Kau tahu, aku selalu tertarik dengan segala hal yang berbau spiritual—sihir, kekuatan misterius, atau apapun yang nggak bisa dijelaskan dengan logika. Ya, aku menginginkan kekuatan itu.
Kekuatan yang nggak bisa dijangkau oleh akal sehat. Dan, sejujurnya, aku nggak peduli apapun namanya. Sihir, mana, chi, aura... apa pun, asalkan itu membuatku lebih kuat.
Beberapa orang pasti mikir aku gila, kan? Mencari kekuatan yang nggak ada buktinya, itu kan kayak ngejar sesuatu yang nggak pernah bisa dipegang. Dulu, aku juga bakal mikir gitu. Siapa yang enggak?
Tapi, coba pikir lagi... Dunia ini penuh dengan hal-hal yang nggak bisa dibuktikan secara ilmiah. Gak ada yang bisa benar-benar bilang "sihir itu gak ada." Jadi, kenapa gak mencoba? Mungkin memang, aku harus melangkah ke sisi lain. Lebih jauh. Lebih dalam... ke kegilaan itu.
Jadi, aku mulai berlatih hal-hal yang menurut orang normal... ya, gila. Aku mencoba meditasi, coba upacara penyucian berdiri di bawah air terjun (aku nggak tahu kenapa itu harus air terjun, tapi ya sudahlah).
Aku fokuskan diri sepenuhnya ke dalam. Berpuasa, belajar yoga, bahkan pindah agama—semua aku coba. Mencari jawaban di tempat-tempat yang nggak biasa. Aku berdoa, bahkan mengikat diri di kayu salib. Hasilnya? Nihil. Seperti yang sudah bisa kubayangkan. Nggak ada yang jelas.
Tapi tetap, aku nggak berhenti. Aku melatih tubuh, belajar bela diri. Siapa tahu, kan? Mungkin aja kekuatan fisik bisa jadi pemicu. Di film-film sih, biasanya ada hubungan antara fisik dan kekuatan luar biasa. Toh, aku udah nggak punya pilihan lagi.
Namun... (hempas napas) Mengingat bagaimana aku mati, semua usaha itu terasa sia-sia. Bahkan kalau punya fisik kuat, sepertinya itu nggak akan bisa menyelamatkanku dari kesialan besar itu.
Sekarang, aku gak tahu lagi di mana. Semua yang ada di sekitarku gelap, kosong, dan nggak ada ujungnya. Aku coba lari ke sana kemari, tapi tempat ini nggak berubah. Semuanya sama saja.
Tapi... ada satu hal yang pasti. Aku menemukan sesuatu. Sihir. Itu ada. Aku bisa menciptakan api dari telapak tangan, angin topan dengan tiupan mulut, dan air dari ujung jari. Ini bukan khayalan. Aku bisa mengubah apa yang ada di pikiranku menjadi kenyataan di dunia yang sepi ini. Selama ada unsur alamnya, sihir ini nyata.
Dan saat aku sibuk menguji coba sihirku, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah cahaya, melayang perlahan menuju ke arahku. Semakin dekat, semakin hangat, dan...
...----------------...
Bangun di Tubuh yang Bukan Milikku
Gelap...
Tapi… bukan gelap yang sama seperti sebelumnya. Kali ini, ada cahaya hangat yang menyelinap dari sela kelopak mataku. Aku membuka mata pelan. Langit-langit berhiaskan ukiran emas, kristal menggantung elegan seperti bintang di siang hari.
Uh… ini jelas bukan kamar kosku.
Kepalaku berat, tubuhku… jangan tanya. Rasanya seperti habis digeprak tiga truk sekaligus. Tapi, aku hidup. Dan ini bukan neraka. Atau… mungkin justru ini surga?
"T-Tuan Muda?! Anda… Anda sadar?!"
Suaranya nyaring, sedikit panik, dan… manis? Aku menoleh pelan, dan… yah, mata ini disambut pemandangan yang cukup menyenangkan.
Seorang wanita muda, wajah cantik khas anime dengan rambut hitam panjang dan pakaian maid—bukan yang norak, tapi yang classy dan tetap… Uuhm... agak terbuka di bagian atas. Fokus, Arian. Fokus.
