NovelToon NovelToon

Di Ujung Kesabaran (Cinta Yang Utuh)

Bab 1 : Bukan Pernikahan Impian.

Jika tidak sempat baca dan berakhir numpuk bab serta kasih boom like, lebih baik jangan mampir dulu. Tunggu sampai karya ini tamat baru baca, demi menjaga retensi supaya tetap aman. Terimakasih untuk kerjasamanya. 🙏 🥰

...*********...

"Saya terima nikah dan kawinnya Nur Aini Anindita binti Yusuf Maulana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Hanya dengan satu tarikan nafas, Daffa berhasil mengucap ijab qobul dengan benar dan lantang. Dengan demikian, gadis cantik memakai kebaya berwarna putih dan hijab dengan warna senada itu kini telah sah menjadi istrinya.

Sah!

Sah!

Ucap para saksi tak terbantahkan lagi, mulai saat ini keduanya terikat dalam janji suci pernikahan. Entah bagaimana nantinya mereka akan menjalani biduk rumah tangga, Aini hanya bisa pasrah dan belajar ikhlas menerima pernikahan ini.

Kondisi sang ayah tak memungkinkan dirinya untuk menolak apalagi sampai membantah, dia hanya bisa menerima perjodohan itu tanpa mengenal lebih dulu bagaimana sifat dan karakter pria yang kini sudah sah menjadi suaminya. Bahkan pernikahan mereka dilakukan di salah satu ruang rawat rumah sakit, terkesan buru-buru dan mendadak. Pernikahan hanya dihadiri oleh keluarga inti saja, penghulu serta dua orang dokter dan seorang perawat yang diminta sebagai saksi.

Meskipun belum ada cinta, Aini tetap berharap Daffa bisa menjadi imam yang baik baginya dan bisa melakukan peran mereka masing-masing dengan baik seperti layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Apalagi tampang pria itu terlihat sudah cukup matang dan memang sudah pantas untuk menikah. Begitupun dengan dirinya yang akan belajar menerima dan akan berusaha menjalankan perannya sebagai seorang istri yang baik bagi suaminya.

Lamunan Daffa terbuyar saat seseorang menyentuh tangannya, menggenggamnya dan mencium punggung tangannya. Sungguh ini bukanlah pernikahan impian, dia tiba-tiba ditelefon dan diminta datang ke rumah sakit hanya untuk sekedar menikah. Bahkan saat dia datang semuanya sudah dipersiapkan, penghulu juga sudah ada disana, seolah hanya tinggal menunggu mempelai prianya saja, yaitu dirinya.

Menerima? Tentu saja tidak. Jika bukan atas desakan kedua orang tuanya, dengan alasan papanya sudah lama mengenal dan sudah banyak dibantu dimasa mudanya dulu oleh Ayah Aini, Daffa tidak akan mau untuk dinikahkan dengan gadis yang baru saja dia kenal itu.

Daffa Erlangga, pria berusia 31 tahun itu sebenarnya bukanlah tipe orang yang suka dipaksa, namun atas dasar rasa kemanusiaan saja akhirnya dia terpaksa mau menikahi gadis yang duduk di sampingnya sekarang.

"Sekarang Ayah sudah tenang, jikapun Ayah harus pergi Ayah sudah ikhlas karena putri Ayah satu-satunya sudah ada yang menjaga," dengan posisi masih terbaring lemah diatas brankar, Yusuf mengusap punggung tangan putrinya yang duduk di kursi yang memang ditujukan untuk penjaga pasien.

"Bicara apa kamu ini, Yusuf. Kamu pasti akan diberikan umur panjang dan melihat anak-anak kita ini bahagia dengan pernikahan mereka. Kamu harus tetap hidup sampai mereka memberikan cucu yang banyak dan lucu-lucu untuk kita," Arya berusaha untuk menghibur. Sakit komplikasi yang dialami sahabatnya memang sudah cukup parah, dokter saja sudah menyerah dan memasrahkan semuanya pada yang diatas.

