[S1] LILAC DI JENDELA | Jirosé (END)
Bab 1 – Ruang Lilac
Ruang latihan itu sepi. Hanya denting alat musik yang belum sempurna tertata dan aroma bunga lilac yang menggantung di udara. Cahaya matahari menyusup malu-malu lewat jendela besar, menyinari kelopak-kelopak ungu yang baru disusun di sudut ruangan.
Rose memeriksa susunan terakhir dengan hati-hati. Tangannya cekatan, tapi sorot matanya penuh keraguan. Ia tidak pernah bekerja untuk artis sebesar Park Jimin sebelumnya. Bahkan, ia belum pernah menyentuh dunia hiburan sedekat ini.
Saat ia merapikan pita satin di vas terakhir, pintu studio terbuka. Suara langkah pelan masuk, teratur, dan berwibawa. Rose tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.
Park Jimin.
Idol dengan suara yang membuat hati berhenti sesaat. Dan kini, dia berdiri di ambang ruangan yang baru saja Rose hias.
Jimin memperhatikan bunga-bunga itu. Lilac, semuanya. Lembut, tenang, dan sedikit nostalgia. Ia melangkah masuk, diam-diam menghirup aroma yang menyeruak.
Rose membungkuk cepat, gugup, lalu segera kembali berdiri.
Roseanne Park
Selamat siang, Tuan Park. Saya... saya florist magang dari Atelier Bloom. Saya diminta menghias ruang latihan Anda untuk proyek solo mendatang.
Park Jimin
(kepalanya sedikit miring)
Lilac. Bunga yang tenang. Jarang ada yang pilih itu untuk ruangan seperti ini.
Roseanne Park
(suara pelan)
Saya dengar Anda suka warna ungu. Lilac melambangkan ketenangan dan kenangan... saya pikir itu cocok untuk latihan musik.
Park Jimin
(tersenyum tipis)
Menarik. Kamu pikir saya butuh ketenangan?
Roseanne Park
(menunduk, canggung)
Maaf kalau saya salah menafsirkan. Saya hanya... ingin menciptakan suasana yang... membantu.
Park Jimin
(tak langsung menjawab, hanya berjalan mendekati vas)
Aroma ini... mengingatkan saya pada musim semi pertama setelah debut.
Roseanne Park
(kaget)
Maaf?
Park Jimin
Tidak apa-apa. Kamu punya sentuhan yang lembut. Saya suka itu.
Roseanne Park
(terkejut, lalu cepat membalas)
Terima kasih... saya akan segera bereskan peralatan saya.
Park Jimin
(kepalanya menoleh)
Kamu bisa tinggal. Latihanku baru mulai sore nanti. Ruangan ini... lebih hidup dengan bunga.
Rose mengangguk pelan, tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ia tetap diam, berdiri di sudut, memandangi idol yang selama ini hanya ia lihat dari layar.
Jimin tidak berbicara banyak setelah itu. Ia duduk di depan piano, memainkan beberapa nada pendek, seolah menguji resonansi ruangan. Tapi sesekali, matanya melirik lilac di sudut dan gadis yang menanamkannya di sana.
Dan di antara nada-nada yang menggantung dan keheningan yang lembut, awal cerita mereka pun mulai tumbuh—pelan, tapi pasti.
---
Bersambung
terima kasih untuk dukungan kalian dan aku buat cerita baru lagi dan semoga kalian suka
Bab 2 – Ruang yang Tak Lagi Sepi
Sudah tiga hari sejak Rose pertama kali masuk ke ruang latihan itu. Tiga hari pula ia menyaksikan sisi Park Jimin yang tak pernah ia bayangkan. Ia tak hanya mendengar suaranya—ia melihat keraguan, kelelahan, dan… kesepian di balik setiap nada yang keluar dari piano tua itu.
Setiap pagi, ia datang lebih awal dari seharusnya. Bukan karena diminta, tapi karena ia mulai menyukai keheningan sebelum musik dimulai. Dan hari ini, seperti biasa, ia berdiri di dekat jendela, merapikan kelopak lilac yang mulai layu.
Pintu terbuka. Langkah yang familiar masuk. Jimin.
Rose menoleh, tersenyum pelan. Jimin membalas dengan anggukan kecil, lalu meletakkan tasnya di sofa.
Park Jimin
Pagi ini kamu datang lebih cepat dari matahari.
Roseanne Park
(tidak langsung menoleh)
Matahari kadang terlambat. Lilac nggak bisa nunggu.
Park Jimin
(tersenyum tipis)
Kamu selalu punya alasan puitis untuk bunga.
Roseanne Park
(berbalik, pelan)
Bunga nggak bisa bicara, tapi mereka tetap bisa mengungkapkan sesuatu. Sama seperti musik.
Park Jimin
(terdiam sejenak, lalu menatapnya)
Kamu selalu bisa menemukan analogi yang tepat.
Roseanne Park
(tersipu, lalu mengganti topik) Kamu mau teh seperti kemarin?
Park Jimin
Kalau kamu yang buat, iya.
Rose tertawa pelan, lalu berjalan ke termos kecil yang ia bawa dari rumah.
