“Siapa yang menikah?” Tanya Andreas ketika melihat undangan yang dibawa oleh Asistennya.
“Tuan Ryan akan menikah minggu ini” jelas Jack memberitahu.
Sontak Andreas berdecih mendengar informasi itu, jelas saja karena ia dan keluarga sambungnya sama sekali tidak dekat. Namun tiba-tiba saja dia diundang ke acara pernikahan adik tirinya tersebut.
“Mereka masih menganggap ku keluarga rupanya” sindir Andreas tertawa remeh.
Tidak ada yang berani membalas kalimat yang terlontar dari bibir mafia dingin ini. Mereka tak mau salah dalam menanggapinya, sebab pembahasan seputar keluarga amat sangat sensitif untuk Andreas.
Bagaimana tidak, Andreas sejak dulu harus ditinggal oleh ibu kandungnya yang meninggal karena bunuh diri usai mengetahui jika suaminya menikahi sahabatnya sendiri.
Sang ayah tak begitu mempedulikan soal anak, pria itu lebih fokus pada harta yang dia dapatkan dari hasil korupsi dan menjual narkoba, tapi meski begitu sampai usianya tua tak ada yang berani melapor dan kasus ini tetap bersembunyi.
Sedangkan istri kedua dari ayahnya hanya peduli pada apa yang dia dapat, menjadi wanita sosialita adalah impiannya, tidak memikirkan dari mana dia bisa mendapatkannya, meski harus menghancurkan rumah tangga sahabatnya sendiri.
Dari kecil Andreas dipaksa kerja keras sendirian, diajarkan hal-hal kotor yang bisa membuatnya memiliki segala yang dia mau, namun meski begitu Andreas selalu merasa tak puas dan ada hal yang ingin dia lakukan.
Yaitu melihat keluarganya hancur sejadi-jadinya.
“Mereka mungkin tak mau para tamu curiga jika tidak mendapati kehadiran anda” seru Jack di tengah keheningan ruang kerja Andreas yang gelap dan mencekam.
“Apa menurut mereka dengan adanya kehadiranku akan membuat acara lancar dan mulus?” Gumam Andreas tertawa sumbang.
Andreas mengambil silet kecil dan memutar-mutarnya di tangan tanpa takut jika pisau kecil itu bisa saja melukai kulitnya.
Tanpa diduga Andreas menancapkan pisau tersebut pada undangan yang bahkan belum dia buka.
Perlahan benda tajam itu mengiris kertas hingga terbelah dua, membuat nama pengantin yang tertera dalam surat itu terpisah.
“Mereka salah jika berpikir demikian”
Langit yang cerah itu tiba-tiba menjadi mendung, seolah mengikuti suasana hari Andreas yang berubah kacau.
Rasa benci di dalam hatinya menyeruak lagi, rasa ingin balas dendam yang berusaha dia tahan itu kini menguap seolah menyuruh Andreas melakukan aksi yang membuatnya puas.
“Menurutmu… apa yang harus kita lakukan agar acara pernikahan adik tiriku makin meriah??” Tanya Andreas ambigu, terdapat dua makna dari balik kata “meriah” yang dia maksud.
Jack tetap berdiri dengan tegap. “Apa pun yang anda inginkan, saya akan memastikan semuanya lancar” jawabnya tak ingin banyak memberikan masukan yang tentu akan merepotkan dirinya juga.
Andreas kembali menatap nama yang tertulis di atas surat undangan pernikahan, bibirnya tersenyum miring saat membaca nama dua orang itu.
“Ryan Wilton dan……. Mistiza Brooklyn”
“Pfffttttttt”
“Hahaha…..”
“HAHAHAHAHAHAHAHA….!!”
Tawa keras itu menggema di dalam ruang kerja Andreas, lelaki yang jarang tertawa itu kini justru tengah terbahak-bahak, tetapi tak membuat orang yang mendengarnya ikut tertawa pula, justru terdengar merinding hingga bulu kuduk berdiri sendiri.
Jack hanya diam dengan ekspresi datar, membiarkan tuannya melakukan apapun yang dia mau.
“Menikah katanya….. Hahahaha…… Menikah??”
