Tahun ketiga pernikahan Dewa dan Fitri masih biasa-biasa saja. Mereka hidup dalam satu atap, tapi mereka seperti asing. Mereka tidak pernah bertegur sapa, urusan mereka, mereka urus sendiri-sendiri. Itu yang Dewa mau. Dia tidak pernah mau makan masakan Fitri, semuanya Dewa yang mengurus dirinya sendiri. Tapi, Dewa tak melupakan kewajiban Dewa untuk memberikan nafkah lahir pada Fitri sebagai istrinya.
Namun, tidak untuk Fitri. Dia selalu melakukan tugasnya sebagai istri Dewa. Dia tetap memegang tugasnya sebagai istri, mencucikan baju Dewa, meski Dewa selalu memarahinya saat dirinya menyentuh pakaian Dewa. Kadang juga memasak untuk Dewa, meski masakannya tidak pernah disentuh oleh Dewa sedikit pun. Semua itu Fitri lakukan ketika Dewa kembali ke rumahnya, karena setiap harinya Dewa memilih tinggal di apartemen, hanya seminggu sekali dia pulang, bahkan kadang sampai berbulan-bulan tidak pulang. Itu semua karena Dewa tidak mau melihat Fitri, dia benci dengan Fitri, entah kenapa bisa sebenci itu pada Fitri.
Seperti biasa, setiap harinya Fitri bekerja. Sudah tahun ketiga Fitri bekerja di sebuah restoran untuk kegiatan sehari-hari, daripada dia jenuh di rumah mau apa. Suami juga jarang pulang ke rumah. Pulang ke rumah juga kalau ingat saja dia punya istri. Itu pun kalau di rumah tidak pernah menyapa Fitri. Dewa menganggap Fitri hanya di depan keluarganya saja, hanya di depan adik-adiknya, karena dia tidak mau hubungannya dengan Fitri yang seperti itu diketahui keluarganya. Jadi dia harus terlihat baik-baik saja di depan mereka. Untung saja Dewa dan Fitri sekarang jauh dari kota mereka, jadi jarang bertemu dengan keluarganya, kecuali Mega dan Angkasa sudah kangen dengan Dewa dan Fitri, jadi harus segera bertemu.
Hans mengetahui semua itu. Dewa selalu tidak pernah pulang ke rumah, dan memilih tinggal di apartemen. Hans menyuruh Dewa pindah ke luar kota untuk mengurus kantor yang di sana karena berharap Dewa bisa melupakan Niken, dan bisa menerima Fitri. Akan tetapi kenyataannya tidak, malah lebih parah. Bahkan Tama, sepupu Dewa pun tahu kalau Dewa tidak mau menerima Fitri sebagai istrinya, karena Dewa mencintai Niken, mama sambungnya.
“Fit, aku titip restoran, ya?”
“Iya, Tam. Kamu mau ke mana?”
“Aku keluar sebentar, mau ngurus kantor.”
Fitri bekerja di restoran milik Tama. Tama tahu kehidupan Fitri seperti apa setelah menikah dengan sepupunya. Berulang kali Tama meminta Fitri untuk memikirkan nasib pernikahannya, tapi Fitri hanya menjawab dengan lugas, kalau Dewa pasti akan berubah suatu hari nanti, entah di tahun keberapa di pernikahannya. Tama tahu begitu besar cinta Fitri pada Dewa, tapi tidak untuk Dewa. Dia tetap pada hatinya, masih mencintai Niken.
“Kamu baik-baik saja kan, Fit?” tanya Tama sebelum dia pergi meninggalkan restorannya.
“Ya begini, Tam. Sudah gak usah lihatin aku begitu, sana berangkat!”
“Kalau kamu masih sendiri, aku akan nikahi kamu, Fit. Sayang aku terlambat, bahkan hatimu sudah dikunci untuk Dewa saja. Gak capek Fit, cinta sama orang tapi gak dibalas? Padahal sudah menikah tiga tahun, kamu masih begini saja? Masih perawan juga?” ucap Tama.
