Kepulauan Belitung
Sore hari sekumpulan anak-anak berseragam sekolah dasar berlarian saling berkejaran sepulang dari sekolah mereka yang letaknya cukup jauh dari rumah masing-masing.
Ada yang berjalan kaki, sebagian lagi mengayuh sepeda.
Hal yang biasa mereka lakukan setelah pulang menuntut ilmu.
"Nayla Nathan... ayo kejar kami kalau bisa". Teriak salah satu anak anak yang bersepeda sambil tertawa ceria.
"Nay, ayo kita kejar Ulya dan Rania", ujar Nathan tanpa menunggu persetujuan temannya Nayla langsung menarik tangan gadis kecil berusia sepuluh tahun itu.
Nathan dan Nayla tertawa ceria sambil berlari sekencang mungkin mengejar kedua temannya yang secepat mungkin mengayuh sepeda mereka.
Beberapa menit kemudian Nayla menghentikan larinya. "Aku lelah. Aku tidak kuat lagi kak. Kakak saja yang mengejar mereka", ujar Nayla dengan nafas tersengal-sengal sambil memegangi perutnya.
Nathan pun seketika menghentikan larinya. Pemuda yang sudah berseragam SMP itu kembali menghampiri Nayla. "Makanya kalau aku mengajak mu lari pagi jangan kamu tolak Nay. Lihatlah, baru juga lari sebentar kamu ngos-ngosan begitu. Bagaimana kau bisa menjadi seorang dokter jika tubuh mu saja lemah", ujar Nathan panjang lebar.
"Iya iya...lain kali aku akan ikut kakak lari pagi", balas Nayla cepat dengan raut wajah kesal.
Kini kedua anak itu berjalan beriringan di bibir pantai, menuju rumah mereka.
Baru beberapa menit saja mereka berjalan, tiba-tiba Nayla terpekik. Membuat Nathan terkejut dan melotot, Nayla terjatuh.
"Heiii kalian, jangan berani dengan perempuan. Lawan aku kalau berani", teriak Nathan keras.
Spontan Nathan mengejar anak-anak yang terkenal nakal di kampung mereka. Anak-anak itu menoleh pada Nathan dan menjulurkan lidahnya sambil tertawa mengejek Nathan. Salah satu di antara lima pemuda itu mengacungkan jari tengahnya. Tindakan itu semakin membuat Nathan kesal.
"Aww..K-ak Nathan bantu aku. S-akit". Lirih suara Nayla terdengar di telinga Nathan.
Segerombolan anak-anak SMP yang juga baru pulang sekolah dengan sepeda mereka baru saja menabrak Nayla yang berjalan di sisi kanan Nathan.
Nathan dan Nayla mengenal anak-anak itu, satu sekolah dengan Nathan.
"Lihat saja aku akan membalas mereka nanti", gerutu Nathan sambil membantu Nayla berdiri. Ia berjongkok melihat keadaan lutut Nayla yang terluka. "Luka lecetnya banyak Nay. Apa kamu bisa berjalan? Sini aku bantu".
Nathan berusaha menuntun langkah Nayla yang meringis kesakitan. Gadis mungil itu menerima bantuan Nathan. Saking sakit yang ia rasakan kedua mata Nayla berkaca-kaca menahan perih. Ia berjalan terpincang-pincang.
Beruntung Nathan memiliki tubuh tinggi dan berisi memudahkan pemuda itu membantu Nayla. Wajar saja karena pemuda itu berdarah campuran, ibunya asli Indonesia sementara mendiang ayahnya asli inggris. Nathan memiliki wajah indo.
"Pegang bahu ku, aku akan mengantarmu pulang hingga rumah mu Nay.
"Terimakasih kak. Aku janji besok akan membawakan mu roti coklat kesukaan mu".
"Aku mau yang banyak. Sepuluh iris", seru Nathan tertawa.
Nayla pun tertawa lepas mendengar celoteh Nathan sore itu, sesaat membuatnya nyaman dan melupakan rasa sakit di lututnya yang terluka.
Namun rasa nyaman itu tidak berlangsung lama. Dari kejauhan terlihat Fajar pekerja ayah Nayla berlari menghampiri Nayla.
