NovelToon NovelToon

Dijodohkan Lagi

S2 Episode 1

Seluruh keluarga kembali berkumpul. Saat usai menemui dokter spesialis jantung ternama di kota itu Raka dan Zia disarankan supaya harus segera memilih antara bayi yang dikandung atau nyawa Zia karena kondisi akan semakin memburuk kalau tidak segera dilakukan tindakan.

Kenyataan ini memang sulit diterima, mau tidak mau mereka harus mengambil keputusan. Ini jalan yang terbaik.

“Aku sudah putuskan, Zia yang akan tetap hidup,” Sergah Raka sehingga membuat mereka bertiga seketika menoleh.

“Apa yang kau katakan, sayang? Tidak, aku tidak terima dengan keputusanmu ini. Ma, katakan padanya jangan seperti itu.” Zia berjalan ke arah Claris meminta supaya menjelaskan pada Raka.

Sementara Clarys diam. Ia sendiri sedang diposisikan dalam keadaan sulit. Bagaimana bisa menasihati Raka, sementara ia sendiri dalam keadaan kebingungan.

“Aku sudah memutuskan, Zia. Aku akan lebih sakit kalau harus kehilangan kamu, dari pada bayi kita. Biarkan dia yang suci bersih tanpa dosa pergi, kelak dia akan berkumpul dengan kita disurga. Dia pasti juga akan mengerti kalau nyawa bundanya penting untuk Ayahnya. Dia juga akan tau, kalau bundanya pergi, m—mungkin, Ayahnya juga akan ikut pergi.”

“Raka!” Zia kembali menghampiri Raka dan duduk sebelahnya. Ia menangkup wajah sang suami dengan tatapan berkaca-kaca.

“Jangan pernah ucapkan kata-kata seperti itu lagi. Aku benci itu, aku tidak menyukai itu. Bayi ini akan tetap hidup, aku sudah memutuskannya. Kalau kalian menyayangiku, pasti kalian akan menghargai keputusanku. Besok pagi operasi akan dilakukan jadi hari ini, adalah hari terakhirku dengan k—kalian, yang harus kalian t—tahu, aku akan bahagia kalau melihat bayi ini bahagia. A-aku, aku-”

Kata-kata Zia terputus karena tidak sanggup menahan air mata. Dengan bibir bergetar ia berkata, “Aku akan tenang di sana.”

“Apa kau sudah tidak menyayangi aku lagi, Zia? Apa aku tidak berharga untukmu? Kenapa kau bisa mengatakan seperti itu. Kau akan tetap hidup, Zia,” ucap Raka dengan tatapan berkaca-kaca menatap wajah sang istri.

“Kalian tidak boleh seperti ini. Kita harus segera menentukan pilihan, waktu tidak banyak, Raka,” sahut Mama Clarys.

“Tolong hargai, keputusanku. Bayi ini akan tetap hidup, akulah yang akan pergi. Tolong hargai keputusanku,” kekeh Zia.

“T—tapi, Zia.” Mama Clarys mendongak menatap Zia yang berdiri di antara mereka bertiga yang sedang duduk.

Bagai luka yang disayat setelah itu di beri garam. Hati Raka sangat perih menerima kenyataan ini. Terlebih lagi ia harus menghargai keputusan Zia merelakan untuk selama-lamanya.

“Baiklah, Zia kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Aku tidak bisa menentang itu, kau lebih berhak, atas segalanya keputusanmu adalah pilihan terbaik buat kita semua.” Raka menyelonong pergi ke kamar tanpa permisi.

Tubuh Zia seketika lunglai. Ia menjatuhkan diri di sofa dengan tatapan kosong. Air matanya habis terkuras hingga tidak keluar lagi. Pergi meninggalkan orang-orang terdekatnya memang berat, terutama Raka sang suami.

Namun ia juga tidak bisa egois dengan memikirkan diri sendiri. Ada bayi yang harus diselamatkan, yang membutuhkan kasih sayang dari mereka semua.

Sedangkan dirinya sudah cukup bahagia selama ini. Mereka selalu memanjakannya bak seorang ratu, semua permintaannya selalu dituruti oleh Raka.

