NovelToon NovelToon

Chaotic Destiny

Prolog

Tangisan pecah di tengah kesunyian Istana Dunia Bawah. Dinding-dinding hitam yang biasanya memantulkan keheningan kini menjadi saksi bisu air mata sang ratu. Persephone terduduk di tengah ruangan batu yang megah namun dingin, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, melainkan karena luka yang tak terlihat—luka yang ditinggalkan oleh waktu, kehilangan, dan harapan yang berulang kali dikhianati.

“Aku tak sanggup lagi, Hades...” suara Persephone pecah, serak dan gemetar, seolah retakan itu datang langsung dari hatinya. “Setiap kali aku memilih seorang anak untuk menjadi High Human... mereka semua mati muda.”

Ia menunduk, bahunya bergetar, menggenggam erat lengan suaminya yang berdiri di hadapannya—sang penguasa Dunia Bawah, Hades, yang meski bersikap dingin seperti abadi, kini tak bisa menyembunyikan kesedihannya.

“Semua... Semuanya mati,” lanjutnya. “Anak-anak itu memikul kekuatanku, memikul takdir yang seharusnya membawa harapan. Namun kenyataannya, tak satu pun dari mereka bertahan lebih dari beberapa tahun setelah kebangkitan mereka.”

Hades berjongkok perlahan, menatap wajah istrinya yang basah oleh air mata. “Kau sudah melakukan yang terbaik, Persephone. Ini bukan kesalahanmu. Dunia di atas... Penuh ketidakadilan. Takdir para High Human memang berat, namun bukan kau yang menuliskan nasib mereka.”

Persephone menggeleng pelan. “Inkarnasi pertamaku... Ia bahkan belum genap delapan belas tahun saat gugur di medan perang, melindungi desanya dari serangan Invader. Aku masih mengingat senyumnya, mimpinya, semangatnya. Dan sekarang, hanya tinggal debu.”

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, suaranya nyaris seperti bisikan, “...inkarnasi kedua, dibakar hidup-hidup karena dituduh membawa sihir gelap. Yang ketiga... Dibunuh oleh rekan seperjuangannya sendiri karena iri hati... Aku mulai bertanya-tanya, apakah aku ini kutukan?”

Hening melingkupi keduanya. Tak ada suara selain gemuruh halus dari sungai jiwa yang mengalir di kejauhan. Akhirnya Hades angkat bicara, suaranya tenang namun dalam.

“Persephone. Kau adalah penjaga antara kematian dan kehidupan. Kau mewakili siklus musim, kelahiran dan kehancuran. Harapan dan kehilangan memang bagian dari peranmu... Tapi jangan biarkan kehilangan menelan harapan itu sendiri.”

Namun Persephone tak menjawab. Ia berdiri perlahan, memunggungi Hades, lalu melangkah menuju balkon tinggi tempat ia biasa memandang dunia atas.

“Aku... ingin sendiri,” ucapnya pelan. “Untuk pertama kalinya dalam hidup abadi ini, aku merasa... Ingin menyerah.”

Tak menunggu jawaban Hades, ia menghilang ke balik bayang-bayang, dan dalam waktu singkat, langkahnya membawanya ke sebuah tempat sunyi di ujung dunia bawah—paviliun bunga mati yang sudah ratusan tahun tak ia kunjungi. Tempat itu dulunya adalah taman rahasia, tempat ia menyemai harapan pertama kalinya. Kini, bunga-bunga itu telah layu.

Persephone duduk di bangku batu di tengah lingkaran pohon tua yang menggugurkan daun hitam. Ia menutup mata, mencoba untuk tidak lagi melihat masa depan. Tidak lagi percaya akan kebangkitan baru.

Namun saat itulah, suara samar memanggil dari kejauhan. Bukan suara manusia, bukan suara dewa. Melainkan... Suara kehidupan itu sendiri.

Persephone terdiam. Ia membuka matanya, dan dari antara bayangan yang menyelimuti dunia bawah, terbentang sebuah penglihatan yang tidak ia cari—melainkan datang sendiri padanya.

Sebuah rumah sederhana di desa kecil di dunia atas. Di dalamnya, sepasang manusia biasa menimang seorang bayi yang baru lahir. Udara dipenuhi aroma musim semi—meskipun bukan musimnya. Bunga-bunga liar bermekaran di sekitar rumah itu, dan cahaya kehijauan menyelimuti si bayi dengan hangat.

Persephone menatapnya, tertegun. Bayi itu... Ia tak tahu namanya, tak tahu siapa orang tuanya. Tapi ia tahu satu hal: jiwa itu bersinar dengan cahaya yang sama seperti dirinya.

“Dia...?” bisik Persephone.

Seketika itu pula, suara kehidupan di sekelilingnya menyatu dengan getaran jiwanya sendiri. Dunia, untuk pertama kalinya setelah sekian abad, memberi isyarat.