“Aku yakin bisa membuat dia jatuh cinta padaku, Tam,” ucap Fitri.
“Aku tidak yakin, Dewa orangnya keras, Fit!”
“Sekeras batu karang saja bisa luluh dengan ombak, Tam?”
“Tapi kamu bukan Ombak, Fit. Cerai dengan Dewa, menikahlah denganku!”
“Kau kira mudah melepaskan cinta di hatiku, Tam? Sudah sana berangkat, gak usah ngomongin itu. Biar itu menjadi urusanku,” ucap Fitri.
“Kamu kuat ya, Fit? Dewa benar-benar laki-laki brengsek yang pernah aku temui. Om Hans memang brengsek sih dulu, tapi dia tidak pernah menyakiti perempuan. Padahal Tante Zahra sering selingkuh, tapi Om Hans diam, n dan gak mau membalasnya,” ucap Tama.
“Sudah, malah ghibah kamu, Tam?”
“Susah bicara sama kamu Fit. Aku harap suatu hari kamu akan sadar, kalau selama ini kamu menderita mencintai sendiri,” ucap Tama.
Fitri hanya mendengkus saja, dia tahu dan merasakan kalau hidupnya memang menderita setelah menikah dengan Dewa. Bahkan lebih menderita, karena tidak pernah dianggap istri oleh suaminya. Dewa acuh selama itu dengan Fitri, Fitri punya masalah dengan orang tuanya pun Dewa tidak pernah tahu.
“Mbak Fitri ada yang cari Mbak di luar,” panggil Kaaryawan Restoran lain.
Fitri bergegas ke depan melihat siapa yang mencarinya. Setelah tahu siapa yang mencarinya, wajah Fitri berubah jadi malas melihat seorang Pria yang datang ke Restorannya.
“Ada apa, Pak?”
“Mana duit yang Bapak minta!” pintanya memaksa.
“Baru satu minggu Fitri kasih bapak lho? Fitri juga baru dua hari transfer ibu? Ini Fitri belum gajian, Pak,” ucap Fitri.
“Kamu itu menikah dengan orang kaya! Tinggal pakai uang suamimu!”
“Nanti Fitri transfer, Bapak lebih baik pulang!” usir Fitri.
“Berani kamu usir bapak?!”
“Bapak sudah keterlaluan soalnya! Sudah dong, Pak! Jangan main judi terus!”
Plak!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Fitri, hingga banyak karyawan yang menyaksikan pria itu menampar Fitri.
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Anak pembawa sial!” umpatnya sambil kembali mengangkat tangan dan akan menampar Fitri lagi.
“Jangan pernah menampar istriku!”
Entah kapan Dewa ada di Restoran milik Tama. Dewa mencekal keras tangan Pak Hasan yang akan kembali menampar Fitri.
“Lebih baik bapak pulang! Nanti saya suruh orang untuk mengirimkan uang untuk bapak! Tapi, jangan pernah ganggu Fitri lagi!”
Dewa melepaskan kasar tangan Hasan. Dua kali Dewa melihat Fitri ditampar oleh Bapaknya sendiri, dulu saat kejadian tak terduga itu, saat mereka tidak sengaja terperosok dan dituduh sedang melakukan hal tidak senonoh di kebun dekat rumah Fitri, dan tadi.
“Kamu tidak apa-apa, Fit?”
“Iya, tidak apa-apa, Mas,” jawab Fitri.
“Sudut bibirmu berdarah, Fit.”
“Aku masuk dulu, aku bersihkan ini dulu,” ucap Fitri.
Namun, saat Fitri akan pergi, Dewa menarik tangannya, “Di sini saja, aku bantu obati, aku punya salep untuk lebam, sebentar aku ambil di mobil,” ucap Dewa.
Fitri mengernyitkan keningnya, dia merasa ada yang aneh dari suaminya. Tumben sekali peduli dengan dirinya, padahal selama ini Dewa tidak pernah melakukan hal seperti ini, kecuali di depan keluarganya dan adik-adiknya.