Namun dalam satuan detik Andreas menggebrakan meja sampai benda-benda yang ada di atasnya loncat.
“Mereka pikir hari itu akan jadi momen bahagia, huh!?! Apa mereka pikir semua akan berjalan sesuai rencana???”
Andreas menggeleng pelan sambil meremas undangan yang sudah terbelah dua.
“Jangan harap aku akan membiarkan semuanya berjalan dengan baik”
“Sayang sekali mereka justru mengundangku kesana”
“Hahaha…. Lucu sekali melihat keluarga yang sudah terkutuk itu tersenyum dengan riang”
Enak sekali lelaki yang berstatus adik tirinya itu memiliki kehidupan yang tidak ada hambatan, selama ini semua beban ditanggung oleh Andreas, dia yang dituntut untuk mencari biaya hidup sendiri, sementara anak dari perempuan yang sudah merebut kebahagiaan ibunya, justru hidup tenang dan diberi perlindungan.
”Cepat sekali dia menikah, apa dia berencana untuk memiliki keturunan? Heuh! Aku bahkan belum berhasil membuat nama ku tertulis di daftar hak waris, tapi dia sudah buru-buru ingin memiliki anak”
”Aku tak boleh membiarkan umurnya panjang, begitu dia m*ti tak boleh ada nama penerus yang bisa dijadikan hak waris selanjutnya!!”
Andreas bertekat akan merebut apa yang seharusnya dia miliki dari awal, rumah besar itu, adalah milik ibunya, perjuangan sang ibu menemani ayahnya, sebelum sang ayah berubah “gila”. Perusahaan orang tua dari ibunya pun kini beralih atas nama sang ayah yang justru akan diberikan kepada Ryan untuk meneruskan usaha besar itu.
Andreas tak diberikan apa-apa, sampai dia terpaksa membuat bisnis ilegal senjata yang membuatnya bisa memiliki apapun termasuk modal untuk membuat keluarga ayahnya hancur.
”Aku tak boleh membiarkan Ryan menikah. apa perlu kita menembaknya saat acara pernikahan?” Tanya Andreas pada Jack.
”Anda bisa dipenjara karena itu, karena anda lah orang yang pertama kali akan dicurigai” ungkap Jack berpikir jika hal tersebut kurang efektif.
“Lantas? Apa yang harus aku lakukan agar acara mereka batal?”
“Dari yang saya dengar tuan Ryan sudah menjalin hubungan dengan calon istrinya selama lima tahun, Tuan Ryan sangat mencintai wanita itu sampai rela menentang Nyonya yang sempat tidak setuju karena calon istrinya yang hanya orang biasa dan tidak punya keluarga, anda tahu betul jika nyonya selalu ingin berhubungan dengan orang kelas atas saja” jelas Jack panjang lebar.
Andreas mendengarkan dengan seksama sembari mengangkat satu alis ke atas.
”Apa hubungannya dengan itu?” Tanya Andreas tak paham.
”Anda harus main halus, Tuan. Jangan melibatkan Tuan besar, Nyonya, maupun Tuan Ryan karena itu sangat beresiko dan mudah ditebak, sebab hubungan Anda dengan ketiganya tidaklah baik. Libatkan saja mempelai wanitanya, karena tidak akan ada yang curiga pada Anda sebab tuan tidak memiliki hubungan apapun dengan calon istri Tuan Ryan”
Andreas mencerna penjelasan tangan kanannya baik-baik, dia pun sudah mulai paham pokok dari ucapan Jack untuk melibatkan si pengantin wanita.
“Apa menurutmu itu akan membuat Ryan tertekan?”
”Lebih dari itu, tuan Ryan tak akan bisa tenang. Dia kehilangan cintanya, masa depannya yang sudah susah payah dia raih, dia juga akan lengah pada segala hal dan itu bisa menjadi peluang bagi Anda”
Andreas kembali menatap undangan yang sudah kusut tak berbentuk, tampak nama si wanita yang akan menjadi target selanjutnya.
”Mistiza….” lirihnya membaca.
