NovelToon NovelToon

Di Persimpangan Rasa

Bab 1 — Ketika Pusat Perhatian Bukan Pilihan

SMA Negeri Bina Cita Mandala—sekolah elit yang dihuni oleh murid-murid pintar, kaya, atau bahkan keduanya. Bagi yang tidak cukup pintar, setidaknya mereka harus kaya untuk bisa berada di sini. Karena hanya murid berprestasi yang dibebaskan dari biaya sekolah, sisanya harus membayar mahal.

Banyak yang bermimpi menjadi murid di sini, namun hanya sedikit yang tahu sisi gelap di balik gemerlapnya. Murid-murid pintar yang tidak cukup kaya sering kali menjadi korban perundungan oleh mereka yang berasal dari keluarga kaya dan berkuasa.

The Violets—geng pembuli paling berpengaruh di SMA Negeri Bina Cita Mandala—adalah alasan utama banyak murid memilih pindah sekolah. Mereka bisa dengan mudah lolos dari hukuman meski kerap berbuat onar. Anak-anak orang kaya dan berkuasa memang selalu punya jalan sendiri.

Satu-satunya yang bisa menandingi mereka hanyalah Alana Rhea Astareyna.

Penampilannya biasa saja: tidak suka berdandan dan jauh dari kata glamor. Namun, status sosialnya mampu menyaingi—bahkan melampaui—The Violets. Ditambah lagi, Alana memiliki sesuatu yang tidak dimiliki musuh-musuhnya: kecerdasan.

The Violets tidak pernah menyukai Alana, dan Alana tidak pernah peduli disukai siapa pun—termasuk oleh mereka. Permusuhan mereka seperti dua kutub yang bertolak belakang. Yang satu bermain kotor untuk menang, dan yang satu menang tanpa perlu bermain.

Hari ini, permusuhan itu kembali memanas. Kaluna, ketua The Violets, merasa bahwa Alana merebut perhatian murid baru yang sudah ia incar.

“Hei, gue murid baru di sini. Boleh minta tolong anterin gue dan teman-teman gue ke ruang kepala sekolah?”

Kalimat sederhana itu menjadi pemicu ketegangan pagi ini.

Jendral Aryasatya Dirgantara, salah satu dari empat murid baru, mengabaikan Kaluna yang lebih dulu menyapa, dan malah bertanya pada Alana.

Murid-murid lain yang menyaksikan kejadian itu langsung tahu: Kaluna tersinggung. Alana terganggu. Dan yang paling tidak tahu diri, tentu saja si murid baru.

Padahal, Alana jelas-jelas tidak ingin terlibat. Ia bahkan sengaja lewat tanpa menoleh. Tapi si murid baru itu tetap saja memaksa.

“Gue sibuk. Lo bisa minta anter yang lain,” sahut Alana, berusaha tetap sopan.

Jendral menunjukkan ekspresi kecewa yang jelas-jelas dibuat-buat. Teman-temannya yang mengenakan jaket hitam identik saling menyikut dan tertawa kecil.

“Baru juga masuk, udah punya incaran baru,” bisik salah satunya, menggoda sambil menaikkan alis.

“Gue maunya lo yang anter. Gimana dong?” lanjut Jendral dengan senyum tengilnya.

Alana tidak bisa memungkiri bahwa keempat murid baru itu memang tampan—terutama yang satu ini. Wajah tegas, hidung mancung, dan rambut sedikit berantakan yang entah kenapa malah menambah pesonanya. Sayangnya, ketampanan tidak pernah cukup menarik perhatiannya. Apalagi jika dibarengi sikap menyebalkan.

“Bestie, katanya?” celetuk salah satu temannya. “Sejak kapan ketua kita kepikiran punya bestie? Cewek pula.”

“Namanya juga usaha, Bos,” timpal yang lain santai.

Alana menarik napas panjang. Dalam hati, ia ingin sekali melempar wajah mereka dengan tasnya. Tapi ia tahu, bukan itu solusinya.

“Gimana?” Jendral masih menunggu jawabannya, dengan senyum tengil yang belum juga menghilang.

The Violets, terutama Kaluna, makin geram. Ingin rasanya mereka meneriaki Alana di depan umum. Tapi mereka tahu, citra harus dijaga. Terutama di depan empat murid baru yang jelas bukan sembarangan.

