Siti Amina dan Hakim Amin adalah sepasang suami istri yang sudah lama mendambakan kehadiran buah hati mereka. Sampai di tahun kedua pernikahan, mereka belum juga mendapatkan keturunan.
Orang tua Hakim yang sangat menginginkan cucu pernah meminta Hakim untuk menceraikan Amina. Mereka bahkan sudah mencarikan seorang wanita untuk dijadikan sebagai istri kedua Hakim.
Hakim yang sangat mencintai Amina tentu saja dengan halus menolak permintaan kedua orang tuanya.
"Dari awal Mama dan Papa tidak merestui pernikahan kalian. Tidak ada untungnya bagi keluarga kita. Dia hanya orang biasa dan dia juga mandul. Buat apa kamu mempertahankan wanita yang tidak bisa memberikan keturunan!" Mama Hakim melipat kedua tangannya di dada.
"Maaf Ma, Amina sehat. Justru Hakim yang sakit."
"Apa maksudnya kamu sakit?" Papa Hakim duduk di samping Hakim.
"Ma, Pa, maaf. Selama ini Hakim menyembunyikan sesuatu kepada kalian. Hakim sakit. Hakim tidak bisa membahagiakan Amina, karena ...." Hakim diam tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Karena apa Hakim? Jangan buat Mama Papa penasaran!" Mama Hakim meninggikan suaranya.
"Pa, Ma, seharusnya Mama dan Papa berterima kasih kepada Amina, bukan sebaliknya. Amina lah yang menguatkan Hakim selama ini."
Dengan sedikit terisak, Hakim jujur tentang keadaannya kepada kedua orang tuanya. Hakim dan Amina sampai di hari kedua tahun pernikahan mereka belum melakukan hubungan suami istri.
Mama dan papanya tersentak kaget. Itu semua karena Hakim mengalami disfungsi ereksi. Mama dan papa Hakim terdiam. Seharusnya mereka tidak menyalahkan Amina. Selama ini mereka menganggap Amina lah yang mandul.
Dan tanpa Hakim ketahui, mama Hakim sering datang ke rumah Hakim hanya sekedar mengingatkan Amina bahwa Hakim akan dinikahkan dengan wanita yang bisa memberikannya keturunan.
Mama Hakim terdiam. Dari cerita Hakim, Amina dengan sabar membawa Hakim untuk berobat ke rumah sakit. Amina sama sekali tidak mengeluh dengan kondisi Hakim. Mama Hakim terasa tertampar.
Hakim dengan keikhlasan hati pernah mencoba meminta Amina untuk mencari kebahagiaannya di luar sana. Hakim akan melepaskan Amina jika Amina telah menemukan pengganti yang lebih baik dari dirinya.
Tapi Amina lebih memilih bertahan hidup bersama Hakim. Karena Amina yakin, suatu hari nanti mereka akan memiliki keturunan asalkan mereka terus berusaha dan tidak lupa berdoa.
Mama Hakim menyadari kesalahannya. Rasa malu, bersalah kumpul menjadi satu. Mama Hakim menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dia tumpahkan semuanya dengan air mata.
Tepat di saat itu, Tante Hakim yang kebetulan mendengar semuanya dengan sopan meminta izin untuk duduk bersama mereka. Tante Hakim adalah istri dari saudara papanya Hakim.
Tante Hakim meminta maaf karena tanpa sengaja mendengar pembicaraan Hakim dengan orang tuanya. Tante Hakim punya kenalan yang bisa mengobati penyakit Hakim.
"Benarkah? Apa Hakim bisa disembuhin?" Mama Hakim penuh pengharapan.
"Sebentar, saya hubungi beliau," Tante Hakim menghubungi seseorang.
Dan akhirnya Tante Hakim bersama Hakim dan kedua orang tuanya pergi ke rumah orang yang bisa mengobati penyakit Hakim. Sebelumnya Tante Hakim bicara empat mata dengan orang yang di maksud.
"Semua ini tidak gratis," katanya.
"Berapapun akan kami bayar," jawab Tante Hakim.
"Bukan masalah uang."
"Jadi masalahnya apa Eyang?"