Fitri tidak pernah baik-baik saja hidupnya selama ini. Dia ikut dengan Bibi Ratna dari kecil, karena ibunya meninggal sejak Fitri bayi, setelah melahirkan Fitri, ibunya sakit-sakitan, dan Bapaknya menikah lagi. Bukannya sayang dengan Fitri, tapi Bapaknya tidak mau mengurus Fitri, pun dengan ibu tirinya. Mereka menjadikan Fitri bak sapi perah. Untung saja ada Bi Ratna dan suaminya, jadi Fitri ada yang melindungi saat Bapaknya ngamuk minta uang untuk main judi, atau mabuk-mabukan.
Setelah Fitri pindah, dan diketahui oleh bapaknya, kadang bapaknya nekat menghampiri Fitri hanya untuk meminta uang saja. Padahal Fitri sudah sering memberikan sebagian gajiannya untuk bapaknya dan ibu tirinya, tapi tetap saja kadang mereka menemui Fitri untuk minta uang. Sama seperti dulu, saat Fitri ikut kerja dengan Bi Ratna pun Bapak dan Ibu tirinya selalu merongrong, padahal sudah ditegur Bi Ratna dan suaminya.
Fitri masih duduk menunggu Dewa mengambil obat di mobilnya. Entah kenapa hatinya merasa hangat diperhatikan Dewa seperti itu ketika sendirian, dan tidak ada keluarga Dewa atau Tama. Dewa juga meminta air dingin untuk mengompres luka di sudut bibir Fitri pada Karyawan di dalam. Dewa sudah biasa ke Restoran Tama, jadi semua karyawan sudah tahu kalau Dewa itu suami Fitri dan saudara Tama.
Dewa kembali, dan duduk di depan Fitri. Dia mengompres sudut bibir Fitri yang terluka karena tamparan sang Ayah. Lalu mengoleskan salep di sudut bibir Fitri yang lebam.
“Bapak sering ke sini?” tanya Dewa.
“Iya, ke rumah juga sering kalau uangnya habis. Padahal sebagian gajianku di sini aku kasih Bapak, kadang juga, maaf mas, aku pakai uang dari kamu untuk Bapak, itu semua karena bapak kadang memaksa, tapi tadi aku melawan, aku sudah muak diperlakukan seperti itu dari dulu, Mas,” ucap Fitri.
“Apa dari awal kita menikah Bapak begitu?” tanya Dewa.
“Iya, Mas. Sebelum menikah juga begitu,” jawab Fitri.
“Kenapa kamu gak bilang aku?”
“Kapan Mas ada waktu? Di rumah saja jarang? Mas sibuk dengan dunia Mas, Mas peduli begini dengan aku saja gak pernah, baru kali ini?” ucap Fitri apa adanya.
“Maaf, Fit. Kamu tahu sendiri, dan kamu paham, kan?”
“Sampai kapan, Mas? Sudah tiga tahun, Mas,” ucap Fitri dengan tatapan sendu.
“Aku masih belum bisa mencintai perempuan lain, Fit.”
“Sampai kapan kamu bisa membuka hati untukku, Mas?”
“Aku tidak tahu, jangan paksa aku, Fit. Tolong jangan bahas ini lagi.”
Fitri menunduk, ia tahan air mata yang sudah ingin keluar dari sudut matanya. Sia-sia dia menangis, karena tak akan pernah merubah perasaan Dewa kepadanya.
“Kalau begitu, kenapa kamu tidak ceraikan aku saja, Mas?”
“Tidak semudah itu, Fit!”
“Mudah, Mas! Apalagi kamu tidak punya perasaan padaku, dan kamu sama sekali belum menyentuhku selama tiga tahun ini? Kita menikah, tinggal sering terpisah, kamu pulang hanya sebentar saja, gak peduli bagaimana aku, lalu untuk apa ini diteruskan?”
“Aku bilang, aku tidak akan menceraikan kamu, Fit! Sudah aku obati lukamu, aku pulang!”