Jendral, Mahen, Aska, dan Dewa adalah murid pindahan dari SMA Nusantara Muda, sekolah semi-militer tempat murid-murid bermasalah ditempa. Meski reputasi mereka tidak bersih, latar belakang mereka tidak main-main. Mereka berasal dari keluarga berpengaruh. Terutama Jendral—putra CEO perusahaan pertahanan dan teknologi.

Alasan Kaluna mengincarnya cukup jelas: Jendral adalah sosok yang pantas berada di sampingnya.

Ia bahkan berdandan rapi, lengkap dengan bando merah muda agar terlihat manis. Tapi justru Alana—yang datang tanpa riasan—yang berhasil menarik perhatian Jendral.

Kerumunan yang tadi heboh kini terdiam. Semua menyadari ini bukan pertengkaran biasa. Ini Alana vs Kaluna.

Alana ingin cepat pergi. Tapi Jendral kembali menghalangi jalannya.

“Siapa tahu nanti kita sekelas, atau jadi bestie, gitu?”

Alana semakin muak. Ia bukan tipe yang menikmati sorotan. Dan yang paling ia benci, adalah dipaksa berurusan dengan orang yang menyebalkan.

Lalu terdengar suara pelan dari sisi kerumunan.

“Aku bisa antar kamu ke ruang kepala sekolah,” ucap seorang murid berkacamata tebal, dengan rambut dikepang dua dan tas besar di punggungnya.

Semua menoleh. Ini pertama kalinya ada yang berani menyela saat Alana dan Kaluna bersitegang.

Tapi, Alana justru lega. Setidaknya sekarang ia punya alasan untuk pergi, meninggalkan lelaki yang mengganggu hari tenangnya pagi ini.

“Oke, sekarang udah ada yang mau nunjukin jalan ke ruang kepala sekolah. Gue pergi dulu,” ucapnya datar, lalu berjalan menjauh.

Ia tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Ia bukan The Violets, yang haus akan sorotan dan pengakuan. Ia hanya datang ke sekolah untuk satu hal: belajar.

Langkah Alana menuju kelas tampak tergesa. Ia khawatir murid baru itu kembali mengejarnya. Terlebih, kini murid-murid lain mulai memperhatikannya—sesuatu yang paling ingin ia hindari di sekolah.

Dari kejauhan, seorang murid lelaki memperhatikannya. Ia mencermati tiap gerak Alana yang penuh kecemasan, seakan perempuan itu tengah melarikan diri dari hal yang paling ia benci: sorotan.

Lelaki itu—Naresh—ingin sekali menghampiri dan memastikan Alana baik-baik saja. Namun ia tahu, kehadirannya hanya akan memperumit segalanya. Maka ia memilih untuk mengikuti dari jauh, diam-diam, berharap Alana bisa sampai di kelas tanpa masalah.

"Tenang, Alana. Tenang. Jangan terbawa emosi. Lo harus tenang," bisik Alana pada diri sendiri.

Tubuhnya mulai gemetar, menahan amarah yang nyaris meledak.

Seseorang telah mengusiknya—mengusik ruang tenangnya yang selama ini ia jaga rapat.

Ia sudah melakukan segalanya untuk tetap tidak terlihat. Ia tidak ingin menonjol, tidak ingin menjadi pusat perhatian. Namun, kedatangan murid baru itu merusak semuanya—menghancurkan semua usahanya dalam sekejap.

"Murid baru itu cuma minta lo anter ke ruang kepala sekolah. Harusnya lo nggak sampe segininya," gumamnya, berusaha menenangkan diri sendiri agar tidak larut dalam amarah yang meledak-ledak.

Ia tahu—dalam banyak situasi, orang mungkin akan bilang reaksinya berlebihan. Tapi kenyataannya, ia memang tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia tidak bisa menahan amarah setiap kali seseorang mencoba mengusik ketenangannya, bahkan untuk hal sepele seperti sekadar diminta menunjukkan jalan.

Naresh yang berdiri tidak jauh di belakangnya ingin sekali menghampiri dan menenangkan. Namun, ia menahan diri. Ia memilih membiarkan Alana menenangkan diri dengan caranya sendiri—meski dalam hatinya, ia tahu itu bukan hal yang mudah bagi Alana.

"Lo pasti bisa, Alana. Gue yakin lo kuat... dan gue di sini, jagain lo," ucap Naresh dalam hati, memandangi punggung Alana yang semakin menjauh.