Dia buru-buru mendekat dan menyentuh keningku. "Apa Anda merasa pusing? Lapar? Haus? Tunggu sebentar, saya ambilkan air!"
Dan sebelum aku bisa menjawab, dia sudah menyodorkan cangkir ke bibirku, menyuapi air seperti bayi.
Sumpah, aku ingin protes. Tapi tubuh ini... terlalu lemah untuk bergerak, apalagi sok-sokan jaga harga diri.
Setelah beberapa tegukan, aku akhirnya bisa bersuara.
"...Heh... ini… di mana?"
Dia tampak sedikit kaget, lalu tersenyum lega. "Ah, ya. Ini kamar Anda, Tuan Muda. Di dalam Istana Tinggi Kerajaan Argandia."
"…Argandia?"
Oke. Fix. Aku udah gak di Bumi lagi.
Aku mengamati tanganku. Putih. Kurus. Jari-jarinya panjang dan lentik—kayak tangan pianis yang belum pernah angkat galon seumur hidup. Lalu… rambut? Aku bisa merasakannya panjang, jatuh sampai dada.
"...Siapa... aku?"
Aku nggak pura-pura dramatis, beneran. Aku gak tahu siapa nama pemilik tubuh ini. Dan pertanyaanku bikin si pelayan itu membeku.
"M-Maaf, Tuan Muda? Anda… tidak mengingat nama Anda?"
Aku mengangguk pelan.
Dia tampak ragu, bingung, lalu mencoba tersenyum lagi, meski matanya berkaca-kaca.
"Mungkin… mungkin ini hanya efek demamnya… Anda sudah tertidur selama enam hari penuh. Kami semua sangat khawatir…"
Pelan-pelan dia menatapku dengan lembut.
"Nama Anda adalah Pangeran Arlan. Putra tunggal Yang Mulia Raja Argus. Pewaris satu-satunya tahta kerajaan ini."
"Aku ……………"
"Pangeran?"
"Pewaris tahta?"
"Tunggu, tunggu, tunggu… AKU jadi anak raja?!"
"Dan tunggu… Arlan? Arlan?!"
Nama itu langsung terpatri di kepalaku seperti cap besi panas.
Kalau dunia ini benar-benar punya sihir seperti yang kurasakan sebelumnya…
Kalau aku diberi tubuh ini untuk sebuah alasan…
Maka, bahkan meski tubuh ini lemah dan rapuh…
Ini bukan akhir. Ini awal dari segalanya.
Aku baru saja terbangun dari tidur enam hari yang absurd. Tubuh ini masih lemas, tapi setidaknya sekarang aku bisa duduk sendiri. Aku mulai mengamati sekeliling kamar yang terlalu mewah untuk ukuran orang biasa. Tirai tebal, jendela tinggi, dan ukiran-ukiran emas di dinding. Semua terasa seperti lukisan.
Lalu… pintu kamar terbuka pelan.
“Permisi, saya bawa bubur ayam herbal hangat untuk—YAAAARGH?!”
BRAK!
Nampan logam terlepas dari tangannya, sendok beterbangan seperti shuriken, dan semangkuk bubur menari indah di udara sebelum mendarat… tepat di atas kepalanya.
“Tu-Tuan Muda?! Anda—ANDA BANGUN?! TIDAK MUNGKIN!”
Wanita itu—seorang pelayan muda dengan rambut kecokelatan bergelombang sebahu, mengenakan seragam pelayan berpotongan rapi tapi elegan—langsung berlari mendekat. Mata cokelatnya membelalak, tangan gemetar, dan ekspresinya campuran antara panik, terharu, dan... kesal?
“Astaga... saya sudah siapin pidato duka cita, lho! Tuan Muda tahu nggak betapa stresnya kami selama enam hari ini?! Saya sampe puasa gula karena khawatir, tahu nggak?!”
"...Kau siapa?" tanyaku pelan. Bukan akting. Aku beneran nggak kenal.
Dia terdiam sejenak.
“Eh?”
Lalu, wajahnya menegang. Dia memandangi wajahku dengan serius, mendekat sedikit, lalu—
“Aduh… ini bukan karena bubur saya, kan? Jangan bilang Anda amnesia karena saya sempat taruh sedikit cabai rawit di buburnya…”
“...Bukan itu,” jawabku cepat. “Aku cuma... belum terbiasa.”