Entah kenapa Fitri malah meminta cerai pada Dewa saat ini. Padahal selama ini dia tidak peduli pada Dewa yang selalu acuh padanya.
Fitri membiarkan Dewa pergi, melihat Dewa yang kian menjauh dari pandangannya. Fitri tidak tahu kenapa, sampai bilang ingin cerai dari Dewa. Padahal selama ini Fitri bisa sabar dengan semua episode kehidupannya selama menikah dengan Dewa. Tidak peduli dia diacuhkan dan tidak dianggap istri oleh Dewa, Fitri biasa saja. Tapi siang ini, entah kenapa dia berani meminta cerai dari Dewa.
Dewa melajukan mobilnya, dia masih terbayang-bayang wajah Fitri tadi setelah ditampar oleh Ayahnya. Dewa tidak tega pada Fitri saat diperlakuka seperti itu oleh Ayahnya. Padahal selama ini Dewa selalu acuh dan cuek, tapi melihat Fitri disakiti oleh Ayahnya hatinya pun ikut sakit.
Dewa juga tidak menyangka, tiba-tiba Fitri meminta cerai darinya. Padahal selama ini Fitri tidak pernah berkata macam-macam pada dirinya, hanya saja pernah berkata sekali pada Dewa, kalau dirinya bisa membuatnya jatuh cinta. Tapi pada kenyataannya sampai detik ini Dewa belum bisa mencintai Fitri.
Dewa memarkirkan mobilnya di depan rumah megah yang ia huni bersama Fitri. Tapi sudah lama Dewa tidak pernah pulang ke rumah. Hampir dua bulan Dewa tidak pernah pulang, dia lebih memilih tinggal di apartemennya. Membiarkan Fitri di rumah mewah dan megah itu seorang diri.
“Assalamualaikum ....” Dewa bergumam lirih mengucapkan salam saat masuk ke dalam rumah.
Di rumah Fitri sendirian, dia tidak ada pembantu, untuk apa ada pembantu, dia bisa melakukan pekerjaan rumahnya sendiri, apalagi Dewa tidak pernah pulang, pekerjaan rumah hanya itu-itu saja, sayang kalau sewa pembantu.
Dewa masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang ia gunakan untuk istirahat saat berada di rumahnya. Selama ini mereka tidur terpisah, di rumah bersama pun jarang bertegur sapa, hanya jika ada yang dirasa penting untuk dibicarakan, Dewa mengajak Fitri bicara.
Entah kenapa Dewa ingin pulang ke rumah siang ini setelah di dalam perjalanan pulang dari restoran Tama selalu terngiang ucapan Fitri yang meminta cerai padanya. Ditambah Tama yang selalu mendesak Dewa untuk menceraikan Fitri, karena Tama tahu apa yang terjadi di dalam rumah tangganya dengan Fitri.
“Apa Fitri dipaksa Tama? Atau mereka ada hubungan?” batin Dewa.
“Ah kenapa aku mikir ke situ? Kalau Fitri punya hubungan dengan Tama, mungkin itu wajar, karena mungkin Fitri lelah membuat aku mencintainya,” pikir Dewa.
“Gak, gak! Gak boleh mereka memiliki hubungan!”
Dewa merasa jengkel dengan keadaan sekarang. Tama sering meminta Dewa melepaskan Fitri, sedangkan tadi Fitri tiba-tiba meminta cerai darinya.
Lama Dewa memikirkan semua itu, hingga menjelang petang Dewa masih gelisah di kamarnya. Ditambah ia menghubungi Fitri, tidak ada respon, dan setelahnya nomor Fitri tidak aktif lagi.
Dewa mendengar deru mobil di depan rumahnya saat dia baru saja keluar dari kamarnya. Ia bergegas keluar melihat siapa yang datang.
“Fitri, Tama? Apa mereka selalu bersama?” ucap Dewa dalam hati saat melihat Fitri yang keluar dari mobil Tama, dan Tama yang membukakan pintu untuk Fitri.