Ia jadi penasaran, secinta apa adik tirinya itu pada wanita ini, dan bagaimana reaksi Ryan tatkala calon istrinya menghilang saat acara pernikahan, apakah perlahan dia akan berpaling atau justru bertahan untuk menemukan wanita yang dicintainya.
“Cinta ya…. Hahaha….. Cinta!”
*
*
*
*
Hai Semuanya Salam Kenal👋🏻😃
Terimakasih Sudah Mau Mampir Ke Karya Yang Satu Ini🥹
Semoga Suka Dengan Ceritanya Ya dan Berlanjut Terus Baca Sampai Akhir😊🫶🏻
Dukung Mamie dengan Like, Komen, dan Vote Ya❤️🔥
Jangan Lupa Follow ig Mamie di @iraurah Untuk Dapat Info Update nya😍
Happy Good Day🥰
Hari itu, langit begitu cerah seolah ikut merestui momen bahagia yang dinanti-nantikan oleh keluarga Wilton. Hotel mewah yang disewa keluarga Wilton disulap menjadi tempat resepsi bergaya glamor ban elegan, dihiasi bunga-bunga putih dan cahaya keemasan yang tertata rapi membingkai altar pernikahan. Kursi-kursi dengan pita satin berjejer di kiri dan kanan, memperlihatkan persiapan yang sempurna untuk sebuah pernikahan yang dikabarkan akan menjadi acara termegah sepanjang tahun.
Pernikahan keluarga Wilton bukan sekadar seremoni, melainkan simbol status dan kekuasaan. Seluruh kota bahkan media sosial penuh membicarakan acara megah ini sejak beberapa minggu sebelumnya. Undangan yang dikirim saja sudah membuat banyak orang bergidik—dicetak dengan tinta emas asli di atas kertas bertekstur mewah, dibungkus dalam kotak beludru berwarna ivory dengan inisial “R & M” yang diukir dengan pres timbul.
Lorong pengantin memanjang sejauh lima puluh meter, dilapisi karpet merah dan diapit oleh bunga peony, anggrek, dan mawar putih yang dikirim langsung dari Negara orang. Suara petikan harpa dan cello mengiringi para tamu yang mulai berdatangan, berpakaian formal dengan gaun yang tak kalah mewah dan tuksedo rancangan desainer internasional.
Panggung utama di mana pasangan akan mengikat janji suci dibangun menyerupai altar kerajaan. Pilar-pilar putih tinggi dililitkan bunga segar dengan ornamen kristal Swarovski yang menggantung di sela-selanya. Tak ada satu pun detail yang terlewat, bahkan lilin aromaterapi yang tersembunyi di antara dekorasi bunga pun menggunakan merek eksklusif yang biasanya hanya dipakai dalam acara bangsawan Eropa.
Catering pernikahan ini ditangani oleh chef Michelin Star dari Prancis dan Italia, menyajikan delapan hidangan lengkap yang terdiri dari menu fusion Asia-Eropa. Makanan tidak hanya mewah dalam rasa, tapi juga dalam penyajian—setiap piring dihiasi edible gold leaf dan sentuhan artistik seperti karya seni di museum.
Kue pernikahan setinggi hampir dua meter berdiri megah di sudut ruangan, dihias dengan fondant putih mutiara dan bunga-bunga kristal yang dapat menyala lembut saat malam tiba. Kue tersebut dikerjakan selama tiga minggu oleh tim pastry artist ternama dari New York.
Setiap tamu yang hadir tidak hanya mendapatkan souvenir biasa, melainkan kotak kecil berisi parfum eksklusif yang dibuat khusus untuk mengenang momen ini, bertuliskan inisial pengantin dengan ukiran tangan. Di meja tamu, nama-nama tertulis dengan tinta emas dan duduk di atas piring porselen dari Prancis.
Semua tamu yang datang adalah tokoh-tokoh penting—dari pemilik perusahaan multinasional, pejabat tinggi, hingga artis papan atas. Wartawan dari majalah fashion dan bisnis berebut untuk meliput acara yang digadang-gadang sebagai “wedding of the year” ini.
Dan tak kalah mencolok adalah gaun Mistiza, rancangan desainer haute couture dari Milan, bertabur kristal asli dan bordiran tangan yang memakan waktu hampir 400 jam kerja. Gaun itu bukan hanya pakaian, tapi simbol keagungan dan impian seorang wanita biasa yang kini masuk dalam lingkaran keluarga terpandang.