Dia memelototiku, lalu menghembuskan napas panjang.
“Baiklah. Ulang tahun Anda tanggal dua belas bulan Gelora. Nama lengkap Anda Arlan De Liones Argus. Anak satu-satunya Raja Argus yang Agung. Pewaris tahta kerajaan Argandia yang sangat, sangat beruntung karena punya pelayan sehebat saya, Lyra.”
Aku mengerjap. “Lyra?”
“Iya! Saya ini pelayan senior, kepala pelayan pribadi Anda, pencatat waktu makan Anda, sekaligus, dalam enam hari terakhir menjadi pemimpin tidak resmi kelompok doa pagi untuk kesembuhan Anda!”
Dia mengacungkan jari telunjuk tinggi-tinggi, penuh semangat dan... dramatis.
Dan entah kenapa, ada energi menyenangkan dari kehadirannya. Cerewet, ya. Tapi rasanya hangat. Akhirnya, aku tersenyum kecil.
“Makasih, Lyra.”
Dia terdiam sejenak, lalu wajahnya memerah.
“Y-Ya ampun... Anda senyum?! Oke, catat... hari ini akan saya tulis di jurnal istana. ‘Tuan Muda Arlan akhirnya tersenyum setelah enam hari koma!’ Uhuhuhu~ Saya tahu suatu hari senyum Anda bakal menyinari dunia ini!”
Dia drama. Tapi menyenangkan. Kurasa... aku bakal baik-baik saja di sini.
Tapi ternyata, harapanku untuk menikmati lima menit ketenangan itu terlalu muluk.
Karena detik berikutnya, Lyra membeku. Seperti patung. Matanya menatap kosong ke depan, lalu perlahan-lahan membelalak. “O. M. G…” bisiknya pelan.
Aku mengangkat alis.
“Kenapa…?”
“Sayaaaaa…” katanya panjang-panjang. “Baru saja nyadar. Tuan Muda yang baru bangun dari koma... DENGERIN SAYA NGEDUMEL!!”
“Yah, lumayan seru juga sih.”
“ITU BUKAN PUJIAN!!”
Dia langsung memutar badan seperti gasing, panik total.
“Aduh! Aduh! Aduh! Gimana ini?! Saya harus lapor Baginda! Harus! Tapi rambut saya berantakan! Eh, nggak penting! Pokoknya—Tuan Muda—Anda tunggu di sini! Duduk manis! Jangan bergerak! Jangan mati lagi! Saya balik sebentar!”
BRUK!
Dia menabrak pintu. Dengan wajah datar, aku hanya menonton saat dia memantul mundur, mengumpat pelan, lalu membuka pintu dan…
“YANG MULIAAAAAAAA!! TUAN MUDA BANGUNNN!! TUAN MUDA ARLAN SUDAH BANGUN DENGAN MATA TERBUKA DAN BICARA DAN SENYUM DAN SEMUANYAAAAA!!!”
Teriakannya menembus dinding seperti ledakan sihir. Beberapa suara dari kejauhan terdengar—teriakan kaget, suara benda jatuh, dan bahkan suara seorang pria tua yang jelas-jelas panik,
“APA?! TUAN MUDA HIDUP LAGI?!”
Lyra tidak peduli. Dia meluncur di lorong seperti peluru, sambil mengoceh pada siapa pun yang bisa dia tangkap.
“CEPAT PANGGIL TABIB! KITA PERLU PERIKSA APA INI MUKJIZAT ATAU SANTET BAIK!”
“PANGGIL JURU MASAK! TUAN MUDA BUTUH ENERGI! TAPI JANGAN YANG ADA CABAI RAWITNYA!”
“DAN KALAU BISA, ADAKAN PESTA KECIL! CUMA 200 ORANG! OKE?!”
Aku cuma bisa duduk di tempat tidur, memandangi pintu yang terbuka setengah sambil merenung dalam diam.
“…Dia pelayan atau panglima perang, sih?”
Tapi jujur, itu lucu. Dan entah kenapa, suara paniknya yang berisik itu justru membuat kamar yang tadinya terasa asing dan sunyi… jadi lebih hidup. Lebih hangat.
Beberapa menit berlalu, dan aku mulai mendengar suara-suara mendekat dari luar kamar. Terdengar langkah-langkah terburu-buru di koridor marmer. Suara sepatu berat para penjaga, diselingi suara ringan para pelayan yang mencoba menahan tawa.