“Ehem ....” Dewa berdehem lalu mendekati mereka.
“Tumben kamu di rumah?” ucap Tama.
“Tumben? Kamu bilang tumben? Ini rumahku, ya wajar aku di sini?” jawab Dewa.
“Biasanya di tempat ternyamamu? Apartemen yang penuh foto-foto Ibu sambungmu!” sindir Tama.
“Sudah antar Fitrinya, kan? Silakan pulang! Masuk Fit, aku mau bicara!” ucap Dewa.
Fitri tak menjawab apa pun, dia hanya heran dengan suaminya saat ini yang bersikap seperti itu. Padahal biasanya mau Fitri diantar jemput oleh Tama pun Dewa tak peduli.
“Oh iya, Dew, besok aku pinjam Fitri, aku minta dia menemani aku makan malam dengan Pak Arsyad! Kamu tahu kan besok Pak Arsyad mengundang kita di acara makan malam, karena dia sedang ulang tahun?” ucap Tama.
“Fitri bukan barang yang bisa kamu pinjam! Pulang sana!” usir Dewa.
“Daripada Fitri gak kamu anggap! Biar dia sama aku!”
“Pulang atau aku bilang papamu, kalau kamu sedang mengganggu istri orang!”
“Apa bedanya dengan kamu yang ganggu istri Papamu!” sindir Tama.
“Aku pulang, Fit. Sana belikan obat buat Dewa, sepertinya dia kehabisan obat, Fit!” ucap Tama lalu dia masuk ke dalam mobilnya.
Tama terkekeh melihat Dewa yang sepertinya sangat marah saat tadi dia bilang ingin mengajak Fitri makan malam. Padahal Fitri sudah menolaknya, tapi mumpung ada kesempatan membuat Dewa panas hati, Tama bilang saja besok malam mau mengajak Fitri makan malam dengan rekan bisnisnya. Di mana Dewa pun diundang dalam makan malam itu, pun dengan Hans dan Istrinya.
Fitri sudah berada di dalam rumahnya lebih dulu, dia sama sekali tidak mengajak Dewa bicara lebih dulu. Dewa langsung menyusul Fitri ke dalam.
“Fit, aku mau bicara sebentar!”
Fitri langsung mengurungkan niatnya untuk membuka pintu kamarnya, lalu berbalik badan, dan duduk di sofa yang dekat dengan kamarnya. Disusul Dewa duduk di sebelah Fitri.
“Mau bicara apa?” tanya Fitri tanpa menatap Dewa.
“Kamu benar besok malam diajak Tama makan malam?” tanya Dewa.
“Iya, kenapa? Aku sudah biasa diajak Tama keluar makan malam, dengan rlasi bisnisnya juga pernah,” jawab Fitri.
“Kenapa kamu tidak bilang aku? Aku suamimu, kamu harusnya pamit dengan aku kalau mau ke mana-mana, Fit?”
“Iya kamu suami aku, tapi apa kamu pernah menganggapku istrimu? Kamu mau ke mana pun yang kamu mau saja tidak pernah bilang aku? Kamu mau melakukan apa pun sesuka hatimu saja kamu tidak bilang aku? Bahkan setiap kamu di sini, aku siapkan semua keperluan kamu, aku ambilkan baju kerjamu, aku buatkan kamu sarapan, kadang makan malam, kamu tak pernah menjamahnya? Apa dengan begitu kamu menganggap aku istrimu? Apa aku perlu izin ke mana pun aku mau pergi kalau kamu saja bersikap begitu padaku? Tiga tahu, Dewa! Ke mana saja kamu?! Kamu terlalu larut dalam cintamu yang salah! Apa kamu gak kasihan dengan Mama Niken dan papamu? Gak kasihan dengan adik-adikmu?” ucap Fitri dengan tegas.
“Mau kamu apa, Dewa? Jika memang aku gagal membuat kamu jatuh cinta, ceraikan aku, aku tidak ingin terpasung dengan rasa cinta ini! Lepaskan aku, jika kamu ingin bebas dengan rasa cintamu yang salah!”