Seluruh tempat itu berkilauan, penuh kilau dan kemewahan yang membutakan mata siapa pun yang hadir. Setiap sudut adalah estetika yang sempurna—sebuah mimpi pernikahan yang tampak terlalu indah untuk jadi nyata.
Semua mata memancarkan kegembiraan—semua, kecuali satu pasang mata dingin yang duduk di pojok barat tempat resepsi. Andreas.
Dengan jas hitam berpotongan tegas dan kacamata gelap yang menutupi separuh wajahnya, Andreas tampak seperti bagian dari keamanan acara ketimbang tamu kehormatan. Namun kenyataannya, justru dia adalah bagian dari keluarga inti, meski tidak pernah dianggap demikian. Di tangannya, sebuah gelas berisi minuman manis berwarna ruby terus berputar pelan seiring jari-jarinya menggenggam gagangnya. Ia duduk tenang, mengamati sekeliling dengan tatapan malas.
“Seharusnya sebentar lagi pengantin wanita muncul,” bisik salah satu tamu dengan penuh antusias.
Ryan Wilton berdiri di altar, mengenakan jas putih dengan dasi abu-abu perak. Wajahnya tampak tegang tapi bahagia. Sesekali ia mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Di sebelahnya, pendeta sudah siap dengan kitab suci dan senyum tenangnya. Semuanya terlihat berjalan sesuai rencana—hingga akhirnya waktu yang dijadwalkan untuk kehadiran mempelai wanita pun tiba.
Musik berganti menjadi nada romantis khas prosesi masuk pengantin wanita.
Semua tamu berdiri. Kamera bersiap. Ryan menghela napas lega, membayangkan Mistiza akan segera berjalan di lorong bunga dengan gaun putih yang sempat ia lihat dalam fitting beberapa hari lalu.
Namun, setelah lima belas detik... tak ada siapa pun yang muncul.
Tamu-tamu mulai saling memandang. Musik masih mengalun, tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran Mistiza. Lima belas detik berubah menjadi satu menit. Kemudian dua menit. Ryan mulai menatap ke arah tim penyelenggara. Pendeta pun tampak kikuk, dan akhirnya musik dihentikan.
“Apa yang terjadi?” tanya salah seorang bridesmaid yang kini terlihat panik.
“Kami akan memeriksa ke belakang,” kata manajer acara dengan nada cemas.
Suasana mulai terasa janggal. Ketenangan berubah menjadi gumaman tak menentu. Para tamu mulai bertanya-tanya, dan sebagian dari mereka terlihat gelisah. Kamera mulai dimatikan sementara, karena kejadian seperti ini tentu di luar naskah.
Ryan akhirnya meninggalkan altar dan berjalan cepat ke ruang rias yang disiapkan khusus untuk Mistiza. Ia tidak bisa lagi menahan rasa cemas yang mendesak di dadanya.
Sesampainya di ruangan tersebut, yang ia temukan hanyalah kekacauan kecil—cermin dengan sisa bedak, gaun cadangan yang tergantung di sudut ruangan, serta para make-up artist yang berdiri dengan wajah pucat.
“Mistiza? Di mana dia?” tanya Ryan dengan suara tinggi, hampir berteriak.
Salah satu MUA gemetar menjawab, “Nona... dia sudah selesai didandani sekitar lima belas menit lalu, Tuan. Ia bilang ingin duduk sebentar untuk menenangkan diri... setelah itu, kami tidak melihatnya lagi. Kami kira dia sedang berjalan menuju altar.”
Ryan berlari menyusuri koridor, membuka setiap pintu yang dilewatinya, memanggil nama Mistiza berulang kali. Para tamu mulai berdiri dari kursi mereka, ada yang mencoba mendekat ke altar, ada pula yang menunggu dengan wajah bingung.
Di tengah kekacauan tersebut, Nyonya Olive—ibu tiri Andreas sekaligus istri kedua dari Ayahnya—bangkit dari kursi dengan wajah penuh amarah. Dengan gaun ungu gelap dan perhiasan berkilau di leher serta tangannya, ia tampak seperti ratu yang baru saja dikhianati oleh rakyatnya.
