Hujan turun deras di kota kecil itu, menyisakan genangan air di trotoar dan aroma tanah basah yang khas. Langit kelabu seolah menyelimuti Semarang dengan selimut kelabu, membuat jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara klakson mobil yang terburu-buru.
Di sudut sebuah kafe kecil bernama Kopi Kenangan, seorang gadis duduk di dekat jendela, menatap hujan dengan pandangan kosong. Namanya Aira, 25 tahun, seorang penulis novel online yang sedang berjuang melawan writer’s block yang membelenggunya selama berbulan-bulan.
Aira menghela napas, menyeruput kopi latte yang sudah mulai dingin di tangannya. Laptop di depannya menampilkan dokumen kosong dengan kursor yang berkedip-kedip, seolah mengejeknya. “Ayo, Aira, kamu bisa,” gumamnya pada diri sendiri, tapi kata-kata itu terasa hampa. Ide-ide yang dulu mengalir seperti air kini serasa tersumbat, terperangkap di sudut pikirannya yang kacau.
Deadline dari platform novel online tempatnya menulis semakin dekat, dan tekanan dari pembaca setianya membuat dadanya sesak.Di luar, hujan semakin ganas.
Aira memperhatikan orang-orang yang berlari mencari tempat berteduh, payung-payung warna-warni berlomba melawan angin. Tiba-tiba, matanya tertuju pada seorang pria yang berdiri di seberang jalan, tepat di bawah lampu jalan yang mulai menyala. Pria itu tidak memakai payung, hanya mengenakan jaket denim yang sudah basah kuyup.
Rambutnya yang sedikit berantakan menempel di dahi, tapi entah kenapa, ada sesuatu di wajahnya yang membuat Aira tidak bisa memalingkan pandangan.
Pria itu menatap ke arah kafe, dan untuk sesaat, pandangan mereka bertemu.Aira buru-buru menunduk, merasa wajahnya memanas. “Apa-apaan sih, Aira? Jangan aneh-aneh,” batinnya, mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba tidak karuan. Dia mencuri pandang ke arah pria itu lagi, tapi pria itu sudah bergerak, melangkah cepat menyeberang jalan menuju kafe.
Jantung Aira semakin kencang. “Jangan bilang dia mau masuk ke sini,” gumamnya panik.Pintu kafe berbunyi cling saat pria itu masuk. Aroma kopi bercampur dengan bau hujan yang menempel di jaketnya.
Dia mengibaskan rambut basahnya, membuat tetesan air berhamburan ke lantai. Beberapa pengunjung melirik, tapi pria itu tidak peduli. Dia berjalan langsung ke meja kosong di sudut, tidak jauh dari tempat Aira duduk, dan memesan sesuatu pada pelayan dengan suara yang rendah namun tegas.
Aira berusaha fokus pada layar laptopnya, tapi pikirannya kini dipenuhi oleh pria itu. Ada sesuatu yang familiar di wajahnya, tapi dia yakin mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Mungkin itu hanya perasaan, pikirnya, atau mungkin imajinasinya sebagai penulis mulai berjalan liar lagi.
Dia mencoba mengetik beberapa kata, tapi jari-jarinya terhenti ketika mendengar pria itu berbicara pada pelayan yang baru saja mengantarkan pesanannya.“Terima kasih. Oh ya, apa kafe ini punya buku atau majalah yang bisa dipinjam? Saya butuh sesuatu untuk dibaca sambil menunggu hujan reda.”Suara pria itu dalam, sedikit serak, tapi ada kehangatan di dalamnya.
Aira tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik. Pelayan menggeleng, meminta maaf karena kafe tidak menyediakan bacaan.
Pria itu hanya tersenyum kecil, mengangguk, lalu menatap ke arah jendela, tampak termenung.Entah kenapa, Aira merasa dorongan aneh di dalam dirinya.
Dia menutup laptopnya, mengambil napas dalam-dalam, dan sebelum otaknya sempat memprotes, dia sudah berdiri dan berjalan menuju meja pria itu.