Nayla dan Nathan menghentikan langkah mereka, keduanya terlihat menatap aneh Fajar yang terburu-buru dengan nafas tersengal-sengal.
"Nayla kamu harus segera pulang. Ibu mu...ibu mu–"
"Ada apa dengan mama?", tanya Nayla dengan wajah kaget dan ketakutan.
"I-bu mu tak sadarkan diri. Kamu harus pulang segera N-ay", ujar Fajar terbata-bata sambil memegangi dadanya.
Mendengar itu membuat Nayla panik dan berusaha berlari untuk cepat sampai ke rumah. Seketika perasaan takut menyergap dirinya. Namun kakinya tidak bisa memenuhi keinginannya. Tubuh mungil itu terjatuh. Ia berteriak dan menangis.
Nathan dan Fajar berusaha menenangkan anak kecil itu. Tanpa berpikir panjang, Fajar mengangkat tubuh mungil Nayla ke punggungnya di bantu Nathan yang membawakan tas sekolah gadis itu.
Fajar berlari diikuti Nathan. Terdengar tangisan pilu Nayla diantara deru ombak di sore hari. Masih cukup jauh untuk sampai ke rumah Nayla. Sepanjang perjalanan gadis kecil itu menangis. Air mata membasahi punggung Fajar laki-laki dewasa yang sudah lama bekerja dengan ayah Nayla. Kerap di panggil paman oleh Nayla dan abangnya Rangga.
*
Beberapa menit berlalu...
Dari kejauhan Nayla bisa melihat keramaian di rumahnya. Fajar mempercepat larinya mengantar gadis mungil yang sedari tadi menitihkan air mata itu ke depan kamar Lasmi yang terbaring dengan kondisi tubuh sangat lemah.
Nayla segera mungkin turun menghampiri ibunya dengan langkah tertatih. "Mama.."
Suara gadis kecil itu bergetar di sela isak tangisnya melihat kondisi Lasmi. Tangan mungil Nayla menggapai jemari ibunya. "Ma..bangun ma", lirih Nayla.
Sentuhan jemari Nayla membuat Lasmi membuka matanya yang terpejam.
Terdengar ucap syukur Dewangga ayah Nayla yang berjongkok menemani Lasmi sedari tadi seraya mengusap lembut kening dingin istrinya sambil memanjatkan doa.
"Sayang kamu sudah pulang? M-aafkan mama tidak sempat membuat makanan kesukaan mu", ucap Lasmi berusaha tegar dan tersenyum menatap sayu putri bungsunya yang sangat dekat dengannya.
Mendengar penuturan Lasmi membuat Nayla kian menangis sambil menempelkan wajahnya pada lengan sang mama. "Mama harus sembuh, Nay ingin belajar memasak seperti mama", ucap Nayla terdengar lirih.
Lasmi mengulurkan tangannya mengusap lembut rambut anaknya. "Maafkan mama Nayla, sepertinya waktu mama tinggal sebentar lagi".
Seketika Nayla mengangkat wajahnya. Gadis mungil itu nampak begitu rapuh. Bibirnya bergetar. Ia tahu ibunya sudah lama mengindap sakit dan sudah beberapa kali tidak sadarkan diri.
Nayla menggelengkan kepalanya. "Mama harus sembuh, mama sudah berjanji pada Nay ingin melihat Nay menjadi dokter agar bisa mengobati sakit mama", ucap Nayla sesegukan.
Lasmi mengulurkan tangannya menggapai wajah cantik putrinya itu. Dengan tangan gemetaran mengusap air mata yang jatuh.
Wanita itu menatap sayu Nayla. "Berjanjilah pada mama, apapun yang terjadi kamu akan melanjutkan sekolah dan mewujudkan impian mu sayang". Suara Lasmi terdengar lirih. Kristal bening menetes dari sudut matanya yang nampak kian melemah. Wajahnya pun kian memutih. Kontras dengan sprei katun tempat tidur di mana tubuh lemahnya berbaring.
Beberapa kali Lasmi terbatuk, sesaat kemudian terdiam dengan mata terpejam. Menyentakkan semua keluarga yang ada di kamar itu.