Keduanya dulu adalah sahabat dimasa muda, hingga ketika Yusuf memilih pindah ke desa, Arya tak pernah lagi mendengar kabarnya lagi. Sepuluh tahun lalu Yusuf kembali ke kota dan mengontrak sebuah rumah dengan memboyong keluarganya. Yusuf berharap bisa memperbaiki perekonomian keluarganya dikota. Namun sayangnya nasib baik belum berpihak, banyak perusahaan yang Yusuf lamar tak ada satupun yang menerima, hingga Yusuf harus menjadi satpam di salah satu pusat perbelanjaan untuk menyambung hidup keluarganya.

"Nak Daffa, Ayah tau ini tidak adil untuk kalian. Tapi Ayah berharap kamu bisa menjaga dan memperlakukan Aini dengan baik. Meskipun Aini bukan gadis kota dan berpendidikan tinggi, tapi Ayah sangat yakin dia bisa menjadi istri yang baik buat Nak Daffa."

Begitu malas Daffa menjawab, tapi terpaksa dia mengiyakan, "Ya, saya percaya itu. Saya pasti pasti akan menjaganya dan berusaha menjadi suami yang baik untuknya."

Senyum lega tergambar diwajah semua orang yang ada disana, tak terkecuali Aini, gadis itu hanya diam sambil merasakan jantungnya yang berdegup sangat kencang. Ini adalah pertama kalinya dia menjalin hubungan dengan seorang pria, apalagi status mereka sekarang sudah menikah. Jujur, Aini merasa gugup dan sedikit takut.

"Masih ada beberapa pekerjaan yang harus Saya urus dikantor, kalau begitu Saya permisi dulu." Daffa bergegas bangun, tak lupa dia mencium punggung tangan kedua orang tua Aini sebagai bentuk tanda sopan.

"Aini, kamu antarkan Daffa sampai kedepan ya?" wanita yang adalah mama dari Daffa itu mendekat, merangkul pundak Aini dan mengusapnya pelan.

Tanpa berani menjawab, Aini hanya mengangguk pelan. Tak ada obrolan, hanya ada rasa canggung sepanjang mereka melangkah dari ruangan dimana ayah Aini dirawat. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu dan langsung di ikatkan dalam janji suci pernikahan, jelas saja mereka bingung harus memulai obrolan dari mana.

"Sampai disini saja," langkah keduanya terhenti saat suara tegas Daffa terdengar.

Sesaat, suasana kembali hening, "Kita sama-sama tau, ini bukanlah pernikahan impian, jadi jangan pernah menuntut lebih dariku. Aku akan memberimu uang sebagai bentuk nafkah, selain itu jangan menuntut lebih dariku karena aku tidak bisa memberikan seperti apa yang kamu harapkan dari sebuah pernikahan."

Meskipun suaranya terdengar pelan, namun kata-katanya begitu menusuk. Debaran jantung yang tadi berdetak karena rasa malu, kini berubah menjadi rasa sakit. Meskipun begitu Aini mencoba untuk tetap tersenyum. Dua jam lalu mereka bertemu sebagai orang asing, dan langsung diikatkan dalam sebuah ikatan yang sakral. Semua ini jelas terasa asing dan sangat mengejutkan keduanya.

"Ma-maaf Mas, sudah membuat Mas masuk kedalam masalah keluarga Saya. Tapi Saya benar-benar tidak tau kalau..."

"Sudahlah, tau atau tidak itu tidak penting bagiku. Kamu sudah punya pacar?" Daffa menatap lekat wajah gadis yang tertunduk itu, usianya terlihat masih sangat muda, mungkin seumur dengan adiknya.

Aini menggeleng pelan, "Saya tidak pacaran,"

"Berapa usiamu?"

"Dua puluh dua tahun, Mas."

"Kalau begitu mulai sekarang carilah pacar, setelah kamu mendapatkannya kita akan bercerai,"

Aini mendongak, menatap Daffa yang terlihat serius dengan ucapannya, "Astaghfirullah Mas. Pernikahan itu sakral, bukan untuk main-main. Jadi tolong Mas jangan semudah itu mengucapkan kata cerai. Meskipun pernikahan kita ini karena terpaksa, tapi sah dimata hukum dan agama."

"Jangan bernegosiasi dihadapanku. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menganggap kamu ada di hidupku. Jadi percuma saja jika kamu mau berperan sebagai istri yang baik, karena semua itu tidak akan berguna di mataku."

