"Mama belum ngucapin 'Happy Birthday' ke aku?" Aku memeluk mama dari belakang. Mama yang sibuk menyiapkan sarapan untuk kami sekeluarga menjadi rutinitas kesehariannya.
Mama berbalik memelukku. Menepuk punggungku. "Heum, ya, happy b'day. Semoga panjang umur, sehat selalu, dilancarkan urusannya, dilimpahkan rezekinya, hidup dalam keberkahan, dan cepat dapat jodoh, terus punya momongan." Doa terakhir mama seperti mengganggu telingaku.
Mama menarik tubuhnya dari pelukanku. Mama menatapku lurus, kemudian bibirnya berkata:
"Mana calonnya?" tanya mama. Seketika tutur kata yang penuh doa-doa dan kelembutan itu berubah menjadi pertanyaan yang terdengar mengerikan karena inilah pertanyaan yang akan memicu genderang perang. Kalau sudah begini, aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ya, mama akan mengomel.
"Kapan mau nikah, Dita? Mama sudah cukup tua."
Benar, kan, dugaanku. Mama pasti akan emosi kalau membahas ini. Mama akan terus bertanya, tetapi setelah kujawab ..."Iya, Ma. Nanti."
Pasti jawabanku akan selalu memicu amarahnya lebih memuncak lagi.
"Nanti kapan? Udah kelewat umur itu. Cepat nikah, jangan cuma bisa ngurusin anak orang aja!" semprot Mama.
Di pagi hari yang terang benderang, cerah, berkilau, dan berawan ini. Tidak ada angin, tidak pula ada hujan, tapi pagiku sudah mendung kena semprot mama.
"Iya, Ma," jawabku iya tak iya sambil menarik kursi makan menikmati omelet dan roti panggang buatan mama.
Mama menghela napas keras, lalau nada bicaranya merendah. "Mama gak mau kamu jadi perawat tua, Dit. Kamu lihat tante Tuti, dia usia 45 belum juga nikah. Karena apa? Karena terlalu banyak milih, mau cowok yang kayak gini, kayak gitu. Lihat, sekarang bagaimana?"
"Iya, Ma."
"Kasihan, Dit. Di masa tua sendirian belum dapat pasangan. Paham, kan, kekhawatiran mama?"
"Iya, Mama."
Hanya itu jawaban yang bisa aku berikan pada mama setiap beliau bertanya dimana calon suami padaku. Ma, andai mama tahu kalau jodohku itu seperti malam tanpa bintang tanpa pelita. Gelap.
Kata mama, kalau perempuan belum menikah di usia 25 ke atas rawan menjadi perawan tua. Itu yang mama tekankan padaku, semakin tua usia wanita semakin sempit kesempatan untuk memilih pasangan hidupnya. Nahasnya, usiaku sudah melampaui itu, lebih tepatnya 2 hari yang lalu usiaku tepat pada 28 tahun. Dan aku turut merasakan kekhawatiran mama. Namun, bagaimana lagi, jodoh belum ada untukku.
Usiaku yang menjelang akhir kepala dua, menurutku itu belum tua-tua amat. Tapi, kenapa aku seakan dituakan dengan usiaku yang baru seumur jagung ini? Hehehe.
Mama memang tidak lagi muda, beliau sering mengatakan ingin melihat garis keturunan yang terlahir dari anak-anaknya sebelum tutup usia, maka dari itu beliau sering bertanya jodoh padaku karena aku anak pertama, gerbang utama mama bisa mengharapkan cucu dariku.
Aku tersenyum geli. Jodoh? Masih belum ada tanda apapun. Ya, ... gak ada hilalnya gitu, Ma. Please, aku juga tidak tahu harus mencari kemana calon suami. Kalau saja ada toko yang menjual suami, pasti sudah aku datangi dan memilih satu untuk menyenangkan hati mama dan supaya mama tidak terus bertanya padaku: "mana calon suamimu?"
"Dit, kamu kalau mama ngomong jangan asal iya-iya aja. Kalau cuma iya-iya aja, mama jodohin kamu, ya?!" ancam mama tentu bukan dengan nada yang ramah.
Aku yang hampir selesai dengan kegiatan sarapanku dan sepanjang kegiatan itu diiringi dengan wejangan mama. Saat sedang memasang kaus kaki, dan bersiap ke tempat mengajar, aku hanya mengangkat alis kepada mama, lalu mengangguk.
"Ya, doakan sajalah, Ma."
"Dahlah, mama jodohkan saja kamu. Kelamaan!" seru mama.