Sementara Rose menyiapkan teh, Jimin duduk di depan piano. Tangannya menyentuh tuts, tapi tidak langsung bermain. Pandangannya jatuh pada lilac yang sekarang ada di vas kristal kecil—ia perhatikan, Rose selalu mengganti bunga tiap hari.
Nada pertama akhirnya terdengar. Lembut. Melodi yang belum selesai, seolah masih mencari arah.
Rose menghampiri, meletakkan cangkir di atas meja kecil dekat piano. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk di karpet, memperhatikan dengan tenang.
Dan entah kenapa, kehadirannya justru membuat ruangan itu tidak lagi terasa hampa.
Park Jimin
(kepalanya masih menghadap piano)
Kamu tahu? Studio ini dulu paling aku benci.
Roseanne Park
(terkejut)
Padahal ruangan ini tenang sekali.
Park Jimin
Itu dia masalahnya. Terlalu tenang. Sunyi itu kadang bisa bikin orang merasa kosong.
Roseanne Park
(suara lembut)
Tapi kalau sunyinya dibagi berdua…mungkin jadi nggak terlalu kosong.
Park Jimin
(berhenti bermain. Menoleh perlahan.)
Kamu... selalu tahu harus bilang apa ya?
Roseanne Park
(tersenyum pelan, lalu menunduk)
Kadang nggak harus tahu. Cuma ikut ngerasain aja.
Jimin tidak menjawab. Tapi senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya cukup untuk membuat Rose tahu: dia tidak sendiri lagi di ruang sunyi itu.
Namun, di luar ruangan itu, ada langkah lain yang terus mengawasi. Langkah yang mengenal Jimin lebih lama dari siapa pun. Dan langkah itu kini berhenti di balik pintu studio, tangan sudah menggenggam gagangnya.
Minji.
---
Bersambung
Bab 3 – Antara Panggung dan Bayangan
Minji mengenal Park Jimin jauh sebelum banyak orang tahu namanya. Ia tahu bagaimana Jimin bekerja keras saat tidak ada yang melihat, bagaimana ia mengulang nada demi nada sampai suara seraknya hilang. Ia tahu kelemahan Jimin—dan juga senyumnya yang langka.
Jadi saat ia membuka pintu studio hari itu dan melihat seorang perempuan asing duduk di lantai, menatap Jimin dengan pandangan tenang… Minji tahu, ada sesuatu yang mulai berubah.
Ia tidak mengetuk. Tidak memberi salam. Hanya berdiri, menatap keduanya, dan tersenyum kecil yang lebih dingin dari biasanya.
Park Minji
(kepalanya miring sedikit)
“Kukira kamu nggak suka ada orang di sini saat latihan, Jimin.”
Park Jimin
(agak terkejut, tapi tetap tenang)
“Rose nggak ganggu. Dia cuma... duduk.”
Park Minji
(tatapannya pindah ke Rose)
“Florist, ya? Kamu yang atur lilac-lilac ini?”
Roseanne Park
(berdiri pelan, sedikit gugup)
“Iya. Saya hanya menata ruangan. Maaf kalau… terlihat terlalu santai.”
Park Minji
(senyum tipis, nada halus tapi tajam)
“Studio idol bukan taman bunga. Tapi ya… ruangannya jadi lebih wangi.”
Park Jimin
(tegas, tanpa nada marah)
“Aku yang minta dia tetap di sini.”
Ada jeda di udara. Pendek, tapi cukup menyesakkan. Rose menunduk sedikit, lalu mengambil tas kecilnya.
Roseanne Park
“Saya… sepertinya sudah cukup hari ini. Terima kasih atas tehnya, Jimin-ssi.”
Park Jimin
(berdiri)
“Kamu nggak harus pergi. Latihanku belum mulai.”
Roseanne Park
(tersenyum lembut)
“Nggak apa. Saya bisa kembali nanti. Lagipula, lilac-nya sudah cukup segar.”
Rose melangkah keluar. Tidak tergesa, tapi juga tidak lambat. Dan saat pintu tertutup, ruangan kembali hening.
Park Minji
(kini duduk di sofa)
“Dia manis. Tipe yang nggak terlihat di red carpet, tapi ada di balik panggung.”
Park Jimin
(menatap piano, lalu Minji)
“Kenapa kamu di sini, Minji?”
Park Minji
“Manager bilang kamu belum serahkan konsep wardrobe untuk teaser. Katanya kamu... susah ditemui belakangan ini.”
Park Jimin
“Karena aku memang butuh waktu sendiri.”
Park Minji
(tersenyum, menyilangkan kaki)
“Sendirian… tapi nggak sendiri, ya?”
Park Jimin
(nada dingin)
“Kalau kamu datang untuk ngatur wardrobe, kita bahas. Tapi kalau mau bahas Rose, aku nggak tertarik.”
Park Minji
(berdiri, nada pelan tapi menusuk)
“Baik. Tapi jangan salahkan aku kalau suatu saat bunga yang kamu rawat... layu karena terlalu dekat dengan lampu sorot.”
Minji pergi tanpa menoleh. Sepatunya berdetak pelan di lorong, seperti ketukan waktu yang mulai mempercepat langkahnya.
Dan di studio itu, Jimin hanya duduk diam. Tangannya menyentuh lilac yang mulai mekar sempurna. Ia tak tahu, bunga yang mekar terlalu cepat… kadang tak bertahan lama.
---
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!