Dewa tersenyum ringkih, dia menatap Fitri yang menatap tajam dirinya. Baru ia lihat Fitri semarah itu padanya. Mungkin kesabaran Fitri sudah di ujung tanduk kali ini.
“Apa semua ini karena Tama? Apa karena Tama kamu meminta cerai dariku? Padahal dari dulu kamu gak pernah begini? Setahun enam bulan kamu ikut kerja dengan Tama, sekarang kamu biacara begini? Minta cerai?” ucap Dewa.
“Tidak ada sangkut pautnya dengan Tama. Kamu harusnya tahu kenapa aku meminta cerai! Kamu ingat, kamu pernah bilang apa padaku? Kamu pernah bilang sampai kapan pun kamu tidak bisa mencintaiku, dan menerima aku sebagai istrimu, kan? Cukup sampai di sini, Dewa! Cukup sampai di sini kamu buat aku menderita! Ini yang kamu mau, kan? Aku rasa penderitaanku harus aku sudahi sekarang!”
“Aku tidak akan menceraikanmu!”
Fitri tidak peduli ucapan Dewa, dia lebih baik masuk ke kamarnya, merebahkan tubuhnya yang sudah lelah dari tadi pagi karena pekerjaan hari ini cukup melelahkan, ditambah adanya insiden dengan Bapaknya tadi siang. Dirasa lelahnya sudah sedikit hilang, Fitri pergi membersihkan tubuhnya.
Sedangkan di luar, Dewa masih duduk terpaku mengingat ucapannya tadi. Dewa merasa ada yang aneh pada dirinya, entah kenapa bisa semarah itu saat tadi sepupunya mengantar pulang Fitri. Apalagi sampai meminta izin padanya untuk mengajak Fitri makan malam.
Sejak Hans terus menasihatinya, Dewa semakin menyadari kalau dirinya terlalu egois mencintai Niken. Perasaannya sudah melampaui batas, hingga Niken pun kadang tidak mau keluar kamar saat Dewa ada di rumahnya.
Dewa melihat Fitri keluar dari kamarnya, dan langsung mendudukan dirinya di sofa depan televisi, lalu menyalakan televisi. Dewa kira Fitri akan ke dapur untuk memasak menu makan malam, ternyata malah duduk santai di sofa sambil menonton acara di televisi.
“Kamu tumben tidak masak? Kamu belum makan malam, kan?” tanya Dewa yang melihat Fitri sedang santai menonton televisi, tidak peduli dengan adanya Dewa di rumah.
“Capek, Wa!” jawab Fitri acuh.
“Kamu belum makan malam, kan?”
“Udah pesan tadi, paling sebentar lagi datang. Lagian kalau masak untuk seorang diri sayang tenaganya, mending beli,” jawab Fitri.
“Biasanya kamu masak kalau aku di rumah?”
“Iya itu kebiasaan lama, sekarang tidak lagi, karena aku pikir mubazir sih, sudah masak capek-capek, malah dibuang saja makanannya,” ucap Fitri. “Sudah tuh kayaknya makananku sudah datang, aku mau makan, lapar!”
Fitri ke depan, karena mendengar bel rumahnya berbunyi. Pesanan makanannya sudah datang. Fitri langsung menerima pesanannya, dan dia duduk di ruang tamu sambil menikmati pesanan makanannya. Dewa yang penasaran Fitri tidak masuk ke dalam, lalu menyiapkan makanan yang dipesannya akhirnya dia pun keluar, menghampiri Fitri di ruang tamu.
“Kamu pesan untuk kamu sendiri?” tanya Dewa.
“Iyalah, untuk aku sendiri, memang untuk siapa lagi?” jawab Fitri sambil menikmati nasi pecel lele yang ia pesan, dengan segelas es teh tawar.