"Iya, deh," jawabku. Aku pasrah, terserah apa kata mama. Mau jodohin, kek. Mau apa-mau apa, sementara aku hanya bisa mengiyakan. Semoga dengan aku mengalah, doa-doa baik mama sampai padaku daripada berbuat durhaka karena melawan ucapannya.
"Maaaah, hei ... sudah, Dita-nya mau berangkat. Udah jangan diomelin mulu," kata papa mengusap punggung mama yang naik turun dengan wajah yang cemberut memandangku.
"Dita berangkat, ya, Pa." Aku mencium tangan papa.
Mama duduk di kursinya, mendengus. Mama diam ketika papa menegurnya. Beliau melipat tangannya sembari menatapku seakan berbelas kasihan. Sorot matanya seakan menyiratkan kesedihan yang mendalam, sebegitu kasihannya pada anak sulungnya ini yang belum laku dipinang pria.
Aku menggeleng dan tersenyum pada mama. Buru-buru aku memeluk mama dan mencium pipinya.
"Apa? Gak usah peluk-peluk Mama," ujar Mama sembari menepuki punggungku.
"Dita berangkat, ya, Ma?" pamitku seraya menyodorkan tangan untuk menyalami mama.
"Iya, deh. Hati-hati. Pulang jam berapa nanti?"
"Agak siang, mau nyetorin tabungan anak-anak ke bank dulu," jawabku.
Mama hanya mengangguk, lalu mencium kepalaku. Aku tahu, meski hampir setiap hari aku sering dimaki-maki olehnya.
Bukan, maksudnya dinasihati secara frontal dan dengan tidak ramah alias bintang satu oleh Mama, tetapi pada dasarnya mama sangat sayang kepadaku. Anak sulungnya ini yang sabar dan selalu dijadikan tumpuan terbesar semua orang tua supaya menjadi contoh untuk adik-adiknya.
Pada kenyataannya, tidak ada yang bisa dicontoh dariku oleh adik-adikku kecuali satu: upaya kepatuhanku yang tiada tara kepada orang tua yang telah membesarkan kami.
"Dit, nanti mama jodohin kamu sama anak bu Galih, ya?"
Saat aku sedang menyetater motorku. Mama berdiri di tengah pintu, mama memanggilku dan mengatakan hal demikian. Aku tertawa, sungguh tidak bisa menahan tawa.
Anaknya bu Galih? Nyonya terkaya di kompleks perumahan kami. Katanya, semua anaknya laki-laki dan lulusan luar negeri. Aku tertawa ketika mama mengatakan akan menjodohkanku dengan salah satu anak bu Galih karena ini mustahil. Mama sepertinya sedang berkhayal ingin punya menantu idaman seperti anak-anak bu Galih itu.
Mungkin saja suatu saat nanti terwujud, tapi bukan aku, mungkin adikku dengan bontotnya bu Galih?
Aku cukup sadar diri, mereka pasti mencari wanita–calon istri–yang pantas untuk jadi menantu bu Galih, tentu mereka pasti punya kriteria sendiri atau kualifikasi yang tinggi untuk bisa berbanjar menjadi kandidat menantu konglomerat dan pasti bukan spek perempuan sepertiku.
Si gemoy. Aku tertawa geli kalau ingat ketika bu Galih bertemu denganku saat aku melintasi jalan depan rumahnya, beliau akan memanggilku demikian.
"Moy, mau kemana?"
"Moy, sekarang kerja dimana?"
Tidak membutuhkan waktu lama, aku sudah tiba di sebuah bangunan tidak terlalu besar. Kedatanganku disambut oleh anak-anak yang berlari menyerbuku, memeluk, dan mencium. Di sinilah tempat keseharianku, tidak besar, tetapi sangat berarti bagiku.
Oh ya, ini tempat kerjaku sekaligus rumah keduaku. Sekolah non formal yang aku dirikan beberapa tahun lalu khusus untuk anak-anak spesial yang luar biasa semangatnya. Mereka anak-anak istimewa tang sebagian orang menyebutnya berkebutuhan khusus dengan berbagai kondisi spesialnya.
Namun, aku melihat ada masa depan yang cerah di mata mereka yang terang, berbinar, dan memberikan cahaya saat menatapku.
"Selamat pagi, Bu Dita."
"Selamat pagi, semua! Apa kabar?" jawabku dengan sunyi. Hanya menggunakan gerakan tangan, mereka gembira membalas pertanyaanku dengan gerakan tangan serupa karena seperti inilah cara berkomunikasi kami sehari-hari.
Sebuah komunitas tuli yang dibungkus menjadi sebuah sekolah khusus anak-anak tuli.
"Bu Dita hari ini cantik sekali!" ujar anak didikku yang laki-laki.