Aini hanya menanggapi ucapan Daffa dengan helaan nafas. Tak bisa bohong, ucapan Daffa seperti duri yang menusuk dihati.

"Kenapa? Apa Mas sudah punya tambatan hati? Jika iya, kenapa tadi Mas tidak menolak saja saat akan dinikahkan denganku?" tanya Aini.

"Selain terpaksa iya, apa tadi kita diberikan kesempatan untuk menolak?" Daffa mengingatkan, nyatanya kondisi ayah Aini membuat mereka tidak bisa berkata tidak ataupun sekedar ingin menolak adanya pernikahan diantara mereka.

"Nur Aini Anindita, aku ingatkan kamu sekali lagi. Pernikahan kita ini hanya sebatas status, dan tidak akan pernah lebih dari itu!"

Sembari menahan air matanya, Aini menatap kepergian Daffa dengan tatapan penuh kesedihan. Diawal pernikahan saja suaminya itu sudah menunjukkan sikap dingin seperti ini, apakah kedepannya dia akan sanggup menjalani biduk rumah tangga bersama pria yang sama sekali tidak mencintainya itu?

...💧💧💧...

Bab 2 : Ternyata statusnya duda.

Kini, dirumah sakit hanya tinggal Yusuf berdua dengan istrinya, yaitu Ratri. Keluarga Daffa sudah membawa Aini pulang ke rumah mereka sebagai menantu keluarga. Dina, adik dari Daffa begitu bahagia karena akhirnya sekarang dia bisa memiliki kakak ipar lagi.

"Ayo duduk, Ai." Devita mengajak Aini duduk di sofa ruang tengah, bersama mereka juga ada Arya dan Dina yang duduk di sofa berbeda.

Devita menatap ke arah suaminya sebelum mulai berbicara, wajahnya nampak ragu untuk memulai, "Aini, sebelumnya kami ingin meminta maaf karena tidak mengatakan hal penting ini pada kamu dan kedua orang tua kamu saat di rumah sakit tadi. Kami terpaksa menutupi ini dulu karena kondisi Ayah kamu yang tidak memungkinkan,"

Aini sedikit bingung, dia menatap satu persatu orang yang ada disana secara bergantian, "Sebenarnya ada masalah apa, Tante?"

"Eh, kok Tante sih, mulai sekarang kamu harus panggil kami ini Mama dan Papa. Dan itu Dina, adik ipar kamu," ucap Devita. Dina yang duduk di samping sang Papa melambaikan tangannya pada Aini sembari tersenyum lebar, tadi dia sedang kuliah hingga tidak bisa ikut menghadiri pernikahan kakaknya.

"Ma-maaf, Ma..." tunduknya malu.

Devita mengusap-usap lembut bahu Aini, "Ini tentang Daffa, suami kamu."

"Ma-Mas Daffa? Kenapa dengan Mas Daffa, Ma?" Aini menatap lekat mama mertuanya yang duduk di sebelahnya.

"Maaf, Ai." Devita menoleh ke arah suaminya sebelum lanjut berbicara, "Sebenarnya lima tahun yang lalu Daffa sudah pernah menikah. Kamu tidak keberatan kan dengan status Daffa yang seorang duda?"

Aini terkejut, matanya sedikit melebar. "Ternyata statusnya duda sebelum menikah denganku tadi..."

Namun, seandainya keberatanpun apakah masih bisa dirubah? Nasi sudah menjadi bubur, sekarang Daffa adalah suaminya. Apapun masa lalunya, Aini harus bisa menerimanya.

"Lalu, kenapa Mas Daffa berpisah dengan mantan istrinya?" tanya Aini. Jujur dia sangat penasaran dengan masa lalu suaminya, namun tak terlalu menunjukkannya dan menunggu keluarga suaminya untuk bercerita saja.

"Ceritanya panjang, Ai. Mereka berpisah setelah satu tahun pernikahan, sejak saat itu Daffa menjadi pribadi yang dingin dan tidak banyak bicara. Dan Mama harap, kamu bisa menyembuhkan luka dihati Daffa dan membawa kebahagiaan lagi di hidupnya," sebagai seorang ibu, Devita hanya ingin kebahagiaan untuk putranya yang sudah lama menduda. Hingga saat bertemu dengan Aini, dia tahu Aini adalah gadis yang baik dan pantas untuk dijadikan menantunya.