"Dia akan segera mendapatkan keturunan. Tapi anaknya tidak akan bertahan lama. Anaknya akan segera diambil kembali," jawab orang yang dipanggil Eyang.
"Benarkah? Jadi kebahagiaan mereka hanya bersifat sementara?" Tante Hakim tersenyum.
"Iya, bagaimana?" Eyang menunggu jawaban.
"Baiklah, asalkan mereka mempunyai keturunan apapun syaratnya pasti akan mereka penuhi."
"Baiklah, Eyang akan menemui mereka."
Hakim dan kedua orang tuanya menemui kenalan tantenya Hakim. Seorang pria berumur tapi masih terlihat gagah dan tampan. Dan beliau meminta mereka memanggil dia dengan sebutan Eyang.
Hakim dan kedua orang tuanya menyampaikan maksud kedatangan mereka. Mereka ingin Hakim segera mendapatkan keturunan. Dan semua itu terhambat karena Hakim mengalami gangguan sistem reproduksi. Eyang meminta Hakim untuk berbaring di tempat tidur yang sudah disediakan.
Hakim melepas baju dan celananya, berganti dengan sarung berwarna kuning yang diberikan Eyang. Hakim berbaring di atas tempat tidur. Di dalam ruangan itu hanya ada Hakim bersama Eyang.
Eyang membakar kemenyan dan menaburkan bunga-bungaan di atas sarung yang dipakai Hakim. Mulut Eyang komat Kamit membaca sesuatu yang tidak terdengar sama sekali.
Seluruh ruangan tercium aroma kemenyan yang sangat menusuk hidung. Hakim merasakan hawa dingin di sekitarnya. Hakim juga merasakan matanya sangat berat, Hakim menutup mata.
Hakim merasakan tubuhnya kaku tidak bisa bergerak. Mulutnya pun terasa dibungkam. Yang bisa Hakim rasakan saat ini adalah tubuhnya basah seperti ada yang menjilat.
Hakim juga merasakan bibirnya dilumat, ditarik dan dimainkan. Hakim mulai tidak bisa mengendalikan diri. Hakim terbawa suasana. Hakim mulai menikmati gairah yang keluar dari dalam tubuhnya.
Dari balik sarung kuning, perlahan terlihat sesuatu menyembul. Eyang kemudian mengambil segelas air putih, mulutnya kembali komat kamit membaca sesuatu. Eyang memasukkan air ke dalam mulutnya dan menyemburkan air ke sarung kuning bertaburkan bunga-bunga.
Setelah tersembur, Hakim kembali bisa membuka mata dan menggerakkan seluruh tubuhnya. Eyang menyuruh Hakim segera pulang untuk menemui istrinya.
Hakim segera memakai kembali pakaiannya. Hakim meninggalkan tante dan kedua orang tuanya di rumah Eyang. Hakim segera pulang ke rumah untuk membuktikan perkataan Eyang.
Sementara itu, kedua orang tuanya Hakim penasaran apa yang dilakukan Hakim bersama eyang di dalam ruangan terpisah. Mereka berinisiatif masuk ke dalam ruangan itu.
Tante Hakim berusaha melarang mereka untuk tidak masuk ke dalam. Tante Hakim tentu saja tidak ingin orang tua Hakim mengetahui si eyang adalah seorang dukun. Karena kedua orang tua Hakim sama sekali tidak percaya hal-hal perdukunan.
Semakin dilarang semakin jiwa kepo mereka menjerit. Kedua orang tua Hakim memaksa masuk ke dalam ruangan. Dan akhirnya kedua orang tua Hakim masuk ke dalam.
"Ada apa ini? Lancang kalian masuk tanpa seizinku!" Eyang berdiri dari tempat duduknya.
"Maaf Eyang, saya sudah memperingatkan mereka," sahut Tante Hakim dengan wajah ketakutan.
"Maaf Eyang kami hanya ingin tahu ada apa di dalam," kata papanya Hakim.
"Kalian telah mengganggu ritualku! Pergi kalian dari rumahku!" Eyang marah dan mengusir mereka semua.