“Maaf,” katanya, suaranya sedikit gemetar.
“Kalau kamu mau baca sesuatu, saya punya novel di laptop saya. Bukan novel terbitan sih, cuma… cerita yang saya tulis sendiri.”Pria itu menoleh, alisnya sedikit terangkat, tapi matanya memancarkan rasa ingin tahu.
“Penulis?” tanyanya, suaranya terdengar seperti sedang menimbang-nimbang.
“Menarik. Apa genrenya?” Aira merasa pipinya memanas lagi.
“Romance,” jawabnya cepat, lalu buru-buru menambahkan,
“Tapi bukan yang lebay, kok. Ceritanya… realistis, kalau boleh bilang begitu.”Pria itu tersenyum, kali ini lebih lebar, dan Aira merasa jantungnya hampir berhenti.
“Boleh saya baca?” tanyanya, menunjuk ke arah laptop yang Aira genggam erat.Aira mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Dia kembali ke mejanya, membuka salah satu novelnya yang sudah selesai, lalu membawa laptop itu ke meja pria itu.
“Ini. Judulnya Langit di Ujung Jalan. Kalau kamu suka, baca saja. Kalau tidak, ya… bilang saja, saya tidak akan tersinggung,” katanya, meskipun dia tahu dia pasti akan tersinggung jika pria itu tidak menyukainya.
Pria itu mengangguk, mengambil laptop dengan hati-hati.
“Terima kasih… siapa nama kamu?”
“Aira,” jawabnya, lalu dengan cepat menambahkan
“Kamu?”
“Raka,” jawab pria itu sederhana, lalu menunduk untuk mulai membaca.
Aira kembali ke mejanya, merasa seperti baru saja melakukan sesuatu yang sangat berani sekaligus bodoh. Dia mencuri pandang ke arah Raka, yang kini tampak serius membaca. Ekspresinya sulit ditebak—terkadang dia mengerutkan kening, terkadang bibirnya sedikit melengkung, seolah tersenyum pada dirinya sendiri.
Aira tidak tahu apakah itu pertanda baik atau buruk, tapi yang pasti, dia tidak bisa fokus pada apa pun selain pria itu.Hujan di luar mulai mereda, tapi Aira tidak ingin pergi.
Dia memesan kopi lagi, berpura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal matanya sesekali melirik ke arah Raka. Setelah hampir setengah jam, Raka akhirnya menutup laptop dan menoleh ke arahnya.
Aira buru-buru memalingkan muka, berpura-pura mengetik sesuatu.
“Aira,” panggil Raka, suaranya lembut tapi cukup untuk membuat Aira tersentak.
Dia berjalan mendekat, membawa laptop itu kembali.
“Selesai. Ceritanya… bagus. Benar-benar bagus.”Aira menatapnya, mencari tanda-tanda kebohongan, tapi mata Raka terlihat tulus.
“Serius?” tanyanya, tidak bisa menyembunyikan kelegaan di suaranya.Raka mengangguk.
“Kamu punya bakat. Karakternya hidup, dan cara kamu menggambarkan emosi… rasanya nyata. Tapi,” dia berhenti sejenak, membuat jantung Aira kembali berdegup kencang,
“ending-nya agak terburu-buru. Seperti kamu ingin cepat menyelesaikannya.”Aira tersenyum kecut.
“Kamu jujur, ya. Tapi… benar sih. Saya menulis itu saat sedang dikejar deadline.”Raka tertawa kecil, suaranya seperti melodi yang membuat suasana kafe terasa lebih hangat.
“Kalau boleh saran, lain kali beri ruang lebih untuk karakternya bernapas. Biarkan mereka bercerita dengan ritme mereka sendiri.
”Aira mengangguk, terkesan dengan cara Raka berbicara.
“Kamu penulis juga?” tanyanya, tidak bisa menahan rasa penasaran.Raka menggeleng.