Tanpa berkata-kata Nayla memeluk tubuh kaku sang mama. Detik berikutnya gadis kecil itu tertatih-tatih meninggalkan kamar orangtuanya.
Tangisan dari keluarga masih terdengar hingga luar rumah.
Tubuh mungil Nayla berguncang hebat, anak kecil itu duduk di batu berukuran besar yang menjorok ke pantai berpasir putih.
Air mata tak terbendung lagi. Nayla menangis dalam diam namun bahunya berguncang, menandakan ia sangat tertekan. Nafasnya pun tersengal-sengal. "Kenapa mama tega meninggalkan aku. Tidak ada mama semuanya tidak akan sama lagi. Ayah dan abang sibuk mencari ikan di laut, kini Nay sendirian mama–"
Deru ombak di sore hari terdengar bergemuruh.
"Nayla... ada aku akan selalu bersama mu". Nathan duduk di samping Nayla.
Nayla menundukkan wajahnya, jemari mungil gadis kecil itu memelintir ujung pakaian sekolahnya. "Tapi beberapa minggu lagi kakak akan pindah ke Jakarta, aku akan tetap sendirian di sini. Sekarang tidak akan sama lagi tanpa mama".
Nathan terdiam mendengar penuturan Nayla. Keduanya menatap lautan luas tak bertepi.
...***...
To be continue
Dewangga memeluk pundak kedua anaknya Rangga dan Nayla. Ketiganya baru saja kehilangan untuk selama-lamanya sosok wanita hebat dalam keluarga mereka. Lasmi sosok istri dan ibu yang penuh kasih sayang bagi Dewangga Rangga dan Nayla.
Keluarga Dewangga tinggal di desa terpencil yang di kelilingi oleh lautan. Sebagian besar masyarakat di desa tersebut beraktifitas sebagai nelayan. Termasuk ayah Nayla yang berprofesi sebagai nelayan di bantu dua orang pekerja lainnya. Saudara Nayla satu-satunya Rangga juga membantu pekerjaan ayah mereka.
Rangga berusia lima belas tahun, sejak tamat sekolah dasar ia memilih putus sekolah karena sering ikut ayahnya melaut. Rangga menikmati aktifitasnya itu. Sungguh di sayangkan demi menopang perekonomian keluarga ia harus berhenti sekolah padahal pemuda itu memiliki otak yang cerdas tapi takdir berkata lain untuknya.
Rangga semakin giat bekerja, apalagi Dewangga telah berjanji akan mewariskan semua perlengkapan nelayan milik keluarga mereka untuknya kelak setelah Nayla menyelesaikan pendidikannya.
Dewangga dan kedua anaknya menatap gundukan tanah basah di hadapan mereka. Beberapa saat yang lalu baru saja selesai pemakaman Lasmi. Dewangga berusaha tegar dan ikhlas, terutama di hadapan anak-anaknya. Namun yang paling nampak terpukul dan kehilangan yaitu Nayla. Gadis kecil itu tak henti menangisi kepergian Lasmi. Bahkan Nayla tidak mau beranjak dari sisi ibunya sejak di nyatakan meninggal.
"Rangga Nayla ayo kita kembali kerumah, mama kalian sekarang sudah tenang tidak merasa kesakitan lagi. Kita harus mengikhlaskan kepergiannya", ucap Dewangga berusaha tegar.
Rangga yang usianya beranjak remaja mengerti. Pemuda itu menuruti ayahnya. Berbeda dengan Nayla yang nampak enggan pergi.
"Nayla masih ingin bersama mama, ayah", ucapnya lirih seraya menatap pusara Lasmi.
"Kamu harus istirahat nak, sejak semalam kamu belum tidur Nayla. Kalau kamu sakit mama mu pasti sangat sedih nak. Berusahalah menerima kepergian mama dengan ikhlas nak. Seperti abang mu Rangga.
Nayla sedih mendengar kata-kata ayahnya, gadis kecil itu kembali meneteskan airmata.
Dewangga menghela nafas seraya mengusap lembut air mata yang jatuh di pipi putri bungsunya. Laki-laki itu membawa Nayla kedalam dekapan hangatnya.