Kedua orang tua Hakim dan tantenya terbirit-birit keluar dari rumah eyang. Mereka berpapasan dengan seorang wanita berwajah pucat. Tanpa sengaja mama Hakim menyenggol bahunya dan wanita itu terjatuh.
"Maaf, maafkan saya, saya tidak sengaja," Mama Hakim membantu wanita itu berdiri.
Tangan wanita itu sangatlah dingin. Wanita itu membisikkan sesuatu ke telinga mama Hakim.
"Cepat batalkan perjanjian dengan Eyang! Jangan sampai kalian kehilangan anggota keluarga kalian! Aku sudah pernah merasakannya, aku kehilangan anakku, darah dagingku!" Wanita itu dengan pelan mendorong mama Hakim ke depan pintu.
"Jangan dengarkan wanita gila itu! Pergi kalian dari rumahku!" Eyang berteriak kembali mengusir mereka.
Orang tua dan Tante Hakim benar-benar pergi meninggalkan rumah eyang. Mereka memesan taxi online dan kembali pulang ke rumah orang tua Hakim.
Tante Hakim mendapatkan pesan, dia tersenyum setelah membaca pesan dari eyang.
Eyang : Malam ini awal dari segalanya. Tunggu dan lihatlah kehancuran mereka .
Tante Hakim tersenyum dan tak sabar melihat kehancuran keluarga suaminya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hakim segera pulang ke rumahnya. Seperti biasa, Amina menunggunya di rumah. Hakim mandi dan membersihkan diri di dalam kamar mandi. Amina menyiapkan makan malam. Mereka makan malam bersama.
Tidak ada yang berubah. Hakim memandangi Amina yang membereskan meja makan. Amina juga mencuci perlengkapan makan mereka. Amina memperhatikan Hakim yang tidak seperti biasanya.
"Sayang, ada apa?" Amina menghampiri memegang kening Hakim.
Hakim mencium wangi aroma tubuh istrinya. Hakim menarik pinggang Amina dan mendudukkannya di atas kedua pahanya. Hakim membelai rambut panjang Amina. Amina juga meraba-raba dada suaminya.
Amina mengecup leher Hakim. Hakim mulai merasakan sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Hakim menggeliat. Hakim mulai mengunci bibir merah muda Amina.
Hakim menahan tengkuk Amina dan memperdalam ciumannya. Amina sedikit membuka mulutnya, dengan mudahnya lidah Hakim menjelajah tanpa jengah beradu dengan lidah Amina penuh gairah.
Tangan kanan Hakim mulai menjelajah menuruni pinggang Amina dan merengkuh bagian paling bawah Amina.
Amina juga menikmati permainan suaminya. Sampai Amina merasakan sesuatu dengan liar menegang dan menyentuh bagian sensitifnya.
Amina melebarkan kedua matanya. Amina menyentuh sesuatu yang menegang milik suaminya di bawah sana.
"Sayang, punyamu ...." tunjuk Amina.
Hakim menurunkan Amina. Hakim menarik tangan Amina masuk ke dalam kamar mereka. Hakim membuka pakaiannya dan membuangnya asal. Amina dengan jelas untuk pertama kalinya melihat 'pusaka keramat' milik suaminya berdiri.
"Sayang, apa mungkin kamu sudah sembuh?" Amina membuka lebar mulutnya.
"Kita buktikan sekarang."
Hakim perlahan melepas satu persatu pakaian Amina. Hakim dengan hati-hati merebahkan Amina di atas tempat tidur. Hakim kembali menyesap lebih dalam bibir Amina.
Amina mengalungkan tangannya ke leher Hakim. Hakim semakin rakus melahap bibir Amina kemudian turun ke leher, pundak dan singgah di 'gunung keramat' Amina. Hakim mulai memainkan lidahnya di puncak gunung Amina.
Hakim meraba-raba kebagian sensitif Amina. Hakim merasakan telapak tangannya mulai basah. Hakim perlahan mengarahkan 'pusakanya' ke dinding 'goa cinta' punya Amina.
"Sayang, kamu sudah siap?" tatap Hakim.
"Aku takut," Amina memejamkan matanya.
Hakim kembali menciumi Amina sampai Amina terlena dan tersentak saat 'pusaka keramat' milik suaminya telah menyobek keperawanannya.