Kini ia ingin meminta untuk yang terakhir kalinya. Yaitu, supaya membiarkan bayinya tetap hidup dan bahagia di antara mereka.

“Zia, pergilah ke kamar, nak. Bicarakan ini dengan Raka baik-baik. Kalau kau tetap bersikukuh dengan keputusanmu itu-” Clarys tidak kuasa menahan air matanya.

“Satu yang harus kamu tahu, Zia. A-a—aku, sangat menyayangimu- kalau tidak ada kamu, mungkin a—aku tidak bisa berkumpul dengan putraku. Zia, kamu malaikat bagiku, walau aku sudah menyakitimu dulu, t-tapi, kamu masih saja mau memaafkanku.” Clarys menangis hingga tersedu-sedu hingga tidak sanggup lagi untuk melanjutkan kata-katanya.

Sedangkan Vita hanya menangis menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Ya Tuhan, kapan cobaan ini akan berakhir, berikan keajaiban, berikan kami jalan sedikit saja untuk menuju kebahagiaan ... aku tidak sanggup jika harus kehilangan kak Zia. Aku tidak sanggup,” mohon Vita dalam hati, mendongakkan wajah menahan air mata, walau tetap saja sia-sia.

“Ma—Vita, aku permisi ke kamar dulu, banyak yang harus aku siapkan untuk keperluan besok. Aku akan memeriksa semua untuk bayi ini, aku akan pastikan tidak ada yang kurang sedikit pun.” Zia segera melangkah pergi dari hadapan Vita dan Clarys.

Mereka berdua menangis hingga tersedu-sedu. Tidak kuasa melihat Zia seperti itu, bahkan ia masih sempat menyiapkan keperluan bayinya dalam keadaan seperti ini.

Raka menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Betapa tidak berdayanya dia saat ini menjadi lelaki, tidak bisa menyelamatkan istrinya walau ia ingin. Lelaki itu marah dengan dirinya sendiri tangannya mengepal, bahkan ia benci melihat bayangannya sendiri.

PRANG!!

Ia memukul kaca dengan kepalan tangannya hingga berkeping-keping darah segar mengalir dari buku-buku tangannya dan tertinggal di cermin yang pecah itu.

Walau darah mengalir deras ia tidak merasakan apa-apa. Bahkan tatapannya kosong tidak berekspresi sedikit pun.

Zia yang baru masuk ke dalam kamar segera bergegas ke kamar mandi saat mendengar suara pecahan kaca dari arah sana. Rasa khawatir seketika menyeruak tertuju kepada Raka sang suami. Ia sedikit berlari melihat keadaan apa baik-baik saja.

“Raka!” Dengan napas terengah-engah dada naik turun Zia segera menghampiri Raka.

Matanya tertuju pada tangan Raka yang mengalirkan darah deras seperti seekor ayam sedang di potong. Segera Zia meraih tangan itu dan membawa Raka ke kamar.

Dengan panik ia membiarkan suaminya itu duduk di tepi ranjang. Sementara dia menghambur mencari kotak obat P3K yang berada di laci. Setelah mendapatkan kotak itu, dibawanya ke dekat Raka.

Dengan perasaan khawatir ia menatap wajah Raka yang kosong itu. “Sayang, lukamu sangat dalam. Sebaiknya aku panggil dokter.” Zia beranjak akan mengambil ponselnya.

“Jangan, Zia. Alangkah baiknya luka ini akan tetap ada, ini akan menunjukkan betapa tidak berdayanya aku sebagai seorang suami.”

Zia segera menoleh dan mengurungkan niatnya untuk menghubungi dokter. Perempuan itu kembali mendekat ke arah Raka duduk di sebelahnya. Diambilnya sebotol alkohol. “Tahan, ini akan terasa perih,” ucapnya.

Ia menyiramkan alkohol itu ke luka Raka. Tetapi lelaki itu bergeming, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Setelah itu ia membersihkan sisa-sisa darah di tangan Raka lalu membalut empat jari yang terluka itu dengan kain kasa.