Aini tak merasa kecewa meskipun Daffa sudah pernah menikah sebelumnya. Bahkan seharusnya dia berterima kasih karena secara tidak langsung Daffa sudah menolongnya dengan mau menikahinya demi menjaga kondisi kesehatan ayahnya.

"Dina, kamu antar kak Aini ke kamar kak Daffa ya? Biar kak Aini bisa beristirahat disana," perintah Devita pada sang putri.

Dina mengambil tas Aini dan menarik tangan kakak iparnya itu dengan tangannya yang satu lagi. Sebuah ruangan yang diakui sebagai kamar Daffa mampu membuat Aini kembali gugup. Pasalnya mulai sekarang dia akan tinggal dikamar itu dengan Daffa, berdua saja.

Dina meletakkan tas Aini diatas sofa, usia mereka yang hanya terpaut dua tahun saja membuat Dina bisa langsung mengakrabkan diri dengan kakak iparnya itu. Karena usia Dina baru dua puluh tahun dan baru masuk semester tiga bangku kuliah.

"Ini kamar kak Daffa. Kakak istirahat saja dulu, nanti malam aku panggil untuk makan malam. Tapi kalau kak Daffa seringnya melewatkan makan malam dirumah, dia menjadi super sibuk sejak..."

"Sejak bercerai dengan mantan istrinya?" Aini hanya menebak saja, tapi sepertinya tebakannya itu benar. Terbukti dengan Dina yang menganggukkan kepalanya sebagai jawaban iya.

"Tapi jangan khawatir kak, meskipun duda tapi kak Daffa itu duda keren kok. Kakak sudah lihat sendiri kan dia itu tampan, ya meskipun sikapnya sedikit menyebalkan,"

Aini jadi teringat ucapan Daffa saat di rumah sakit tadi. Sebenernya bukan menyebalkan, tapi super-super menyebalkan malah. Bicara sama perempuan yang sudah menjadi istrinya saja tidak ada lembut-lembutnya sama sekali.

Dina mengusap lengan Aini, "Ya sudah kak, aku keluar dulu. Kakak istirahat ya,"

Selepas kepergian Dina, Aini kembali mengagumi kamar berukuran luas itu, sangat berbeda dengan kamarnya yang sempit dan kecil. Meskipun tidak terlihat seperti kamar pengantin pada umumnya, tapi Aini tidak merasa kecewa. Pernikahan mereka terjadi secara mendadak, jadi benar-benar tidak ada persiapan sama sekali.

_

_

_

Ketika malam tiba, Aini yang baru selesai menjalankan sholat isya langsung mengambil hijab segiempatnya yang dia letakkan di sisi ranjang ketika pintu kamar tiba-tiba dibuka oleh seseorang. Daffa masuk dengan wajah datar, ekspresinya masih sama seperti terakhir mereka bertemu tadi siang.

"Mas sudah pulang, mau saya siapkan makanan?" setelah menaruh mukenanya di atas sofa, Aini mendekati Daffa yang sedang membuka jasnya.

"Apa kamu tidak mengerti maksud ucapanku tadi siang? Perlu aku ulangi lagi?" sembari menggulung lengan kemejanya, Daffa membalikkan badan. Wajah polos tanpa polesan make up itu terlihat sangat cantik, namun tetap tak membuatnya tertarik.

"Dan satu hal lagi, jangan bicara terlalu formal denganku. Kamu bisa menggunakan kamar ini sesuka hatimu, malam ini aku akan tidur dihotel. Aku pulang hanya untuk mengambil beberapa pakaian saja," Daffa berjalan ke arah lemari, mengambil beberapa pakaiannya dan memasukkannya ke dalam tas berukuran sedang miliknya.

Ingin sekali Aini mencegahnya, namun dia masih tetap berdiri di tempatnya dan hanya mampu melihat pergerakan suaminya tanpa berani mencegah. Kata orang malam pertama itu indah, tapi tidak baginya. Suaminya bahkan ingin meninggalkannya di malam pertama mereka.