“Eh, beneran bangun?”
“Dengar-dengar, Tuan Muda sampai senyum ke Lyra?”
“Lyra yang mana? Yang cerewet itu?”
“Sst! Pelan dikit! Itu pelayan kesayangan Tuan Muda!”
Aku mendesah. Jadi pusat perhatian bukan hal baru buat seorang bangsawan, tapi ini... aneh. Rasanya seperti hidup lagi di dunia yang sudah memutuskan aku mati.
Pintu kamar terbuka lebar, dan Lyra muncul lagi, kini ditemani oleh dua tabib dan—sial—beberapa penjaga istana yang ikut menyelinap karena penasaran.
“Saya bawa bala bantuan!” seru Lyra bangga. “Dan juga laporan keadaan saya—eh, maksud saya TUAN MUDA!”
Tabib tua dengan janggut putih langsung mendekat dan mulai memeriksa nadiku, memeriksa pupil mataku, bahkan mencoba mengetuk lututku dengan palu kecil.
“Hmm… denyut stabil… reaksi normal… ini... luar biasa.”
“Yang luar biasa itu bukan saya, tapi yang bisa tidur enam hari tanpa kena encok,” komentarku—pelan.
Lyra tersedak tawa. Tabib pura-pura tak dengar.
Lalu suara lain datang. Lebih berat. Lebih tenang. Dan membuat semua orang mendadak diam.
“Arlan...?”
Seketika, suasana kamar berubah. Tabib langsung berdiri tegak. Pelayan yang tadinya bersembunyi di balik pintu buru-buru kabur. Dan Lyra—yang biasanya seperti badai tropis—mendadak diam total seperti patung.
Aku memutar kepala. Seorang pria tinggi berdiri di ambang pintu. Jubah biru tua dengan bordir emas, pundak lebar, sorot mata tajam... dan mahkota di tangannya. Wajahnya dingin, seperti batu. Tapi di balik itu, ada keretakan samar. Seolah dia mencoba menyembunyikan emosi yang nyaris tumpah.
Raja Argus. Ayah kandung Arlan.
Ayah kandung... aku sekarang.
Kami saling memandang. Diam. Hening.
Lalu dia berkata pelan, suaranya berat, tapi terdengar jelas.
“Selamat kembali.”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Bukan karena takut. Tapi... aku bahkan belum tahu seperti apa hubungan mereka sebelumnya.
Jadi, aku cuma mengangguk kecil.
Dan untuk sesaat, aku melihat bibirnya bergerak. Sedikit. Nyaris seperti... senyuman.
Tapi hanya sebentar.
“Tabib. Laporkan ke Dewan. Arlan sudah pulih. Penobatan... bisa dibicarakan kembali.”
Penobatan?
Aku hampir protes, tapi... belum waktunya. Satu langkah dalam sehari. Pelan-pelan saja. Aku baru hidup kembali.
Lyra menoleh ke arahku, mata berbinar.
“TUAN MUDA! ANDA DENGAR ITU? PENOBATAN! AAAAAAA SAYA HARUS JAHIT BAJU BARU!!!”
Dan suara tawa kecil di hatiku mulai tumbuh.
Ya. Mungkin aku benar-benar bisa hidup di dunia ini. Dengan tubuh lemah, ingatan yang tidak lengkap... dan pelayan cerewet yang terlalu dramatis.
Tapi setidaknya, aku tidak sendiri.
Pagi di istana ternyata... ribut juga. Kupikir istana kerajaan itu penuh keheningan, dengan para pelayan bergerak pelan-pelan sambil bisik-bisik. Ternyata aku salah besar.
“SELAMAT PAGI, TUAN MUDAAAAAA!!!”
Lyra membuka tirai jendela seperti mau membuka panggung drama.
Cahaya matahari menerobos masuk seperti laser surgawi, dan aku meringis seperti vampir yang baru kena lampu senter.
“Hyaaa... silau...”
“Oh, bagus! Masih bisa ngomel. Berarti masih hidup!”
Aku menarik selimut menutupi wajah. Tapi percuma. Detik berikutnya, Lyra duduk di sisi ranjang sambil menyodorkan segelas air jeruk herbal.