“Bukan. Cuma pembaca yang suka mengkritik,” katanya dengan senyum nakal.
“Saya desainer grafis, tapi saya suka membaca di waktu luang.”
“Desainer grafis? Keren,” kata Aira, tiba-tiba merasa minder dengan profesinya yang penuh ketidakpastian.
“Kamu bikin apa? Poster? Logo?”
“Macam-macam. Terakhir saya bikin cover buku untuk sebuah penerbit kecil. Mungkin suatu hari saya bisa bikin cover untuk novel mu,” kata Raka, nadanya setengah bercanda, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Aira merasa dia serius.
Aira tersenyum, tidak tahu harus menjawab apa. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, dia merasa ada percikan di dalam dirinya, bukan hanya untuk menulis, tapi untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang berhubungan dengan pria di depannya ini.Hujan kini benar-benar berhenti, dan sinar matahari mulai menyelinap di sela-sela awan.
Raka melirik ke luar, lalu kembali menatap Aira.
“Saya harus pergi sekarang, tapi… boleh saya minta nomor kamu? Siapa tahu saya butuh rekomendasi novel lain.”Aira tertawa, merasa wajahnya memanas untuk kesekian kalinya.
Dia menuliskan nomornya di selembar kertas tisu, menyerahkannya dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Jangan lupa baca novelku yang lain, ya,” katanya, berusaha terdengar santai.Raka mengangguk, memasukkan kertas itu ke saku jaketnya.
“Pasti. Terima kasih, Aira. Sampai jumpa.”Saat Raka berjalan keluar dari kafe, Aira merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya.
Dia membuka laptopnya lagi, dan kali ini, kursor yang berkedip tidak lagi terasa mengejek. Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard, menuliskan kalimat pertama dari cerita baru yang terinspirasi oleh pertemuan singkat di bawah hujan itu.
Di luar, Raka berjalan di trotoar yang masih basah, tangannya menyentuh kertas tisu di sakunya. Dia tersenyum kecil, tahu bahwa ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang baru.
Pagi itu, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela apartemen kecil Aira di Semarang. Cahaya lembut itu menyapu wajahnya yang masih terlelap, membuatnya mengernyit sebelum akhirnya membuka mata perlahan.
Aira menggeliat di tempat tidur, merasakan tubuhnya sedikit pegal setelah begadang semalaman. Tadi malam, setelah pertemuan tak terduga dengan Raka di kafe, dia berhasil menulis hampir dua bab penuh untuk novel barunya, sesuatu yang tidak pernah terjadi selama berbulan-bulan terakhir.
Aroma kopi yang baru diseduh dari dapur kecilnya menggoda hidungnya. Aira bangkit, mengenakan kardigan tipis di atas kaus tidurnya, lalu berjalan ke dapur. Saat sedang menuang kopi ke cangkir favoritnya yang bergambar bunga matahari, ponselnya bergetar di atas meja.
Aira melirik layar, dan jantungnya langsung berdegup kencang. Sebuah pesan masuk dari nomor yang belum dikenal.
“Selamat pagi, Aira. Ini Raka. Maaf kalau mengganggu, aku cuma mau bilang terima kasih lagi untuk novelnya kemarin. Aku benar-benar suka. Kalau boleh, aku mau baca karya kamu yang lain. Ada rekomendasi?”Aira menatap pesan itu dengan mata membelalak, tidak percaya bahwa Raka benar-benar menghubunginya.
Dia buru-buru meletakkan cangkir kopi, tangannya sedikit gemetar saat membalas pesan.
“Selamat pagi, Raka! Senang kamu suka. Hmm… coba baca Senja di Pelupuk Mata. Itu salah satu yang paling aku suka. Link-nya aku kirim ya.” Dia mengetik dengan cepat, mengirimkan tautan novelnya di platform online, lalu menahan napas menunggu balasan.
Tidak sampai semenit, pesan baru muncul.