Tatapan kosong Raka seketika teralihkan saat mendengar isakan kecil lolos dari mulut Zia. Mata lelaki itu segera teralih untuk menatap sang istri.

“Zia, kamu menangis sayang?” tanyanya disertai dengan rasa khawatir.

S2 Episode 2

Zia disibukkan mengusap air matanya seraya memutar kain kasa di tangan Raka. Tanpa berkata-kata ia terus saja menangis air mata membanjiri pipi mulusnya.

“Aku mohon jangan lakukan seperti ini lagi, sayang. Kamu jangan selalu menggunakan emosi saat menyelesaikan masalah. Besok anak kita akan lahir dan kamu jangan pernah bersikap seperti ini lagi saat dia ada nanti. Aku mohon,” ucapnya menggunting kain kasa itu lalu selesai.

Ia meletakkan tangan Raka pelan-pelan. Lalu berpaling wajah untuk tidak menatap wajah suaminya itu. Ia tidak kuasa, melihat wajah seorang yang sangat-sangat ia cintai itu bersedih. Zia menaikkan bola matanya mengusap air mata dengan jari.

“Aku akan menyiapkan keperluan untuk besok.” Ia beranjak dari ranjang tanpa menoleh ke arah Raka.

“Zia.” Raka menarik tangannya menahan seolah jangan pergi.

Tanpa berbalik Zia memejamkan mata, sungguh ia tidak sanggup adakah hal yang menyakitkan dari pada ini? Zia berbalik menghambur memeluk suaminya itu dengan erat menenggelamkan wajahnya dalam dada Raka. Air matanya sudah tidak bisa terbendung lagi pakaian Raka basah karenanya.

“Aku mencintaimu Raka, aku sangat mencintaimu ....”

“Kau bohong, Zia. Kalau kau mencintaiku kau tidak akan merelakan nyawamu untuk meninggalkan aku,” ucap Raka memegang pundak Zia dengan kedua tangannya menghadapkan wajahnya untuk saling menatap.

“Nyawa anak kita lebih penting, sayang. Pegang dia.” Zia meraih tangan Raka dan menempelak ke perutnya.

“Kau merasakan bukan tendangannya? Betapa tidak sabarnya dia sudah ingin terlahir ke dunia ini. Apa kita sebagai orang tua tega menyakitinya? Dia adalah buah cinta kita, sayang. Dia akan menjadi putri kecil yang mengingatkanmu padaku, dia akan selalu menemanimu saat merindukanku, dan a—aku berdoa, semoga dia berwajah sama denganku. Dengan begitu kamu tidak akan berpaling, mencari wanita lain karena kau akan selalu mengingatku,” canda Zia mencoba tersenyum walau bibirnya bergetar menahan tangis.

“Kumohon, Zia. Jangan katakan sesuatu yang membuat aku tidak suka. Aku sangat mencintaimu dan tidak akan ada wanita lain yang bisa menggantikanmu. Demi apa pun jangan katakan itu lagi, atau aku akan marah.”

Bibir Zia bergetar menahan tangis, meskipun begitu ia mencoba untuk tersenyum seraya berkata, “Aku senang kalau kau marah, sayang. Setidaknya untuk terakhir kalinya aku bisa melihatmu marah seperti dulu, seorang Raka yang berhati dingin dan keras kepala.”

“Aku mohon, Zia, jangan tinggalkan aku, jangan pernah tinggalkan kami, aku tidak sanggup jika harus hidup tanpamu, Zia. Bagaimana dengan anak kita nanti, kalau dia bertanya di mana bunda yang telah melahirkannya?”

“Mungkin ini sudah ditakdirkan dalam hidup kita, sayang. Tanpa harus kita bisa melawannya. Ini adalah takdir, mau tidak mau kita harus menjalani,” ucap Zia dalam pelukan Raka.

“Apakah takdir akan sepahit ini? Apa takdir kebahagiaan tidak pernah ada dalam hidupku?” Raka memeluk tubuh Zia. Ia tidak mau kehilangan istrinya itu, tapi ia juga tidak bisa menentang permintaan dari Zia.