“Minum. Katanya bagus buat sistem kekebalan tubuh.”
“Katanya siapa?”
“Tabib. Dan tukang jamu langganan saya di pasar belakang. Pokoknya, minum.”
Aku meneguknya perlahan. Rasanya... kayak air jeruk yang pernah nyemplung ke kebun tanaman obat. Tapi anehnya, tubuhku jadi sedikit segar.
“Bagaimana perasaan Anda hari ini?” tanya Lyra sambil memiringkan kepala. “Masih pusing? Masih bingung? Masih amnesia setengah-setengah?”
Aku nyaris nyembur minuman.
“Eh, kau masih yakin aku kena amnesia?”
“Ya iyalah!” katanya cepat. “Tuan Muda nggak ingat saya, nggak tahu ulang tahun sendiri, bahkan sempat nanya ‘itu siapa’ waktu lihat cermin kemarin malam!”
Itu karena aku kaget wajah Arlan terlalu tampan, tapi ya sudahlah...
“Kalau memang begitu,” kataku sambil pura-pura polos, “boleh dong kau bantu aku... mengingat-ingat lagi. Hal-hal penting. Dunia ini. Orang-orangnya. Yang perlu aku tahu.”
Lyra menatapku curiga, tapi lalu matanya berbinar.
“OH, INI KESUKAAN SAYA!”
Aku langsung menyesal.
Beberapa menit kemudian, aku sudah diseret keluar kamar dengan jubah tebal melingkar di bahu dan sepatu beludru yang terlalu empuk buat dipakai jalan.
Tapi karena tubuh ini lemah, aku bahkan belum kuat berdiri lama. Untungnya, Lyra sudah siap dengan—aku tak percaya aku akan mengucapkan ini—kursi roda mewah berlapis emas ringan.
“Siap-siap ya, Tuan Muda. Kita akan keliling sayap timur istana. Edisi terbatas, tur pemulihan plus edukasi kilat untuk para pewaris tahta dengan ingatan samar-samar!”
“…Itu terlalu spesifik untuk nama paket tur.”
“Kami profesional.”
Dan begitulah, aku digiring menyusuri koridor istana.
Poin Pertama: Dapur Kerajaan.
“Astaga! Tuan Muda!!” seru kepala dapur, seorang pria besar dengan celemek penuh tepung. “Maafkan kami soal bubur kemarin!”
“Tenang, aku tidak dendam pada bubur.”
“Oh syukurlah! Kami sudah siap bawa tabib spiritual kalau Tuan Muda kesurupan makanan.”
Setelah beberapa obrolan ringan, dan Lyra menyelinap mengambil kue tar yang katanya "untuk camilan pemulihan", kami melanjutkan tur.
Poin Kedua: Halaman Pelatihan Para Ksatria.
“Kau tahu, Tuan Muda,” Lyra mulai berbisik, “dulu Anda selalu menghindar dari tempat ini. Katanya... terlalu berisik.”
Arlan yang lama lemah fisiknya. Itu cocok. Tapi bagiku? Aku justru tertarik.
Aku menatap ksatria-ksatria berlatih pedang dan sihir. Ada satu yang menarik—seorang perempuan muda dengan armor ringan dan rambut pendek. Gerakannya cepat, mantap. Seperti sedang menari dengan pedangnya.
Siapa dia? Seorang pengawal elit?
“Eh, siapa yang itu?” tanyaku.
“Dia? Itu Sir Kaela. Ksatria kerajaan. Top lima di generasinya! Dulu katanya Anda takut dia... karena dia pernah membuat pintu kamar Anda terbelah dua pakai sihir petir waktu Anda dikunci dari dalam.”
“…Kedengarannya... wajar aku takut.”
“Memang!”
Poin Ketiga: Ruang Penasehat dan Politik... yang Membosankan.
“Di balik pintu ini, semua rencana kerajaan dibuat,” bisik Lyra. “Dan juga... tempat para penasehat suka debat tiga jam soal warna taplak meja pesta musim gugur.”
“Menarik.”
“MENYEBALKAN.”
Kami tidak masuk. Syukurlah.
Poin Keempat: Galeri Keluarga Kerajaan.
Di ruangan panjang penuh lukisan dan patung, kami berhenti sejenak. Lyra menunjuk satu demi satu.