"Kita harus kuat anak-anak ku, tanpa mama kalian kehidupan kita terus tetap berlanjut. Ayah janji akan menjadi ayah sekaligus ibu kalian. Mulai sekarang katakan pada ayah semua yang mengganjal di hati kalian. Ayah akan berusaha mendengarkan", ujar Dewangga dengan suara bergetar sambil mengecup pucuk kepala Nayla dan Rangga bergantian.
Nayla menganggukkan kepalanya dan melingkarkan tangannya pada Dewangga. "Iya ayah", jawab Nayla terdengar pelan sambil mengusap air matanya yang membasahi pipinya.
*
Satu minggu kemudian..
Satu minggu telah berlalu setelah kepergian Lasmi. Selama itu pula Nayla masih menangisinya, terutama jika ia sendirian.
Dewangga tahu anak bungsunya itu masih sangat terpukul.
Beberapa saat yang lalu Dewangga dan keluarganya baru saja mengirimkan berdoa bersama untuk Lasmi. Kini hanya beberapa keluarga yang masih berbincang-bincang dengan Dewangga. Sementara Nayla melihat Nathan bermain game dari handphone miliknya.
Hal yang rutin Nathan lakukan untuk menghibur Nayla. Setidaknya Nay bisa melupakan sejenak kesedihan di saat ia menemaninya.
Hari sudah semakin gelap ketika satu persatu keluarga pamit pulang kerumah masing-masing pada Dewangga yang menghantarkan mereka hingga depan rumah.
"Dewa, kami pamit pulang juga. Pikirkanlah apa yang kita bicarakan tadi. Demi kebaikan Nayla dan wasiat istri mu", ucap Yulia mami Nathan yang sudah berdiri di samping Dewangga hendak pulang.
Wanita yang masih terlihat cantik itu memanggil Nathan yang sedang bersama Nayla di teras rumah. Nathan berlari menghampiri setelah pamit pada Nayla yang juga mengikutinya.
Yulia dan Dewa tersenyum melihat keduanya sangat akrab. Yulia yang berteman baik dengan Lasmi sejak di bangku sekolah memeluk hangat Nayla yang juga memeluknya.
"Dah Nayla", ujar Nathan sambil melambaikan tangannya pada Nayla sebelum masuk ke dalam mobil di balas Nayla dengan lambaian tangan juga.
"Dah kak Nathan", balas Nayla tersenyum ceria.
Yulia menoleh pada Dewangga. "Segera kabari aku jika kau sudah memutuskan. Aku akan membantu mu merawat Nayla. Kami berangkat awal bulan", ujar Yulia sebelum masuk kedalam mobilnya.
Dewangga menganggukkan kepalanya. "Terimakasih bantuan mu dan Yoga. Aku akan bicara pada putriku terlebih dahulu".
"Iya lakukanlah secepatnya. Kamu tidak perlu sungkan dengan mas Yoga, malahan ia senang jika Nayla ikut bersama kami. Kamu lihat sendiri kan bagaimana Nathan menganggap Nayla adiknya sendiri.
Dewa menganggukkan kepalanya. Sebenarnya tersirat kesedihan di wajahnya.
"Jika Nayla mau, aku akan bicara kepada guru Nayla agar membantu menyiapkan berkas kepindahan Nayla. Nathan sudah mendapatkan sekolah barunya di Jakarta tentunya tidak akan sulit untuk Nayla yang berprestasi juga di terima di sana", ujar Yulia sebelum masuk mobil.
*
Keesokan harinya..
Dewa yang baru selesai menunaikan kewajiban sholat subuh, keluar kamar. Masih mengenakan pakaian koko dan peci di atas kepala.
Laki-laki itu berdiri tepat di depan pintu kamar, menatap hidangan di atas meja sudah tertata rapi. Menu sederhana seperti saat istrinya masih ada. Tiba-tiba kedua mata laki-laki itu menghangat mengingat semua tentang kehidupan keluarganya yang selama ini sangat harmonis dalam kesederhanaan.
Sungguh ia kehilangan sosok yang selalu menyambutnya dengan senyuman hangat kala lelah menghampiri setelah bertarung dengan nyawa di tengah lautan guna menghidupi keluarga mereka.
"Ayah sudah selesai sholat subuh?
Nayla sudah menyiapkan makan pagi kita". Suara gadis kecil itu mengejutkan Dewa.