Itulah dia. Calon inkarnasi selanjutnya.

Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini tidak ada kegembiraan yang meledak. Yang ada hanya diam... Dan harapan yang amat hati-hati.

“Kalau dia pun mati muda,” gumam Persephone pelan, “aku akan berhenti. Aku akan menyerahkan kekuatan ini... Dan menghilang.”

Namun, jauh di dalam hatinya yang remuk, sebuah kelopak kecil mulai tumbuh kembali.

Chapter 1 Remake: Gadis Yang Kasar

Pagi yang cerah menyelimuti lereng pegunungan dekat desa Rivera. Sho, anak lelaki berusia enam tahun, berjalan perlahan sambil memungut bunga-bunga liar yang mekar di sela bebatuan. Meski penampilannya seperti anak lelaki biasa, Sho sangat menyukai bunga dan alam.

Tiba-tiba, suara langkah kaki berat menghampirinya.

Tanpa sadar, Aria, gadis berusia tujuh tahun dengan rambut biru malam, melangkah tanpa melihat dan menginjak sebuah bunga yang baru saja ingin dipetik oleh Sho.

Sho menatap tajam ke arah Aria. “Hei! Kau menginjak bungaku!”

Aria memandang dengan nada sinis, “Hah? Bunga? Aku tidak lihat apa-apa.”

Sho mengomel, “kau kejam sekali! Padahal kau bisa saja melihat kebawah.”

“Hanya itu saja yang kau pedulikan? Kau ini seperti perempuan, padahal kau malah terlihat seperti anak lelaki biasa.”

Sho terkejut dan merasa sakit hati, “Aku hanya suka bunga... bukan berarti aku perempuan.”

Aria membalas dengan dingin, “Aku tidak suka orang seperti kau yang terlalu menyukai hal-hal seperti itu.”

Sho membentak, “Kalau begitu, jangan menginjak bunga lagi!”

Mereka berdua saling tatap dengan penuh ketegangan, seperti dua musuh kecil yang tanpa sadar mulai terikat dalam sebuah kisah rumit.

Sho menatap tajam dengan mata merah rubi yang mulai menyala kecil karena marah.

“Kau bukan wanita sejati,” ejek Sho dengan suara mengejek, “kalau kau benar-benar wanita, kau tidak akan bersikap kasar seperti itu. Kau malah lebih mirip anak lelaki.”

Aria mendengus kesal dan mendekati Sho dengan langkah cepat.

“Jangan sok tahu!” bentak Aria. Tanpa aba-aba, dia mengangkat tangannya dan menepuk kepala Sho dengan keras.

Suara benturan membuat Sho terhuyung sejenak. Benjol kecil mulai muncul di kepalanya. Namun yang aneh, meski wajahnya tampak seperti ingin menangis, tidak ada air mata yang jatuh.

Sho memegangi kepala dengan tangan, napasnya tersengal, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis.

“Tidak... aku tidak akan menangis,” batinnya dengan keras.

Aria menatap Sho dengan heran dan sedikit bingung. “Kenapa kau tidak menangis? Biasanya anak seperti mu sudah menangis hanya dengan satu pukulan dariku.”

Sho hanya memandang balik dengan tatapan dingin.

“Aku bukan anak kecil yang mudah menangis, bahkan jika aku terluka,” jawab Sho pelan.

Ketegangan di antara mereka seketika menjadi aneh, seperti ada sesuatu yang berbeda dalam diri Sho, sesuatu yang tak bisa Aria mengerti.

Angin pegunungan bertiup pelan, membawa aroma bunga liar yang tumbuh di antara celah bebatuan. Sho masih berdiri mematung, satu tangan memegangi benjolan di kepalanya, sementara bibirnya bergetar menahan isak yang tak keluar.

Aria terdiam.

Tatapannya yang awalnya penuh kesal mulai berubah ragu. Ia tidak menyangka pukulannya akan membuat Sho terlihat seperti itu—seolah berada di ambang tangis, namun memilih menelannya sendiri.

“...Hei,” Aria bergumam, suaranya mengecil. Ia melangkah perlahan ke arah Sho.

Sho tetap diam. Bahunya bergetar. Tapi tak ada suara tangis.

“Aku...” Aria menarik napas. “Aku minta maaf.”

Kata-kata itu keluar dengan canggung. Aria tidak terbiasa meminta maaf. Tapi entah mengapa, melihat ekspresi Sho seperti itu membuat hatinya terasa tidak enak.

“Aku tidak tahu kalau bunga itu penting bagimu,” lanjutnya pelan, “aku, aku tidak sadar kalau telah menginjak bunga itu...”