Ia harus merelakan perempuan yang sangat ia cintai itu demi kehidupan putrinya.

Zia mengangkat pandangannya menatap dalam-dalam wajah sang suami. Mengamatinya seolah tidak ingin berpaling, wajah tampan alis tebal hidung mancung dan bibir yang menurutnya sangat memikat itu selama ini yang berhasil menghipnotisnya.

Akankah besok ia masih bisa melihat senyuman terukir dari bibir itu? Akankah besok ia masih bisa merasakan pelukan hangat seperti saat ini?

Zia mengusap air matanya lalu melepaskan pelukan Raka. Ia menggeser tubuhnya menyingkir dari sana.

“Aku akan melihat kamar anak kita. Apa ada yang kurang atau tidak. Apa kau mau ikut, sayang?”

“Tentu aku akan ikut, Zia.” Raka mengusap air matanya lalu beranjak mendekat ke samping istrinya itu. “Ayo aku kita ke sana,” ajak Raka.

Pintu kamar terbuka terpampang nuansa warna merah muda dan putih. Kamar yang tampak bersih karena belum pernah dihuni itu sudah siap ditempati. Semua perlengkapan sudah ada di dalam sana. Mulai dari lemari beserta pakaiannya, ranjang berkarakter, semua sudah tertata rapi.

Zia segera masuk dan membuka lemari warna merah muda itu. Mengetuk-ngetuk dagunya tampak memikirkan sesuatu.

“Sepertinya ada yang kurang,” ucapnya sembari menatap ke arah dalam lemari itu. “Sayang, bukankah pakaian warna ini tidak cocok dengan buat anak kita?” Ia mengangkat pakaian kecil itu memperlihatkan pada Raka.

“Lalu, kenapa ini di sini, seharusnya ada di sana.” Ia memindahkan mainan bayi itu ke tempat lain. “Selimut, baju-”

“Cukup, Zia.” Raka memeluknya dari arah belakang.

“Eh, apa ini?” Zia terkejut saat Raka tiba-tiba memeluk, menempelkan kepalanya di pundak seperti anak kecil ingin bermanja-manjaan.

“Semua sudah beres, Zia. Tidak usah khawatir lagi, bahkan kamu sudah menyiapkan semua keperluan dari jauh-jauh hari. Aku tau maksud dari ini.”

“Iya, aku hanya tidak ingin anak kita kekurangan sesuatu jika aku nanti tidak ada. Setidaknya aku sudah menyiapkan semua keperluan untuknya,” timpal Zia.

“Aku yakin kau pasti baik-baik saja. Tidak akan ada sesuatu yang terjadi pada kalian. Semua yang dikatakan dokter hannyalah bohong, dokter hanya menakut-nakuti pasien saja. Setelah takut mereka akan memanfaatkan kita.”

“Dokter tidak bohong, Raka. Dia memang benar, nyawaku memang akan bertahan kalau aku merelakan bayi ini. Tapi aku tidak mau, aku rela kehilangan nyawaku asalkan, bayi kita selamat.”

Asik ... asik mudahan gak ada yang bingung sama alur ceritanya ya 😍

kalau masih bingung bisa baca Novel Dijodohkan 4 bab terakhir seseon 2.

Ditunggu kisah selanjutnya...

S2 Epsode 3

Dengan seluruh persetujuan Zia bersiap-siap untuk menjalankan operasi secara caesar di rumah sakit ternama di kota itu. Raka mendorong kursi roda dari pelataran rumah sakit menuju ke dalam.

Sepanjang perjalanan mama Clarys terus berdoa memohon untuk memberikan keselamatan pada Zia dan bayinya. Meski dokter mengatakan kalau salah satu dari mereka tidak akan ada yang bisa bertahan Clarys yakin, keajaiban itu pasti ada. Zia pasti akan tetap hidup dan berkumpul dengan anaknya.

Sedangkan Raka bergeming tidak bisa berkata-kata lagi. Rasa dalam hatinya berkecamuk perih seperti disayat-sayat saat membayangkan kejadian yang tidak ingin ia lakukan.