“Terima kasih! Aku akan baca hari ini. Oh ya, aku ada di dekat tempatmu. Mau ketemu lagi? Aku mau tanya-tanya soal dunia kepenulisan. Siapa tahu aku bisa bantu dengan desain cover untuk novelmu.”Aira hampir menjatuhkan ponselnya.
“Dia serius mau ketemu lagi?” gumamnya, wajahnya memanas. Dia menatap cermin kecil di dinding, melihat bayangannya yang masih berantakan dengan rambut kusut dan wajah tanpa riasan.
“Ya Tuhan, aku harus siap-siap sekarang juga!” Dia buru-buru membalas
“Boleh! Aku di daerah Simpang Lima. Ketemu di kafe yang sama jam 10, gimana?”
“Deal. Sampai nanti,” balas Raka singkat.
Aira langsung berlari ke kamar mandi, mandi secepat kilat, dan memilih pakaian yang sederhana tapi manis, kemeja putih dengan celana kulot krem, ditambah cardigan tipis berwarna pastel.
Dia menyisir rambut panjangnya, membiarkannya tergerai alami, dan mengoleskan sedikit lipstik untuk memberi warna pada wajahnya.
“Ini bukan kencan, Aira. Dia cuma mau ngobrol soal novel,” katanya pada diri sendiri di depan cermin, tapi dia tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirnya.
Pukul 09.45, Aira sudah tiba di Kopi Kenangan. Dia memilih meja yang sama seperti kemarin, di dekat jendela, dan memesan latte kesukaannya. Sambil menunggu, dia membuka laptop, berpura-pura membaca ulang bab yang dia tulis semalam, padahal pikirannya melayang ke mana-mana.
Setiap kali pintu kafe berbunyi cling, dia langsung menoleh, berharap itu Raka.Tepat pukul 10, Raka masuk. Kali ini, dia tidak basah kuyup seperti kemarin.
Dia mengenakan kemeja flanel biru tua dengan lengan digulung hingga siku, dipadukan dengan celana jeans sederhana. Rambutnya yang sedikit bergelombang tampak lebih rapi, dan senyumnya langsung membuat suasana kafe terasa lebih hangat.
“Pagi, Aira,” sapanya sambil menarik kursi di depan Aira.
“Pagi, Raka,” balas Aira, berusaha terdengar santai meskipun jantungnya berdegup kencang.
“Kamu tepat waktu banget.”Raka tertawa kecil.
“Kebiasaan. Aku paling benci telat.” Dia memesan kopi hitam tanpa gula, lalu menatap Aira dengan mata yang penuh rasa ingin tahu.
“Jadi, ceritain dong, gimana rasanya jadi penulis novel online? Aku penasaran." Aira tersenyum, merasa sedikit lebih rileks.
“Awalnya sih seru. Aku suka bikin cerita, apalagi kalau pembaca suka dan kasih komentar positif. Tapi lama-lama… tekanannya besar. Harus update tiap minggu, kadang tiap hari, kalau enggak pembaca bisa kabur. Belum lagi kalau writer’s block datang. Kayak sebelum ketemu kamu kemarin, aku buntu total.”Raka mengangguk, mendengarkan dengan serius.
“Aku bisa bayangin. Tapi menurutku, kamu punya bakat besar. Cara kamu bikin emosi karakternya terasa nyata itu… jarang aku temuin di novel online. Aku serius, Aira.”Wajah Aira memanas lagi.
“Makasih. Tapi aku masih belajar. Kadang aku merasa ceritaku terlalu biasa, enggak cukup spesial untuk menarik perhatian.”
“Itu salah,” potong Raka cepat.
“Ceritamu punya jiwa. Mungkin kamu cuma butuh sedikit sentuhan visual biar lebih menonjol. Misalnya… cover yang bagus.” Dia tersenyum nakal, lalu mengeluarkan tablet dari tasnya.