"Meninggalkan aku di malam pengantin kita tanpa alasan yang jelas, apa menurut kamu itu pantas, Mas?"

Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari bibir Aini. Daffa yang sedang merapikan baju-bajunya dan memasukannya ke dalam tas segera menghentikan aktivitasnya, pria itu menatap ke arah Aini dengan tatapan yang sulit diartikan. Jujur saja Aini sedikit takut dengan tatapannya itu, namun dia berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja.

"Apa yang ingin kamu cari diluar sana? Wanita? Kesenangan? Kepuasan?" tak peduli dengan tatapan tajam Daffa padanya, Aini melanjutkan kembali kata-katanya.

"Jika ada yang halal bagimu kenapa harus mencari yang haram, Mas? Meskipun belum pernah menyebut namamu dalam setiap doaku, tapi Allah sudah menghadirkan kamu sebagai jodohku. Sama halnya dengan kamu, aku pun tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi sekarang semuanya sudah terjadi, kita hanya bisa menerima dan seharusnya bisa menjalaninya dengan ikhlas."

Sungguh berani gadis dihadapannya ini berbicara seperti itu padanya. Tadinya Daffa pikir Aini hanya gadis polos yang hanya akan iya-iya saja tanpa berani melawan apalagi sampai bicara panjang lebar seperti sekarang.

"Satu hal lagi, Mas. Kamu boleh tidak menerima pernikahan kita, tapi jangan coba-coba untuk menghadirkan wanita lain sebagai orang ketiga. Karena jika semua itu sampai terjadi, maka aku sendiri yang akan mengakhirinya." suaranya terdengar sedikit bergetar, Aini menurunkan pandangannya dan tak lagi berani menatap wajah suaminya.

Daffa melangkahkan kakinya mendekat, tatapannya bahkan tak beralih sedikitpun dari wajah Aini. Jelas sekali jika gadis itu sedang berusaha menyembunyikannya kegugupannya.

"Apa maksud perkataanmu itu? Ingin disentuh?"

...💧💧💧...

Bab 3 : Sesakit inikah menjadi istrinya?

Aini sedikit bingung harus menjawab bagaimana. Dia bahkan tak berfikir jauh sebelum berbicara panjang lebar seperti tadi pada Daffa. Niatnya hanya ingin mencegah Daffa sebelum orang rumah ada yang memergoki suaminya pergi meninggalkannya di malam pertama mereka.

"Bu-bukan seperti itu maksudku. Aku hanya bingung jika orang tua Mas bertanya aku harus menjawab apa," jawab Aini beralasan, saat ini hanya jawaban itu yang menurutnya masuk akal.

"Mereka tidak akan bertanya yang macam-macam padamu. Mereka hanya akan mencariku, jadi kamu tidak perlu sekhawatir itu." Daffa meraih tasnya dan bergegas untuk pergi, namun pergelangan tangannya ditahan oleh Aini saat dia berjalan melewati gadis itu.

"Ma-maaf, Mas..." Aini buru-buru menurunkan tangannya saat menyadari tatapan Daffa padanya.

"Kamu tidak seharusnya pergi. Kita baru menikah, tapi kamu malah..."

Brukkkk...

Aini terkesiap kaget saat tiba-tiba Daffa membanting tasnya ke lantai. Sorot mata tajamnya seperti sedang menatapnya bagai musuh yang harus dibantai.

"Belum paham juga dengan ucapanku, hah?!! Sudah aku bilang aku tidak akan pernah menganggap kamu ada di hidupku!!!" wajah lelahnya kini berubah menjadi marah, Aini sampai tak berani menatapnya karena memang semenakutkan itu.

Padahal disini bukan hanya Daffa yang tertekan, tapi dirinya juga. Pernikahan impian bak putri di negeri dongeng bahkan hanya tinggal mimpi. Tapi mengapa pria dihadapannya bersikap seolah-olah hanya dia yang tersakiti disini.

