantu rumah tangga atau lebih buruk, budak tak bergaji yang tidak dianggap keluarga.

Sebelum Mateo berangkat ke kantor pagi tadi, pria itu menatapnya tajam sambil mengenakan jas mahalnya.

“Kalau kau membuka mulut soal kehidupanmu di sini, walau hanya satu kata, satu senyum palsu yang gagal… Aku pastikan ibumu tidak akan aman, Livia.”

Ancaman itu menghantam keras ke dalam benaknya. Mateo bukan hanya menyakitinya secara fisik dan verbal, tapi juga mengikatnya dengan ketakutan yang menjalar sampai ke akar hatinya.

Maka, saat ada tamu atau orang luar yang melintas, Livia akan tersenyum palsu. Ia akan menunduk sopan dan mengatakan semua baik-baik saja persis seperti yang diminta oleh suaminya yang tampan namun berhati dingin itu.

Tangannya kembali bergerak, menyapu dedaunan yang berserakan di antara rerumputan hijau. Tubuhnya lelah, jiwanya lebih lelah lagi. Tapi tak ada tempat untuk mengadu, tak ada tangan yang akan memeluk dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Di rumah ini, Livia bukan istri. Ia adalah bayangan yang dipaksa tersenyum... agar nama Velasco tetap bersinar tanpa noda.

Cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit aula utama kediaman Juan Carlos Velasco berpendar indah, memantul dari gaun-gaun mewah yang dikenakan para tamu. Aroma wine mahal dan tawa tinggi penuh gengsi memenuhi udara malam itu. Tapi di sudut ruangan, duduklah seorang gadis bertubuh besar dengan gaun sederhana berwarna pastel pucat milik Livia.

Ia menunduk, menyentuh ujung gelasnya yang kosong. Tidak ada yang menyapanya, bahkan pelayan pun seolah melupakan kehadirannya. Ia duduk di kursi paling pojok meja makan panjang, jauh dari pusat percakapan. Seolah keberadaannya hanyalah bayangan samar di antara kemewahan yang membutakan.

Gaun sederhana yang ia kenakan malam itu membuatnya makin tak terlihat. Sebelum berangkat, Mateo sempat membentaknya.

"Kau tahu gaun itu harganya berapa?! Sudah mahal dan tetap saja terlihat norak di tubuhmu."

Padahal saat Livia diam-diam melihat label harganya, ia justru terkejut gaun itu tidak sebanding dengan citra seorang CEO muda terkaya di negeri ini. Tapi Livia tidak membantah. Ia tidak bisa.

Dan sekarang, di tengah keluarga Velasco yang semuanya tampil elegan dan menyilaukan, ia seperti noda yang tidak diinginkan. Tidak ada yang mengajaknya bicara. Tidak ada yang mengenalkan dirinya secara formal. Mereka hanya melirik sebentar, cepat, dan penuh penilaian.

Livia menunduk lebih dalam, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Hatinya sesak, dadanya penuh luka yang tak tampak. Ia ingin pulang, tapi ia tahu... ia tidak punya tempat pulang.

Di dunia ini, ia hanya perempuan yang ‘kebetulan’ menikahi Mateo Velasco karena skandal. Bukan cinta. Bukan kehendak. Dan bukan pilihan siapa pun termasuk dirinya sendiri.

Langkah Livia pelan, menyusuri lorong panjang yang memisahkan aula utama dengan bagian dalam rumah. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri entah karena rasa sesak di dada, atau karena terlalu lelah berpura-pura tegar.

Tujuannya bukan benar-benar toilet. Ia hanya butuh tempat yang sunyi. Tempat di mana ia bisa menangis tanpa menjadi tontonan.

Tapi saat melewati dapur yang setengah terbuka, langkah Livia terhenti. Suara dua wanita yang sedang berbicara terdengar jelas dari balik rak minuman. Ia mengenali salah satunya Ariana Velasco, ibu mertuanya sendiri.

“Menantumu sungguh kampungan, Ariana. Bagaimana bisa dia ikut hadir di acara keluarga kita?” suara sinis seorang wanita terdengar jelas. Livia tak melihat wajahnya, tapi mengenali rambut merah maroon yang tadi berdiri di dekat Ariana saat makan malam.

Livia menahan napas. Jantungnya berdebar cepat.

“Papa yang memintaku membawanya,” jawab Ariana sembari meneguk anggur dalam gelas kristal. Suaranya terdengar malas dan sedikit muak. “Apalagi ada sesi foto keluarga. Aku awalnya menolak, tapi Don malah menyetujuinya.”

“Kasihan Mateo... laki-laki seperti dia seharusnya bersama model atau sosialita, bukan perempuan... seperti itu,” lanjut wanita berambut merah itu dengan nada menghina.

Livia menggigit bibirnya, berusaha keras agar isaknya tidak lolos keluar.