“Aku bikin sesuatu semalam, setelah baca novel mu. Mau lihat?”Aira mengangguk, penasaran. Raka membuka tabletnya, memperlihatkan sebuah desain cover digital. Gambar itu menampilkan siluet sepasang kekasih di bawah langit senja, dengan warna oranye dan ungu yang lembut. Di tengah gambar, judul Langit di Ujung Jalan tertulis dengan font yang elegan, dan nama Aira sebagai penulis diletakkan di bawahnya.
Aira menatap desain itu dengan mata berbinar. “Raka… ini cantik banget,” katanya, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.
“Senang kamu suka,” jawab Raka, terdengar lega.
“Aku pikir, ceritamu butuh cover yang bisa mencerminkan emosinya. Kalau kamu mau, aku bisa bantu bikin cover untuk novel-novelmu yang lain.”Aira menatap Raka, merasa ada kehangatan yang aneh di dadanya.
“Kamu serius? Tapi… aku enggak tahu apakah aku bisa bayar sesuai standar desainmu.”Raka menggeleng.
“Anggap aja ini salam perkenalan aku dengan kamu. Aku suka ceritamu, dan aku mau bantu. Lagipula, siapa tahu ini bisa jadi awal kolaborasi kita.” Dia tersenyum, dan Aira merasa senyuman itu seperti sinar matahari pagi yang menyelinap ke dalam hatinya.
Obrolan mereka berlanjut, dari dunia kepenulisan hingga hobi masing-masing. Aira baru tahu bahwa Raka ternyata suka fotografi, dan dia sering menghabiskan akhir pekan untuk berburu momen-momen indah di kota yang juga tak kalah indah ini, yaitu Semarang.
“Kapan-kapan aku ajak kamu ke spot favoritku. Pemandangannya bagus, cocok untuk kamu mencari inspirasi menulis,” kata Raka, nadanya santai tapi penuh harapan.
Aira tersenyum, mengangguk.
“Aku tunggu.” Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam dirinya, tapi satu hal yang pasti, pertemuan ini, dan kehadiran Raka, mulai mengisi kekosongan yang selama ini dia rasakan.
Saat mereka berpisah di depan kafe, langit Semarang sudah mulai mendung lagi. Raka melambaikan tangan, dan Aira membalas dengan senyuman. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini bukan pertemuan terakhir mereka. Ada sesuatu yang baru saja dimulai, sesuatu yang manis, hangat, dan penuh harapan.
Langit Semarang sore itu mulai berwarna jingga, dengan semburat ungu yang lembut di ujung cakrawala.
Aira berdiri di tepi sebuah bukit kecil di daerah Ungaran, sekitar 40 menit dari pusat kota. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawa aroma rumput dan tanah yang segar.
Di tangannya, dia memegang sebuah kamera pinjaman dari Raka, sementara pria itu sendiri sibuk mengatur tripod beberapa meter di depannya, fokus menangkap momen matahari terbenam.
“Sudah siap, Aira? Cahayanya pas banget sekarang,” panggil Raka tanpa menoleh, tangannya masih sibuk menyesuaikan lensa kamera.
Dia mengenakan jaket denim yang sama seperti hari pertama mereka bertemu, tapi kali ini dipadukan dengan kaus abu-abu dan topi baseball yang membuatnya tampak lebih santai.
Aira mengangguk, meskipun Raka tidak melihatnya.
“Iya, aku siap!” Dia mengangkat kamera, mencoba mengikuti instruksi Raka tentang cara mendapatkan fokus yang tepat.
Ini adalah kali pertama Aira diajak Raka ke salah satu spot fotografi favoritnya, dan dia tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya.
Setelah pertemuan mereka di kafe beberapa hari lalu, Raka sering mengirim pesan, mengajaknya bicara tentang ide cerita atau sekadar berbagi foto-foto pemandangan yang dia ambil. Dan hari ini, Raka mengajaknya untuk melihat langsung tempat yang sering menginspirasinya.