Bab 2 — Gangguan Bernama Jendral

Jendral Aryasatya Dirgantara bukan sekadar murid baru dari kalangan atas. Ia juga ketua The Rogues—geng paling populer dan disegani di sekolah lamanya.

Awalnya, ia tidak berharap banyak terhadap sekolah barunya. Tidak ada yang menarik dari sekolah elit yang dihuni oleh murid-murid pintar dan kaya. Namun, pandangannya berubah saat melihat seorang siswi berseragam sama turun dari mobil mewah tidak jauh dari gerbang, lalu dengan tenang melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan menaiki sepeda.

Berbeda dengan anak orang kaya pada umumnya, murid itu seakan tidak ingin terlihat kaya. Bahkan, ia berusaha menghindar dari perhatian orang-orang. Jendral pun mengakui bahwa ia tertarik padanya.

"Kalian masih mau ke ruang kepala sekolah?"

Suara itu mengalihkan perhatian Jendral dari sosok yang sejak tadi menarik perhatiannya. Ia menoleh, menatap seorang murid berkacamata yang kini berdiri di hadapannya—menawarkan diri mengantarkan mereka ke ruang kepala sekolah.

"Siapa namanya?" tanya Jendral, keluar dari topik. Ia penasaran dengan identitas murid yang menarik perhatiannya sekaligus murid yang menolak menunjukkan ruang kepala sekolah kepada dirinya dan teman-temannya.

"Hah?" Si murid berkacamata sesaat tampak bingung. Namun, tidak lama kemudian ia mengerti maksud Jendral.

"Yang tadi namanya Alana, tapi aku sarankan lebih baik kalian jangan ganggu Alana. Dia nggak suka diganggu."

Teman-teman Jendral—Mahen, Aska, dan Dewa—saling menatap. Mereka tahu betul bahwa Jendral bukan seseorang yang akan menyerah begitu saja hanya karena kata "jangan".

"Oh, namanya Alana?" Jendral menganggukkan kepala, menyimpan nama gadis yang berhasil menarik perhatiannya hari ini. Ia sama sekali tidak mendengarkan peringatan untuk tidak mengganggu Alana yang disampaikan oleh si murid berkacamata.

"Ayo, antar ke ruang kepala sekolah," lanjutnya.

Si murid berkacamata mengangguk, lalu mengarahkan Jendral dan teman-temannya untuk mengikutinya.

Kaluna, yang masih di sana, mengepalkan tangan. Ia dan gengnya sejak tadi berada di sana, tetapi keempat murid baru itu sepertinya tidak peduli dengan kehadiran mereka, seakan-akan mereka makhluk tak kasatmata yang tidak bisa dilihat.

"Si culun itu berani-beraninya nyolong perhatian Jendral dari gue." ucap Kaluna geram. Tangannya terkepal menahan emosi.

"Udah, biarin dulu aja. Nanti kalau sudah waktunya, kita kasih dia pelajaran," ujar Savana—salah satu anggota geng The Violets—yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Ucapannya diangguki oleh anggota geng The Violets lainnya, Liora.

***

Setelah berhasil menenangkan diri, Alana melangkah masuk ke kelas XI-1. Ia langsung menuju bangkunya—di baris paling belakang, di sudut paling pojok ruangan. Tempat yang selama ini jadi zona amannya. Ia hanya berharap tidak ada drama lagi setelah kejadian pagi tadi, karena baginya, drama adalah hal paling melelahkan untuk dihadapi.

"Ngomong-ngomong, lo udah ketemu murid baru belum? Ganteng banget mereka, sumpah," ucap salah satu murid di kelas itu.

Alana tidak tertarik mendengarkannya. Namun, suara si murid memenuhi kelas, dan mau tidak mau ia harus mendengarnya.

"Iya, benar. Apalagi murid yang namanya Jendral, auranya kayak ketua geng gitu, nggak sih?" sahut yang lainnya.

Alana hanya bisa menghela nafas mendengar semua itu.

"Bener banget. Gue harap sih salah satunya masuk ke kelas kita, biar pecah nih kelas. Soalnya kan..." Suara itu tertahan.

Alana melirik ke arah murid yang bicara itu, dan tanpa sengaja mata mereka saling bertemu. Seperti ada sesuatu dari tatapan si murid padanya.

Murid yang ditatap Alana langsung mengalihkan pandangannya, lalu melanjutkan obrolan dengan teman di sampingnya.

"Jendral kayak suka nggak sih sama Alana?" ucapnya pelan. Namun, sayangnya, masih terdengar oleh telinga Alana.