Sho mengangkat wajahnya perlahan. Matanya masih merah, bukan karena kekuatannya, tapi karena ia benar-benar hampir menangis. Namun kini matanya menatap Aria, tak lagi dengan amarah, tapi bingung—seperti belum pernah mendengar permintaan maaf dari orang asing.

“...Kau menginjak Edelweiss,” gumam Sho pelan. “Bunga itu langka. Aku sudah menunggunya mekar dari awal musim.”

Aria terdiam, lalu ikut duduk di samping Sho. “Edel... apa?”

“Edelweiss,” Sho menatap ke arah pegunungan, “bunga putih yang hanya tumbuh di dataran tinggi. Simbol ketahanan dan harapan. Ibuku bilang begitu.”

“Oh...” Aria menatap tanah. “...Maaf, ya. Aku sungguh tidak tahu kalau bunga itu berharga.”

Hening sejenak. Hanya suara angin dan dedaunan yang bergesek.

“Aku Aria,” katanya kemudian, mencairkan suasana, “Aria Pixis. Ayahku pemburu di desa Rivera.”

Sho melirik, masih sedikit ragu. Namun akhirnya, ia membalas, “...Sho. Sho Noerant. Aku tinggal di toko bunga dekat sungai.”

“Jadi itu sebabnya kau suka bunga?” Aria tersenyum kecil.

Sho mengangguk. “Aku hanya suka alam... semuanya terasa hidup. Bunga pun bisa bicara, kalau kau cukup diam untuk mendengarkannya.”

Aria mengangkat alis. “Kau aneh.”

Sho menatap Aria, lalu tersenyum tipis. “Dan kau kasar.”

Mereka terdiam lagi, namun kali ini bukan karena canggung, melainkan karena pelan-pelan, mereka mulai merasa saling mengerti... walau sedikit.

Tanpa mereka ketahui, di balik awan yang menggulung di atas pegunungan Rivera, langit seolah membuka mata.

Takdir mulai berputar.

Perkenalan itu—sebuah pertemuan yang tampak sepele—adalah awal dari rantai panjang yang akan mengguncang dunia.

Dan mereka, dua anak manusia, telah terikat oleh sesuatu yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.

Chapter 2 Remake: Satu-satunya Teman

Pegunungan kecil Rivera selalu diselimuti warna hijau dan embun pagi, bahkan ketika matahari telah menggantung tinggi di langit. Di antara celah pohon dan rerumputan, dua sosok kecil tampak berlari, tertawa, dan saling mengejek satu sama lain, seperti sepasang burung kecil yang tak pernah lelah berputar-putar di sarangnya.

Empat tahun telah berlalu sejak hari itu—sejak bunga pertama terinjak dan sebuah pertemanan aneh lahir dari canda, tangisan, dan pukulan kecil di kepala.

Sho kini berusia sepuluh tahun. Tingginya bertambah, wajahnya mulai membentuk garis-garis lembut yang menjanjikan ketampanan di masa depan. Tapi yang paling mencolok adalah matanya—mata merah rubi yang bersinar seperti kristal setiap kali terkena cahaya matahari, membuat siapa pun yang menatapnya merasa seolah mereka melihat sesuatu yang tidak seharusnya.

Dan di sampingnya, seperti biasa, Aria. Satu tahun lebih tua, satu langkah lebih cepat, dan seribu kali lebih keras kepala.

Semakin mereka bertumbuh, semakin dunia di luar menjauh dari mereka.

Anak-anak lelaki tetap mengejek Sho—meski lebih pelan sekarang, karena mereka mulai sadar, Sho bisa membalas dengan tatapan tajam yang membuat mereka ciut.

Gadis-gadis seusia Aria masih berbisik-bisik di belakangnya, tapi beberapa dari mereka mulai iri. Aria sekarang cantik, meski tetap menolak memakai pita atau rok.

Namun bagi Sho dan Aria, semua itu tidak penting. Meski waktu mengubah banyak hal, ada satu hal yang tak berubah: mereka selalu bertemu di hutan yang sama, hampir setiap hari, kecuali ketika hujan deras.

---

“Hari ini bunga lonceng biru sudah mekar,” ujar Sho sambil berjongkok di dekat semak, jari-jarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak bunga kecil berwarna biru langit. “Mereka bilang mereka menyukai cuaca pagi ini.”

Aria, yang tengah memanjat pohon rendah untuk mengambil apel liar, melirik ke bawah dengan dahi berkerut. “Harus berapa kali aku memberitahumu Sho, bunga tidak bisa berbicara.”

“Tapi aku dengar mereka bicara,” jawab Sho pelan, seperti gumaman pada dirinya sendiri.

Aria melompat turun dengan apel di tangan, lalu mendekat dan menatap bunga itu. “Mereka terlihat sama saja tuh, seperti kemarin.”

Sho tersenyum. “Tidak, sekarang mereka lebih tenang. Mereka bilang, ‘hari ini angin tak begitu kencang.’”