Sambil mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca, Dewangga berusaha tersenyum. "Alhamdulillah, ayah akan makan lahap pagi ini", jawabnya.
Dewangga menolehkan kepalanya. "Dimana abang mu? Apa ia masih tidur karena hujan begini?". Dewa duduk di kursi meja makan.
Nayla menganggukkan kepalanya. "Iya bang Rangga masih di kamarnya. Setelah sarapan Nayla langsung ke sekolah ayah, semoga hujannya reda", ucapnya sambil duduk di hadap Dewa.
"Nayla ...ada yang ingin ayah bicarakan pada mu", ucap Dewa menatap lembut putrinya yang sedang menikmati makanannya.
"Iya ayah".
Dewangga menggenggam tangan kiri Nayla. "Tante Yulia dan om Yoga menawari mu sekolah di ibu kota nak. Ayah sudah memikirkannya, ayah setuju dengan ide itu. Ayah yakin kamu lebih gampang mewujudkan keinginan mu dan mama mu menjadi seorang dokter jika di kota besar. Sementara di sini sekolah pun terbatas. Ayah ingin melihatmu berhasil dalam pendidikan Nayla. Tidak seperti abang mu yang memilih berhenti sekolah–"
"Kenapa ayah dan mama selalu memikirkan Nayla saja, sementara aku di anggap bodoh karena tidak sekolah". Tiba-tiba Rangga sudah ada di dekat meja makan, ia mendengar semua perkataan Dewangga barusan.
Dewa memijat keningnya.
"Aku tidak di anggap sama sekali oleh ayah dan mama selama ini. Kalian hanya fokus pada Nayla saja", seru Rangga menggebu-gebu dan menatap tidak suka pada adiknya yang terdiam.
"Rangga...Rangga jangan bicara seperti itu nak, dengarkan ayah karena Nayla yang masih bersekolah kita harus mendukung adik mu. Ayah tidak akan lupa janji ayah pada mu, semua usaha ayah kamulah penerusnya. Karena kamu anak laki-laki ayah dan mama", ucap Dewa berdiri menenangkan putranya yang terlihat kesal.
"Nayla Nayla Nayla...kasih sayang kalian hanya untuk anak manja ini saja. Aku benci pada mu!!!", teriak Rangga dengan amarah menatap adiknya yang terdiam di meja makan. Pemuda itu berlari keluar rumah saat di luar masih turun hujan dengan derasnya.
"Ranggaaa ayah belum selesai bicara–"
Nayla memeluk pinggang Dewa, gadis kecil itu mendongak kan kepalanya menatap laki-laki itu.
"Ayah, Nayla bersama kalian saja. Nay membantu ayah dan bang Rangga saja. Tidak apa-apa Nayla tidak menggapai cita-cita sebagai dokter, Nayla tidak mau bang Rangga marah lagi", ucapnya lirih.
Jemari Dewa mengusap lembut rambut panjang Nayla. Kini laki-laki itu berjongkok sambil memegangi bahu putrinya itu.
Sesaat memejamkan matanya. "Tidak nak. Kamu tetap harus bersekolah. Ayah sudah janji pada mendiang mama mu, kamu tetap sekolah yang tinggi. Dan kelak bisa mengangkat kehidupan keluarga kita. Ini keputusan ayah".
Dewa tersenyum menatap manik bening putrinya. "Sekarang bersiaplah ke sekolah, ayah akan mengantarmu. Kemudian ayah akan mencari abang dan bicara padanya. Ayah yakin abang mu bisa menerima keputusan ayah", ucap Dewangga dengan lembut mengusap wajah Nayla.
...***...
To be continue
Beberapa minggu kemudian...
Nayla memeluk erat Dewangga seakan enggan melepaskan.
"Secepatnya ayah akan mengunjungi mu di Jakarta Nayla. Jangan bersedih nak".
Dewangga memegang bahu anaknya dan menatap gadis kecilnya dengan penuh kasih sayang. Sekarang Nayla akan pindah bersama keluarga Nathan ke ibu kota.