"Terima kasih, Abigail. Kamu juga tampan, anak-anak ibu, semuanya luar biasa, hebat!" pujiku. Semua anak berseru girang dan bertepuk tangan.
"Terima kasih, Bu."
"Terima kasih." ucap mereka dalam sunyi.
Sekali lagi, inilah keseharianku. Aku memang bekerja bukan untuk meniti karir, tetapi aku menyebutnya jika ini investasi. Aku sedang memperjuangkan harta yang sangat berharga. Masa depan anak-anak inilah yang aku kejar, mereka dengan potensinya yang membuatku memiliki masa depan dan termotivasi semangat menjalani hidup di setiap harinya.
Sebagian orang, mungkin menganggap mereka berbeda dari anak yang lainnya, tetapi bagiku mereka sama saja dan aku tidak mau mereka hilang kesempatan mendapatkan hak yang sama di dunia ini terutama mendapat pendidikan yang bermutu seperti pada umumnya.
"Bu Dita, ada proposal masuk untuk menjadi donatur sekolah kita. Tapi kita diminta memaparkan program sekolah kita."
"Darimana, Vik?" tanyaku pada Vika, adik tingkatku semasa kuliah yang kini sama-sama menjadi relawan untuk sekolah ini.
"Hem... iya, Mitra Siaga Company. lni satu grup sama rumah sakit mitra siaga itu, bukan?"
"Kayaknya iya," jawab Vika.
"Mereka menawarkan bantuan pendidikan kepada kita 5 juta per anak untuk setiap bulan untuk satu semester. Wow, ini sangat besar, Bu Dita!" pekik Vika sampai menutup mulutnya.
Aku mendekat padanya, benarkah ini? Selama ini belum pernah ada yang menawarkan bantuan biaya pendidikan semacam itu. Hanya berlalu lalang, donasi uang, buku, dan peralatan kelas.
Vika menyodorkan ponselnya padaku, dan aku membaca pesan dan proposal itu yang masuk melalui email sekolah.
"Tapi, Vik. Kita harus berhati-hati, jangan jadikan sekolah ini tempat pencucian uang. Kita harus memastikan ini, apalagi perusahaan besar begitu. Takut," ujarku pada Vika.
"Iya, makanya, Bu. Ini kita diminta datang ke kantor mereka untuk presentasi dan negosiasinya. Nanti kita sampaikan pertanyaan itu di sana," ujar Vika, dia terlalu bersemangat karena ada pihak yang mau menjadi donatur baru.
"Kapan ke sana?"
"Mereka mengundang kita lusa, Bu."
Aku memicingkan mata, sangat mendadak. Tapi, ya sudahlah semakin cepat semakin baik. Aku mengiyakan, dan meminta Vika mengirimkan surat balasan kesediaan berdiskusi.
Sekolah selesai di waktu 2 siang, semua anak-anak berhambur pulang ke rumah masing-masing. Tidak terasa hari berjalan begitu cepat tanpa terasa berat. Begitu pun anak-anak yang seakan menikmati kegiatan sekolah tanpa beban.
Saat berkemas, ponsel di mejaku bergetar, nama mama tertulis di sana.
"Halo, Assalamualaikum, Ma?"
"Waailaikumsalam, Dit, kamu dimana?" tanya Mama tiba-tiba.
"Di sekolah, Ma. Ini baru selesai ada kelas tambahan, terus mau ke bank habis ini."
"Gausah, besok aja. Sekarang pulang saja dulu, calonnya sudah ada di rumah."
"Calon?"
"Calon suamimu. Cepat pulang sekarang juga, ya! Mama tunggu, jangan lama-lama, Dit!"
"Ma, tapi..."
tut ... tut ... tut.
Baru saja kaki menginjakkan area ruang tamu, salam baru ku-uluk, tiba-tiba mama berdiri menghampiriku
Pak! Tepukan mengejutkan mengenai lenganku. "Kemana saja? Itu sudah ada bu Galih sejak tadi," mama menyerbuku begitu aku baru menaruh helm pada rak penyimpanan di dekat pintu masuk.
"Bu Galih? Mau apa?" bisikku pada mama.
"Bukankah sudah mama bilang akan menjodohkanmu dengan anaknya? Cepat salim," perintah mama seraya menggandengku mendekat pada tamu mama.
"Bu," sapaku ramah pada bu Galih yang duduk seorang diri sambil mengetik sesuatu di layar ponselnya dengan satu satu telunjuknya.
Bu Galih lantas menyimpan ponselnya, ia menurunkan kakinya yang menyilang, dan memindahkan tas Hermesnya ke sisi yang lain.