Alana memutar mata. Pandangannya kini tertuju lurus ke arah papan tulis di depan kelas.

"Apa kelas ini sekarang jadi tempat gosip?" tanyanya tanpa menoleh pada teman-teman sekelas yang asyik bergosip.

Kelas XI-1 termasuk kelas unggulan; nyaris semua murid di kelas ini pintar dan lebih suka memakai otak mereka ketimbang mulut mereka. Tapi entah kenapa, pagi ini terasa berbeda—semua geger hanya karena empat murid baru yang sedang mereka bicarakan.

Perkataan Alana seolah menyadarkan murid-murid yang sedang bergosip. Mereka langsung diam dan mulai membuka buku pelajaran, menunggu guru datang. Untuk sesaat, kelas kembali seperti biasanya. Namun, kehebohan kembali menyeruak saat salah satu murid baru benar-benar menjadi penghuni baru di kelas mereka. Terlebih lagi, saat murid baru itu memperkenalkan dirinya di depan kelas.

"Hei, gue Jendral Aryasatya Dirgantara. Senang bertemu kalian," ucap si murid baru yang mengaku bernama Jendral.

Alana mengepalkan tangan di atas meja. Lelaki bernama Jendral itu benar-benar mengganggunya. Ia mengancam kedamaian yang selama ini ia pertahankan dengan susah payah.

"Kenapa dia harus masuk kelas ini sih?" keluhnya dalam hati. Ia tidak masalah jika harus ada murid baru di kelasnya, tapi lelaki itu—lelaki yang sedang menatap ke arahnya itu—benar-benar mengganggunya.

Berbeda dengan Alana, murid-murid lain di kelas itu justru merasa senang Jendral jadi bagian dari mereka. Terutama murid-murid perempuan. Setidaknya, sekarang ada sedikit pemanis di kelas yang biasanya serius itu.

"Baik, Jendral. Kamu bisa duduk di bangku kosong di—" Belum sempat guru di depan menyelesaikan kalimatnya, Jendral sudah lebih dulu menyela.

"Saya akan duduk di sana, Bu," ucap Jendral sambil menunjuk bangku kosong di samping Alana.

Adegan itu menjadi hiburan kecil bagi kelas XI-1 yang biasanya serius dan jauh dari suasana romansa. Meskipun reaksi Alana tampak keberatan, murid-murid di kelas itu seolah disuguhi drama romantis secara langsung.

"Baik." Saat guru hendak mempersilakan Jendral duduk di bangku yang diinginkannya, tatapan sang guru tanpa sengaja bertemu dengan Alana—dan ia tahu tatapan itu, tatapan penolakan yang tidak diungkapkan secara lisan.

"Eum, tapi menurut Ibu, lebih baik kamu duduk di bangku lain. Bagaimana kalau di sana?" Guru menunjuk bangku kosong di pojok, berseberangan dengan Alana.

"Maaf, Jendral, tapi Alana tidak suka diganggu. Jadi, lebih baik kamu duduk di sana," sambung guru itu, meminta pengertian.

Namun, Jendral tidak berniat mengubah keputusannya. Ia datang ke sekolah ini bukan untuk duduk berseberangan dengan Alana. Ia ingin mendekati perempuan yang sejak pagi berhasil menarik perhatiannya. Bahkan, demi itu, ia rela memohon langsung pada kepala sekolah agar bisa ditempatkan di kelas ini.

"Saya tidak akan mengganggu," ujarnya santai, sebelum melangkah penuh percaya diri menuju bangku kosong di samping Alana dan duduk tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut.

Alana mengepalkan tangan di atas meja. Ia tidak suka dengan gangguan bernama Jendral itu. Kehadirannya terasa seperti ancaman terhadap kedamaian yang selama ini ia jaga.

Berbeda dengan Alana, Jendral justru diam-diam tersenyum melihat ekspresi kesal di wajah perempuan itu. Bagi Jendral, reaksi itu bukan penolakan—melainkan awal dari sesuatu yang menarik.

Dan ya, kelas pun riuh. Drama baru dimulai—antara murid unggulan yang menjaga jarak dan murid baru yang tidak kenal takut.

Bab 3 — Bekal untuk Hati yang Terganggu

Alana ingin sekali mengabaikan kehadiran murid baru di sampingnya. Namun, murid itu terus mengganggunya, membuatnya kesulitan untuk fokus belajar ataupun mendengarkan guru yang sedang menjelaskan di depan kelas.