"Astaga, bagaimana mungkin pengantin wanitanya tidak ada"
"Apakah aku sedang bermimpi? Ini seperti kisah sinetron yang aku lihat di TV"
"Mungkinkah mempelai wanita kabur?"
Bisik-bisik tamu yang hadir kian membuat darah Olive memuncak, dia menggertakkan giginya mengetahui jika calon menantunya itu tidak ada.
“Aku sudah bilang dari awal, wanita itu tidak pantas untuk keluarga kita!” serunya merasa kecurigaannya selama ini benar. “Dia tidak punya asal usul, tidak punya nama, dan sekarang lihat apa yang terjadi! Ini semua salah Ryan yang memaksa menikahi wanita kelas bawah!”
“Sabar, Olive!” seru salah satu anggota keluarga, mencoba menenangkan.
Namun, kemarahan wanita itu sudah terlanjur meledak. Ia menunjuk ke arah altar dengan penuh emosi. “Dia mempermalukan kita, sayang! Di depan semua orang! Ini bencana!”
Sang suami, Gerald Wilton menghela nafas berat melihat apa yang terjadi, dia bahkan bingung harus melakukan apa di tengah banyaknya tamu spesial yang dia undang.
Andreas hanya menyesap minumannya perlahan, menonton adegan kacau itu seperti menonton pertunjukan teater favorit. Senyumnya pelan, nyaris tak terlihat, namun aura puas dari raut wajahnya tidak bisa disembunyikan.
“Aku akan mencarinya. Ini bukan kesalahan Mistiza. Aku yakin... sesuatu telah terjadi.” Ucap Ryan membela calon istrinya.
Tiba-tiba pandangan Ryan terhenti pada satu sosok yang duduk tenang menikmati segelas minuman di pojok taman.
Andreas.
Ryan menatap tajam, dan meski tidak berkata apa-apa, ada pertanyaan besar dalam tatapan itu, ia ingin mencurigai kakak tirinya, namun Ryan tak yakin sebab Andreas bahkan tak pernah melihat wajah Mistiza, sehingga tak mungkin Andreas menjebak calon istrinya.
Apa mungkin benar, jika Mistiza sengaja kabur dari pernikahan mereka?
Andreas membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis, seolah berkata, “Selamat atas pernikahanmu.”
Ryan memalingkan wajahnya, tak ingin berkonfrontasi saat pikirannya kacau. Namun satu hal pasti, hari itu bukanlah hari bahagia seperti yang ia rancang.
Acara resepsi dibubarkan. Para tamu meninggalkan lokasi dengan wajah penuh tanda tanya. Gosip mulai menyebar, reputasi keluarga Wilton mulai diguncang. Olive marah besar, Ryan hancur, dan Gerald dibuat malu sejadi-jadinya.
Andreas—akhirnya merasa satu langkah lebih dekat menuju kehancuran keluarga yang telah mengabaikannya seumur hidup.
Dan di balik semua itu, Andreas hanya berbisik pelan.
“Ini baru permulaan, kawan"
Kegelapan menyelimuti seluruh pandangan Mistiza. Kain hitam yang menutupi matanya tidak memberikan celah sedikit pun bagi cahaya untuk masuk. Aroma kain itu menusuk hidungnya—seperti campuran debu lama dan parfum laki-laki mahal yang samar-samar menguar. Di balik rasa panik dan tubuh yang masih dibalut gaun pengantin putih megah, Mistiza berusaha merabaa sekitar dengan jemari yang terikat kuat menggunakan tali nilon tebal. Suaranya tercekat, namun napasnya terdengar berat dan tersengal.
Gaun putih itu, yang semestinya menjadi lambang cinta abadi dan perayaan kehidupan baru, kini terasa bagai penjara yang membatasi geraknya. Kristal-kristal yang dijahit tangan dari Milan, bordiran halus di sepanjang lengan dan dada, serta ekor panjang yang semula membuatnya merasa seperti putri dari kisah dongeng, kini menjadi beban yang menyulitkan setiap gerakannya. Ia terguncang dalam kendaraan yang tidak ia tahu milik siapa. Jalanan yang berbatu membuat tubuhnya terombang-ambing tanpa kendali.