"Ingatlah usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Kamu anak yang cerdas, ayah yakin putri ayah akan tetap berprestasi dimanapun sekolahnya. Karena kamu rajin dan tekun belajar", ujar Dewa berusaha menguatkan Nayla yang menatapnya dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Nayla mau kan berusaha mewujudkan cita-cita hingga tercapai? Dan nanti ilmu yang kamu dapatkan bisa membantu orang banyak".
Gadis mungil itu menganggukkan kepalanya dengan senyuman manis menghiasi bibirnya.
Dewangga terharu kedua netranya pun berkaca-kaca. Bagaimana pun selama hidupnya ia tidak pernah berjauhan dengan anak-anaknya. Namun ia harus mengambil keputusan demi Nayla yang sangat bersemangat untuk menuntut ilmu. Dewa percaya Nayla akan baik-baik saja bersama keluarga Nathan. Namun tentu saja Dewa tidak bersedia ketika Yulia mengatakan ia dan suaminya akan membiayai semua kebutuhan Nayla termasuk uang sekolah.
Dewa bersedia menitipkan anaknya pada keluarga Yulia namun sebagai laki-laki ia tetap memegang prinsip yang teguh akan membiayai kebutuhan Nayla dan mengirimkan uang setiap bulannya untuk anaknya itu.
"Maafkan Nayla ayah tidak bisa menyiapkan sarapan untuk ayah dan abang lagi".
Mendengar perkataan putri mungilnya itu semakin menambah haru Dewangga. Dewa mengerjapkan kedua matanya yang berkaca-kaca sejak tadi, sontak mengalihkan perhatiannya pada Rangga yang berdiri di teras rumah mereka. Pemuda itu sedari tadi berdiam diri di sana dengan wajah jengah. Bahkan ia tidak mau memberikan kata-kata perpisahan dengan adiknya yang tidak akan tinggal bersamanya lagi.
"Rangga kemari lah nak. Apa kamu tidak akan memberi salam pada adikmu, sebentar lagi adik mu akan pergi jauh dari kita", ucap Dewa.
Rangga tidak menggubris perkataan ayahnya. Pemuda itu malah menunjukkan wajah tidak sukanya atas keputusan Dewa yang mengirim Nayla menuntut ilmu di kota sementara keuangan mereka pas-pasan.
Beberapa hari yang lalu Rangga protes dengan mengatakan semua isi hatinya pada Dewa dihadapan Nayla juga. Namun ia merasa percuma, karena Dewa tetap dengan keputusannya.
Kini Rangga menatap tajam adiknya.
"Kau boleh pergi meninggalkan kami di desa terpencil ini Nayla, tapi jangan pernah kembali sebelum kau berhasil dengan cita-cita mu yang tinggi itu. Aku tidak akan pernah memaafkan mu jika kau gagal karena kau sudah mengambil segalanya dari ku!!!", ketusnya sambil membalikkan badannya dan berlari meninggalkan ayah dan adiknya.
Terdengar helaan nafas Dewa. Laki-laki itu kembali menatap Nayla yang sudah menitihkan air matanya mendengar perkataan ketus Rangga barusan. Tangannya terulur menghapus air mata putrinya.
"Jangan masukkan kehati perkataan abang mu. Yang ayah mau Nayla belajar dengan rajin dan tenang tidak usah memikirkan kehidupan sehari-hari ayah dan abang di sini. Ayah dan abang mu akan baik-baik saja", ucap Dewa menenangkan putrinya. Menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapan hangatnya.
*
Jakarta
Nayla mengalihkan perhatiannya pada gedung-gedung tinggi di sisi kiri dan kanan mobil yang di kendarai Yoga ayah sambung Nathan.
Gadis kecil itu terlihat antusias melihat untuk pertama kalinya gedung pencakar langit yang kini bisa di lihatnya langsung.
Bahkan ketika Nathan mengajaknya bicara ia tidak menyahut. Membuat Nathan ingin menjahilinya dengan mencubit lengan Nayla yang langsung tersadar.
"Kak Nathan kenapa mencubit ku? Sakit". Protes Nayla pada Nathan yang duduk di sampingnya.
Yulia yang duduk di kursi depan bersama suaminya tersenyum menggelengkan kepala melihat kelakuan keduanya. "Mas lihat sendiri, mereka berdua sangat akrab walaupun jenis kelamin berbeda".