"Eh, Moy! Sehat, Moy? Baru pulang ngajar?" tanya Bu Galih begitu aku mencium tangannya.
"Iya, Bu."
"Ini, waktu itu ibu kamu ngajak ngenalin kamu sama anak saya, Elham. Ingat, kan? Anak saya yang baru lulus S2 kemarin dari MIT, Amerika. Nah, dia pas pulang kemarin, saya ajak ke sini ternyata kamu masih di sekolah. Sekarang dianya sudah pergi karena urusan penting katanya," jelas bu Galih.
Aku tersenyum meringis, merasa bersalah. Meski begitu, tetapi mama tidak memberitahu lebih awal jika aku benar-benar akan dikenalkan dengan anak bu Galih. Bukankah mama baru mengatakan akan mengenalkanku dengan anak bu Galih tadi pagi? Kenapa bu Galih bilang sejak waktu itu?
Apa mama sudah menjomblangkan aku sejak lama? Sejak kapan beliau mulai menawarkan ke teman sosialita kompleks-nya itu?
"Jadi, bagaimana? Lamaran anak saya diterima, ya?"
Aku termangu. Benarkah aku sedang dilamar saat ini?
Aku yang terpaku di antara mama dan papa. Aku hanya bisa menatap nanar kebingungan. Mama mengejutkanku saat beliau mencubit pahaku pelan, lalu aku menatap beliau sebagai pertimbangan jawaban apa yang akan aku berikan. Tatapan menghujam dari mama membuatku pada akhirnya pun mengangguk.
Ya, benar. Aku menerima lamaran itu.
Di ruang guru, aku duduk dengan hati yang bimbang. Mataku tertuju pada jemariku yang sedang memutar-mutarkan benda berkilau di jari manis sebagai pengikat yang menjadi penanda bahwa aku menjadi kandidat resmi calon menantu bu Galih.
Entah mengapa aku merasa semua ini berjalan seperti mimpi dan begitu cepat kejadiannya terjadi begitu saja.
Apakah sudah tepat atau belum keputusan yang kuambil saat ini, aku tidak tahu. Tapi pada kenyataannya, cincin emas berkilau permata ini benar-benar sudah melingkar di jari manisku setelah bu Galih memasangkannya kemarin.
Secepat itu Allah mendatangkan seseorang untuk melamarku. Kemarin masih ditanya, sekarang sudah dilamar.
"Bu Dita?"
"Bu? ... Bu?" terasa sesuatu menggoyangkan lenganku, lalu menepuk-nepuk bahuku.
"Eh, iya, Vik?"
Vika melongo di sisiku entah sejak kapan dia datang, alisnya berkerut menatapku intens. Dia ikut terkejut saat melihatku terkejut sebab ia menepuk bahuku yang semula sedang berpikir keras bagaimana bisa aku menjadi seorang tunangan dalam sekelebetan waktu. Aku buru-buru menyimpan tanganku di bawah meja.
"Bu Dita sedang melamun?" tanyanya.
Aku meraup wajahku. "Ouh, gak. Kenapa, Vik?"
"Bu, tahu tidak? Kemarin saat ibu buru-buru pulang, beberapa orang datang kemari. Mereka dari perusahaan yang menawarkan menjadi donatur sekolah kita," ujar Vika.
"Benarkah? Mau apa?"
"Iya, mau survei katanya. Benar atau tidak sekolah kita ada. Dua orang pria. Mereka bertanya soal ibu, maksudnya, mereka bertanya dimana pimpinannya? Mereka ingin bertemu dengan ibu, tapi aku jawab jika ibu sudah pulang karena sedang ada urusan penting."
"Lalu, bagaimana Vik?"
"Ya, saya katakan jika kita mau ke kantor menerima undangan presentasi program dan karena bu Dita punya pertanyaan lebih lanjut sebelum deal dengan penawaran itu," terang Dita membuatku lega.
"Oh, ya benar begitu saja. Terima kasih, ya, kamu sudah banyak membantu."
Vika juga mengingatkan, ia menerima pesan reminding dari perusahaan yang akan menjadi donatur. Aku bahkan hampir terlupa, agenda pertemuannya besok pagi, tetapi seharusnya sore ini kita sudah harus berangkat karena perjalanannya cukup jauh di luar kota sehingga membutuhkan banyak waktu untuk sampai di sana tepat waktu.
"Hampir, Lupa, Vik. Sore ini kita berangkat, ya?"
Untunglah, Vika bersedia meski aku mengajaknya secara dadakan. Rencana menggunakan transport darat, yakni bus. Aku memesan tiket untuk dua orang sekaligus, sekalian untuk perjalanan pulang pergi. Keperluan berkas dan media presentasi program disiapkan secara mendadak juga. Kami hectic hari ini.