Para dokter pun sudah turut berjejer di halaman rumah sakit untuk menyambut kedatangan Raka. Salah satu perawat perempuan maju dan menghampirinya Raka berkata,

“Biar saya bantu, Tuan.”

“Tidak usah, biarkan saya membawa istri saya sendiri ke dalam.” Raka berjalan melewati perawat tersebut melanjutkan mendorong kursi menuju ke dalam.

“Aku bisa jalan sendiri, sayang.” Zia mendongak untuk menatap Raka di belakangnya. “Tidak perlu pakai kursi roda sepertinya, akan lebih baik.”

Raka menghentikan langkahnya. “Baiklah, aku tidak akan memakai kursi roda,” ucapnya. Berjalan ke depan Zia membungkukkan tubuh lalu mengangkat istrinya itu dari kursi.

“Apa yang kau lakukan?” Zia ter sesigap. Malu karena banyak orang yang berada di belakang mereka.

“Aku hanya ingin menggendong anak dan istriku secara bersamaan,” kekehnya terus berjalan membawa Zia menuju ruangan yang sudah disiapkan.

Para dokter dengan tunduk mengikutinya dari arah belakang. Menuju ruangan VIP yang sudah ia siapkan dari jauh-jauh hari.

Pintu besar itu pun terbuka lebar Zia melingkarkan tangan di leher Raka. Dengan tatapan dalam Raka memandangnya seolah tidak ingin berpaling darinya.

“Sudah ahh lihatnya, aku jadi malu.” Menepuk pipi Raka pelan disela-sela gendongannya saat pipinya memerah seperti tomat.

“Pasti kamu senang kan? Punya suami setampan aku.” Raka terkekeh meletakan tubuh Zia pelan-pelan selayaknya porselen mahal akan rapuh jika tergeser sedikit saja ke atas tempat tidur.

Sebelum pergi ke rumah sakit Zia meminta satu permintaan pada Mama Claris, Vita dan Raka. Ia tidak mau melihat seseorang di antara mereka ada yang menitikkan air mata. Zia ingin mereka memasrahkan semua pada Yang Maha Kuasa. Jika ia digariskan hari ini akan meninggal dia terima. Dan jika diberikan kesempatan untuk hidup ia akan bersyukur karena masih bisa merawat sang buah hati bersama sang suami.

Walau ingin menangis mama Clarys yang berdiri diambang pintu itu menahannya. Walau sebutir air mata lolos dari kelopaknya. Cepat-cepat ia segera mengusap air itu dan melangkah mendekati mereka berdua.

“Raka, temui dokter di ruangannya. Dia menunggumu di sana,” titahnya.

Raka memandang Zia. Seperti berat tidak mau meninggalkannya. Karena ia tahu, setelah tiba di ruangan dokter, pasti dokter itu akan memerintahkannya supaya segera menanda tangani surat persetujuan operasi.

Permintaan Zia meminta supaya bayinyalah yang harus dipertahankan. Dengan berat hati dan seluruh kesepakatan keluarga akhirnya ia menyetujui permintaan istrinya.

Dengan langkah berat Raka membuka pintu ruangan dokter Sesil. Bak menarik jangkar saat melangkah ke ruangan itu.

Dokter yang berperawakan cantik dengan senyum memikat siapa saja yang melihatnya itu melempar senyum pada Raka. Tampak bersahaja karena mereka sudah mengenal dalam beberapa pertemuan selama seminggu ini.

“Silakan duduk, Tuan Raka.” Ia menadahkan tangannya ke arah kursi depanya. Setelah Raka duduk ia pun turut duduk di kursi kebanggaannya.

“Sebelumnya yang harus Anda ketahui, Tuan. Ada beberapa hal yang harus saya jelaskan, mengenai risiko operasi caesar yang akan dilakukan. Sebelumnya Anda pasti sudah tahu, apa yang terjadi setelah operasi itu.”

Raka mengangguk mencerna setiap perkataan dari dokter cantik itu.