Amina menjerit menahan sakit. Tangannya tanpa sengaja meremas rambut Hakim. Hakim mempercepat gerakannya. Tubuh Amina melengkung dan berlawanan arah. Hakim menghentakkan miliknya dengan menggila.
Hakim semakin liar di atas Amina. Sampai akhirnya mereka sama-sama merasakan puncak kenikmatan yang luar biasa. Hakim ambruk di atas tubuh Amina.
"Sayang, terima kasih," bisik Hakim dengan napas yang menderu.
Amina tidak bisa berkata apa-apa. Saat ini Amina merasakan tubuhnya mati rasa. Bagian sensitifnya perih. Amina hanya bisa meneteskan air mata. Amina tidak tahu saat ini dia harus menangis bahagia ataukah menangis karena sakit di bagian intinya.
Hakim mencium kening Amina dan memasukkannya ke dalam pelukannya. Hakim memijit ringan pinggang Amina. Amina mulai terlelap dan melupakan rasa sakitnya. Hakim kembali mencium kening Amina, Hakim menutupi tubuh mereka dengan selimut. Hakim memeluk Amina sampai akhirnya Hakim juga terlelap.
...----------------...
Amina mengerjapkan mata saat silau cahaya mentari masuk melalui celah jendela. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut mengusap wajahnya. Amina melirik ke sampingnya ternyata Hakim tidak ada.
Amina bangun dan merasakan tubuhnya remuk luar biasa. Dalam satu malam Hakim berkali-kali merudalinya dengan tembakan airnya. Berbagai macam gaya sudah mereka lakukan.
Amina teringat kata-kata Hakim yang ingin segera mendapatkan keturunan. Hakim akan bekerja keras untuk mewujudkannya dan Hakim meminta kerja sama dari Amina.
Amina masuk ke dalam kamar mandi. Amina berendam dengan air hangat. Amina memandangi tubuhnya yang banyak tanda merah dari suaminya. Amina mengusap lembut dengan sabun agar tanda merah itu memudar.
Amina setelah berganti pakaian keluar dari kamarnya. Amina keheranan saat melihat di ruang tengah rumahnya dipenuhi dengan buket bunga.
"Sayang, sayang," Amina mencari Hakim yang tidak kelihatan batang hidungnya.
Amina melangkahkan kaki ke ruang tamu, ternyata di sana sudah ada kedua mertuanya. Amina dengan sopan mencium punggung tangan mertuanya.
"Mama, Papa, sudah lama? Maaf, saya bangun kesiangan," Amina sedikit menundukkan wajahnya.
Amina selama ini takut bertemu dengan mertuanya karena Amina belum memberikan keturunan. Ditambah mama mertuanya yang sering datang ke rumahnya hanya sekedar memberitahu Hakim akan dicarikan istri baru.
Dan tanpa disangka dan diduga, mama mertuanya berdiri dan memeluk Amina. Beliau meminta maaf kepada Amina karena selama ini telah melukai perasaan Amina.
"Amina, maaf, Papa baru saja mengetahui perbuatan Mama kepadamu. Atas nama pribadi, Papa mengucapkan maaf sebesar-besarnya kepadamu. Mama sangat keterlaluan. Perbuatannya sungguh tidak dapat dimaafkan!" Papa mertua Amina meninju telapak tangan satunya.
"Amina, Mama selama ini jahat sama kamu. Ternyata kamu sehat, Hakim yang sakit. Mama malu sama kamu, maafin Mama."
"Saya sudah melupakan semuanya. Mama tidak salah," kata Amina.
Hakim terharu melihat ketulusan hati mamanya yang dengan tulus meminta maaf dan mengakui kesalahannya kepada Amina. Hakim ke ruang tamu bersama dengan om dan tantenya yang juga mampir ke rumah mereka.
Mereka beralih ke ruang tengah, mertua Hakim membawa banyak makanan, cemilan. Amina dan tante Dina menyiapkan makanan untuk mereka.
"Amina, kemarin kami membawa Hakim ke tempat pengobatan. Gimana, apa ada perubahan?" tanya Dina.