“Itu Raja Argus muda. Waktu dia masih petarung arena. Itu permaisuri... ibunda Anda. Dan ini—” Dia menunjuk patung kecil. “Anda. Waktu umur lima tahun. Lucu banget, kan? Pipi Anda kayak roti sobek.”
Aku memandangi patung itu lama.
Lucu, ya? Entah kenapa... aku tidak merasa apa-apa.
“Lyra,” kataku pelan. “Ibu... masih ada?”
Dia terdiam.
“Tidak,” jawabnya akhirnya. “Beliau wafat tujuh tahun lalu. Sejak itu... Raja berubah.”
Aku menunduk pelan. Bukan karena aku sedih... tapi karena aku mulai paham. Kenapa Arlan kecil mungkin tumbuh kesepian. Kenapa Lyra bisa sedekat ini dengannya. Dan kenapa aku... menggantikan dia di dunia ini.
Saat kami kembali ke kamar, langit sudah berubah oranye. Aku merasa seperti habis berpetualang seharian, padahal cuma keliling satu sisi istana.
Lyra membantuku turun dari kursi roda, lalu merapikan bantal-bantal dan menyodorkan teh hangat yang baunya... lumayan enak.
“Jadi,” katanya sambil duduk di kursi dekat jendela. “Sudah lebih... terbiasa?”
Aku menatap ke luar. Kota Argandia terbentang di kejauhan. Menara-menara, jalanan batu, dan cahaya lentera yang mulai menyala satu per satu.
“Sedikit,” jawabku jujur.
“Yah, jangan khawatir. Saya akan bantu Tuan Muda... sampai ingatan Anda benar-benar pulih.”
Aku tersenyum kecil. “Mungkin... aku tidak ingin semua ingatan itu kembali.”
Lyra mengerutkan alis. “Kenapa?”
Aku memandangnya.
“Karena mungkin... hidup baru lebih pantas dijalani kalau kita bisa memilih bagian mana yang mau kita simpan, dan mana yang bisa kita tinggalkan.”
Dia menatapku lama. Lalu tersenyum. “Kalau begitu... kita mulai dari yang baru. Saya akan jadi pelayan pertama yang bantu Anda membangun hidup baru. Deal?”
“Deal.”
Dan untuk pertama kalinya hari itu... bukan senyum karena basa-basi. Tapi karena aku benar-benar merasa sedikit... lega.
Dunia ini masih asing. Tubuh ini lemah. Dan masa depan? Penuh tanda tanya.
Tapi kurasa... dengan pemandu seperti Lyra, aku tidak akan tersesat.
Belum.
Tapi siapa tahu besok?
Aku memandangi cangkir teh yang sudah setengah dingin di tanganku.
“Lyra.”
“Hm?”
“Kalau aku ingin keluar istana... maksudku, benar-benar keluar. Ke kota. Bisa nggak?”
Dia menatapku dengan ekspresi kaget yang nyaris lucu.
“Ke kota? Sendiri?”
“Ya... atau nggak sendiri. Tapi... aku ingin lihat dunia ini. Dengan mataku sendiri.”
Lyra menggigit bibir, ragu. “Itu... agak sulit. Raja belum tentu mengizinkan. Dan tubuh Anda... belum tentu kuat.”
Aku tersenyum kecil. “Tapi bukan berarti mustahil, kan?”
Dia terdiam, lalu menghela napas panjang.
“Tuan Muda, Anda baru bangun dari koma enam hari. Jalan lima langkah aja ngos-ngosan. Dan sekarang mau petualangan ke luar istana? Kenapa nggak sekalian minta terbang ke bulan?”
“Aku cuma mau tahu... dunia macam apa yang sedang kutinggali sekarang.”
Dia menatapku lama, lalu berdiri dan mulai membereskan nampan.
“Kalau begitu...” katanya sambil menoleh, “mulailah dari mimpi kecil. Tapi siap-siap. Dunia di luar sana... tidak semanis teh jahe ini.”
Dia keluar dari kamar, dan pintu tertutup pelan.
Aku mendongak, menatap langit yang mulai menggelap.
Dan entah kenapa... firasatku bilang, petualangan kecil itu mungkin akan datang lebih cepat dari yang kupikirkan.
Atau lebih tepatnya... petualangan itu sedang menuju ke arahku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!