Bukit itu tidak terlalu tinggi, tapi pemandangannya luar biasa. Di bawah mereka, kota Semarang terbentang luas dengan lampu-lampu yang mulai menyala, menciptakan kontras indah dengan langit senja. Pohon-pohon pinus di sekitar mereka bergoyang pelan ditiup angin, dan suara burung-burung kecil terdengar samar, menambah suasana damai.
Aira merasa seperti berada di dunia lain, jauh dari tekanan deadline dan komentar pembaca yang kadang membuatnya overthinking.
“Aira, coba ambil dari sudut ini,” kata Raka, berjalan mendekat sambil menunjuk ke arah sebelah kiri. Dia berdiri tepat di samping Aira, begitu dekat sehingga Aira bisa mencium aroma sabun colek yang samar dari jaketnya.
“Kalau kamu ambil dari sini, kamu bisa dapetin siluet pohon dengan latar matahari yang tenggelam. Bagus buat inspirasi cerita.”Aira mengikuti arahan Raka, menekan tombol shutter dengan hati-hati. Layar kecil di kamera menunjukkan hasil jepretannya, dan dia tersenyum puas.
“Wah, bagus banget! Aku enggak nyangka bisa dapet foto sebagus ini,” katanya, matanya berbinar.
Raka tertawa kecil, menatap Aira dengan ekspresi hangat.
“Kamu cepet belajar. Aku yakin, kalau kamu sering latihan, kamu bisa jadi fotografer handal. Siapa tahu, nanti kita bisa kolaborasi bikin buku foto yang ada ceritanya.”Aira memandang Raka, terkejut dengan idenya.
“Buku foto? Itu… ide yang keren banget, Raka. Tapi aku enggak yakin bisa nulis cerita yang cocok buat foto-foto sebagus ini.”
“Jangan merendah,” balas Raka cepat.
“Aku udah baca tiga novelmu, Aira. Kamu punya cara bikin pembaca merasa ikut masuk ke dalam cerita. Aku yakin kamu bisa.” Dia tersenyum, lalu kembali fokus ke kameranya, meninggalkan Aira dengan hati yang bergetar.
Mereka menghabiskan waktu hingga matahari benar-benar tenggelam, mengambil puluhan foto dengan berbagai sudut. Aira merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya hari itu, bukan hanya inspirasinya untuk menulis yang kembali, tapi juga perasaan aneh yang mulai tumbuh setiap kali dia berada di dekat Raka.
Pria itu punya cara membuatnya merasa nyaman, seolah dia bisa menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.
Setelah selesai, mereka duduk di atas tikar kecil yang Raka bawa, menghadap ke arah kota yang kini berkilauan dengan lampu-lampu malam.
Raka mengeluarkan termos dari tasnya, menuang teh hangat ke dalam dua cangkir plastik, dan menyerahkan satu ke Aira.
“Teh favoritku,” katanya sambil tersenyum.
“Semoga kamu suka.”Aira menerima cangkir itu, merasakan kehangatan yang menjalar dari tangannya ke seluruh tubuhnya.
“Makasih, Raka. Hari ini… seru banget. Aku enggak nyangka Semarang punya tempat seindah ini.”
Raka mengangguk, menyesap tehnya.
“Aku suka ke sini kalau lagi butuh tenang. Kadang, dunia desain juga penuh tekanan. Klien yang minta revisi mulu, deadline yang ketat… tempat ini kayak pelarian buatku.”Aira memandang Raka, tiba-tiba merasa ingin tahu lebih banyak tentangnya.
“Raka, boleh aku tanya sesuatu?” katanya hati-hati.
Raka menoleh, alisnya sedikit terangkat.
“Tentu. Apa?”
“Kamu… kok bisa sepositif ini? Maksudku, aku lihat kamu selalu santai, selalu bisa bikin orang di sekitarmu nyaman. Apa sih rahasianya?” Aira tersenyum kecil, tapi ada nada serius di suaranya.
Raka terdiam sejenak, matanya menatap ke arah kota di bawah mereka. Untuk pertama kalinya, Aira melihat ada bayangan di wajahnya, sesuatu yang tidak biasa.