"Benarkah? Jadi Mama, Papa, Om dan Tante sudah tau?"
"Iya, kami semua sudah tau. Kenapa tidak dari dulu Hakim cerita. Seandainya Tante tau, Kak Laila tidak akan jahatin kamu. Kak Laila juga gak mungkin maksa Hakim untuk menikah lagi. Ups maaf Tante keceplosan," Dina menutup mulutnya.
Amina menghela napas, "Sebagai seorang istri, kewajiban saya untuk menutupi masalah ranjang kami. Kak Hakim juga pernah menyuruh saya untuk menemukan kebahagiaan di luar sana. Kak Hakim rela jika saya mendapatkan yang lebih baik. Tapi, apapun yang terjadi saya tetap memilih Kak Hakim."
"Tante bersyukur dan berterima kasih kamu memilih Hakim. Apakah pengobatannya berhasil? Oh pasti berhasil, tanda di leher kamu itu jawabannya," tunjuk Dina.
"Nampak banget ya Tan? Duh malunya," Amina menutupi lehernya dengan kerah bajunya.
Dina memberikan Amina buah-buahan seperti apel, pir, jeruk, alpukat, pisang, makanan sehat untuk kesuburan biar cepat hamil. Amina sangat berterima kasih karena Dina sangat perhatian kepadanya.
Hakim tanpa malu-malu menceritakan percintaannya tadi malam kepada keluarganya. Orang tuanya merasa senang karena Hakim sudah sembuh. Laila memeluk Amina dan berharap Amina akan segera hamil.
Laila sungguh senang. Laila menarik Dina ke teras depan rumah Hakim. Laila memasukkan sejumlah uang ke dalam amplop. Amplop yang pertama dia berikan untuk Dina karena sudah mengenalkan kepada eyang. Amplop yang kedua Laila titipkan untuk eyang karena berhasil menyembuhkan Hakim.
Dina kembali mengirim pesan kepada eyang.
Dina : Eyang, Kak Laila ada nitip amplop buat Eyang.
Eyang : Ambil amplopnya semua buat kamu. Apa buah-buahan yang Eyang kirim sudah dimakan istri Hakim?
Dina : Sebagian ada yang sudah dimakan. Maaf kalo boleh tau untuk apa buah itu Eyang?
Eyang : Biar cepat hamil.
Dina : Makasih Eyang, nanti Dina hubungi lagi 🙏🏻.
Dina memainkan dua amplop yang ada di tangannya. Dina melihat ke belakang tidak ada orang. Dina perlahan membuka amplop yang diberikan Laila.
"Rezeki anak sholehah, 5 juta dengan mudah gue dapetin. Untuk sementara biarkan mereka bahagia, tunggu sampai Amina melahirkan. Gue penasaran apa yang akan terjadi," Dina tersenyum menyeringai.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Waktu terus berlari, hari terus berganti, bulan demi bulan pun telah dijalani. Hakim dan Amina akhirnya menuai hasil kerja keras mereka. Amina dinyatakan hamil.
Keluarga besar Hakim sangat protektif terhadap Amina. Amina dijadikan ratu di dalam rumahnya. Amina tidak diperbolehkan mengurus pekerjaan rumah. Amina diminta menjaga kehamilannya karena ini adalah cucu pertama Hadi dan Laila.
Seluruh kasih sayang dicurahkan untuk Amina. Amina merasa bersyukur karena kehamilannya membuat mertua dan keluarga besar suaminya yang selama ini cuek menjadi perhatian.
Tante Dina semakin akrab dengan Amina. Tante Dina selalu memberikan buah-buahan segar untuk Amina. Terkadang Dina juga memberikan air mineral kepada Amina dengan alasan air penguat kandungan karena ini kehamilan pertamanya. Tante Dina juga memberikan pengalaman hamilnya kepada Amina.
Amina selalu menerima pemberian dari Dina. Amina sama sekali tidak pernah berpikir yang macam-macam. Amina yakin ini semua untuk kebaikan anaknya. Karena anak yang di dalam kandungannya adalah cucu yang sangat dinantikan keluarga besar suaminya.