“Konsekuensi ini sangat besar, Tuan. Aku harap Anda bisa mempertimbangkan ini dengan baik-baik.” Dokter itu menatap Raka yang menunduk. Melihat lelaki ia sangat prihatin karena walau bagaimanapun kehilangan orang yang sangat dicintai itu sangat menyakitkan. Seperti yang ia alami beberapa bulan yang lalu.

“Apa nyawa mereka tidak bisa dipertahankan dua-duanya, dok?”

Dokter itu tersigap mendengar kalimat Raka. Sontak mengedipkan matanya mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya ingatnya kembali berkelebat kejadian betapa tragisnya sang calon suami pergi.

Perempuan itu menghela napas menegakkan posisi duduknya penuh keyakinan. “Walau ini sangat tidak mungkin aku akan berusaha menyelamatkan nyawa mereka berdua, Tuan. Aku akan berusaha operasi ini akan berhasil,” ucap dokter Sesil penuh yakin. Ia tidak ingin Raka mengalami kejadian seperti ia dulu di mana di saat hari pernikahan kekasih yang ia cintai pergi dengan begitu tragis.

“Aku berharap banyak padamu, dok. Istriku adalah segalanya bagiku, tapi aku tidak bisa mengelak permintaan darinya supaya mempertahankan bayi kami.” Wajah Raka terlihat terang karena ia mendengarkan ucapan dari dokter ada secercah harapan di sana.

“Aku tahu yang Anda rasakan, Tuan. Karena aku pernah mengalaminya,” gumam dokter itu samar. Tapi ia segera membuyarkan lamunan dari racauannya.

“Kita kembali ke topik, Tuan. Jadi ada beberapa dokumen yang harus segera Anda tanda tangani.” Ia beranjak dan membawa dokumen-dokumen itu ke hadapan Raka. “Di sini, Tuan.” Menunjuk di mana Raka harus bertanda tangan.

Tangan lelaki itu bergetar saat membaca pernyataan di dalam kertas itu, yang bertuliskan ia harus memilih bayinya supaya tetap hidup. Sedangkan Zia, ada tulisan yang sangat membuatnya sesak dalam dada. Yaitu, saya juga bertanggung jawab jika nyawa pasien bernama Zia tidak terselamatkan. Saya yang bertanda tangan di bawah ini memberi pernyataan dengan sesadar-sadarnya bahwa memilih bayi saya yang akan diselamatkan.

Raka membaca surat itu dengan dipenuhi rasa sesak di dada. Seperti tidak ingin mendaratkan pulpen di sana. Tangannya seolah menjerit, tidak ingin bertanda tangan di sana.

“Tuan. Apa Anda siap?”

Suara dokter membuyarkan lamunan Raka. Ia segera ter sesigap melihat ke arah dokter Sesil dan berkata, “Dok, walau aku menandatangani surat ini, aku mohon selamatkan dua-duanya.”

“Kemungkinan sangat kecil, Tuan.” Dokter itu menatap wajah Raka yang memohon itu. “Tapi aku akan berusaha sebisa mungkin. Aku janji,” ucap dokter Sesil yakin.

“Sekarang yang perlu Anda lakukan tanda tanganlah supaya bisa segera dilakukan tindakan.”

Raka segera menandatangani dokumen-dokumen itu, penuh keyakinan. Ia yakin, Zia pasti akan tetap hidup.

Dua orang dokter berada di dalam ruangan Zia. Ditemani mama Clarys perempuan itu sangat begitu tegar, seolah siap kehilangan nyawanya saat ini juga.

Dokter itu memeriksa kondisi Zia, dari tekanan darah, detak jantung. Salah satu dokter membawa jarum suntik, ingin melakukan pemasangan selang infus ke tangan Zia.

Raka masuk membulatkan mata. “HEI! Apa yang kau lakukan pada istriku?”

Sontak seluruh orang di dalam ruangan menoleh padanya.

“Pasti Raka tidak ingin aku di suntik lagi seperti kejadian waktu dulu,” gumam Zia membuang napas malas.

Likenya dikit😞 kurang greget lanjutnya

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!