Mistiza tidak ingat dengan jelas bagaimana semua ini bisa terjadi.
Yang ia ingat hanyalah perasaannya saat melihat bayangan dirinya di cermin rias terakhir kali—cantik, gugup, namun bahagia. Lalu, ketika ia meminta waktu sejenak untuk menenangkan diri, seorang perempuan berseragam penyelenggara acara masuk dan mengatakan bahwa Ryan ingin berbicara secara pribadi sebelum ia berjalan ke altar. Mistiza mengangguk ragu, lalu mengikuti wanita itu tanpa curiga, sampai akhirnya semuanya menjadi gelap.
Sebuah sapuan halus namun tegas di belakang kepala, bau chloroform, dan kesadaran yang menghilang dalam sekejap.
Ketika matanya kembali terbuka di balik kain hitam itu, tubuhnya sudah berada di kursi belakang kendaraan yang melaju kencang. Ia berusaha meronta, namun suara seseorang dari depan mobil membuatnya diam seketika.
"Hmpphhhh.....!!"
"Hmmpphhhh!!!"
Mistiza berusaha berbicara meski mulutnya juga ditutup kain yang membuat dia kesulitan berbicara dengan jelas.
"Tenang saja, Nona Mistiza. Tidak ada yang akan melukai Anda... selama Anda diam dan tidak mencoba macam-macam," ujar suara berat itu dengan nada tenang namun mengancam.
Mistiza ingin berteriak, namun apalah daya dia benar-benar sudah dibekuk kan. Mistiza hanya bisa menangis dalam diam, air matanya merembes perlahan membasahi pipi dan menetes ke lehernya yang dingin. Ia tidak tahu siapa yang membawa dirinya pergi, atau ke mana arah tujuannya.
Beberapa jam kemudian, kendaraan itu berhenti. Pintu dibuka kasar, dan Mistiza dipaksa turun. Kakinya nyaris tidak mampu menopang tubuhnya. Sepatu hak tingginya yang sebelumnya ia kenakan dengan bangga kini terasa menyiksa. Apalagi gaun panjangnya membuat Mistiza menginjak ujung kain beberapa kali.
Suara pintu besar dibuka bergema, lalu langkah-langkah berat membawa tubuhnya ke dalam bangunan yang terasa luas, sejuk, dan sunyi.
Mistiza dilempar dengan kasar ke sebuah permukaan kayu yang keras dan berdebu. Ia bisa mencium aroma gudang yang khas—bau kayu tua, oli, dan udara lembab, serta sedikit aroma amis yang sudah mengering. Tidak lama kemudian, pintu dibanting dan suara kunci diputar dari luar.
Ia ditinggalkan di sana. Dalam gelap. Dalam sunyi. Dalam ketidakpastian.
*
Detik demi detik berlalu. Mistiza tidak tahu pasti sudah berapa lama ia dikurung. Cahaya sore perlahan masuk dari celah-celah ventilasi kayu di atas ruangan, mengisyaratkan bahwa hari hampir berakhir. Tangannya yang terikat telah lecet dan merah, namun rasa sakit itu bukan apa-apa dibanding ketakutan dan kesedihan yang kini menguasai hatinya.
Ia mencoba duduk bersandar, mencoba memahami mengapa semua ini terjadi. Siapa yang menculiknya? Apa tujuannya? Mengapa harus disaat hari pernikahannya?
Tiba-tiba, pintu gudang terbuka perlahan, suara engsel berderit panjang menggema dalam keheningan. Cahaya senja dari luar menyilaukan sesaat sebelum sosok tinggi berjas hitam muncul di ambang pintu.
Andreas.
Dengan langkah santai, ia melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Gaun Mistiza kini kotor dan kusut, rambutnya acak-acakan, dan riasan yang sudah mulai luntur.
Andreas berdiri di hadapannya selama beberapa detik, menatap perempuan yang baru beberapa hari ini ia dengar namanya dalam surat undangan yang dikirim. Seseorang yang tidak pernah ia ketahui sampai hari ini.