Seandainya saja ayahnya tidak sakit, Aini pun enggan untuk menikah dengan Daffa diusianya yang masih tergolong muda. Aini masih memiliki sejuta mimpi dan masih ingin menikmati masa mudanya bersama teman-teman sebayanya. Meskipun tidak sampai menduduki bangku kuliah, tapi Aini sudah bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Sudah delapan bulan terakhir ini dia bekerja disalah satu pabrik di ibu kota. Gajinya memang tidak seberapa, tapi Aini tetap mensyukuri dan sangat menikmati pekerjaannya.

"Berapa uang nafkah yang kamu minta? Aku akan memberikannya! Tapi kamu tidak perlu menuntut ini itu padaku, paham?!!"

Wajahnya terangkat, air matanya sudah menggenang di kedua bola matanya. Sudah sejak siang tadi dia mendengar kata-kata yang begitu menyakitkan hati dari bibir pria yang berstatus sebagai suaminya ini.

"Ini bukan tentang nafkah, Mas. Aku percaya kamu bisa memberikan berapapun nafkah yang aku minta, tapi ini tentang tanggung jawab kamu yang lain. Kita baru saja menikah tapi kamu lebih memilih tidur di hotel dibandingkan dengan istri kamu sendiri. Mungkin aku memang masih terlalu muda untuk memahami, dan belum memiliki pengalaman pernikahan seperti kamu, tapi..."

"Apa yang mereka katakan tentang aku?!!" potong Daffa cepat, keluarganya pasti sudah menceritakan tentang masa lalunya yang sudah pernah menikah dan berakhir dengan kegagalan.

"Keluarga kamu tidak menceritakan apa-apa, mereka hanya memberitahu jika kamu sudah pernah menikah dan berpisah. Lalu, apa sekarang kamu ingin mengulang kejadian yang sama, Mas?"

Sakitnya menyesak, Aini menatap Daffa lekat, "Tidakkah kamu berniat untuk menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan terakhir kamu. Kita sama-sama belajar saling menerima, saling mencintai, dan..."

"Jika kamu pikir ingin menggapai rumah tangga yang samawa bersamaku, sebaiknya kamu lupakan saja. Karena saat kamu sudah merasa lelah, aku tidak akan menghalang-halangi kamu untuk menyerah!"

Sekuat hati menahan, Aini akhirnya tidak bisa lagi membendung air matanya. Kamar yang seharusnya menjadi saksi awal kebahagiaannya justru menjadi saksi bagaimana dirinya mulai terpenjara dalam lautan luka.

Sesakit inikah menjadi istrinya? Impian pasti ada, meskipun belum pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki sampai yang namanya pacaran, tapi Aini selalu bermimpi bisa memiliki suami yang bisa mengayomi dan mencintainya sepenuh hati.

Tapi apa yang ada dihadapannya sekarang, semuanya berbanding terbalik dengan mimpi-mimpinya. Tampang iya tampan, tapi mulutnya seperti bon cabe level sepuluh. Pantas saja dia bercerai dengan mantan istrinya, mungkin mantan istrinya dulu juga tidak tahan dengan ucapannya yang menyakitkan itu, atau bahkan lebih dari ini.

Perdebatan keduanya mengundang perhatian orang rumah, Arya dan Devita yang kebetulan masih terjaga segera mengetuk pintu kamar Daffa saat mendengar suara ribut-ribut dari kamar pengantin baru itu. Buru-buru Aini menyeka air matanya dan membukakan pintu.

"Aini, ada apa Sayang?" Devita yang melihat Aini seperti habis menangis jelas tau sesuatu pasti baru saja terjadi. Daffa mengambil tas yang dia jatuhkan tadi dan berjalan mendekat ke arah pintu.

"Daffa, mau kemana kamu?" tanya Arya, ada sedikit ketegasan dalam pertanyaannya.

"Bukan urusan kalian. Kalian yang menginginkan gadis ini untuk menjadi menantu, jadi kalian saja yang menampungnya di rumah ini. Aku mau pergi dan tidak akan tinggal disini lagi."

"Daffa!!!" bentak Arya, dia menarik tangan putranya dan membawanya keluar kamar untuk berbicara.

Arya paham akan situasinya, saat ini emosi putranya belum stabil. Pernikahan mendadak pasti membuatnya tertekan, terlebih Arya sangat mengetahui jika putranya masih sangat mencintai mantan istrinya.