Saking akrabnya tante Dina kepada Amina, membuat kecemburuan anak kandungnya. Amel merasa tidak diperhatikan lagi oleh ibu kandungnya. Perhatian Dina tercurah kepada Amina.
Hari ini Amel ikut bersama ibunya ke rumah Amina. Di sana juga ada mertua Amina dan beberapa keluarga yang lain. Mereka sedang melaksanakan arisan keluarga.
Amel yang saat ini sedang berada di taman belakang rumah Amina melihat Dina yang sedang menyiapkan cemilan. Amel menghampirinya.
"Ibu perhatian amat sih sama si Amina. Bukannya dulu ibu gak suka sama dia?" Amel duduk dengan wajah yang cemberut.
"Sampai sekarang pun Ibu gak suka dia," Dina sambil menata cemilan di meja panjang tanpa menoleh ke arah Amel.
"Kalo gak suka, ngapain repot-repot bantuin Amina. Mending kita shopping di mall," Amel mencicipi cemilan yang ada di atas meja.
"Amina penghasil uang. Jangan disia-siakan," sahut Dina.
"Maksudnya gimana?" Amel menyipitkan matanya.
"Tante Laila sekarang lagi senang karena mau momong cucu. Ibu selalu dikasihi uang. Kamu juga, pandai-pandailah bersandiwara. Ambil hati Tante Laila."
"Bu, apa boleh jatuh cinta dengan saudara sepupu?" tanya Amel.
"Siapa yang larang. Keluarga kita bebas aja tuh, kamu suka sama siapa?"
"Amel dari dulu suka sama Kak Hakim."
Dina menghentikan pekerjaannya. Dina menatap ke arah Amel. Lama Dina memperhatikan anaknya yang semata wayang itu. Setahu Dina, Amel tidak pernah pacaran. Tidak ada yang kurang dari Amel. Amel cantik, tinggi, juga bekerja di perusahaan swasta sebagai sekretaris.
"Mel, Hakim sudah menikah. Sebentar lagi istrinya akan melahirkan."
"Amel benci Ibu. Amel dengar dari keluarga kita, Ibu yang membawa Kak Hakim berobat. Kenapa Ibu melakukan itu?"
"Apa kamu gak kasian sama Hakim?" Dina tajam menatap penuh selidik kepada Amel.
"Ibu, yang membuat Kak Hakim sakit saat itu adalah aku. Aku dengan sengaja melakukan itu karena aku gak rela Kak Hakim menabur benih ke rahim istrinya. Aku ingin Amina meninggalkan Kak Hakim dan menjadi milikku."
"Apa yang kamu katakan Amel?" Dina tidak begitu saja percaya omongan Amel.
"Gara-gara Ibu semua berantakan!" Amel membuang cemilan yang tersusun rapi di meja.
"Amel, jangan bikin kerjaan Ibu bertambah. Bantu ibu beresin kembali," Dina memungut cemilan yang berserakan di tanah.
"Bodo!" Amel meninggalkan Dina.
Setelah selesai menaruh cemilan dan minuman ringan, Dina terduduk sambil menatap kepergian Amel sampai hilang di pandangan matanya.
Amel, jadi orang yang kamu sukai diam-diam itu Hakim? Dina bicara dalam hati.
Beberapa pria banyak datang ke rumah untuk melamar Amel, tapi Amel selalu menolak karena Amel bilang sudah mempunyai seseorang di hatinya.
Dina kembali teringat ketika Hakim akan mengadakan acara lamaran untuk Amina. Amel mendadak sakit dan harus masuk rumah sakit. Begitu juga saat Hakim mengadakan pernikahan dan resepsi Amel tidak juga hadir.
"Amel, ternyata cintamu sungguh besar. Mengapa harus Hakim? Jika benar Hakim sakit karenamu, berarti Ibu menggagalkan rencanamu. Tapi tenang Amel, kebahagiaan mereka hanyalah sesaat. Lihat dan tunggu saja," Ucap Dina.
Amel yang kesal kembali masuk ke dalam rumah Amina, kumpul dan berbincang santai dengan sepupu-sepupunya dan keluarga yang lain. Amel melihat Amina yang lagi sendirian. Entah apa yang Amina lakukan di depan lemari es.