Dewa hanya berdehem lalu dia duduk di sebelah Fitri yang sedang makan. Fitri tidak peduli, toh biasanya seperti ini, meski di rumah bersama saling acuh, tidak saling menyapa, paling hanya kalau ada penting saja Dewa bicara dengan dirinya.
“Kamu gak menawariku, Fit?” tanya Dewa.
“Enggak. Memang harus ya menawari?” jawab Fitri.
“Kamu kenapa sih, Fit?”
“Aku lapar, Dewa!” jawabnya.
“Aku juga lapar, belum makan,” ucap Dewa.
“Lalu apa urusanku? Kalau mau makan, kamu bisa pesan sendiri, kan? Nih aku kasih kontaknya Kang Pecel Lele yang ada di perempatan sana! Enak kok, tiap malam aku sudah langganan. Lagian kamu sudah biasa apa-apa sendiri, kan? Gak melulu tergantung sama aku?” ucapnya tanpa melihat Dewa. Fitri malah fokus menikmati makanannya.
Sumpah demi apa, Dewa semakin kesal dengan sikap Fitri malam ini. Memang semua berawal dari dirinya, selama tiga tahun dia tidak memedulikan Fitri. Jarang pulang ke rumahnya, dia lebih memilih tinggal di apartemen yang dekat dengan kantornya.
“Kamu gak pulang?” tanya Fitri.
“Pulang ke mana maksud kamu, Fit? Ini rumahku, kan?”
“Iya ini rumahmu, aku di sini numpang, aku di sini Cuma jadi penjaga rumah yang digaji cukup banyak. Ya biasanya kamu tidak pernah selama ini di rumah ini, kamu lebih memilih pulang ke tempat ternyamanmu, bersama bayang-bayang Mama Niken.”
“Aku mau di sini, memang tidak boleh?” ucap Dewa.
“Boleh silakan. Ini rumahmu kok. Ya sudah aku mau ke kamar, sudah kenyang!”
Fitri masuk ke dalam, ia ke dapur untuk cuci tangan dan membuang kertas nasi bekas tadi ia makan. Dewa benar-benar dibuat sewot dengan sikap Fitri sekarang, dari siang dia sudah bilang minta cerai, lalu mengulangi lagi saat di rumah, ditambah Fitri makan sendiri, tidak peduli dirinya juga belum makan. Padahal kalau dirinya pulang, Fitri langsung membuatkan makanan kesukaannya, tapi tidak pernah disentuhnya sama sekali.
“Ini salahku, aku harus perbaiki semuanya. Aku salah, benar kata Papa, aku harus memperbaikinya, Fitri gadis yang baik, selama ini sudah aku sia-siakan hanya karena perasaanku saja yang masih mencintai Niken. Tiga tahun Dewa, kamu tega sekali bersikap seperti itu pada Fitri? Cukup Dewa! Niken Istri Papamu!” batin Dewa merutuki dirinya sendiri.
Dewa mendengar bel pintu berbunyi. Entah siapa yang datang, atau Fitri memesan makanan lagi, atau mungkin Fitri memesankan makanan untuk dirinya? Dewa bergegas membukakan pintu, untuk melihat siapa yang datang.
“Kamu? Ngapain kamu ke sini?” tanya Dewa dengan tatapan yang sinis pada tamu yang baru saja datang.
“Gak boleh aku ke sini? Aku biasa ke sini kok? Kamu saja gak pernah tahu. Oh iya kamu kan jarang di rumah?” ucapnya. “Fitri di mana?”
“Gak ada! Sudah tidur!”
“Bohong, baru saja aku telefon katanya dia belum tidur?”
Orang itu langsung merogoh kantong celananya, lalu kembali menelefon Fitri, dan memberitahukan kalau dirinya sudah datang.
“Aku di depan, Fit. Sama orang nyebelin, yang larang aku ketemu kamu,” ucapnya lalu menutup sambungan teleponnya.
“Gak sopan sekali kamu, Tama! Untuk apa malam-malam kamu menemui Fitri? Apa ini sudah kebiasaan kamu begini?” kesal Dewa.