Aria menghela napas panjang. “Kau benar-benar aneh, Sho. Apa kau juga dengar kucing bilang ‘halo’ waktu kau beri makan mereka?.”

Sho tak menjawab, namun tatapannya tetap tertuju pada bunga itu, seolah mendengar sesuatu yang tak bisa didengar orang lain. Angin bertiup perlahan, dan dedaunan di atas mereka bergemerisik seperti bisikan. Sho menoleh ke arah pohon terdekat.

“Akar kami haus, tapi kami masih bisa menunggu,” suara itu bergema pelan di dalam benaknya—bukan seperti suara manusia, lebih seperti perasaan yang berubah jadi kata-kata, nadanya terdengar seperti desir sungai yang kelelahan melewati bebatuan.

Sho mengedip, bingung. “Aria... apakah kau... pernah dengar pohon bicara?”

Aria menatapnya dengan alis terangkat. “Kau mulai bicara aneh lagi.”

Sho memaksakan senyum sembari menggeleng. “Lupakan saja... itu bukan apa-apa.”

Namun dalam hatinya, perasaan aneh itu tumbuh.

---

Setiap hari mereka kembali ke hutan ini, menelusuri jalan setapak rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu. Kadang mereka mencari serangga, kadang bermain petak umpet, kadang hanya duduk di atas batu besar di tengah aliran sungai kecil sambil menyanyikan lagu-lagu aneh ciptaan mereka sendiri.

Tapi hari ini berbeda. Hutan terasa lebih hidup. Suara dedaunan terdengar lebih jernih, dan Sho merasa seolah setiap sentuhan tanah mengirimkan bisikan ke kulitnya.

Saat mereka melewati area pepohonan tua, Sho tiba-tiba berhenti. “Ada yang salah...” katanya pelan.

Aria menoleh. “Apa?”

Sho menyentuh batang pohon yang besar dan tua, lalu menempelkan telinganya di sana. Tak ada suara, tapi ia merasakan tekanan lembut di dalam kepalanya—bukan rasa sakit, tapi seperti... kata-kata yang mengalir seperti air.

“Anak manusia, kau berbeda... kau mendengar kami.”

Sho tersentak mundur.

“Sho?” tanya Aria, khawatir. “Kau kenapa?”

Sho menoleh perlahan dan menggeleng. “Aku... tidak tahu. Mungkin hanya pusing.”

Aria mendekat, memegang lengannya. “Jangan duduk terlalu dekat dengan jamur liar. Ayahku bilang kalau aroma nya bisa membuat kau terkena halusinasi.”

Sho hanya tertawa kecil, meski jantungnya masih berdebar. Ia menatap Aria yang kini berdiri di sampingnya, dengan rambut biru malam pendek yang terlihat lucu, dan mata yang penuh semangat.

Aneh, pikir Sho. Meski semua ini terasa begitu aneh... bersama Aria, semuanya tetap terasa aman.

---

Matahari mulai condong ke barat.

Aria melompat ke atas batu besar seperti biasa, lalu mengulurkan tangan pada Sho. “Ayo. Nanti ibu kita marah lagi kalau pulang terlalu malam.”

Sho mengangguk dan menggenggam tangan Aria, lalu naik ke batu itu. Mereka menuruni lereng dengan perlahan, langkah mereka diiringi suara alam yang terus berbisik di telinga Sho—lembut, penuh kehidupan.

“Kami melihatmu, anak manusia... kami menunggumu.”

Tapi Sho hanya menatap langit senja, tidak memahami bahwa suara-suara itu bukan mimpi. Ia tidak tahu bahwa ia adalah satu dari sedikit manusia yang dipilih sebagai inkarnasi dewa. Sayangnya hari-hari damai seperti ini tak akan berlangsung selamanya.

---

Mereka tiba di jalan bercabang yang menuju rumah masing-masing.

“Besok, kita bertemu lagi di tempat biasa?” tanya Sho.

Aria mengangguk. “Tentu saja. Aku tidak mau bermain dengan gadis-gadis cerewet itu.”

Sho tersenyum. “Dan aku tidak butuh anak lelaki lain yang memanggilku ‘bocah banci.”’

“Yah, itu wajar karena kau aneh.”

“Dan kau adalah wanita kasar.”

“Tapi kita cocok,” kata Aria sambil tersenyum lebar, lalu berbalik dan berlari kecil menuruni jalan.

Sho menatapnya hingga menghilang dari pandangan, lalu menghela napas panjang.

Hutan berbisik sekali lagi di belakangnya, seolah mengucapkan selamat malam.

Ia tidak menyadari, saat itu, bahwa hidupnya perlahan mulai berubah.

Hari-hari seperti ini terasa lambat, tapi tahu-tahu minggu berubah jadi bulan, dan musim pun silih berganti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!