Tubuhnya kaku. Ucapan-ucapan itu menampar telinganya seperti cambuk. Seolah keberadaannya benar-benar hanya beban yang dipikul keluarga ini. Tidak ada yang menginginkannya. Tidak satu pun.

Matanya memanas. Ia segera melangkah cepat, masuk ke dalam toilet. Begitu pintu tertutup, Livia bersandar pada dinding, tubuhnya bergetar menahan tangis.

Di sana, dalam kesunyian toilet mewah keluarga Velasco, ia menangis sendirian. Tangis yang tak didengar siapa-siapa. Tangis yang dipendam seorang wanita yang dipaksa masuk dalam dunia yang tidak pernah menginginkan dirinya.

Isaknya baru saja mereda ketika ponsel di dalam tas kecilnya bergetar. Livia menunduk, melihat nama yang tertera di layar adalah Mateo.

Ia ragu. Enggan. Tak ingin menjawab.

Detik berikutnya, sebuah pesan masuk:

“Kau di mana, tolol? Cepat ke aula. Akan ada sesi foto keluarga.”

Livia menggertakkan rahangnya, menggenggam ponsel itu erat. Kata-kata kasar itu menusuk, tapi entah kenapa ia sudah tidak terlalu terkejut. Ini hanya tambahan luka dari luka yang lebih dalam yang baru saja ia dengar di luar tadi.

Ia memejamkan mata sejenak. Mencoba menelan rasa sakitnya tanpa suara. Tanpa air mata.

Dengan napas yang berat, Livia perlahan berdiri dari duduknya di sudut toilet. Ia melangkah ke depan cermin menatap bayangannya sendiri.

Wajahnya masih sama. Pucat. Lelah. Tapi untungnya, tidak ada bekas tangis yang terlalu kentara. Riasan tipis di wajahnya masih bertahan. Matanya tidak bengkak, dan itu sudah cukup.

"Kau bisa, Liv. Untuk satu foto lagi. Satu senyuman palsu lagi," bisiknya pada diri sendiri, berusaha menguatkan hatinya.

Ia mengambil tisu, merapikan sedikit lipstik dan bedak di hidungnya. Menyisir rambutnya dengan jari, lalu berdiri tegap.

Dengan langkah pelan namun mantap, Livia keluar dari toilet. Ia menuju aula menuju sesi foto yang katanya penting, tapi jelas bukan untuknya. Ia bukan bagian dari keluarga ini. Ia hanya... topeng yang dipaksa tersenyum agar dunia percaya bahwa keluarga Velasco sempurna.

Langkah Livia terasa berat saat ia kembali ke aula. Hatinya seolah tertinggal di cermin toilet tadi bersama sisa-sisa air mata yang gagal membanjir. Saat pandangannya menyapu ruangan, ia langsung menangkap sorot mata Mateo. Dingin. Tajam. Seperti panah yang siap menembus dadanya.

Dan benar saja, begitu ia mendekat, tangan Mateo langsung mencengkram lengannya dengan kuat.

"Apa kau tidak bisa, sehari saja tidak membuatku marah? Gadis tolol," bisik Mateo pelan tapi penuh tekanan, rahangnya mengeras.

"Maaf," sahut Livia lirih. Bahkan untuk sekadar membela diri pun ia sudah terlalu lelah.

"Don, giliran keluargamu," suara Romeo Velasco menggema, memanggil keluarga inti untuk sesi foto utama.

Mateo langsung menarik paksa Livia. Ia menggiringnya ke depan panggung kecil tempat sesi foto berlangsung. Don dan Ariana duduk di kursi tengah sebagai kepala keluarga, sementara Mateo berdiri di samping kanan mereka, menarik Livia berdiri di sisinya.

Semua mata tertuju pada mereka. Tapi bukan tatapan hangat. Bukan pula bangga. Hanya tatapan menilai... penuh bisik-bisik dan cibiran samar.

"Tersenyum lebar," bisik Mateo, sambil menyodok pinggang Livia dari belakang, mencubitnya dengan keras.

Livia sedikit meringis. Tapi ia tahu ia tak punya pilihan. Ia memaksakan senyuman. Senyuman yang tidak pernah menyentuh matanya.

Klik.

Kamera memotret mereka.

Klik. Klik. Klik.

Setiap kilatan cahaya bukan hanya merekam gambar, tapi juga merekam kepalsuan. Livia berdiri di antara keluarga yang tak pernah menerimanya. Tubuhnya mungkin ada di sana, tetapi jiwanya terasa terlempar jauh.

Di belakang kamera, beberapa sepupu Mateo tertawa pelan. Menunjuknya. Seseorang bahkan sempat berbisik pelan:

"Astaga, apa tidak ada gaun lain yang lebih... masuk akal untuk tubuh sebesar itu?"

Livia mendengarnya. Tapi ia diam. Ia hanya berdiri dan tersenyum... seperti yang diminta.

Seolah semuanya baik-baik saja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!