“Kalau iya kenapa?”
“Gak baik malam-malam menemui istri orang!”
“Tadi kamu bilang apa? Coba ulangi lagi?” tanya Tama.
“Gak baik malam-malam menemui istri orang!”
“Istri? Tumben anggap Fitri istri?”
Tak lama kemudian Fitri keluar dari kamarnnya. Padahal Fitri tidak tahu menahu soal Tama yang akan ke sini. Tapi memang biasanya Tama ke rumah Fitri, hanya untuk sekedar mengantarkan makanan atau cemilan untuk Fitri, atau kadang mengajak Fitri nonton, karena dia tahu Fitri pasti kesepian di rumahnya. Kecuali kalau ada adik-adiknya Dewa menginap di rumahnya. Kadang mereka menginap di rumah Fitri, sebab itu Dewa pun terpaksa pulang kalau adik-adiknya menginap di rumahnya.
“Ada apa, Tam?” tanya Fitri yang terlihat sudah memakai baju tidur.
“Jenuh di rumah sendirian, jalan yuk? Nonton atau ke mana?” ajak Tama.
“Sinting ya kamu! Ngajakin jalan bini orang!” umpat Dewa.
“Kamu yang sinting, punya istri gak dianggap! Ya sudah aku bisa bahagiain Fitri! Ayo Fit jalan.”
“Tam, aku ngantuk, lain kali saja, ya? Ini udah jam sembilan, mau pulang jam berapa nantinya?”
“Kayak gak biasanya kamu Fit. Apa karena ada Dewa di rumah?”
“Enggak, gak masalah ada atau tidak adanya Dewa di rumah. Masalahnya aku ngantuk, Tam.”
“Ya udah nih aku bawain martabak kesukaan kamu.”
“Kamu telat, aku sudah makan, tuh kasih ke Dewa saja, dia belum makan, aku gak masak, tadi pesan makanan satu, lupa kalau Dewa di rumah, lama gak di rumah kan aku lupa, jadi pesan satu makanan saja. Barangkali Dewa lapar, biar dimakan saja. Aku ke kamar, Tam. Ngantuk mau tidur.”
“Oke.”
Tama tidak memaksa Fitri. Melihat Fitri yang sekarang sudah mulai berani begitu saja Tama sudah senang lihatnya. Dia sudah tidak menye-menye lagi, dan sudah tidak diperbudak rasa cintanya pada Dewa. Biasanya kalau Dewa di rumah dia benar-benar merajakan Dewa. Memasak untuk Dewa, membuatkan kopi atau teh, pokoknya Fitri menjadi istri yang baik di depan Dewa.
Namun malam ini Tama melihat Fitri sudah berani cuek dengan Dewa. Ada rasa bahagia melihat Fitri begitu sikapnya pada Dewa.
“Nih makan! Kasihan belum makan. Makanya punya istri dihargai. Ini baru awal kalau Fitri bersikap gini sama kamu. Semoga esok dan seterusnya Fitri terus begini lah! Aku pulang, tuh martabak dimakan sana!”
“Tunggu, Tam!”
“Apalagi sih, De!”
“Kamu pasti yang menyuruh Fitri minta cerai sama aku, kan?”
“Kalau iya kenapa? Kalau dia berusaha membuatmu jatuh cinta, salahkah aku yang sedang berusaha membuat dia jatuh cinta padaku, dan melupakan kamu yang acuh?” jawab Tama.
“Gak usah macam-macam, Tam!”
“Tiga tahun kamu ke mana saja kamu, Dewa! Kamu gak tahu bagaimana perasaan Fitri. Aku rasa dia sudah sadar sekarang, lihat saja sikapnya begitu sama kamu? Sudah ah, malah ngomong sama batu macam kamu!”
Tidak peduli Dewa yang sedang marah dengan dirinya, Tama langsung pergi dan tersenyum dengan penuh kemenangan karena dia melihat Fitri yang akhirnya berani bersikap acuh pada Dewa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!