Yoga menganggukkan kepalanya sejenak melirik istrinya, sesaat menggenggam tangan Yulia. "Maafkan mas tidak bisa memberikan Nathan adik seperti yang selalu ia inginkan. Mas berharap dengan kehadiran Nayla yang sudah ia anggap adik sendiri tidak membuatnya kesepian lagi".
"Iya. Kehadiran Nayla di rumah kita juga akan menjadi pelipur hati mami saat Nathan menuntut ilmu di London nanti selepas sekolah menengah pertamanya", ucap Yulia.
Yoga tersenyum sambil menatap Nathan dan Nayla yang masih saling menjahili. "Nayla...apa sudah pernah Jakarta sebelumnya?"
"Belum om. Nayla tidak pernah berpergian kemana pun. Ayah sibuk melaut. Sementara mama sibuk mengurus rumah", jawab gadis mungil berkulit putih itu.
"Kalau begitu saat semua urusan sekolah kalian beres om dan tante akan mengajak mu jalan-jalan. Kita akan rekreasi", ucap Yoga yang langsung di sambut gembira anak-anak di bangku belakang.
Senyum bahagia terlukis di wajah cantik Nayla. Dalam benaknya kesempatan untuk meraih impian terbentang luas. Namun sampai kapanpun, setiap saat akan selalu mengingat keluarganya. Dewangga dan Rangga.
*
"Selamat datang di rumah", ujar Yulia setelah mereka sampai di rumah dua lantai bercat putih bersih yang berada di perumahan.
Kedatangan mereka di sambut dua orang asisten rumah tangga yang merupakan pasangan suami istri. Yatmi dan Danang yang sudah lama ikut keluarga Nathan.
Flashback keluarga Nathan
Yoga merupakan seorang dokter spesialis jantung dan sebagai dokter konsulen. Yoga adalah cinta pertama Yulia. Setelah Decland suami pertama yang juga ayah kandung Nathan meninggal dunia, Yoga menjadi ayah sambung Nathan. Ketika ia masih bayi, Decland mengalami musibah meninggal dunia karena kecelakaan pesawat yang ia tumpangi saat akan kembali ke Indonesia dari bisnisnya di London yang merupakan kota asalnya.
Malang tak dapat hindari, kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu merenggut nyawa Decland, meninggalkan seorang bayi mungil yang tidak sempat bertemu dengannya.
Yulia begitu terpukul kala itu. Meskipun ia bertekad memutuskan ingin membesarkan putranya seorang diri namun takdir berkata lain. Ketika menjenguk keluarga yang sakit justru mempertemukan dengan cinta pertamanya Yoga. Yang sudah menjadi dokter spesialis jantung.
Setelah beberapa tahun sendirian, dengan kesabaran Yoga mampu membuka hati Yulia lagi untuk menjadikan wanita itu istrinya. Yoga berstatus duda tanpa anak. Setelah Yulia menikah dengan Yoga, Nathan ingin tinggal bersama neneknya di Belitung yang membuatnya mengenal Nayla. Yulia senang mereka akrab karena Nayla adalah putri teman baiknya sejak kecil.
Flashback end
"Sayang ini kamar mu".
Yulia membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan Nayla menempati kamar yang sudah di persiapkan untuk Nayla.
"Bagaimana apa kamu menyukainya, kalau Nay tidak suka langsung bicara sama tante ya. Jangan sungkan-sungkan–"
Mendengar itu, membuat Nayla spontan memeluk Yulia. Gadis kecil itu mendongak kan kepalanya menatap Yulia. "Tentu saja Nay suka tante. Terimakasih sudah mengizinkan Nay tinggal bersama keluarga tante Yulia", ucapnya polos.
Yulia tersenyum mendengarnya seraya mengusap lembut wajah cantik gadis kecil itu. "Mulai sekarang jangan malu untuk berbagi cerita dengan tante, apapun itu yang Nayla rasakan. Anggap tante Yulia seperti mama Lasmi, tante Yulia siap menjadi teman sekaligus mama bagi mu", ucap Yulia tersenyum penuh kasih sayang sambil membalas pelukan Nayla.
...***...
To be continue
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!