"Daffa..." ucap Arya pelan saat mereka sudah duduk di kursi ruang tamu, Devita dan Aini datang setelah Aini memakai kembali hijabnya dengan benar.

"Kami mengambil keputusan ini bukan semata karena permintaan ayah Aini atau demi keegoisan kami. Tapi kami ingin yang terbaik untuk kamu, supaya kamu bisa bangkit dari masa lalu kamu, Daf." dalam hal ini Arya memang lebih bisa di andalkan dan lebih bijak ketimbang istrinya. Jika istrinya yang berbicara pasti sudah meledak-ledak dan berakhir membuat Daffa benar-benar pergi dari rumah.

"Kami tidak saling mencintai. Pernikahan tanpa cinta itu rasanya hambar, lalu apa yang mau disatukan?" masih dengan wajah kesalnya Daffa menjawab, walaupun sudah tidak sekesal tadi saat berbicara dan membentak Aini.

"Yang bilang enak siapa? Enak pas bagian itunya... Ah sudah, kamu juga pernah ngerasain," ucap Papa Arya sembari menahan tawa, sejenak situasi kembali tenang tanpa ada sulutan emosi.

"Ehem..." kembali ke mode serius, Arya menarik nafasnya terlebih dahulu sebelum lanjut berbicara. "Kamu coba dulu jalani sama Aini, cocok atau tidaknya kan belum dicoba. Jangan main tinggal-tinggal saja seperti tadi. Kalau nggak ada suaminya, kamu mau istrimu ditiduri pria lain?"

"Pa-Pa..." desis Mama Devina, menatap tajam ke arah suaminya.

"Eh iya-iya, jadi maksud Papa begini Daf, kamu coba dulu tidur sekamar dan perlakukan Aini ini seperti istri kamu. Kedepannya jika memang tetap tidak ada kecocokan, Papa dan Mama tidak akan memaksa lagi, keputusan ada ditangan kalian berdua. Bagaimana?"

Daffa memijat pelipisnya, hanya helaan nafas yang dia tunjukkan sebagai bentuk jawaban. Sejujurnya, dia sama sekali tidak berminat, apalagi sampai mencoba, jujur saja tidak ingin sama sekali. Tapi mereka sudah terlanjur nikah, jadi mau bagaimana lagi. Cerai sekarang juga rasanya tidak mungkin, kondisi ayah Aini masih belum stabil, jika sampai mendengar kabar seperti ini yang ada akan memperburuk kesehatannya. Setelahnya pasti dirinya juga yang akan disalahkan.

"Terserah kalian saja. Aku lelah, mau istirahat."

Hanya kata-kata itu yang Daffa ucapkan sebelum berlalu pergi ke kamarnya kembali. Devina menyemangati Aini dan memintanya untuk menyusul Daffa ke kamar. Gadis itu hanya nurut-nurut saja, apalagi sekarang sudah jam setengah dua belas malam, mau minta pindah kamar yang ada masalah malah makin bertambah panjang dan sampai subuh juga tidak akan selesai.

"A-aku tidur di sofa saja, Mas. Jadi Mas bisa pakai ranjangnya untuk tidur," ucap Aini dengan wajah sedikit menunduk. Dia berjalan melewati Daffa yang sedang berdiri memunggunginya dan hendak menuju ke arah sofa.

"Tunggu...!"

Seketika itu langkah Aini terhenti, namun dia tidak berani untuk memutar tubuhnya atau sekedar menatap Daffa. Gambaran saat Daffa marah tadi masih terekam jelas dikepalanya, dan jujur saja itu membuatnya takut.

"Malam ini tidak akan ada yang tidur di sofa. Kita berdua akan tidur satu ranjang di ranjang yang sama."

Kali ini Aini memberanikan diri untuk berbalik. Meskipun wajahnya masih tidak bersahabat, tapi ucapan tegas Daffa seperti tak terbantahkan.

Meskipun begitu, Aini tak langsung bernafas lega. Sejak awal Daffa begitu menentang pernikahan mereka, dan tidak akan semudah itu juga untuk bisa menerimanya pasti. Jika bukan karena bantuan papa mertuanya, mungkin juga sekarang suaminya ini sudah pergi dan memilih tidur dikamar hotel.

...💧💧💧...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!