Andreas mendekat, lalu menarik kain hitam yang menutupi penglihatan Mistiza serta menurunkan sapu tangan yang membekap mulut si wanita.
Sontak Mistiza terkesiap ketika tangan seseorang tiba-tiba menanggalkan benda yang sedari tadi menyiksanya.
"Akhirnya kita bertemu," ucap Andreas datar, tangannya menyelipkan kacamata hitamnya ke saku jas.
Mistiza menatap pria yang kini berdiri menjulang dihadapinya, alisnya menyatu ketika memandang wajah andreas.
"S-siapa kau?"
"Siapa aku? Apa Ryan tidak pernah memperkenalkan kakak laki-laki ini kepadamu?"
Seketika Mistiza terbelalak lebar saat mendengar pengakuan dari pria yang katanya adalah kakak lelaki Ryan, calon suaminya. Mistiza ingat jika Ryan pernah bercerita kalau dia memiliki seorang kakak laki-laki, lebih tepatnya kakak tiri.
Mistiza menggeleng pelan, berusaha berbicara meski suaranya parau. “Mengapa kau melakukan ini?”
Andreas menghela napas, lalu menurunkan tubuhnya agar sejajar dengannya. Tatapannya tajam, namun bibirnya tersenyum smirk membuat aura di dalam sana mencekam.
"Kenapa? Dengar baik-baik kalau begitu"
"Aku benci Ryan, beserta ayah dan ibunya! Aku ingin menghancurkan kebahagiaan mereka, dan inilah saat yang paling tepat" jelas Andreas frontal, tanpa menyaring kalimatnya agar terdengar halus.
Mistiza menatapnya tak percaya, bagaimana pria ini dengan teganya menghancurkan pernikahan adiknya sendiri, sekaligus ingin membuat ayah dan ibu tirinya menderita. “Kau menghancurkan hari pernikahan kami hanya demi balas dendam?”
Andreas tersenyum sinis. “Hari ini hanyalah permulaan. Mereka telah mencampakkan ibuku, mengambil hakku, menghapus namaku dari keluarga. Aku tumbuh dengan amarah yang tidak pernah mereka pedulikan. Tapi kini, aku kembali... dan aku akan memastikan satu per satu dari mereka merasakan bagaimana rasanya kehilangan.”
“Tapi kenapa aku?” suara Mistiza nyaris tak terdengar.
“Kau adalah lambang kebahagiaan Ryan. Jika Ryan hancur, maka ibunya dan ayahku juga akan turut masuk ke jurang neraka yang sudah ku buat untuk mereka”
Mistiza kembali ketakutan, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Andreas, seolah pria di depannya ini ingin memakannya hidup-hidup.
"Kumohon... lepaskan aku..."
"Hikss...!! Tolong, kasihani lah aku sekali saja"
"Aku akan lakukan apa saja agar membuatmu melepaskan ku dari sini.... Kumohon...!"
Andreas menatap Mistiza dalam diam, ada sedikit rasa senang tatkala melihat air mata yang keluar dari sorot mata bening itu, belum lagi caranya memohon membuat Andreas seperti diberi asupan yang membuatnya makin bersemangat.
“Sayang sekali permintaan mu tidak bisa ku kabulkan. Kau akan tetap tinggal di sini sampai semua yang aku rencanakan tuntas, tidak tau sampai kapan itu, semua juga tergantung sikapmu, jika kau membuat masalah atau membuatku marah, jangan harap bisa keluar dari sini dengan kondisi yang baik"
"Jadi, banyak-banyaklah berdoa untuk keselamatan mu sendiri"
Andreas pun keluar dari pintu, tak lupa mengunci pintu agar Mistiza tak bisa keluar dari sana untuk kabur.
Mistiza berteriak kencang supaya Andreas mengeluarkannya dari sini, menangis sekencang mungkin agar Andreas merasa iba padanya, namun hati beku Andreas tak semudah itu untuk diluluhkan.
Dia membiarkan Mistiza lelah sendiri di dalam gudang, sedangkan dirinya berjalan santai menuju kamarnya untuk beristirahat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!