"Lo ngerti yang guru terangin di depan?"

"Punya pulpen lain, nggak? Pulpen gue ketinggalan di rumah."

"Di sini gerah, ya? Lo nggak ngerasa gerah? Gak ada AC, ya, di sini?"

"Bagi buku catatan lo dong. Gue kan murid baru, belum punya catatan."

"Gue pinjam buku catatan lo, ya? Gue belum sempat nyatat pelajaran tadi."

Kalimat-kalimat itu terus mengusik Alana sepanjang pelajaran. Setiap kali ia mencoba fokus, suara Jendral selalu memotong konsentrasinya. Sejak lelaki itu duduk di sampingnya, tidak ada sedetik pun Alana terbebas dari gangguan, bahkan hingga bel istirahat berbunyi.

"Lo mau ke kantin, kan? Ayo bareng, gue juga mau ke kantin," ajak Jendral, tepat setelah bel istirahat berbunyi dan guru serta murid-murid lain mulai beranjak keluar dari kelas.

Alana ingin mengabaikan Jendral, tapi sekali lagi, Jendral seolah ingin kehadirannya di sana diperhatikan oleh Alana. Ia akhirnya hanya menarik nafas, mencoba menahan emosi yang nyaris keluar karena harus berhadapan dengan lelaki seperti Jendral.

"Jangan cuek-cuek gitu sama gue. Gue di sini murid baru, belum punya teman, lo nggak kasihan?" ucap Jendral lagi, seolah mulutnya sudah disetel untuk terus mengoceh sebelum mendapatkan respon dari Alana.

Alana menahan diri agar tidak menendang Jendral keluar dari kelas. Ia memang bukan tipe orang yang mengandalkan kekuasaan demi kenyamanan diri. Tapi kali ini, ia benar-benar harus berusaha menutup telinga dan menahan diri, meski rasanya sangat terganggu dengan ocehan demi ocehan Jendral. Ia belum pernah bertemu lelaki seberisik Jendral sebelumnya.

"Jendral..." Suara itu menginterupsi. Sebuah tangan menarik pelan lengan baju Jendral.

Jendral refleks menoleh, menatap murid yang menarik lengan bajunya. "Apa?" tanyanya.

"Kamu lupa atau nggak denger apa yang aku omongin? Jangan ganggu Alana, Jendral!" ucap murid itu, menatap Jendral penuh peringatan.

Sangat wajar kalau Jendral tidak tahu bahwa Alana tidak boleh diganggu, karena dia memang murid baru. Tapi sebelum ini, ia sudah lebih dulu memberitahu Jendral tentang itu.

"Ck!" Jendral berdecak pelan. Ia tidak merasa melakukan kesalahan atau mengganggu siapa pun. Ia hanya ingin mengajak Alana ke kantin.

"Gue cuma mau ngajak Alana ke kantin, apa itu salah?" balasnya, sedikit tersinggung.

Murid berkacamata itu menggeleng pelan. "Kamu nggak salah mau ngajak ke kantin, tapi Alana nggak suka ke kantin," jelasnya pelan, seolah sudah tahu pasti bahwa Alana tidak akan suka diganggu oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun.

Jendral memicingkan mata, menatap murid berkacamata yang saat itu juga langsung menundukkan kepalanya, seolah menghindari tatapannya. "Kalau Alana nggak suka ke kantin, terus gimana kalau dia lapar?" tanyanya dengan nada sedikit sinis, seolah tidak mempercayai ucapan si murid berkacamata itu.

Baru saja murid berkacamata membuka mulut untuk menjawab, langkah kaki terdengar, diikuti dengan seorang lelaki yang memasuki kelas mereka. Penampilannya terlihat santai, dan ada tas berisi kotak nasi di tangan kanannya.

"Menu makan siang kali, onigiri dan tamagoyaki, kesukaan lo," ucap lelaki itu sambil tersenyum dan meletakkan tas di tangannya di atas meja Alana.

Sebelum Jendral bisa bereaksi, tangannya sudah lebih dulu ditarik keluar oleh seseorang, membuatnya terpaksa keluar kelas. Meskipun hatinya penasaran tentang siapa lelaki yang menghampiri Alana tadi, ia tidak bisa berkata apa-apa.

"Kenapa? Murid baru itu ganggu lo?" tanya lelaki yang menghampiri meja Alana dan memberi Alana makanan.