“Sebenarnya… enggak selalu begitu,” katanya pelan.
“Dulu, aku orang yang gampang panik, gampang nyerah. Tapi… sesuatu terjadi, dan itu mengubah cara aku lihat hidup.”Aira tidak berani bertanya lebih jauh, tapi rasa penasarannya semakin besar.
“Apa yang terjadi?” tanyanya lembut, takut kalau pertanyaannya terlalu pribadi.
Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, meskipun senyumnya kali ini terasa sedikit pahit.
“Aku pernah kehilangan seseorang yang penting banget buatku. Adikku. Dia… kecelakaan, tiga tahun lalu. Sejak saat itu, aku belajar buat menghargai setiap momen. Aku enggak mau hidup dalam penyesalan lagi.”Aira terdiam, merasa dadanya sesak. Dia tidak menyangka ada cerita seperti itu di balik sifat ceria Raka.
“Maaf… aku enggak tahu,” katanya pelan, menunduk.Raka menggeleng, menatap Aira dengan mata yang lembut.
“Enggak apa-apa. Justru, aku seneng bisa cerita ke kamu. Entah kenapa… aku merasa nyaman sama kamu, Aira.”Kata-kata itu membuat wajah Aira memanas. Dia buru-buru menyesap tehnya, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul.
“Aku… juga nyaman sama kamu,” akunya, suaranya hampir seperti bisikan.
Mereka terdiam untuk beberapa saat, hanya menikmati kehangatan teh dan suasana malam yang mulai dingin.
Angin membawa aroma bunga liar yang samar, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Aira merasa ada kedamaian yang aneh di dalam dirinya, sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
“Raka, makasih ya udah ajak aku ke sini,” kata Aira, memecah keheningan.
“Aku merasa… entah, kayak ada ide baru yang muncul di kepalaku. Mungkin aku bakal nulis cerita tentang tempat ini.”
Raka tersenyum, kali ini senyumnya kembali hangat seperti biasa.
“Aku tunggu ceritanya. Dan kalau kamu butuh foto buat referensi, bilang aja. Aku siap bantu.”Aira mengangguk, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.
“Oh ya, aku lupa bilang. Aku udah upload bab baru novelku yang terinspirasi dari pertemuan kita di kafe. Aku… kasih nama karakternya Raka. Semoga kamu enggak keberatan.”
Raka tertawa, terdengar lega.
“Keberatan? Aku malah tersanjung. Aku bakal baca malam ini juga. Karakter Raka-nya… keren, kan?” Dia menggoda, membuat Aira ikut tertawa.
“Ya Tuhan, jangan terlalu percaya diri,” balas Aira sambil menyikut lengan Raka pelan.
Mereka tertawa bersama, dan untuk pertama kalinya, Aira merasa ada keintiman kecil yang terbentuk di antara mereka.
Malam semakin larut, dan udara mulai terasa lebih dingin. Raka menawarkan jaketnya pada Aira, yang awalnya menolak, tapi akhirnya menerima setelah Raka bersikeras.
“Aku enggak mau kamu masuk angin. Nanti siapa yang nulis cerita buatku baca?” katanya sambil tersenyum.Aira memakai jaket itu, merasakan kehangatan yang masih tersisa dari tubuh Raka.
“Makasih,” katanya pelan, lalu menatap Raka dengan mata yang penuh rasa syukur.
“Aku seneng bisa kenal kamu, Raka.” Raka menatap balik, dan untuk sesaat, ada sesuatu di matanya yang membuat Aira merasa jantungnya berhenti.
“Aku juga, Aira,” jawabnya, suaranya lembut tapi penuh makna.
Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang, berjalan berdampingan menuruni bukit dengan langkah yang ringan.
Di dalam hati Aira, ada perasaan baru yang mulai bertunas, perasaan yang manis, tapi juga sedikit menakutkan.
Dia tidak tahu ke mana hubungan ini akan membawanya, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa siap untuk melangkah, bersama Raka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!