Amel meninggalkan sepupu-sepupunya dan mendekati Amina. Amel mengambil air mineral dan membuka tutup botolnya. Amel menumpahkan sedikit air mineral ke lantai. Amel kemudian dengan sedikit berlari meninggalkan Amina dan kembali ke halaman belakang.
Amina tidak menemukan apa yang dia cari. Amina menutup pintu lemari es. Amina berbalik badan dan kakinya menginjak tumpahan air yang ada di lantai. Amina terpeleset.
"AAAGGGHHH!" Amina memegang perutnya.
Laila dan Hakim yang mendengar teriakan Amina berlari ke dapur. Hakim melihat darah di bagian bawah Amina. Laila menyuruh Hakim segera membawa Amina ke rumah sakit terdekat.
Hakim mengangkat Amina membawa masuk ke dalam mobilnya. Mereka meninggalkan rumah. Dina mendengar keluarga besar suaminya ribut. Dina mencari tahu apa yang terjadi. Tapi Dina mengurungkan niat setelah melihat Amel kembali dan dengan santainya duduk di kursi taman.
"Apa yang terjadi?" tanya Dina.
"Amina kepeleset mengeluarkan darah. Kak Hakim membawanya ke rumah sakit," jawab Amel dengan santai.
"Apa ini perbuatan kamu?" Dina tajam menatap Amel.
"Iya. Amel cuman menumpahkan sedikit air ke lantai. Salah dia sendiri. Makanya kalo jalan, mata itu dipake!"
Dina membuang napas kasar. Dina duduk di samping Amel. Dina memperhatikan sekelilingnya. Keluarga besar suaminya tidak ada yang ke halaman belakang kecuali mereka berdua.
Dina kembali mengambil kue jajanan pasar. Dina menatanya di meja. Dina meletakkan kue-kue di dekat Amel seolah menyuruh Amel membantu pekerjaan kecilnya. Amel dengan malasnya membantu Dina.
"Amel, apa kamu sangat menyukai Hakim?"
"Ih, Ibu kok nanya lagi sih," Amel mengembalikan kue-kue itu ke Dina.
"Ibu akan bantu."
Amel membelalakkan matanya. Amel memandangi ibunya yang masih asik mengiris kue basah yang ada di dalam loyang. Amel mendekatkan dirinya.
"Bantu apa Bu?"
"Ibu akan bantu memisahkan Hakim dan Amina. Tapi kamu harus menuruti persyaratan Ibu."
"Apa itu?"
"Biarkan Amina melahirkan. Tolong jaga kehamilannya. Jangan biarkan dia terluka."
"Apa-apaan sih Ibu? Jika Amina melahirkan, Amel tidak punya kesempatan lagi untuk mendapatkan Kak Hakim."
"Sayang, Amina harus melahirkan. Anaknya harus lahir ke dunia. Setelah itu terserah kamu. Ibu tidak perduli kamu mau melakukan apa saja kepada Amina."
"Kenapa sih Ibu sangat ingin Amina melahirkan? Apa anaknya sebegitu penting buat Ibu?" Amel sedikit menurunkan volume suaranya karena beberapa keluarga sedang memperhatikan mereka.
Dina melepaskan pisau yang ada di tangannya. Dina mendekatkan bibirnya ke telinga Amel dan membisikkan sesuatu.
Kembali mata Amel terbuka lebar, alis matanya meninggi dan mulutnya sedikit terbuka.
"Mulai sekarang kamu harus menuruti perkataan Ibu. Kalo tidak!"
Dina dengan kasarnya menusuk pisau yang dia gunakan untuk mengiris kue ke buah apel yang ada di meja. Buah apel itu terbelah dua.
"Ibu tidak akan segan melakukan ini padamu. Ibu tidak mau rencana Ibu gagal hanya karena kamu. Paham!" Dina melototkan matanya kepada Amel.
"Iya Bu, paham," Amel bergidik ngeri dan menganggukkan kepalanya.
Mengapa Ibu sangat membenci Amina? Bodo amat, gue ngikut permainan Ibu. Kita lihat apa yang akan terjadi, batin Amel.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!