Semua beres di waktu 4 sore, aku kembali ke rumah untuk mengemas beberapa helai pakaian yang pantas untuk berpresentasi besok.
Aku yang sudah menggendong tas ransel keluar dari kamar. Menemui mama yang kebetulan ada di ruang tengah. Hanya ada mama di rumah, mama menatapku heran dan kebingungan saat aku terlihat gelisah, berlarian kecil, dan buru-buru sementara membawa tas punggung dan berkas yang kucangking di tangan.
"Mau kemana, Dit?"
"Ma, Dita mau ke kota sore ini juga."
"Ehhh. Mau ngapain?"
"Besok ada pertemuan sama donatur," jawabku.
"Eh, tapi tadi bu Galih bilang anaknya mau ketemuan sama kamu sore ini."
Aku menggaruk kepalaku. "Aduuuh, belum bisa, Ma. Ini Dita udah mendesak banget, nih. Busnya berangkat sebentar lagi, besok pagi udah harus presentasi. Udah ada janji, maaf gak bisa."
"Yah, gimana dong. Mama gak enak, anaknya bu Galih udah...."
"Iya, nanti Dita atur waktu lagi setelah beres sama urusan ini. Udah ya Ma, Dita berangkat dulu. Nanti tolong bilangan papa, Dita lagi ke kota. Assalamualaikum, Ma." Aku mencium mama, lalu pergi begitu saja. Ojek pesananku telah menunggu di halaman rumah untuk mengantarkanku ke terminal bus AKAP.
Vika memberi kabar jika dirinya sudah sampai di lokasi, bahkan dia sudah berada di dalam bus dan bus akan segera berangkat. Semau apapun aku meminta pada pengemudi ojek untuk melaju lebih cepat, tetapi waktu pun terus berjalan. Rasa-rasanya aku akan tertinggal bus karena masih setengah perjalanan untuk tiba di terminal.
Sesampainya di terminal yang besar itu, aku berkeliling mencari Vika yang tidak tahu lokasi pastinya di berada di dalam bus yang mana.
"Bu Dita!" Di tengah pencarianku, ia berteriak kencang seraya melambaikan tangan dari dalam bus ketika bus sudah berada di pintu keluar terminal.
"Bu, di sini!"
"Pak, pak, berhenti sebentar, Pak!" teriakku sembari berlari mengejak bus, membuat bus terpaksa berhenti dan mempersilakanku masuk.
"Alhamdulillah. Untung kamu melihatku."
"Syukurlah, Bu. Saya kira ibu sudah berangkat duluan," balas Vika.
Akhirnya aku bisa duduk dengan tenang dengan bus yang sesuai. Kuhela napas berulang kali setelah lelah berlari kesana kemari memutari terminal yang baru pertama kali aku sambangi untuk bepergian ke luar kota ini.
Mataku terpejam, tubuhku bersandar pada kursi empuk bus ekonomi patas ini.
Ting. Notifikasi sebuah pesan masuk dari nomor seseorang yang tidak dikenal.
"Sore, saya Elham. Bisa kita bertemu malam ini?"
Jantungku seakan mencelos membaca pesan tersebut. Elham, bukankah itu nama yang bu Galih sebut kemarin?
Cukup lama aku mendikte satu per satu huruf untuk menjawab pesan darinya. Sejam berlalu setelah pesan terbaca, aku membalasnya.
"Sore. Maaf, Mas Elham. Saya sedang ada di luar kota saat ini, bisa direncakan lain hari?"
Beberapa menit kemudian, dia kembali membalas. "Kapan kamu kembali?"
"Besok sore sampai rumah."
"Maaf, besok siang saya sudah harus flight ke USA."
Aku mendengus. Harusnya ini akan menjadi pertemuan pertama kami karena sejak aku dilamar, belum pernah sekali pun aku tahu bagaimana wajahnya. Bahkan saat menjadi tetangganya pun, aku jarang melihat yang mana dari anaknya bu Galih yang bernama Elham itu. Mereka jarang berinteraksi dengan tetangga sekitar karena rumahnya yang berpagar sangat tinggi dan besar menjadi sekat pembatas antara mereka dengan orang-orang kompleks, kecuali bu Galih yang aktif mengikuti acara sosialita arisan ibu-ibu kompleks karena beliaulah yang paling disegani di lingkungan ibu-ibu kompleks.
"Baiklah, kalau begitu di lain waktu saja, Mas. Maaf, saya tidak bisa hari ini."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!