Lelaki itu, Naresh Arya Pratama, sahabat Alana. Lelaki yang sama yang mengkhawatirkan Alana saat Alana diganggu oleh Jendral di koridor. Ia tahu tatapan Alana pada murid baru bernama Jendral bukanlah tatapan kagum atau suka. Tatapan itu adalah tatapan saat Alana merasa terganggu dengan kehadiran seseorang. Ia mengenali setiap garis perubahan wajah Alana, bahkan ketika Alana mencoba menyembunyikannya.

"Enggak," jawab Alana berbohong. Meski kenyataannya, ia sangat terganggu oleh Jendral.

"Oke, kalau gitu. Ayo kita makan," ajak Naresh, tidak mendesak Alana untuk jujur padanya. Lagipula, Naresh sudah tahu perasaan Alana hanya dengan melihat tatapan matanya.

"Hem." Tanpa banyak bicara, Alana akhirnya menyantap bekal yang dibawakan Naresh untuknya. Kini, ia merasa lebih tenang karena kehadiran Naresh yang memang sangat menenangkan.

Di depan kelas, Jendral menyaksikan semuanya. Saat Alana mengucapkan terima kasih kepada Naresh karena telah membawakan bekal untuknya, dan saat Alana membuka kotak bekal yang dibawa Naresh, semua itu ia saksikan dengan matanya tanpa berkedip sedikit pun.

"Dia Naresh, sahabat Alana. Alana nggak pernah ke kantin karena Naresh selalu bawa bekal buat dia," ucap seseorang dari arah depan tubuh Jendral, murid berkacamata teman sekelasnya.

Murid berkacamata itu tetap setia menemani Jendral, meskipun sebenarnya urusan hati Jendral bukanlah urusannya.

"Kamu kayaknya penasaran sama dia, jadi aku kasih tahu," tambahnya, seolah tahu apa yang Jendral pikirkan dan ingin tanyakan saat ini.

"Huh?" Jendral menatap murid berkacamata itu tanpa mengatakan apa-apa, seolah mencari kebenaran atas apa yang baru saja dikatakan murid berkacamata di depannya.

Saat ia ingin menanyakan lebih jauh tentang Alana dan lelaki bernama Naresh, tiba-tiba ia teringat sesuatu.

"Oh ya, gue belum tahu nama lo." Kata Jendral tanpa mengalihkan pandangannya dari murid berkacamata di depannya. Sesaat, ia melupakan Alana dan Naresh.

Murid berkacamata itu mengerjapkan matanya di balik kacamata tebalnya. Namanya tadi dipanggil saat absen di depan kelas, tapi sepertinya Jendral tidak terlalu memperhatikannya. Mungkin karena Jendral lebih fokus pada Alana.

"Nama aku Nisya," ucap murid berkacamata itu. Ada sedikit keraguan saat memperkenalkan dirinya pada Jendral, karena ini pertama kalinya ada orang yang mau menanyakan namanya.

Biasanya, orang-orang hanya akan memanggilnya dengan julukan seperti "si culun," "si kutu buku," atau apa pun yang mereka suka.

Tanpa disangka, Jendral mengulurkan tangannya di depan Nisya, seolah meminta Nisya untuk berkenalan secara resmi dengannya.

"Oke, Nisya. Gue Jendral," ujarnya dengan tangan yang sudah terulur di depan Nisya.

Nisya tampak ragu untuk menerima uluran tangan itu, namun tatapan Jendral seolah mengintimidasinya dan memintanya untuk segera menyambut tangan itu. Akhirnya, ia meraih tangan Jendral sebentar.

"Iya, aku tahu kamu Jendral," katanya sambil menundukkan wajahnya, tidak berani menatap Jendral.

Tidak jauh dari tempat mereka, Kaluna dan gengnya sedang berdiri memperhatikan ke arah mereka. Kaluna semakin kesal pada Nisya yang sudah merebut perhatian Jendral darinya.

Seharusnya, murid baru—termasuk Jendral—hanya menyukai Kaluna, bukan murid lain. Terlebih lagi, murid itu adalah Nisya, si culun yang selama ini tidak pernah dipedulikan kehadirannya di sekolah. Alana yang dianggap setara dengannya saja tidak boleh lebih unggul, tidak boleh disukai oleh murid baru, apalagi hanya seorang Nisya.

"Si culun itu bener-bener harus gue kasih pelajaran," gumam Kaluna sambil memperhatikan interaksi Jendral dan Nisya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!